Laporan Jeni Laamo dari Kupang, NTT.
Setelah melakukan perjalanan yang panjang ke Desa Wologai, hari ini aku dan Suster Laurentina, SDP melakukan perjalanan yang lumayan jauh dengan akses jalan yang menantang menuju Desa Kekandere. Kami ditemani oleh Romo Alfons, Pr yang cukup lama melakukan pelayanan di desa ini. Romo Alfons, Pr mengenal dengan baik masyarakat dan umat Allah di Desa Kekandere. Sehingga sungguh tepat kami mengikuti romo yang hadir untuk memberikan pelayanan misa untuk Minggu Palem pada Minggu besok. Romo Alfons, Pr mengajak kami untuk menginap di rumah ibu angkatnya.
Saat mengucapkan salam kepada ibu angkat romo, kami mendapati beliau yang sedang memecah kemiri. Aku mengetahui bahwa pekerjaan setiap hari ibu angkat Romo adalah memecah kemiri, demikian halnya dengan ibu-ibu di Desa Kekandere. Melihat beliau yang sibuk menyambut kami dan menyiapkan kamar untuk kami, aku dan Suster Laurentina SDP berinisiatif untuk membantu memecah kemiri. Alatnya sangat sederhana, hanya sebuah batu dan sebuah pelepah kecil yang dilipat bagi dua lalu menaruh biji kemiri yang masih utuh di tengah-tengah lipatan pelepah. Lalu dengan sekuat tenaga namun gerakan lembut, kemiri dihantamkan ke batu datar sampai kulit kemiri pecah. Ada teknik tertentu yang harus dipakai agar isi kemiri tidak pecah. Beberapa kali kami mencoba memecah namun hasilnya sungguh tidak memuaskan. Terkadang ada saja yang tidak terlepas dari kulit ari kemiri. Kami berusaha mengeluarkan isi kemiri dengan menggunakan pisau yang sudah disediakan oleh ibu angkat romo. Kami sungguh serius memecah kemiri, hingga tidak sadar waktu berlalu dengan cepat, malam datang menjemput. Aku harus segera menyiapkan peralatan yang dibutuhkan untuk sosialisasi pada malam hari. Untuk itu kami dibantu oleh seorang relawan dari OMK di Desa Wologai. Ia biasa mengikuti Romo Alfons ke Desa Kekandere dan menyiapkan soundsystem untuk kegiatan pelayanan misa. Malam ini pun OMK tersebut membantuku dalam menyiapkan proyektor dan soundsystem. Setelah semuanya siap, kami memanggil Suster untuk segera hadir di gereja yang dibangun dengan konsep terbuka ini dan memulai kegiatan sosialisasi kepada Umat Katolik di Desa Kekandere.
Sosialisasi tentang Migrasi dan Perdagangan Manusia oleh Sr. Laurentina, SDP kepada umat di Kapela Kekandere, Paroki Rajawawo di Ende. Kapela Kekandere adalah salah satu unit pelayanan di Desa Kekandere. Jika ada perayaan hari besar gereja seperti Penyambutan Pekan Suci, Misa Minggu Palem besok, umat dari beberapa stasi akan hadir di kapela ini untuk bersama mengikuti misa. Pada kesempatan itu, Tim Pelayanan Unit Anti Perdagangan Manusia, JPIC Divina Providentia hadir di sini untuk memberikan informasi penting ini karena daerah ini adalah salah satu penghasil pekerja migran ke Malaysia paling banyak di Ende (dominan non-prosedural). Tua dan muda berpartisipasi, mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Suster dan sesekali terkesiap kaget mendengar fakta yang diungkapkan oleh Suster dan diperkuat dengan video-video singkat proses pemulangan jenazah PMI, pemulangan korban hidup ke kampung halamannya, dan kasus Sarang Burung Walet yang terjadi pada 2015 lalu. Melihat raut wajah dari umat Allah yang seolah mendapatkan pencerahan tentang permasalahan-permasalahan yang dialami oleh PMI itu sendiri maupun keluarga yang ditinggalkan, kami bersyukur bisa hadir di tengah-tengah mereka. Beberapa kali bertemu dengan PMI bermasalah maupun korban TPPO, disadari bahwa paling banyak orang-orang yang direkrut untuk bekerja di luar negeri adalah yang berasal dari desa-desa yang jika mau dibilang 'terisolir' karena akses jalan yang sulit, tidak ada listrik, akses pendidikan yang juga sulit dijangkau, dan jaringan komunikasi yang sulit diakses. Meskipun menempuh medan yang berat, kami bersyukur bisa sampai di tempat-tempat terisolir itu dan menyapa mereka, memberikan informasi tentang bahaya yang mengintai di balik kata 'kerja di luar negeri.'
Semoga dengan sosialisasi ini umat dan masyarakat di Desa Kekandere sadar akan bahaya Perdagangan Manusia, apalagi Desa Kekandere adalah salah satu desa yang menjadi kantong migran ke Malaysia. Jadi ini merupakan suatu kesempatan kepada kami untuk menyadarkan masyarakat, memanfaatkan sumber daya alam yang luar biasa di tanah Flores ini karena Ende adalah salah satu desa yang amat subur. Ada satu slogan yang selalu aku dengar ketika berbicara tentang Ende yaitu, ‘Buang biji saja tumbuh.’ Ende adalah daerah yang amat subur, aku sampai merasa iri dengan Flores ini jika dibandingkan dengan daerah kelahiranku. Sudah sepatutnya orang muda di Ende maupun di daratan Flores lainnya untuk tetap di desa nya dan memberdayakan sumber daya alam yang melimpah ini. Allah Bapa selalu menyertai. Amin.