oleh Benny Juliawan SJ
Penumpang di samping saya dalam penerbangan Jakarta-Manila terkejut ketika tahu tujuan perjalanan saya:Mindanao . “Are you sure? That’s a dangerous place. Especially for a foreigner.”
Agak kaget dan kebat-kebit juga hati ini mendengar orang Filipina menyebut
tempat itu berbahaya. Saya kira sudah lama urusan dengan para gerilyawan itu
selesai, tapi banyak orang masih khawatir. Ternyata kekagetan ini hanyalah
permulaan saja.
Penumpang di samping saya dalam penerbangan Jakarta-Manila terkejut ketika tahu tujuan perjalanan saya:
Mindanao Utara adalah
wilayah beredarnya gerilyawan komunis, sementara Mindanao Selatan sudah lama
jadi tempat bermain gerilyawan Moro yang muslim. Utara-Selatan, kiri-kanan,
semua lengkap. Tujuan saya kali ini adalah menuju desa Bendum, kawasan Upper Pulangi , di Propinsi Bukidnon, Mindanao Utara. Kira-kira
satu jam perjalanan dari Manila ,
setelah pesawat mendarat di bandara Cagayan de Oro. Perjalanan diteruskan lewat
jalan darat ke kota
Malaybalay yang ditempuh selama tiga jam, kemudian ditambah dua jam melewati
jalan berbatu ke desa Bendum.
Desa yang terletak di
ujung Jalan Makadam ini adalah tempat bermukim orang-orang asli yang kerap
disebut Pulangiyen. Desa ini berbatasan dengan pegunungan Pantaron dan hutan
lebat. Di sana
juga tinggal Pedro Walpole, seorang Jesuit asal Irlandia yang sudah lebih dari
20 tahun menetap. Sebelum menjadi Jesuit, lulusan kehutanan itu, bekerja
sebagai seorang konsultan dan keluar masuk hutan di berbagai tempat di Asia
Tenggara. Sekarang, dia memilih untuk berbagi hidup dengan orang asli sambil
bersama warga merawat hutan di sekitarnya.
Tahun 1992 ketika
pertama kali datang, Pedro menjumpai warga desa kehilangan hutan karena
penebangan yang masif. Perusahaan-perusahaan logging meninggalkan kawasan tersebut dan hanya menyisakan bukit
dan gunung yang nyaris gundul. Warga setempat yang mengandalkan penghidupan dari hutan telah kehilangan
segalanya. Sementara itu, deru modernitas menggedor-gedor menawarkan cara cepat
bergabung dengan ekonomi pasar dan kehidupan kota.
Perlahan-lahan,
bersama warga, Pedro membangun kepercayaan diri dan menata kembali hidup
mereka. Salah satu cara yang
ditempuh adalah melalui pendidikan berbasis budaya. Oleh karena itu, didirikanlah
sekolah yang dinamai “Apu Palamguwan
Cultural Education Centre” (APC). Sekolah ini unik karena dua hal. Pertama,
sekolah ini mempunyai kurikulum sendiri yang dibuat sesuai dengan situasi suku
asli yang hidup dari hutan. Hutan dan segala kekayaannya mengisi bagian pokok
materi pelajaran. Kedua, bahasa pengantar yang dipakai bukanlah bahasa Tagalog,
juga bukan bahasa Visayan yang lazim di Mindanao Utara, melainkan bahasa
Pulangiyen yang dipakai warga setempat. Buku-buku dan pengajaran disampaikan
dalam bahasa tersebut. Menurut penuturan Pedro, bahasa lebih dari sekedar alat
komunikasi. Bahasa adalah ekspresi budaya dan itu berarti bagian dari jati diri
dan martabat pengucapnya. Anak-anak Pulangiyen merasa lebih percaya diri ketika
memakai bahasa ibu mereka dalam belajar.
Selepas dari
program APC, ada program pendidikan bagi remaja belasan tahun yang lamanya
hanya tiga bulan. Di sini anak-anak tanggung tersebut khusus belajar manajemen
sumber daya hutan dan ketrampilan-ketrampilan sederhana lainnya. Mereka mampu
membuat peta hutan dan menyiapkan pembibitan tanaman-tanaman keras sesuai
dengan curah hujan dan jenis tanahnya. Saya sulit membayangkan anak-anak kota
dengan pendidikan yang mahal itu mampu menamai pohon-pohon di hutan, apalagi
menatanya seperti dilakukan anak-anak ndeso
ini.
Seperti halnya di
banyak negara berkembang, kawasan hutan di Filipina habis dibabat demi
pembangunan. Luasan hutan yang semula meliputi 70% daratan di awal abad 20
hanya tinggal 18% di ujung abad yang sama. Bahu-membahu, warga asli Pulangiyen menanami
kembali kawasan hutan sekunder yang sebelumnya habis dibabat dan mengolahnya
sebagai hutan rakyat. Pemerintah Filipina baru mengakui hak ulayat mereka mulai
tahun 1997 dengan menyerahkan hak pengelolaan hasil hutan berupa rotan kepada
warga asli, yang semula dikuasai sebuah perusahaan swasta.
Pedro tidak
terlalu peduli, atau mungkin lebih tepat tidak terlalu khawatir, dengan arus
modernitas. Dia tak peduli lulusan sekolah APC, maupun kursus manajemen hutan
itu nantinya tidak mampu bersaing di pasar kerja global. Dia juga tak khawatir
dengan persaingan yang dibawa oleh para pendatang yang masuk ke desa-desa berbekal
pertanian modern yang haus lahan. Orang Pulangiyen hidup dari hutan dan sampai kapan pun akan demikian.
Martabat dan harga diri orang Pulangiyen lebih penting, daripada kekhawatiran
karena gagal modern.
Saya kaget dengan
kerasnya sikap Pedro. Selama ini saya mengenal banyak sekolah yang didirikan
bagi warga asli dengan tujuan untuk membuat mereka keluar dari kehidupan
tradisionalnya yang dicap primitif dan bergabung dengan masyarakat modern. Anak-anak
pedalaman dicekoki matematika yang tidak ada hubungannya dengan perhitungan
mereka sehari-hari. Mereka harus menempuh ujian pendidikan kenegaraan mengenai
otoritas yang hanya dialami sebagai penindasan. Identitas dan harga diri
mereka? Justru itu yang mau diubah supaya mereka lebih beradab! Gara-gara ini,
para antropolog menuding sekolah-sekolah misi dan kolonial sebagai agen “civilising mission”. Pernahkah kita
berpikir, warga asli yang menolak menjadi modern dan kita menghargainya?
Pertanyaan ini
masih saja menggelayuti pikiran saya saat pulang dari Bendum. Bukan gerilyawan komunis
atau Moro yang membuat saya khawatir, melainkan pikiran: jangan-jangan selama
ini saya keliru memahami pendidikan.