http://www.deviantart.com/art/The-Door-22955027 |
Sahabat Insan
membawakan sabun, shampo, odol, dan deterjen untuk mereka. Perawat yang sebelumnya menanyakan kabar, tersenyum membukakan pintu yang digembok. Kami memberikan belanjaan kami
itu kepadanya, kemudian dia berterima kasih atas sumbangan yang diberikan. Melihat kami datang di depan pintu, beberapa dari mereka yang mengenal kami menyambut dengan sukacita. Kami sempat menanyakan keadaan
pasien-pasien tersebut kepada suster. Jumlah pasien di sana 21 orang. Banyak
pasien-pasien baru, namun beberapa dari mereka yang masih belum bisa pulang telah berbulan-bulan di Eboni.
Kami berbaur
dengan mereka setelah menyapa mereka satu per satu. Mereka bercerita tentang
pengalaman mereka bekerja di luar negeri. Bahkan ada seorang mantan TKI yang
sempat bekerja di Malaysia menangis tersedu menceritakan keluarga di kampung
halaman kepada Suster Rosina. Berulang kali dia mengatakan bahwa luka di hatinya masih
menganga dan sulit disembuhkan. Dengan penuh kasih, Suster Rosina mendengarkan dan memberikan penguatan.
Seorang perempuan
muda berinisial J mengungkapkan keinginannya untuk segera pulang. Dia merasa
tak betah di Eboni karena tidak ada kegiatan berarti. Dia ingin bekerja. Tak
banyak orang yang menurutnya bisa diajak bicara. Dia merasa sungguh sehat,
tidak depresi, atau bahkan gila. J berasal dari Kupang. Dia adalah anak ke-4 dari 10 bersaudara. J
bekerja di Malaysia menjadi penjaga sebuah toko selama 5 bulan. Namun, karena dokumen yang dimilikinya
palsu, maka ia ditangkap dan dideportasi. Sesampainya di bandara dia dibawa ke Eboni oleh
petugas.
Sahabat
Insan berusaha menghiburnya. Kami meminta J untuk bersabar dan berusaha berbaur dengan teman-temannya. Kami
katakan, dia dapat melakukan kegiatan seperti menonton televisi, mengepel atau
menyapu ruangan, atau kalau ada majalah dia juga bisa membaca. Dengan wajah tak
terlalu bersemangat J menanggapi saran-saran dari kami.
Tak lama
kemudian, seorang Ibu yang tampak sungguh-sungguh depresi menghampiri kami.
Kata-katanya tak jelas, maka kami tak terlalu memahami apa yang dia sampaikan.
Dia kadang bernyanyi dan banyak bertanya pada Suster Murph. Dia terlihat
gembira berkenalan dengan Suster Murph. Dia juga berusaha menggunakan bahasa
Inggris untuk berbicara dengan SusterMuprh. Suster Murph menanggapinya dengan
begitu sabar dan tentu saja, penuh tawa.
Tak berapa lama
seorang perawat, yang asing bagi kami, keluar dari ruangannya. Dengan
wajah tak ramah, perawat itu meminta Ibu yang sedang asyik bercakap dengan
Suster Murph untuk makan. Ibu
itu menurut, satu dua suap dia makan, kemudian dia letakkan lagi makanannya. Kelakuannya
ternyata dilihat oleh perawat tadi yang telah masuk. Perawat itu membuka pintu dan memarahinya
dari depan pintu, dengan lantang dia menyuruh ibu tadi untuk memakan makanannya. Ibu itu
pun menjawab bahwa makanannya tidak enak dan dia tidak mau memakannya. Bahkan
Ibu itu sempat bergurau, dia juga katakan bahwa kami mengatakan tidak apa-apa
kalau dia tidak makan. Kami menyanggah kata-katanya dan
tertawa karena tingkahnya. Lucu karena si perawat begitu marah, sementara si
ibu dengan santai dan cengengesan bagai seorang anak-anak menjawabnya. Yang
mengejutkan kemudian sang perawat membanting pintu ruangannya dan kami
mendengar suara pintu dikunci dari dalam.
Perlakuan tidak
menyenangkan perawat tersebut juga diakui oleh J. J mengatakan kepada kami
bahwa perawat-perawat di sana sulit diajak bicara. Sulit yang dimaksud J adalah mereka tidak mau
bergaul, berbicara dengan pasien-pasien. Dalam kondisi pemulihan di Eboni serta
waktu tak menentu kapan mereka bisa pulang, tentu saja mereka butuh perhatian
lebih dan suasana menggembirakan. Ditambah lagi mereka tak boleh keluar dari
Eboni seperti berada dalam penjara. Melihat dan mendengar pintu ditutup begitu keras oleh perawat tersebut, bisa jadi berada di Eboni tak lantas membuat
mereka pulih.
Ketidakjelasan
nasib-nasib mereka tak hanya ketika mereka bekerja, tapi juga sampai di tanah
air. Bahkan seorang mantan TKI yang telah berbulan-bulan berada di sana, Wati
yang sudah diperbolehkan pulang, belum juga bisa pulang karena dia tidak ingat
alamat tempat tinggalnya. Sementara itu, BNP2TKI yang bertanggung jawab
terhadapnya ber-rencana untuk membawanya ke panti sosial. Perawat yang
menyambut kami dengan baik tadi, mengeluhkannya kepada kami karena khawatir pada
nasib Wati.
Pasien lain
bernama Tuti berbeda dari yang lainnya. Tuti baru 2 atau 3 hari berada di
Eboni. Dia memang tampak mengalami depresi yang parah. Tubuhnya kurus, kulitnya
kecokelatan, dan dia kadang tertawa dan berbicara sendiri. Suster katakan bahwa
serangkaian pemeriksaan menunjukkan dia dalam keadaan sehat, namun tubuhnya
terlihat tak wajar, dokter sampai bingung dibuatnya. Ketika datang malam hari
dan suster memeriksa koper yang dibawanya, perawat mendapatkan beberapa minuman
bersoda dan beralkohol. Maka, dokter khawatir kalau Tuti menderita suatu sakit
yang menular sehingga, akan membahayakan pasien-pasien lain di sana.
Kami gembira
ketika hendak pulang ada seseorang laki-laki yang menjemput salah seorang
pasien, sebut saja Ida. Ternyata lelaki itu adalah suaminya dan hari itu
memang Ida telah diizinkan pulang oleh rumah sakit. Dengan wajah gembira
keduanya membereskan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk pulang. Namun,
ternyata, masih ada kendala. Segala dokumen milik Ida masih ada di BNP2TKI.
Mereka harus mengambilnya sendiri ke sana. Berbekal alamat di secarik kertas, dia tanyakan kepada
kami kendaraan apa supaya mereka bisa sampai ke BNP2TKI. Kami menjelaskan setahu kami, sembari menyarankan
kepadanya, untuk mengambil dokumen di hari Senin saja. Mengingat hari itu adalah hari
Jumat dan waktu telah menunjukkan pukul 13.00. Kami khawatir sesampainya mereka
di kantor, kantor itu telah tutup. Dengan wajah bingung suami Ida pun bertanya
kepada para perawat apa yang sebaiknya dilakukan. Kami tak tahu keputusan Ida dan suami selanjutnya dan apakah mereka
punya sanak saudara di Jakarta. Sebab, mereka butuh waktu lumayan lama untuk pulang ke rumah mereka di Karawang.