Pada hari Sabtu, 16 Agustus 2014, Sahabat Insan menghadiri seminar Pendampingan Korban
Trafiking yang diselenggarakan oleh Jaringan Peduli Migran Keuskupan Agung
Jakarta (JPM KAJ). Seminar yang dihadiri oleh sekitar 35 orang biarawati dan
awam ini dilaksanakan di Gedung Karya Pastoral KAJ. Tercatat hadir
beberapa konggregasi seperti OP, Hati Kudus, ADM, Puteri Kasih, RGS, CB, SPM,
JMJ, FMM, beberapa komunitas seperti ALMA, JPIC (Justice, Peace, and
Integrity of Creation) MSC, dan JPIC OFM serta lembaga sosial seperti IOM (International
Organization for Migration), dan Sahabat Insan.
Mengawali
pertemuan, Suster Lia, RGS menjelaskan tentang sejarah singkat JPM KAJ. Suster
Lia bertutur bahwa adanya komunitas ini diawali dengan diadakannya seminar pada
tahun 2009 di Puncak yang dilanjutkan di Pondok Labu. Dari dua kali seminar,
mereka sepakat untuk membentuk suatu jaringan untuk memperhatikan teman-teman
migran yang berdatangan di berbagai konggregasi dan berasal dari berbagai
daerah, bahkan dari luar negeri. Pada tahun 2010, dibentuklah Jaringan
Peduli Kemanusiaan. Pada tahun 2012, saat KAJ mengundang semua Komisi Justice
and Peace dari
semua konggregasi yang ada di Jakarta untuk berkumpul, jaringan ini diubah
menjadi Jaringan Peduli Migran.
Dalam kesempatan ini, Romo Andang, SJ selaku vikep
KAJ ikut memberikan sambutannya. Beliau cukup surprised karena
ternyata peserta seminar yang hadir melebihi kapasitas kursi yang disediakan. Namun, Romo berharap bahwa bukan jumlah yang membuat komunitas ini lebih
bersemangat, tetapi lebih jauh karena keinginan untuk bahu membahu dan saling
membantu. KAJ sebenarnya sudah memulai kegiatan ini sejak beberapa tahun
yang lalu, dan para provinsial se-keuskupan juga sudah mendorong untuk
meningkatkan pelayanan kepada kaum migran. Oleh sebab itu, KAJ tidak menambah
komisi baru, namun hanya meningkatkan apa yang sudah dilakukan oleh para
suster, dengan harapan akan terjadi peningkatan kualitas dan kuantitas
pelayanan. Tujuan lainnya adalah terjadinya peningkatan jumlah mereka yang mau
terlibat, sehingga selain konggregasi, kaum awam yang berminat diharapkan bisa
ikut serta dalam pelayanan ini. Namun, beliau juga menekankan bahwa pelayanan
yang dimaksud adalah khas KAJ, yang menitikberatkan untuk melayani di wilayah
keuskupan ini saja.
Setelah Romo Andang memimpin doa pembukaan, acara
kemudian dilanjutkan dengan penyajian materi dari tiga orang pembicara yaitu:
Nurul Qoiriyah dari Kantor Trafficking and Labour Migration IOM,
Caecilia Widyaningtyas, S.Psi, seorang psikolog yang sering terlibat membantu
dalam kegiatan-kegiatan sosial KAJ, dan Ibu Atik dari Kementerian Sosial, Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) Bambu Apus. Acara dimoderatori
oleh Wempy dari JPIC MSC.
Mengenal
Trafiking, Kondisinya di Indonesia dan Cara Penanganannya
oleh Nurul
Qoiriyah (IOM)
Materi diawali
dengan memperkenalkan secara singkat profil IOM, yang berdiri sejak tahun 1951
dan mulai berkarya di Indonesia sejak tahun 1979, dan sampai saat ini sudah
melayani lebih dari 6000 pengungsi.
Secara singkat, definisi perdagangan orang menurut Protokol Palermo (yang sudah
diadopsi dalam hukum nasional Indonesia,
yaitu UU TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang No. 21 tahun 2007) adalah
kegiatan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan
manusia, yang terdiri dari tiga komponen yang paling penting, yaitu:
- Kegiatan/proses/mobilisasi: di mana orang itu
direkrut, ditampung, dipindahkan, ditransportasikan, dan lain sebagainya.
- Cara: melalui ancaman, penggunaan kekerasan,
atau bentuk lain pemaksaan, penculikan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan
(lurah atas warganya, ibu ke anak, pejabat ke anak buah dll), posisi
rentan, pemberian atau penerimaan pembayaran/manfaat.
- Tujuan: untuk mengeksploitasi, yang terbagi menjadi 3
jenis eksploitasi yaitu, tenaga, seksual, dan transplantasi penggunaan
organ tubuh.
Ketiga komponen di atas dijadikan dasar untuk menganalisa apakah suatu kasus
yang didampingi adalah kasus trafiking atau bukan. Untuk dewasa, analisa harus
meliputi tiga faktor di atas, sedangkan untuk kasus anak-anak, cukup dua hal,
yaitu proses dan tujuan. Analisa ini diperlukan agar pelaku dapat dijerat
dengan Undang-undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO) sehingga hukumannya lebih berat, daripada UU Perlindungan Anak, UU Ketenagakerjaan atau
UU No. 39/2004 tentang TKI, dan diwajibkan untuk memberikan kompensasi kepada
korban. IOM kemudian menjabarkan
kondisi trafiking di Indonesia dan juga seluruh dunia. Indonesia sendiri bukan
hanya negara sumber, namun juga menjadi negara transit dan tujuan trafiking.
Tidak ada satu negara pun di dunia ini yang bebas dari kasus trafiking. IOM
juga menjabarkan strategi untuk penanganan trafiking yaitu 5P (Prevention,
Protection, Prosecution, Policy, dan Partnership).
Pertolongan Pertama Secara
Psikologis – Psychological
First Aid
oleh Caecilia Widyaningtyas, S.Psi,
Relawan KAJ
Pada sesi ini dijelaskan tentang pentingnya
pemberian bantuan awal secara psikologis untuk korban yang mengalami trauma
(penyintas) dan panduan untuk para relawan menghadapi penyintas. Ibu Caecilia
menekankan bahwa semua orang (tidak hanya psikolog) bisa memberikan penguatan
dan dorongan secara psikologis kepada orang yang membutuhkannya. Diharapkan
dengan memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu yang sederhana,
relawan/pendamping dapat mengurangi dampak negatif dari pengalaman
traumatis korban, membuat keadaan diri penyintas menjadi lebih baik, dan
mencegah terjadinya masalah psikologis serius.
Bagaimana
melakukan pertolongan pertama secara psikologis?
- Jalin komunikasi: mulai dengan sopan, dengarkan mereka,
dan biarkan cerita mengalir sendiri dan tidak memaksa penyintas untuk
bercerita. Hindari “Bisa bapak/ibu ceritakan papa yang terjadi?”, “Bagaimana
perasaan Bapak/Ibu?”
- Berikan perlindungan: jauhkan dari bahaya/lokasi
bencana/pemandangan yang traumatis. Sediakan tempat yang aman. Temani jika ia
cenderung ingin melukai dirinya sendiri.
- Menenangkan: penyintas mungkin panik, kehilangan
arah atau sulit mengendalikan emosi. Dengarkan dan berikan respon dengan
kalimat menenangkan seperti: “Wajar kalau Bapak/Ibu marah”. “Kamu bisa menangis
jika membuat kamu lebih tenang”. Kita juga bisa meminta penyintas untuk
mengatur nafas, relaksasi atau mengajaknya beribadah.
- Penuhi kebutuhan praktisnya: berikan air minum/makanan,
obati jika ia sakit/terluka, sediakan pakaian dan tempat untuk istirahat.
- Hubungkan dengan sumber dukungan sosialnya: jaga agar
penyintas berada dalam keluarga/orang yang dapat ia percaya. Pertemukan kembali
penyintas yang terpisah dengan keluarganya.
- Berikan
informasi: berikan informasi yang akurat mengenai hal yang ditakutkan. Katakan
bahwa rasa sedih, marah, dan sebagainya setelah peristiwa yang dialaminya
adalah wajar.
- Hubungkan dengan penyedia layanan, tentu kita tidak bisa memenuhi semua
kebutuhan penyintas sendiri tetapi kita bisa memberikan informasi
lembaga/penyedia layanan yang bisa memenuhi kebutuhan mereka akan makan/minum,
pakaian, obat-obatan, tempat aman/istirahat atau lembaga rujukan masalah
psikologis.
Hal-hal yang tidak boleh dilakukan:
- Berasumsi tentang pengalaman dan penghayatan
penyintas.
- Berasumsi bahwa setiap penyintas akan mengalami
trauma.
- "Patologisasi".
- Fokus pada ketidakberdayaan, kelemahan, kesalahan,
ketidakmampuan penyintas.
- Berasumsi bahwa setiap penyintas ingin berbicara.
- Bertanya detil apa yang terjadi.
- Spekulatif atau memberikan informasi yang
keliru.
Pada akhirnya ditekankan juga
bahwa proses penyembuhan trauma merupakan proses yang panjang, lama dan sulit
sehingga dalam mendampingi penyintas, pendamping harus memahami dan siap
terhadap berbagai macam reaksi penyintas, terutama reaksi negatif terhadap
pendamping.
Pelayanan Pemerintah/Kementerian Sosial
Untuk Korban Trafiking
oleh Ibu Atik (RPTC Bambu Apus )
RPTC merupakan salah satu bentuk pelayanan
pemerintah, dalam hal ini Kementerian Sosial untuk orang-orang yang
benar-benar membutuhkan rumah perlindungan (misalnya untuk orang yang tidak
diterima oleh lingkungannya, yang dalam kondisi tidak aman, yang sedang dalam
proses mencari keadilan, dan kasus-kasus lainnya). Orang-orang yang
membutuhkan perlindungan ini disebut klien. RPTC memiliki standar urutan pelayanan sebagai
berikut:
- Menerima
klien: dilakukan proses registrasi dengan rujukan dari Pemerintah,
lembaga-lembaga atau pihak-pihak lain yang lokasinya dapat dijangkau.
- Pemenuhan
kebutuhan dasar, seperti makan, minum, tempat tidur dan pakaian.
- Assessment, menentukan kondisi klien yang
dirujuk sehingga dapat memberikan bantuan yang tepat sesuai dengan yang
dibutuhkan.
- Bimbingan
sosial baik secara individu/kelompok dan bimbingan rohani.
- Pengisian
waktu luang, misalnya dengan karaoke, pelatihan ketrampilan, dll.
- Pendampingan
misalnya pendampingan kesehatan dan pendampingan hukum (biasanya bekerja
sama dengan LBH, Polda, IOM, Migrant Care dll).
- Pemulangan
ke tempat asal.
- Monitoring
dan Evaluasi.
Ibu Atik menekankan bahwa
pada dasarnya semua orang dalam kondisi apa pun yang membutuhkan
rumah perlindungan, baik WNI, maupun orang asing dapat dirujuk ke RPTC. Begitu
pula semua lembaga, baik pemerintah mau pun non-pemerintah dapat merujuk korban
yang sedang didampinginya untuk tinggal sementara di RPTC. Tidak ada
persyaratan khusus klien yang dapat dibantu di tempat ini. Hanya saja, klien
tersebut harus dapat menyesuaikan diri dengan pelayanan yang diberikan oleh
RPTC dan juga menjaga ketertiban dengan klien lain, sehingga tempat tersebut
menjadi rumah yang nyaman ditinggali oleh korban yang sudah memiliki masalahnya
sendiri-sendiri.
Implementasi Untuk JPM KAJ
Berdasarkan pemaparan materi oleh ketiga narasumber di atas, para peserta mulai
mendiskusikan apa yang akan dibuat oleh JPM KAJ untuk meningkatkan kualitas dan
kuantitas pelayanannya sebagai tujuan mereka dibentuk.
Suster Anna, RGS mengawali diskusi ini dengan menyebutkan pelayanan yang selama
ini sudah dilakukan oleh JPM, yaitu: menyediakan rumah singgah/ shelter Roxy
yang saat ini dikelola oleh Sr. Magda, FMM, kunjungan ke ruang rawat jiwa RS
Polri bersama Sahabat Insan, serta bimbingan rohani dan peningkatan ketrampilan
untuk klien-klien beragama Kristen yang sedang tinggal di RPTC.
Untuk meningkatkan pelayanannya, perlu dipikirkan untuk melakukan hal lain yang
lebih luas lagi agar nasib buruh migran di wilayah KAJ akan lebih baik dan
diperhatikan. Moderator kemudian membantu untuk mengidentifikasi
masalah-masalah yang selama ini perlu diperbaiki, yaitu:
- Saat
bertemu dengan korban yang membutuhkan pertolongan, pendamping tidak tahu
rumah singgah/shelter mana yang bisa menampung atau siapa pihak yang bisa
memberikan pertolongan yang tepat sesuai dengan kondisi korban.
- Pertolongan
kepada korban sudah diberikan, tetapi belum ada upaya yang dilakukan agar
korban tidak jadi korban lagi.
- Belum
adanya bekal ketrampilan dasar yang diberikan kepada para pendamping
untuk melayani korban.
- Perlunya
mengubah gerakan ini bukan hanya sebatas gerakan kepedulian tetapi juga
gerakan advokasi.
- Upaya untuk
mencarikan lapangan kerja/menyalurkan para korban yang ingin mendapatkan
pekerjaan setelah mereka pulih atau selesai kasusnya.
- Perlunya
mematangkan materi pengetahuan tentang trafiking untuk Sekolah-sekolah
Katolik di Jakarta.
Atas masalah-masalah
tersebut, beberapa alternatif solusi yang muncul adalah:
- Mengaktifkan
milis yang telah dibuat oleh Romo Benny Juliawan agar dapat berkomunikasi
secara aktif di mana pun dan kapan pun tanpa harus bertatap muka, sehingga
pembahasan suatu masalah akan lebih efektif.
- Membuka
kemungkinan untuk bekerja sama dengan lembaga-lembaga yang berkaitan
dengan buruh migran seperti PJTKI, BNP2TKI, dan LSM lainnya.
- Tidak
perlu terlalu definitif/kaku dalam membantu buruh migran. Yang dibantu
tidak harus melulu soal korban trafiking/penyintas, tapi juga kasus-kasus
buruh migran lain seperti penyelundupan, kekerasan, eksploitasi dan
lain-lain walaupun itu bukan kasus trafiking.
- Menyelenggarakan Training
for Trainers, sehingga ilmu yang didapatkan bisa diturunkan secara
terus menerus dan pendamping mendapatkan bekal dasar ketrampilan untuk
mendampingi korban.
- Sosialisasi
Trafiking dengan Komunitas Pengusaha Katolik (PUKAT) atau dengan
tokoh-tokoh antar agama dan dalam hal ini IOM bersedia menjembatani.
Akhirnya semua sepakat untuk
membentuk tim kecil yang dapat lebih fokus membahas hal-hal ini agar rencana-rencana
di atas dapat segera diimplementasikan.