Jumat, 25 April 2014, kami (Sr. Lia RGS dan Sr. Eugenia
PBHK) diberi kesempatan mendampingi kepulangan para korban traffiking asal
Kupang yang dipekerjakan di rumah sarang burung walet di Medan. Pagi itu,
rombongan yang berangkat berjumlah 21 orang,
terdiri atas 17 adik-adik korban traffiking, mbak Rere dari IOM, Ibu Ismi dari
RPTC Bambu apus, dan kami berdua.
Tampak wajah adik-adik tersebut sangat
gembira karena mereka akan kembali ke kampung halaman dan berjumpa dengan
keluarga tercinta. Keberangkatan mereka ke kampung halaman telah mereka persiapkan sejak pukul 03.00 pagi. Mereka mengenakan seragam batik dan memakai sweater dengan model yang sama. Masing-masing
membawa tentengan berisi bekal dan barang-barang lain yang sudah tidak dapat
masuk ke dalam ransel. Tampak semua sibuk dengan bawaannya.
Rombongan kami meninggalkan Bandara Soekarno Hatta Pukul
09.10. Sebelum sampai ke Kupang, kota tujuan kami, pesawat Lion air yang
membawa kami transit di Bandara Juanda, Surabaya, sekitar 20 menit. Kami baru tiba
di Bandara El Tari, Kupang, pukul 13.10 waktu setempat.
Adik-adik turun dari pesawat di Bandara El Tari, Kupang |
Foto bersama di Bandara El Tari, Kupang |
Pastor Leo Mali Pr. sudah menyambut kami saat turun dari pesawat, lalu kami diarahkan untuk masuk ruang tunggu VIP. Pegawai Dinas Sosial Propinsi NTT menyambut kami dan mengucapkan selamat datang kepada para korban traffiking. Kami beristirahat sambil makan siang yang telah disiapkan oleh Dinas Sosial setempat. Menurut rencana, setelah makan siang, rombongan akan menuju kantor Dinas Sosial setempat karena pihak IOM dan Dinas sosial Jakarta akan menyerahkan secara resmi adik-adik tersebut kepada Dinas Sosial NTT.
Pastor Leo Mali Pr. menyambut adik-adik |
Sementara kami makan, ada beberapa petugas dari Polda NTT
datang dan menyampaikan akan membawa rombongan ini menghadap Kapolda NTT karena
bapak Kapolda ingin bertemu dengan mereka. Perubahan jadwal diluar rencana itu,
menyebabkan terjadi adu argumentasi yang alot antara pihak IOM sebagai penanggung jawab
pengantar dengan utusan Kapolda. Setelah lebih dari setengah jam berdebat maka,
disepakati bahwa rombongan menghadap Kapolda terlebih dulu setelah itu baru ke
kantor Dinas Sosial NTT.
Rombongan keluar dari ruang VIP langsung menuju kendaraan
masing-masing, khusus adik-adik dengan bus Dinas Sosial Propinsi NTT. Sebelum masuk
bus, ternyata adik-adik ini telah melihat keluarga mereka yang juga telah menunggu
di bandara. Maka tangis pun pecah di dalam bus itu. Mereka ingin bertemu keluarga yang sudah cukup lama
ditinggalkan, tapi belum ada kesempatan. Keluarga juga tampak menangis
menyaksikan adik-adiknya yang langsung masuk ke dalam bus. Para orangtua dan
sanak saudara mereka hanya mampu melihat dari jauh. Saya dan tiga ibu Polwan di
dalam bus berusaha menenangkan adik-adik yang masih terus menangis sepanjang
perjalanan. Kami meyakinkan mereka bahwa semua akan baik-baik saja dan setelah
pulang dari kantor Polda, mereka bisa bertemu keluarga masing-masing.
Wajah adik-adik korban traffiking tampak masih lelah dan
sedih saat pertemuan dengan bapak Kapolda. Sampai Mbak Rere dari IOM berkata “Kalian
jangan takut, memang kita ini di kantor polisi dan banyak bapak-bapak Polisi
disini, hayo mana senyum dan tawanya?” Lalu adik-adik tersebut tampak tersenyum,
walaupun terpaksa. Mereka pasti mengingat keluarga mereka yang hanya bisa
mereka liat dari jauh.
Pertemuan dengan Kapolda |
Kapolda NTT, Brigjed (Pol.) Untung Yoga Ana menyampaikan
keprihatinannya terkait dengan peristiwa yang menimpa mereka. Beliau berharap
agar diantara adik-adik yang telah menjadi korban traffiking ini dapat membantu
pihak kepolisian dalam sosialisasi kepada masyarakat luas tentang bahaya traffiking.
Bapak Kapolda berharap, apabila korban sendiri yang menceritakan pengalamannya
kepada masyarakat, maka masyarakat akan lebih yakin.
Setelah kurang lebih tiga seperempat jam pertemuan di
lantai dua ruang tamu Kapolda dilakukan, rombongan turun kembali dan hendak
menuju bus. Ternyata di lantai dasar pintu masuk, keluarga sudah menunggu. Dengan
harap-harap cemas, melihat keluarga yang sudah ada di situ mereka langsung
berhamburan mencari keluarga masing-masing.
Keluarga menunggu di depan Kapolda |
Pemandangan sangat mengharukan, masing-masing dalam
pelukan keluarga dengan iringan tangis dan air mata. Tangis itu adalah tangis
kerinduan, bahagia, dan syukur karena mereka bisa bertemu dengan keluarga dalam
keadaan sehat. Setelah suasana agak mereda, adik-adik dipersilahkan naik bus
kembali dan para ibu diperkenankan ikut serta dalam bus bersama putri-putrinya.
Perjalanan kami lanjutkan ke kantor Dinas Sosial Propinsi
NTT. Di sana, akan diadakan serah terima resmi adik-adik itu kepada pemerintah
setempat dalam hal ini oleh Dinas Sosial. Ternyata peristiwa adu argumentasi
terjadi lagi di kantor, sama seperti saat di ruang tunggu bandara. Dinas Sosial
mengkehendaki adik-adik ini beristirahat dahulu di shelter mereka, tetapi AMPERA (Aliansi Melawan Perdangangan Orang)
mengkehendaki adik-adik disatukan dengan keluarga yang sudah menunggu dari pagi,
bahkan ada yang sudah bermalam. Perdebatan
yang melibatkan pihak IOM, Dinas Sosial
Propinsi NTT, AMPERA dan orang tua terjadi sangat panjang dan melelahkan.
Mereka beradu argumen di dalam ruangan kantor.
Berjumpa dengan keluarga
Sementara, saya, Sr. Lia dan Ibu Maria menjaga
adik-adik di halaman kantor. Mereka baru keluar dari dalam kantor setelah jam
menunjukan pukul 19 lewat waktu setempat, dengan hasil akhir adik-adik yang
sudah dijemput orang tua langsung diserahkan kepada orang tua dan yang belum
dijemput orang tua mereka bermalam di shelter
Dinsos. Akhirnya rombongan terpecah menjadi dua, 14 anak bersama keluarga
mereka dan akan bermalam di kantor JEPIT (Jaringan Ekumene Perempuan Indonesia
Timur) dan 3 anak pulang bersama Dinas Sosial menuju shelter. Dua dari tiga anak ini akan melanjutkan perjalanan ke Pulau
Flores dan yang satu masing menunggu orang tua yang sementara dalam perjalanan
menuju Kupang.
Malam ini, Sr. Lia, Ibu Maria dan saya memutuskan untuk
mengikuti rombongan besar menuju ke kantor JEPIT. Karena jalanan macet, sopir yang membawa kami mencari jalan
lain menuju kantor JEPIT. Sampai di sana, ternyata kami sampai terlebih dahulu.
Bus Dinas Sosial yang
membawa rombongan adik-adik dan keluarga tiba beberapa menit kemudian.
Di kantor JEPIT sudah berkumpul beberapa orang tetangga sekitar kantor,
keluarga yang tidak ikut menjemput, dan juga terdapat seorang ibu yang adalah Pendeta.
Beberapa kursi plastik sudah disiapkan untuk menyambut
rombongan. JEPIT menyewa satu rumah keluarga yang dijadikan sebagai kantor.
Sebenarnya rumah ini tampak besar dengan empat kamar tidur dengan kamar mandi
di dalam dan ruang tamu serta ruang keluarga, tetapi terasa sempit setelah
rombongan adik-adik dan keluarganya datang. Karena total yang berada di dalam
ruangan termasuk adik-adik sekitar 60 orang.
Hari sabtu, tanggal 26 siang, kami datang kembali ke
kantor JEPIT mengantar makan siang untuk adik-adik dan keluarganya. Kami
membawa 60 bungkus nasi yang kami beli di rumah makan padang. Saat kami datang,
sedang diadakan pertemuan antara adik-adik, orang tua, dan dua orang polisi yang
berpakaian preman. Mereka sedang mengambil keterangan dari adik-adik. Polisi
tersebut sedang melengkapi berkas-berkas laporan adik-adik yang sudah pernah
dibuat di Medan. Tujuan sekarang adalah untuk menjerat perekrut tenaga kerja
yang ada di Kupang.
Setelah semua urusan dengan kepolisian selesai, akhirnya
adik-adik korban traffiking tersebut dapat menarik nafas lega dan tersenyum
gembira karena mereka diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing. Sahabat Insan mengucapkan terima kasih atas semua pihak yang telah peduli, mendampingi, membantu adik-adik para korban traffiking ini sampai akhir. Mari kita doakan bersama supaya mereka dapat menjalankan kehidupan selanjutnya dengan sukacita.
ditulis oleh Sr. Eugenia PBHK