Hari Kamis itu dimulai
dengan ketenangan khas pagi di Kapel Kanisius. Seperti biasanya, Romo Ismartono
mulai dengan Misa harian. Suasana hening, doa umat mengalir sederhana, dan
Sabda Tuhan kembali diteguhkan di hati para hadirin. Bagi Romo, Misa adalah
titik pangkal dari segala kegiatan: sumber kekuatan dan arah pelayanan.
Sesudahnya, Romo kembali ke Pastoran dan menikmati sarapan sederhana. Di sela-sela rutinitas itu, hadir kesibukan yang tak pernah habis. Ketika sarapan usai, Pak Koster mendatanginya dengan wajah penuh hormat. “Romo, ada tiga ibu menunggu di depan patung Bunda Maria,” katanya lirih. Romo tersenyum, bangkit, dan berjalan keluar.
Di sana, tiga ibu berdiri
dengan penuh harap. Yang satu membawa sebuah kotak dana, memohon doa dan berkat
atas karya pengumpulan dana mereka. Dua ibu lainnya memegang rosario
masing-masing, meminta berkat agar doa mereka semakin dilimpahi oleh rahmat.
Romo mengangkat tangan, menandai mereka dengan tanda salib, lalu berdoa singkat
namun penuh kehangatan. Senyum lega tampak di wajah ketiganya—sebuah sapaan
rohani yang sederhana, namun sungguh bermakna.
Kembali ke Gedung Alphonsus, Romo masuk ke ruang kerjanya. Baru saja beliau menyiapkan diri untuk duduk di kursi kerjanya, pintu diketuk.
Masuklah Kirana, siswi SMA Loyola Semarang, yang baru saja pulang dari Manila. Dia bercerita bahwa baru pulang dari pertemuan para pelajar Jesuit se-Asia Pasifik (Kolese Loyola, Gonzaga, Kanisius, Mikael dan Seminari Mertoyudan). Bersama puluhan siswa-siswi sekolah SJ se-Asia Pasifik mereka membentuk komunitas pemerhati Laudato Si’. Ini sebuah percakapan lintas generasi yang mempertemukan pengalaman panjang pelayanan seorang Kakek dengan Cucunya yang masih memiliki gairah muda yang penuh harapan.
Konon,
di depan penginapan Alphonsus, pagi itu seorang
siswa SMA De Britto Yogyakarta - yang juga merupakan salah satu anggota
rombongan siswa-siswi itu melihat Katekismus Laudato Si’ tersedia di meja depan
Kantor Sahabat Insan.
Di
sana tertera keterangan sederhana: siapa saja yang berminat boleh mengambil
satu dengan mengganti ongkos cetak sekadarnya. Ia pun mengambil sebuah buku.
Mendengar teman-temannya riuh di ruang kerja Romo dia ikut bergabung. Ketika Romo memberikan Katekismus Laudato Si’ itu sebagai tanda mata siswa De Britto itu menerimanya juga untuk diberikan kepada temannya.
Belum lama setelah Kirana
bersama teman-temannya berpamitan untuk kembali ke Semarang, pintu kembali diketuk.
Dua staf dari Kolese Kanisius datang membawa agenda rekoleksi bagi para guru
dan karyawan. Mereka mengutarakan harapan agar rekoleksi nanti menjadi ruang
perjumpaan rohani, bukan sekadar acara rutin. Romo, dengan kesabaran khasnya,
menanggapi satu per satu, menawarkan sudut pandang, lalu menekankan pentingnya
pengalaman iman yang menyentuh hati setiap peserta.
Romo Is bersama dengan siswa-siswi Kanisius dan Loyola yang baru saja kembali dari Phillipines
Demikianlah sebuah hari
Kamis di seputar Sahabat Insan. Pagi yang sederhana, tetapi penuh dengan
perjumpaan: doa dalam Ekaristi, berkat bagi umat, percakapan dengan kaum muda
yang membawa semangat ekologis, perencanaan rohani bersama para pendidik, serta
pembagian bahan-bahan rohani yang meneguhkan. Demikianlah sebuah hari kamis
diseputar Sahabat Insan, Laudato Si’ mi’ signore.
Penulis: Saraswati