Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) bekerjasama dengan Badan
Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI
menyelenggarakan seminar sehari yang bertajuk “Peranan Advokat Memperjuangkan
Hak Anak dan Perempuan sebagai Korban”. Sahabat Insan berkesempatan menghadiri
seminar tersebut yang diselenggarakan pada hari Jumat, 25 April 2014 yang lalu,
di Gedung Joang 45.
Seminar tersebut
dibagi menjadi 2 sesi yaitu, sesi 1 terkait anak dan perempuan, sedangkan sesi
2 membahas sebab dan bantuan. Pembicara pertama pada sesi 1 yaitu Ibu Erna
Sofyan Syukrie, staf ahli Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak. Dia memberikan paparan mengenai perlindungan hukum terhadap anak sebagai
pelaku dan sebagai korban tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak. Sementara itu, pembicara kedua adalah Ibu
Mudjiati, deputi bidang perlindungan perempuan, Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak. Dia memaparkan mengenai perlindungan hukum
terhadap perempuan dan anak korban tindak pidana perdagangan orang dan
kekerasan psikis. Sesi
ke-2 dimulai dengan pembahasan mengenai sosialisasi dan implementasi Undang-Undang Bantuan Hukum oleh Bapak Bambang Palasara selaku Kepala Pusat
Penyuluhan Hukum dan Ibu Kristi Purwandari mengenai dampak pornografi ditinjau
secara psikis dan psikologis terhadap korban tindak pidana perempuan dan anak.
Seminar ini
memang fokus pada perempuan dan anak, mengingat bahwa perempuan dan anak
merupakan dua kelompok rentan. Rentan maksudnya dalam pemenuhan hak-haknya, rentan terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan orang (traffiking), bahkan juga dalam penanganannya, yang
selalu dikelompokkan sebagai un-profit
case. Hal tersebut membuat kita teringat akan berita yang akhir-akhir ini
tengah marak: kasus anak TK JIS yang mendapat pelecehan seksual di sekolahnya.
Pertanyaan
menarik terjadi pada saat sesi tanya jawab, salah seorang peserta bertanya
dengan begitu lantang. Pertanyaan-nya terkait dengan kasus traffiking. Dia mengatakan bahwa negara kita tidak pernah
belajar dan pintar, bertahun-tahun Indonesia mengirim TKI untuk bekerja ke luar
negeri dan berjuta-juta TKI menunggu hukuman mati. Menyedihkan karena kasus
mereka itu ternyata tidak didampingi advokat sejak awal. Kita ingat salah
satunya seperti kasus Satinah yang beruntung dapat selamat dari hukuman
pancung, namun harus membayar denda 21 Miliyar. Tentu semua itu tidak akan
terjadi apabila ada advokat yang mendampingi Satinah sejak awal persidangan. Bapak tersebut juga mengusulkan sekaligus menanyakan advokat di setiap Kedubes Indonesia di luar negeri. Sayangnya, kami tidak mendapatkan jawaban memuaskan dari pembicara.
Sebetulnya,
seminar ini lebih ditujukan kepada para penasihat hukum, salah satunya agar keberadaan
Undang-Undang No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum semakin tersosialisasikan dan ter-realisasikan. Dengan demikian, diharapkan
terjadi peningkatan penanganan kasus terhadap anak dan perempuan yang menjadi
korban. Undang-Undang Bantuan Hukum tersebut sebenarnya sudah mulai digagas sejak tahun 1998 oleh para aktivis organisasi
bantuan hukum, namun baru diundangkan pada 2 November 2011. Bantuan ini
tersebar di berbagai instansi maupun lembaga, yang utama di Mahkamah Agung.
Penerima bantuan hukum tersebut meliputi setiap orang atau kelompok miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri. Pak Bambang menjelaskan bahwa hak dasar yang dimaksud meliputi sandang, pangan, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan perumahan. Intinya penerima adalah mereka yang miskin secara ekonomi.
Masalah yang dibantu meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, tata usaha negara baik secara litigasi, maupun nonlitigasi. Termasuk menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan penerima bantuan hukum.
Dalam perjalanannya, dana bantuan hukum yang diberikan oleh pemerintah yakni
sebesar 45 Miliyar. Dapat kita bayangkan, untuk seluruh pelosok daerah di Indonesia, tentu dana 45 miliyar adalah jumlah yang sedikit. Menjadi sangat memprihatinkan karena penggunaannya tidak maksimal, bahkan dapat dikatakan
menyimpang. Mengapa demikian? Karena dana tersebut pernah digunakan untuk
membayar pengacara yang mendampingi pejabat yang melanggar hukum. Selain itu, hanya sedikit lembaga yang memberikan bantuan hukum, akreditasinya pun kebanyakan kurang, di Jakarta misalnya hanya 2 lembaga yang mendapat A yakni LBH Jakarta dan LBH Mawar Saron.
Belum optimalnya Undang-Undang Bantuan Hukum tersebut diceritakan secara gamblang oleh Pak Bambang. Banyak lembaga yang tidak memenuhi syarat sebagai sembuah lembaga pemberi bantuan hukum. Ada lembaga yang fiktif, ada juga lembaga yang memiliki hanya 1 advokat, dan bahkan ada yang tidak memiliki advokat.
Pak Bambang juga memberikan gambaran bahwa di daerah-daerah kekurangan advokat, karena para advokat tak menyebar secara rata, tapi lebih banyak hanya berada di Jakarta. Namun, miris, karena ternyata banyak narapidana di Cipinang misalnya, yang menjalani persidangan tanpa bantuan dari advokat. Banyak dari mereka yang malah diancam untuk tidak menggunakan advokat karena akan membuat mereka lebih lama lagi di penjara, dan sebagainya. Padahal, mereka berhak mendapatkan bantuan tersebut.
Sesungguhnya, Undang-Undang Bantuan Hukum ini
sangatlah bermanfaat untuk memberikan bantuan
hukum bagi orang-orang yang tidak mampu dalam memperjuangkan hak-haknya,
terutama rakyat miskin yang digusur, dipinggirkan, di PHK, dan pelanggaran atas hak-hak asasi manusia pada umumnya. Semoga saja untuk selanjutnya, undang-undang tersebut dapat lebih tersalurkan secara terintegrasi, terarah, dan optimal.