Tak terasa presidensi Indonesia di G20 di tahun 2022 sudah separuh langkah. Namun apakah janji Indonesia untuk mengedepankan prinsip 'no one left behind', inklusifitas dan tidak melupakan kelompok-kelompok marginal dalam presidensi G20 ini sudah nampak? Harus diakui bahwa agenda G20 masih dominan pembahasan isu keuangan dan stabilitas ekonomi yang mainstream. Pembahasan aspek non ekonomi belum sampai mempengaruhi agenda utama. Padahal dengan mengusung agenda Pulih Bersama, Bangkit Perkasa di masa pandemi COVID-19, seharusnya perspektif kelompok marginal yang paling terdàmpak pandemi COVID-19 adalah yang utama.
C20 sebagai engagement group G20
mewakili masyarakat sipil berupaya mendorong agar perspektif kelompok marginal
tidak semakin terpinggirkan oleh agenda prioritas G20. Untuk memastikan suara
mereka terus didengar, dalam event Policy Dialoguè C20 ini, pada hari Rabu
tanggal 27 Juli 2022 jam 09.00 - 13.00 WIB, Working Group SDGs dan Humanitarian
C20 Indonesia menggelar Side Event bertajuk "Mendorong agenda
interseksionalitas migrasi, ketenagakerjaan dan disabilitas dalam pembahasan
G20”.
Pertemuan ini diawali dengan sambutan dari pemandu acara. Kata kunci dalam pertemuan ini disampaikan oleh Soeharto dari SIGAB. Beliau menyampaikan penjelasannya tentang The Importance of Disability Issues Discussed in the G-20 (Pentingnya Diskusi Malasah Disabilitas di G20). Disadari bahwa difabel atau penyandang disabilitas merupakan kelompok minoritas yang terbesar di dunia karena jumlahnya mencapai 15% dari populisi dunia, ini perlu mendapatkan perhatian besar dari negara-negara G20 dan negara-negara di dunia. Penyandang disabilitas ini semakin lama semakin banyak karena beberapa factor yaitu diantaranya naik angka harapan hidup dimana lansia semakin banyak, persoalan kesehatan kronis, masalah lingkungan (kecelakaan, bencana alam, konflik dan perang). Meskipun jumah penyandang disabilitas itu besar tetapi jumlah keterlibatan didalam ketenagakerjaan itu sangat memperhatikan. Di negara berkembang 80-90 persen tidak bekerja sedangkan di negara berkembang angkanya 50-70 persen di antara mereka yang dalam usia kerja. Di negara maju, angka pengangguran penyandang disabilitas dua kali lipat dari yang bukan penyandang disabilitas. Di negara maju pun angka ini masih cukup tinggi. Australia cukup baik dalam mempekerjakan penyandang disabilitas yaitu 2/3 dari difabel usia pekerja bisa mendapatkan pekerjaan dan diatur dalam kebijikan negara.
Faktor-faktor yang menyebabkan
difabel sulit mendapatkan pekerjaan yaitu dianggap sebagai tidak potensial,
tidak produktif, dan tidak bisa berpartisipasi di dunia kerja. Persepsi ini
menyebabkan employer tidak mau membuka kesempatan bagi penyandang disabilitas.
Ada stigma, mitos dan prasangka buruk, diskriminasi yang terjadi pada difabel.
Ada fakta yang menarik bahwa perusahaan-perusahaan yang sudah mempekerjakan
difabel menganggap bahwa mereka tidak memiliki kontribusi yang besar kepada
perusahaan. Di Indonesia, kuota 2% disiapkan untuk difabel bekerja di sector
pemerintahaan dan BUMN, kuota 1% untuk sector swasta tetap kuota ini belum
dapat dikerjakan dengan baik, perlu ada mekanisme yang lebih serius sehingga
penyandang disabilitas bisa mendapatkan pekerjaan. Disadari juga bahwa dari
suara-suara penyandang disabilitas, mereka ingin memiliki kehidupan yang
produktif dan bermanfaat bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk
keluarga, masyarakat dan negara. Untuk itu penyandang disabilitas ingin
mendapatkan kesempatan yang sama untuk bisa berpartisipasi dalam dunia kerja.
Saran yang disampaikan oleh mereka agar negara atau perusahaan memberikan
sumber daya untuk membuka lapangan kerja bagi difabel sesungguhnya investasi
jangka panjang, untuk semua sector. Jika difabel potensial bekerja, maka tidak
perlu memikirkan berapa resources yang perlu dialokasikan untuk jaminan social.
Tetapi karena difabel masih kesulitan untuk bekerja, maka mau tidak mau negara
harus memikirkan jaminan social bagi penyandang disabilitas.
Disabilitas dan kemiskinan
merupakan dua hal yang saling berkaitan, dimana disabilitas menimbulkan
kemiskinan atau memperparah kemiskinan sementara kemiskinan sendiri bisa
menimbulkan disabilitas. Disisi lain difabel mengalami extra cost, ada
pengeluaran yang lebih besar untuk kebutuhan difabel seperti alat bantu,
layanan kesehatan dan rehabilitasi, tranportasi yang harus bisa diakses. Ada
fenomena yang tidak menyenangkan karena difabel itu mendapatkan upah yang lebih
rendah. Difabel juga tidak mendapatkan kesempatan dalam pengambilan keputusan
politik baik di desa, kota, provinsi, maupun nasional. Jika tidak ada
partisipasi dari difabel maka tidak ada program atau kebijakan untuk difabel
karena tidak ada difabel yang terlibat dalam pengambilan keputusan politik.
Oleh karena itu, saran kepda negara G20, program-program pengendasan kemiskinan
ini harus melibatkan difabel secara penuh.
Isu-isu utama yang dihadapi oleh
difabel banyak ragamnya mulai dari lingkungan fisik dan transportasi yang tidak
mudah untuk diakses. Ada persoalan tidak adanya alat bantu dan teknologi
adaptif, sarana komunikasi masih banyak yang sulit untuk diakses. Ada
kesenjangan antara difabel dengan yang tidak dalam akses layanan dan
program-program pemerintah. Masih ada prasangka dan stigma yang menimbulkan
inklusi di masyarakat. Ketika Covid-19 melanda semakin memperparah
ketidakadilan dan kesetaraan diantara para difabel. Ada persoalan layanan yang
terhenti, isolasi social karena difabel membutuhkan orang lain, informasi
tentang wabah sehingga difabel kesulitan mematuhi prokes yang ada. Difabel
mengalami penurunan penghasilan yang cukup signifikan yaitu 80%. Masalah
internet dan digital device dimana difabel kesulitan untuk bekerja juga untuk
mendapatkan pengetahuan.
Difabel yang mengalami
pengungsian paksa akan semakin rentan terhadap akses pekerjaan, Pendidikan,
air, sanitasi, kekerasan seksual juga kecelakaan. Juga adanya hambatan dalam
berpartisipasi social. Terkait dengan SDGs, difabel tidak boleh menjadi alasan
untuk diabaikan untuk mendapatkan layanan dan berpartisipasi karena tujuh
target yang ada merujuk pada penyandang disabilitas, sedangkan enam target
lainnya terkait dengan kelompok rentan secara otomatis berlaku bagi penyandang
disabilitas. SDGs bisa menjadi frame work untuk mendorong isu disabilitas dalam
diskusi negara-negara G20.
Rekomendasi yang bisa disampaikan
dalam G20 yaitu data prevalensi disabilitas masih sangat terbatas, akses
Pendidikan dan pekerjaan serta layanan alat bantu, teknologi adaptif perlu
ditingkatkan. Yang tidak boleh dilupakan adalah kesetaraan dibidang hukum,
difabel mendapatkan peradilan yang inklusif, accessible, dan tidak ada
diskriminasi.
Beberapa poin yang disampaikan
oleh Wiliam Gois dari Migrant Forum in Asia, pembicara kedua bahwa migrasi
merupakan suatu komitmen global bagian dari perangkat pembangunan. Migrasi itu
menjadi isu penting didalam atau diluar G20. Tidak hanya gender issues, tapi
juga regulasi yang responsive gender. Urgensi pemerintah Indonesia sebagai
negara pengirim berbicara tentang kebijakan yang responsif terhadap gender.
Saat ini belum ada satu upaya yang konsolidatif untuk memberikan pemahaman
tersendiri yang disebut gender base migration.
Pembicara ketiga adalah Mike
Verawati dari WG Gender Equality and Disablility of C20 Indonesia. Mike
menjelaskan sudah menjadi catatan bagi WG Gender Equality and Disablility
terkait yang diungkapkan oleh pembicara sebelumnya dan menjadi prioritas isu
yang diangkat untuk menjadi masukan kuat di agenda G20. Ketika berbicara
tentang perempuan pekerja, semua berangkat dari situasi yang didasarkan dampak
budaya patriarki. Situasi rentan yang dimiliki oleh perempuan atau perempuan
pekerja berkaitan dengan etnis, agama, social budaya, usia, ekonomi,
seksualitasi. Perempuan disabilitas juga mengalami dengan multiple problem yang
cukup berat karena berada disituasi stigma yang lebih kental. Masih banyak
kelompok difabel yang tidak diakui bahkan disembunyikan dari public,
sosialitasnya. Konstruksi yang mengakibatkan ketidakadilan gender dan perempuan
disabilitas mengalami yang paling parah apalagi bermigrasi.
Cara pandang penyelenggara bahwa
difabel adalah beban dan tidak siap bekerja. System sebenarnya yang harus
melihat keberagaman itu. Bisa dilihat bahwa perempuan disabilitas yang mau
bekerja di luar negeri itu mengalami banyak masalah. Tidak punya ruang yang
adil dan rentan sekali terhadap kekerasan dalam prosesnya untuk bermigrasi.
Sekarang ini diperparah dengan pencampuran antara migrasi dan Human
Trafficking. Jika melihat dari NTT, setiap hari ada saja data yang muncul
terkait perempuan yang bermigrasi dan mengalami trafficking. Bagaimana dengan
perempuan disabilitas nantinya. Beberapa hal yang didapatkan datanya bahwa
perempuan pekerja migran rentan kekerasan dan rentan kecelakaan kerja yang
menyebabkan disabilitas dan ini tidak ada perlindungannya. Saat kembali ke
Indonesia, nyatanya aksesnya pun sulit untuk didapatkan. Perempuan pekerja
disabilitas juga sangat rentan terhadap kekerasan berbasis gender. Dan pandemic
memperparah semuanya.
Gender dan disabilitas harus
diperkuat untuk dibicarakan, terutama melihat kerangka kerja agenda G20 (tiga
hal yang dibicarakan yaitu global health architecture, keadilan ekonomi
transformative, energy transition). Rekomendasi WG Gender Equality and
Disablility of C20 Indonesia yaitu adanya mekanisme review yang bisa dilakukan
bersama terkait pekerja/pekerja migran disabilitas, adanya kebijakan yang bisa
upgrading soft skills dari pekerja migran/pekerja migran disabilitas, memformulasikan
panduan untuk pekerja dengan disabiltas disemua sector, mengeluarkan statement
yang kuat untuk reformasi terkait hak-hak pekerja/pekerja disabilitas.
Rekomendasi ditingkat nasional yaitu mendorong adanya kebijakan yang mengikat
pekerja disabilitas 2% disektor pemerintah dan 1% disektor swasta.
Pembicara berikutnya adalah
Daniel Awigragra dari Human Right Working Group. Ia menjelaskan dalam konteks
migrasi menganggap bahwa remitansi sebagai satu tujuan pembangunan, yang harus
dikritisi. Ada social cost of migration, uang remitansi yang dibahas dan diatur
menjadi pengaturan migrasi berdasarkan kebutuhan tapi belum banyak dieksplore paradoks
kasih sayang yang terjadi pada keluarga yang ditinggalkan. Banyak tenaga kerja
Indonesia usia produktif yang bekerja sebagai pengasuh lansia di beberapa
negara. Krisis paradoks kasih sayang ini adalah Ketika pekerja migran
memberikan kasih sayang kepada yang diasuh sedangkan keluarga yang ditinggalkan
tidak mendapatkan kasih sayang itu. Ini adalah cost social dari pekerja migran.
Ini sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk penurunan biaya remitansi yang ada. Yang
jauh lebih penting, sejumlah remitansi yang dikirim ke Indonesia bisa diakses
dan bisa digunakan untuk kepentingan program seperti Desbumi, Desmigratif,
Community Parenting. Isu social cost masih belum kelihatan bagi mereka, mereka
yang sudah tidak produktif akan dipulangkan, ini hal yang perlu diperhatikan.
Perlu untuk mengelola remitansi, penurunan remitansi, juga diskusi social cost
dengan cara Kerjasama multilateral atau bilalateral social costnya ditanggung
bersama agar pekerja migran bisa merasa nyaman untuk bekerja disana.
Perlu ada financial inclusivity
(akses pendanaan inklusi) bagi pekerja migran dan difabel. Akar persoalan dari
kelompok rentan yaitu sangat sering terkena stigma dan diskriminasi yang
terstruktur di masyarakat bahkan negara bahwa mereka bukan warga negara.
Implementasi politik untuk mendatangkan pekerja migran seturut dengan
kepentingan nasional yaitu ekonomi nasioanal. Dari skema yang kental dengan
kepentingan nasional khusunya ekonomi pembangunannya maka isu kemanusiaan
harusnya tanpa diskriminasi. Stigma diskriminasi berujung pada tidak adanya
forum reprentasi suara-suara mereka yang bukan warga negara. Rekomendasi yang diusulkan
adalah memiliki solidaritas sebagai komunitas internasional berhadapan dengan
kepentingan nasional, pelayanannya tidak hanya sebatas pada warga negara.
Jaminan Sosial untuk para pekerja yang bisa diakses di negara penempatannya,
karena selama ini hanya mengharapkan belas kasihan dari majikannya. Hal yang
perlu diperhatikan adalah Kerjasama untuk memunculkan masalah yang tidak
kelihatan ini juga perlu mengembangkan studi-studi tentang interseksional.
Selanjutnya pemateri terakhir
yaitu Sylvia Yazid dari Unirversitar Parahyangan. Dari kacamata Kebijakan
Publik dan Hubungan Internasional bahwa G20 adalah forum negara sehingga jika
ingin mereka melihat isu ini sebagai highlight mereka, harus berbicara bahasa mereka.
Kata kunci dari G20 ini ada beberapa yaitu:
1.
Global Health Architecture (inclusive,
equitable, responsive)
2.
Digital Transformation (a cleaner and
brighter future for the global community)
3.
Sustainable Energy Transition (stronger,
inclusive and collaborative, overcoming various problems, the role of women in
the workplace by increasing digital capabilities)
Definisi
Inkusif
berarti berjanji tidak aka nada yang tertinggal. Janji ini sebenarnya bisa
ditagih termasuk mereka yang terpinggirkan, minoritas, kaum marginal.
Interseksionalitas
berarti konsep yang digunakan untuk menganalisa dan mengembangkan kebijakan
yang membahas ketidaksetaraan yang berasal dari berbagi identitas manusia (ras,
agama, gender, dsb). Konsep ini sangat terkait dengan negara dan pemerintah dan
G20.
Kerentanan
dari pekerja migran perempuan saat pandemic, salah satu dasarnya adalah
interseksionalitas. Kerentanan muncul dan semakin menguat Ketika terjadi upaya
mengenaralisir. Ketika sekelompok itu dilihat sebagai kesatuan, disitulah
kerentanan itu muncul. Kerentanan itu merupakan hasil dari generalisir akan
kebutuhan individu di masyarakat. Ini sangat erat kaitannya dengan perempuan
dan disabilitas Ketika kebijakan yang dikeluar itu di genaralisir. Sehingga
kebijikan itu dibuat dengan mengakui adanya variasi-variasi. Tuntutan yang
paling besar adalah kebijakan harus semakin detail, komprehensif dan
menyediakan ruang melihat kondisi spefisik dari yang termarginalisasikan.
Secara garis
besar kebijakan-kebijakan selama masa pandemic di tingkat global rata-rata
sudah menghimbau adanya upaya-upaya secara spefisik melihat kebutuhan dari
perempuan namun di tingkat nasional itu cenderung mengenaralisasikan itu.
Pada 2017 sudah ada pernyataan bahwa penting untuk mengumpulkan
data-data migrasi, pada 2018 naik posisinya sehingga ada komitmen dari pemimpin
G20 untuk mendiskusikan tentang migrasi dan mempertahankan data tersebut. Pada
2019 komitmen itu masih ada. Namun pada 2020-2021 tidak ada pernyataan spesifik
tentang pentingnya data migrasi. Posisi tawarnya masih sangat rendah. Targetnya
adalah ada pernyataan.
Isu yang diangkat adalah migran, pekerja migran perempuan,
disabilitas, remitansi, dilihat dari dokumen, acara sampingan-konferensi,
ekpektasi atau harapan. Migran, pekerja migran perempuan dan disabilitas belum
ada dokumen yang spesifik dan kana muncul pada acara sampingan 8-9 September.
Untuk remintansi masih berbicara tentang tranfer yang aman tapi tidak berbicara
tentang isu-isu yang terkait.
Isu migrasi ini jika dibahas di G20 saat ini maka kedepannya bisa
kembali diangkat karena jika dilihat ada 64% migran itu ada di negara-negara
G20. Disatu sisi harus menghubungkan dengan hal yang penting bagi mereka. Organisasi
internasional seperti G20 memiliki potensi untuk analiss spesifik terkait isu
dan kondisi. Ada empat hal yang perlu diperhatikan yaitu migrasi, tenaga kerja,
gender, dan ada disabilitas. Tapi kaitan yang cukup jelas adalah migrasi dan
tenaga kerja seperti akses terhadap fasilitas, kondisi hidup yang baik,
mobilitas, aturan-aturannya, status dan remitansi. Antara tenaga kerja dan
disabilitas juga cukup jelas seperti inklusivitas, aksesibilitas, bantuan dan
pelatihan, fasilitas khusus. Yang di perjuangkan adalah gender dan orang dengan
disabilitas, lalu migrasi dan gender. Di antara semua kata-kata seperti apa
yang bisa dipakai untuk mendorong semua hal yang sudah dibahas, tentunya jika
ingin mendapatkan perhatian juga. Kita perlu memecah target, target di
Indonesia dan tindak lanjutnya di India. *