Setelah
bertahun-tahun diperlakukan dengan tidak manusiawi oleh majikan, kini mereka
bukan hanya dapat menghirup udara bebas atau makan minum kenyang. Mereka
mendapatkan kembali tawa yang telah lama tak menghiasi wajah mereka dan
merasakan hangatnya sinar mentari.
Setelah misa bersama Rm. Benny Juliawan, SJ 6 April 2014 |
Dengan penuh sukacita mereka mengikuti Misa Minggu, 6 April 2014 yang dipimpin oleh Romo Benny Juliawan di Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC). Misa tersebut sekaligus menjadi perayaan syukur bagi mereka, karena rencananya pada tanggal 11 April, mereka akan pulang ke rumah mereka masing-masing di NTT.
Pada Jumat, 28
Maret dan 4 April yang lalu, Sahabat Insan berkesempatan mengunjungi mereka. Pada Jumat, 4 April Sahabat Insan berkesempatan mendampingi mereka berlatih membuat makanan berbahan dasar buah pisang. Mereka diajarkan cara membuat keripik pisang dan pisang goreng.
Ketika Sahabat Insan datang minggu sebelumnya, Jumat, 28 Maret, mereka yang berjumlah sekitar 20 orang tersebut telah dibagi menjadi 2 kelompok.
Kelompok pertama diajarkan keterampilan untuk membuat mangkok dari kertas
koran, sedangkan kelompok kedua berlatih cara untuk meng-creambath. Seorang
anak perempuan yang kami hampiri tampak sangat muda. Dia terlihat senang ketika kepalanya dipijat-pijat oleh temannya. Pengalaman meng-creambath atau
sebaliknya, di-creambath, tentu sangat menghibur dan berguna bagi mereka.
Ketika kami sempat
mengobrol singkat dengan salah seorang petugas di RPTC mengenai anak perempuan itu, sebut saja Nur, kami terkejut karena ternyata Nur masih berusia 12 tahun. Dia terbujuk seorang calo yang menawarinya pekerjaan. Nur
dengan polosnya kabur dari rumah untuk bekerja karena terdorong keinginan untuk
memiliki handphone. Beruntung Nur dapat selamat dari jerat perdagangan manusia itu. Ketika dia mengetahui Suster Euginia sekampung dengannya yaitu di Pemalang,
Nur gembira bukan main. Mereka
sempat mengobrol dan foto bersama. Tawa serta manja khas anak-anak pun tampak
dari bicara dan gaya Nur.
Ketika pelatihan
creambath tersebut sudah selesai, kami ikut berkumpul bersama dengan
kelompok yang sedang memelintir kertas koran untuk dijadikan mangkok. Di
sebelah kanan dan kiri kami, duduk seorang anak perempuan yang usianya tak jauh
berbeda dari Nur. Kami berbaur bersama mereka dan ikut serta memelintir kertas
seperti yang dilakukan Elis, yang duduk di sebelah kanan kami. Sembari bekerja,
kami mengajak Elis mengobrol. Tak lama setelah kami bertanya hal-hal sederhana,
Ria, yang duduk di sebelah kiri kami ikut serta bercerita panjang lebar
penderitaan mereka selama bekerja di Medan.
Benar ternyata
apa yang kami kira, Elis dan Ria sama seperti Nur, masih berusia anak. Mereka
baru seminggu berada di RPTC. Keduanya berasal dari NTT. Elis baru bekerja 3 tahun, sementara Ria sudah bekerja 4
tahun. Mereka dan beberapa teman lain yang juga berada di RPTC, sebelumnya
bekerja di Medan. Majikan mereka memiliki pabrik sarang burung walet. Mereka
bekerja bukan hanya di pabrik, melainkan juga sebagai pembantu rumah tangga di rumah majikan.
Elis
menggambarkan tempat tinggal mereka dengan rinci. Terdapat beberapa rumah di
sana, dan rumah-rumah tersebut didiami oleh majikan beserta saudara-saudaranya.
Di antaranya ada rumah yang
khusus dijadikan pabrik sebagai tempat memproduksi sarang burung walet.
Majikannya yang perempuan adalah orang Malaysia. Kata Elis, hasil berupa obat-obatan yang
diproduksi akan diambil dan dipasarkan ke luar negeri.
Ketika Elis
menceritakan tempat tinggal mereka, bayangan saya pertama kali adalah penjara.
Elis bilang kalau majikan menutup semua jendela dengan koran sehingga mereka
tidak bisa sama sekali melihat cahaya matahari. Mereka tak boleh keluar rumah, kecuali kalau
majikan meminta mereka ikut pergi untuk berbelanja. Orang yang terpilih itu pun
dipertimbangkan sungguh rupanya, tidak boleh yang terlihat kurus, lesu, tak
elok. Dan siapa pun yang terpilih bukan berarti dapat menikmati jalan-jalan
seperti berlibur, dia akan diperintahkan majikan untuk membawa semua barang
belanjaan. Kalau majikan makan, mereka tidak diajak serta. Mereka dibiarkan
menunggu di luar restoran, hanya melihat saja. Dan Elis bilang, itu juga
majikan lakukan di pabrik. Ketika mereka sedang bekerja, majikan malah makan di
depan mata mereka sembari menggoda mereka.
Majikan memperlakukan
mereka bak binatang. Mereka dipaksa majikan meminum pil yang menghentikan
mereka haid, sehingga mereka dapat terus bekerja tanpa henti. Tapi, Ria dengan
berani selalu menolak meminum pil itu dan dia seringkali dimaki karenanya. Kata
Elis, ”Kami tak dianggap seperti manusia. Mereka (majikan) memanggil kami
dengan nama-nama binatang, seperti anjing. Kami juga dimarahi kalau ketahuan
sedang berdoa.” Majikan mengatakan bahwa percuma saja mereka berdoa karena
tidak didengar Tuhan. Elis mengaku dia tetap berdoa sekalipun majikannya
melarang. Itu artinya, selama 3 bulan, mereka sama sekali tidak boleh keluar
rumah untuk pergi beribadah.
Majikan mereka
juga seringkali menghina mereka dengan mengatakan mereka berasal dari kampung terpencil,
yang tak ada shampo, sabun, atau makanan-makanan enak. Maka, mereka tak boleh membeli sabun atau shampo
dengan harga yang mahal. Setiap hari mereka hanya diberi makan nasi dengan ikan asin
yang kadang sudah busuk dan ada ulatnya. Makanan tersebut bahkan ditaruh di
dalam plastik. Sekalipun di Medan banyak makanan-makanan yang enak, makan bakso
pun mereka tak pernah selama bekerja.
Perlakuan kasar
dari majikan juga mereka dapatkan. Ada kawan mereka yang dilempar kepalanya
sampai luka dengan mangkok. Dan yang sangat menyedihkan, dua kawan mereka telah
meninggal, akibat perlakuan majikan yang demikian dan tidak segera mendapat
pertolongan medis. Mereka juga diawasi sangat ketat. Saat masuk atau keluar
dari pabrik, sekujur tubuh mereka akan diperiksa inci demi inci, guna mencegah
ada barang yang mereka curi. Bahkan ke toilet pun mereka ditemani oleh penjaga.
Elis bercerita
dengan suara kecil, sedikit demi sedikit cerita-ceritanya keluar begitu saja
tanpa kami tanya atau paksa. Kami hanya berusaha mendengarkan dan sesekali
berkomentar tak percaya perlakuan majikan seperti itu terhadap mereka. Mereka
dijanjikan gaji 750 ribu per bulan. Namun, sampai sekarang mereka belum
menerima gaji itu sepeser pun.
Mereka beruntung
akhirnya polisi menemukan mereka dan menangkap majikan mereka. Sayangnya,
majikan yang perempuan berhasil melarikan diri. Keluar dari rumah majikan
mereka sempat dirawat di rumah sakit dan berada di Yayasan Perlindungan Anak
(YPA). Baru kemudian, mereka dibawa ke RPTC. Di RPTC, mereka berusaha membangun
memori baru yang lebih menyenangkan dan penuh tawa, sembari mengikis luka-luka
di masa lalu.
Selain mereka
yang bekerja di Medan, kami juga berjumpa dengan para pekerja rumah tangga yang
disekap, disiksa, diperlakukan tidak manusiawi oleh istri majikan seorang Jenderal di Bogor. Berita ini sempat heboh beberapa waktu lalu. Kisah
mereka yang diperlakukan semena-mena oleh istri Jenderal itu, juga memilukan
hati. Selain mereka, juga ada beberapa mantan TKI yang dideportasi dari
Malaysia.
Hari itu, Suster Lia membawakan mereka baju-baju baru. Mereka gembira sekali, meskipun baju-baju itu kebesaran. Sementara kami
membawakan kue-kue untuk mereka. Satu per satu kue kami bagikan untuk mereka,
sisanya kami minta mereka simpan untuk dibagi kepada kawan mereka yang lain.
Senyum tersungging di wajah Elis. Dia mengucap terima kasih, sama seperti
kawan-kawannya yang lain, tapi juga terselip kata-kata, ”Baru di sini kami bisa
makan enak.”
Di RPTC, hari
demi hari mereka merajut harapan. Harapan ditegakkannya keadilan, hukuman
setimpal untuk majikan mereka. Harapan kembali ke kampung halaman, berjumpa
dengan keluarga dan orang-orang yang mereka cintai. Harapan untuk mendapatkan
gaji yang bertahun-tahun tak dibayar. Harapan akan masa depan yang lebih baik.
Mari kita
mendoakan mereka, semoga harapan-harapan mereka berbuah
manis di kemudian hari.
Terkait dengan berita penyekapan TKW di Bogor dan di Medan ini dapat dibaca di tautan berikut ini:
http://www.beritasatu.com/nasional/169036-penyekap-tkw-di-medan-langgar-ham-berat.html
http://jakarta.okezone.com/read/2014/02/26/501/946910/cerita-kekejaman-istri-jenderal-penyekap-prt
http://jakarta.okezone.com/read/2014/02/26/501/946910/cerita-kekejaman-istri-jenderal-penyekap-prt