oleh Benny Juliawan SJ
Apakah Anda pernah mendengar istilah “Khmer Merah”? Kalau pernah, pasti Anda tahu Kamboja, negara seluas hampir satu setengah kali pulau Jawa dan diapit oleh Thailand, Vietnam dan Laos. Khmer Merah (Khmer Rouge) adalah sebutan bagi rezim pemerintahan yang berkuasa di Kamboja pada periode 1975-1979. Di bawah pimpinan Pol Pot, rezim ini terkenal karena kekejamannya membunuh lebih dari 2 juta orang dalam rangka menegakkan masyarakat tanpa kelas versi mereka. Setelah mereka tumbang, Kamboja masih dilanda perang saudara hingga awal 1990-an. Tak heran, ratusan ribu warga Kamboja lari ke Thailand untuk mengungsi.
Apakah Anda pernah mendengar istilah “Khmer Merah”? Kalau pernah, pasti Anda tahu Kamboja, negara seluas hampir satu setengah kali pulau Jawa dan diapit oleh Thailand, Vietnam dan Laos. Khmer Merah (Khmer Rouge) adalah sebutan bagi rezim pemerintahan yang berkuasa di Kamboja pada periode 1975-1979. Di bawah pimpinan Pol Pot, rezim ini terkenal karena kekejamannya membunuh lebih dari 2 juta orang dalam rangka menegakkan masyarakat tanpa kelas versi mereka. Setelah mereka tumbang, Kamboja masih dilanda perang saudara hingga awal 1990-an. Tak heran, ratusan ribu warga Kamboja lari ke Thailand untuk mengungsi.
Di kamp pengungsi
inilah para Jesuit dan teman-teman yang bergabung dalam Jesuit Refugee Service
(JRS) sejak tahun 1980 berjumpa dan melayani orang-orang Kamboja. Setelah
perang usai dan para pengungsi mulai kembali berbondong-bondong ke negerinya
pada awal 1990-an, JRS memutuskan untuk menemani dan membantu mereka untuk memulai
hidup yang baru di Kamboja. Salah satu kelompok yang paling rentan di antara
mereka adalah para penyintas atau orang-orang yang lolos dari maut peperangan
tetapi menderita disabilitas fisik.
Perang saudara di
Kamboja meninggalkan warisan berupa empat hingga enam juta ranjau darat yang
tersebar di seluruh pelosok negeri. Ketika perang berakhir, amunisi berbahaya
itu terus menelan korban warga sipil. Para petani yang mencangkul di kebun,
anak-anak yang bermain di bawah pohon, para ibu yang ke sungai hendak mencuci,
dan orang yang mencari hasil hutan kerap menginjak ranjau yang lalu meledak dan
membunuh atau membuat mereka cacat seumur hidup. Diperkirakan ada sekitar
400.000 warga Kamboja yang cacat akibat ranjau ini.
Menanggapi situasi
ini, para Jesuit dan teman-teman yang berkarya di Kamboja sepakat mendirikan
Jesuit Service Cambodia (JSC) pada tahun 1991 dan memusatkan perhatian pada pelayanan
terhadap kaum difabel. Karya JSC hadir di tujuh tempat di Kamboja yaitu di
Phnom Penh, Kompong Thom, Siem Reap, Battambang, Banteay Meanchey, Kompong Speu
dan Kompong Chnang. Para koordinator di ketujuh tempat ini adalah orang Kamboja
asli, dibantu oleh staf dan relawan yang tak jarang berasal dari luar negeri. JSC
menjalankan program pendidikan dan program sosial. Program pendidikan membantu
pembangunan gedung sekolah, membuka sekolah informal, beasiswa bagi anak-anak
keluarga difabel, perpustakaan keliling, dan sejenisnya. Intinya, orang miskin
apalagi mereka yang berasal dari keluarga difabel tidak boleh tidak sekolah setidaknya
di tingkat dasar.
Program sosial tersebut bertujuan membantu keluarga difabel agar mandiri secara ekonomi dan hidup
secara bermartabat. JSC membantu menyediakan kursi roda, pembangunan rumah bagi
keluarga difabel, bank beras, bank sapi, pinjaman lunak pertanian dan usaha
mikro dan pelayanan kesehatan keliling. Dalam setiap program, JSC berusaha
untuk melibatkan para penerima bantuan agar aktif membantu dirinya sendiri.
Martabat dan kepercayaan diri seringkali bangkit dari keberanian untuk
menunjukkan kemampuan sendiri.
Selain dua program
utama ini, masih ada program khusus berupa sekolah kejuruan berasrama bagi
siswa-siswi difabel, bengkel produksi kursi roda bernama Mekong Wheelchair, dan
bengkel kerajinan kayu dan kain, serta toko yang menjual produk dari bengkel
produksi. Selama 20 tahun, lebih dari 15.000 kursi roda telah dihasilkan oleh
Mekong Wheelchair. Menariknya, banyak pekerja di bengkel-bengkel ini adalah
para difabel lulusan sekolah kejuruan sendiri. Semua ini ada di pinggiran kota Phnom
Penh, tepatnya di distrik Ang Snuol, di kompleks bekas barak militer yang
diganti nama menjadi Banteay Prieb atau Rumah Merpati Perdamaian. Tahun 2011
yang lalu, JSC membuka Café Perdamaian di tengah kota Phnom Penh untuk
menyebarluaskan semangat perdamaian di negara yang tercabik-cabik perang
saudara ini sekaligus memasarkan produk hasil karya para difabel.
Setelah lebih dari 20
tahun, JSC sekarang menghadapi tantangan yang baru. Beberapa tahun terakhir ini
jumlah korban ranjau darat menurun drastis sebagai hasil dari kerja keras
kampanye anti ranjau darat dan program pembersihan ranjau di seantero Kamboja.
Tentu ini berita menggembirakan. Semakin sedikit pula siswa difabel yang masuk
ke sekolah kejuruan di Banteay Prieb. Romo Greg Priyadi, Jesuit asal Indonesia
yang menjadi direktur JSC, bersama Romo Indon Oh, pemimpin Misi Kamboja asal
Korea, berencana untuk mengadakan re-orientasi karya dalam tahun-tahun
mendatang. Semangat dasarnya sama yaitu menemani mereka yang paling menderita
tanpa membeda-bedakan agama dan asal-usul demi mewujudkan empat keutamaan
paling pokok dalam masyarakat Kamboja yaitu metta
(kebaikan penuh cinta), karuna (bela
rasa), mudita (kegembiraan) dan upekkha (keteguhan).
Benny Juliawan (orwellsj@googlemail.com) is a researcher with Sahabat Insan, an NGO working with migrant workers in Jakarta. Benny is an enthusiastic runner
Kursi roda produksi Mekong Wheelchair |
Murid sekolah kejuruan Teknik Elektro |
Mendengar cerita anak-anak penerima beasiswa |
Benny Juliawan (orwellsj@googlemail.com) is a researcher with Sahabat Insan, an NGO working with migrant workers in Jakarta. Benny is an enthusiastic runner