Sunday, May 19, 2019

Melihat Indonesia Melalui Film Independen


Yogyakarta-Unit Kegiatan Program Studi (UKPS) Sastra Inggris Univeristas Sanata Darma (USD) Yogyakarta menggelar screening and discussion dengan tema “Melihat Indonesia Melalui Film Independen” di ruang LPPM  Univeristas Sanata Darma Yogyakarta pada Sabtu (18/5/2019).

Mengundang Maria Rosiana Sedjahtera dan Arie Surastio sebagai narasumber, UKPS mengajak peserta untuk menikmati karya film independen yang berhasil meraih beberapa prestasi di negeri ini. Pemutaran film yang pertama merupakan film animasi berjudul “Biru” karya Maria dan tim Minikinonya. Film animasi ini berhasil keluar sebagai film animasi terbaik dalam beberapa festival, baik di dalam di negeri maupun di luar negeri pada tahun 2015. Film yang kedua ialah film “Polah” karya Arie bersama timnya yang juga keluar sebagai nominasi dalam beberapa festival bergengsi secara nasional dan internasional.     

Narasumber Arie, Moderator Clara dan Narasumber Maria (dari kiri ke kanan)

Film animasi “Biru” yang berdurasi kurang lebih 5 menit ini didesain semenarik mungkin untuk kalangan anak dan remaja. Selain menghibur, film “Biru” ini juga menampilkan kepribadian sebagian orang muda Indonesia yang suka menunda-nunda pekerjaan. Tujuannya tentu untuk mengingatkan penonton agar tidak menunda-nunda waktu dalam melakukan sebuah pekerjaan sehingga berakibat fatal.  

"Awalnya kami hanya berniat untuk membuat film pendek dan karena ada ide yang sangat sederhana tentang sedikit pengalamanku yang suka menunda-nunda pekerjaan, maka kami sepakat untuk segera mewujudkannya dan langsung segera kami eksekusi, tapi semua sepakat untuk membuat animasi stop motion,” ujarnya.

Menurut mahasiswi semester 8 jurusan Psikologi Universitas Sanatadarma ini, ada banyak kendala yang dihadapi dalam mengerjakan proyek animasi stop motion mulai dari waktu, tenaga dan juga pembiayaan yang lumayan besar dari sumber pendanaan pribadi.

“Menurut kami, ide ini menarik karena jarang orang yang ingin membuat animasi stop motion, kebanyakan menggunakan animasi base on computer yang relatif mudah dilakukan. Maka kami persiapkan semuanya secara otodidak selama kurang lebih 1 tahun dengan pendanaan pribadi yang sangat terbatas,“ tuturnya.

Ia mengaku ada 3 tahapan yang harus dilaluinya bersama kedelapan orang anggota tim dalam memproduksi film “Biru” ini yakni pra produksi, produksi dan post produksi.

“Pra produksi mulai dari menyusun skenario, membuat peralatan kamar si Biru yang dirakit secara manual selama 6 bulan. Kemudian proses produksi yakni shooting selama 1 bulan dimana setiap harinya menghabiskan waktu selama kurang lebih 3 jam. Lalu dilanjutkan proses post produksi mulai dari editing, memadukan soundnya hingga melahirkan sebuah film stop motion dengan judul Biru” ujarnya.

Ia mengaku sedikit kesulitan dalam menggarap karya pertamanya yang membutuhkan kesabaran dan ketelitian yang tinggi.

“Dalam 1 scene yang berdurasi 59 detik, kami membutuhkan 500 gambar yang nanti dipadukan menjadi gambar yang bergerak  dan itu sangat sulit apalagi tidak ada anggota dari tim kami yang berpengalaman membuat stop motion,” ujarnya lagi.

Ia menceritakan bagaimana proses mencari bahan dan perakitan peralatan yang digunakan. Boneka Biru, menurutnya harus bisa didirikan, didudukkan dan digerakkan layaknya manusia. Peralatan rumah, tempat tidur, meja, kursi, lemari dan peralatan pendukung lainnya juga wajib dirakit secara manual sebelum proses pengambilan gambar dimulai.

“Meskipun semuanya baru belajar, kami sangat menikmati prosesnya. Semuanya konsisten dan berkomitmen untuk terus bekerjasama hingga akhir. Seru ketika kita bisa bekerjasama dengan siapa saja dengan kemampuan dan keahlian masing-masing. Semua prosesnya sangat memperkaya,” ujarnya.

Ia berharap melalui film animasi stop motion ini, banyak orang yang termotivasi untuk berkarya tanpa harus menunda-nunda. Apalagi, melalui karya film seperti ini, menurutnya, dapat menjadi sebuah alternatif mengikis budaya metrosentrisme oleh sebagian besar production house di Indonesia. Dengan demikian, dapat menambah referensi suguhan film yang mendidik dan tidak melulu terpusat pada metrosentrisme.
  
"Jangan takut untuk mencoba dan saat punya ide ya coba aja, siapa yang tau hasilnya sampai begitu. Ketika itu diwujudkan dan sudah diwujudkan kita akan belajar hal baru dan proses yang sangat luar biasa," pungkasnya.

Tak berbeda dengan Maria, Arie juga memaparkan tentang latar belakang pembuatan film “Polah” yang berbau mistis dari pengalamannya di tahun 2008. Pengajar di Program Studi Film dan Televisi Universitas Dian Nawantoro Semarang ini ingin menyuguhkan wajah Indonesia dari sisi mistis di pulau Jawa. Ia menceritakan bagaimana budaya Jawa masih melekat dengan sosok peri perempuan yang dikenal dengan Nyi Roro Kidul. Meskipun tidak terlalu gamblang, alur dan teknik pengambilan gambarnya cukup untuk mereprestasikan kemalangan dari orang yang berhubungan dengannya melalui kekuatan mistis sebuah patung wanita.

“Saya ingin menggambarkan sosok peri Nyi Roro Kidul yang tidak melulu di perairan yang luas seperti laut atau bahkan samudera, melainkan bisa juga di sebuah bak kecil atau pancuran kecil. Itu sudah cukup. Bagian yang terpenting adalah ingin menguatkan kesan mistisnya saja dan menggambarkan bahwa memang kepercayaan itu masih ada,” ujarnya.

Ia juga memaparkan kendala yang dihadapi saat proses pembuatan film hingga selesai. Ia harus terlebih dahulu melakukan pendekatan dengan warga dan orang yang kira-kira bisa memerankan filmnya.

"Hal yang paling menantang kami saat memulainya di pegunungan yang tidak ada listrik. Apalagi kami harus mencari orang yang cocok dengan kriteria kami tanpa melalui open casting dan syukurlah dapat orang asli daerah itu yang bisa memerankannya. Jalu si orang desa itu latihan tanpa kamera dulu, baru latihan dengan kamera, kemudian kita rekam," ujarnya. 

Melalui filmnya, ia juga ingin menggambarkan masyarakat Jawa yang mengatakan bahwa seorang pria Jawa baru diakui keberadaannya di dalam masyarakat ketika bisa mendapatkan 3 hal yakni wanita, wisma, dan kendaraan yang pada zaman dahulu diidentikkan dengan hewan kuda.

"Jadi sebenarnya kita bisa membuat film apa saja, dari pengalaman kita sendiri. Dalam film kali ini ini saya lebih ingin menampilkan masyarakat Jawa yang tidak terlepas dari hal mistisnya. Itu semua beranjak dari pengalaman saya tentang mististisme Jawa. Pada akhrinya semua tergantung kepada orang yang menanggapinya setelah menikmati film ini," ujarnya.
Arie dan Maria mendapatkan cenderamata dari UKPS Sastra Inggris USD
Ia sangat mengapresiasi kegiatan UKPS yang menciptakan ruang putar baru untuk memperkenalkan film-film pendek karya anak bangsa.

"Semoga banyak pihak yang mendukung bakat dan karya film di Indonesia seperti yang sudah dilakukan UKPS ini yakni dengan memutar film pendek yang sama sekali tidak digarap oleh rumah-rumah produksi yang lebih mengutamakan keuntungan finansial serta kegiatan diskusi untuk membedahnya. Dengan demikian, banyak orang yang mengetahui hal baru dan karya baru yang tidak hanya tentang metrosentrisme dengan sudut pandang yang sama,"pungkasnya.