Yogyakarta - Praktisi Media dan Komunikasi, Dr.
Vivid Fitri Argarini memberikan mata kuliah umum di Magister Ilmu Komunikasi
Universitas Atma Jaya Yogyakarta pada Kamis (16/5/2019) pukul 16.00 WIB. Mata kuliah umum dengan tema “Dinamika Pengelolaan Media di Era Digital” dihadiri kurang lebih 50 orang peserta dari
Magister Ilmu Komunikasi dan umum selama kurang lebih dua jam.
Dr. Vivid Fitri Argarini memberikan mata kuliah umum di Magister Ilmu Komunikasi |
Di awal perkenalannya, wanita yang
pernah menjabat sebagai CEO di majalah Aneka Yess ini memaparkan tentang
pengalamannya dalam mengelola media cetak khusus anak muda alias remaja. Mengawali
karirnya pada tahun 2002, ia sangat menikmati dinamika perkembangan media cetak
konvensional yang telah beralih ke media digital.
“Pada saat itu majalah Aneka Yess
dengan namanya yang khas nusantara harus bersaing dengan berbagai media cetak
lainnya yang banyak menggunakan bahasa asing seperti Girls, Gadis dan
majalah yang mangsa pasarnya remaja perempuan. Meskipun banyak media untuk remaja,
tetapi kami bisa tetap eksis karena hanya kami satu-satunya media cetak untuk remaja
perempuan dan laki-laki. Jadi di cover
majalahnya selalu ada gambar perempuan dan laki-laki. Kalaupun hanya gambar perempuan atau hanya laki-laki berarti
itu permintaan sponsor,” ujarnya.
Dalam mengembangkan media,
menurutnya perlu kerjasama yang efektif antar tim, baik tim redaksi, pengelola
web, photografer, stylist, makeup, wardrobe, editorial secretary, community engagement, research and development, videographer, social media analyst hingga ke tim pemasaran.
“Dalam hal ini, tim redaksi yang
biasanya merasa sebagai penentu suksesnya media karena bisa membuat konten
editorial yang bagus, tidak akan bisa memasarkan medianya tanpa peran tim
pemasaran. Medianya tentu harus dijual ke khalayak sehingga roda perekonomian
media bisa tetap berjalan dan dalam hal ini peran tim pemasaran sangat
menentukan,” ujarnya lagi.
Konselor pendidikan ini juga
membagikan suka dukanya dalam mengelola media cetak yang bersaing untuk
mendapatkan sponsor.
“Pernah suatu kali sponsor X
tidak yakin untuk memasarkan produknya di majalah kami karena pada waktu itu
kami masih menggunakan kertas hitam putih. Akhirnya saya mengambil keputusan
untuk mengganti kertas majalah Aneka Yess menjadi berwarna dan tidak lagi
memakai kertas hitam putih sehingga sponsor beriklan di media kami,” ujarnya.
Kerja sama dengan pihak sekolah,
kampus dan lembaga yang lain dengan berbagai event dan roadshow menarik pun
kerap dilakukan.
“Kami membuat acara belajar menjadi
jurnalis sambil mengajarkan cara menulis, liputan dan sebagainya. Lalu
mengadakan acara mencetak MC muda untuk melatih bakat mereka tampil di depan
umum, mengadakan berbagai perlombaan dengan mengundang artis papan atas dan
berbagai acara seru yang melibatkan remaja,” tuturnya lagi.
Ia mengaku tidak kesulitan
menjual poster artis tertentu dalam acara-acara yang mereka adakan.
“Pada saat itu sangat banyak yang
menggemari poster artis tertentu dan mereka sangat bangga jika bisa mendapatkan
poster secara gratis ataupun dijual. Nah itu yang kami manfaatkan untuk
menguasai pasar di tengah persaingan yang sangat ketat,” ujarnya.
Namun seiring berjalannya waktu,
majalah cetak yang terbit dua kali sebulan ini harus berakhir dalam edisi
November tahun 2014.
“Seiring perkembangan zaman, sebagai
CEO, saya harus jeli membaca situasi, apakah pasarnya masih kondusif atau malah
tidak memberikan penghidupan. Sebelum bangkrut, saya putuskan untuk segera menutup
Aneka Yess dalam keadaan namanya yang masih harum, masih diminati remaja di
seluruh Indonesia dan masih belum tercemar sebab semua media cetak sudah
beralih ke online,” ujarnya.
Ia mengatakan banyak hal yang ia
pelajari sebagai seorang CEO dari media cetak yang lumayan terkenal pada
zamannya. Namun ada satu hal yang tidak dapat ditolak yakni perkembangan
teknologi yang menuntut semuanya harus berinovasi dan berubah. Maka tidak heran
di zaman sekarang ini, media cetak akan sulit menghidupi dirinya sendiri karena
kemunculan media online milik
perseorangan yang jauh lebih diminati khalayak.
Sesi tanya jawab oleh peserta matakuliah umum |
“Kita sebenarnya sedang membangun
medianya sendiri dan dikelola secara pribadi melalui media sosial dan akun youtube tanpa harus mencari media promosi lainnya. Para sponsor juga semakin kreatif dalam membaca peluang
bisnis ini untuk memilih endorse bagi
produknya,” ujarnya.
Ia menekankan betapa besar peran
sebuah inovasi dan kreativitas dalam memahami perilaku konsumen untuk
mendapatkan pasar.
“Jika tidak jeli membaca situasi
ini media akan digilas zaman. Oleh karena itu, lakukanlah pengelolaan secara
efisien agar tetap bisa survive di
tengah krisis keuangan, disiplin untuk terbit tepat waktu, menjaga hubungan
baik dengan seluruh relasi, klien, nara sumber, stakeholder dan juga kepada pembaca,” pungkasnya.
Digitalisasi Mampu Hapus Perdagangan Manusia
Dunia digital yang terus berkembang saat ini memungkinkan proses-proses yang dahulu dibatasi ruang, jarak, dan waktu menjadi terpangkas. Perkembangan teknologi yang semakin canggih sangat memungkin ketersediaan lapangan pekerjaan baru dengan profesi yang berbeda dan belum pernah ada sebelumnya. Manusia juga dituntut untuk semakin mampu mengelolah teknologi yang mutakhir dan bersaing dengan segala kemampuan yang ada. Maka bukan tidak mungkin muncul media-media baru milik perseorangan, individu atau kelompok tanpa bergantung pada media besar.
Namun bagaimana dengan mereka yang tinggal di daerah terpencil yang sama sekali asing dengan teknologi? Bisa jadi mereka akan semakin tersingkir dan tenggelam oleh perkembangan zaman. Bagaimana mungkin mereka yang jauh dari akses listrik akan menguasai teknologi berbasis internet jika di rumah mereka masih diterangi oleh obor dan lilin kecil?
Hal ini masih dialami salah satu korban perdagangan manusia asal Desa Abi, Dusun 2, Kecamatan Oenino, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur yang meninggal sebagai PMI (Pekerja Migran Indonesia) di Malaysia. Di desanya yang sangat jauh ke pelosok, masih tidak ada akses jalan, listrik dan air bersih. Rumah mereka juga masih terbuat dari bambu dan beralaskan tanah.
Tidak heran, mereka akan merasa seperti makhluk asing dan justru diperalat dari keterasingannya dan gampang disesatkan melalui janji-janji palsu untuk kemudian ditipu, diperbudak, serta dilacurkan dalam rantai perdagangan manusia.
Dalam hal ini, pihak yang kuat tentu berkuasa sementara yang lemah akan semakin diperalat, tersisih dan tersingkir seperti yang dikatakan Paus Fransiskus dalam suratnya tentang Arah Orientasi Pastoral terkait perdagangan manusia.
Salah satunya contoh nyata ialah kasus seorang PMI (Pekerja Migran Indonesia) Adelina Sao yang meninggal di negara penempatannya di Malaysia pada 11 Februari 2018 yang lalu akibat kekerasan fisik dan psikis oleh majikannya Ambika (61). Namun anehnya, Pengadilan Tinggi Penang membebaskan MAS Ambika (61) mantan majikannya pada 18 April 2019.
KJRI (Konsulat Jenderal Republk Indonesia) yang tidak menerima keputusan tersebut telah mengirimkan surat resmi kepada Wakil Jaksa guna mendapatkan klarifikasi dan penjelasan lebih lanjut dari Pengadilan Tinggi Penang. Kejaksaan Agung Malaysia juga telah mengajukan upaya banding terhadap keputusan Mahkamah Tinggi yang membebaskan Ambika (https://radartegal.com/berita-kriminal/kejagung-malaysia-banding-pembebasan-majikan.30199.html).
Diketahui bahwa tahun 2015, Adelina dibawa oleh orang tidak dikenal dari kampungnya, ditawarkan bekerja di Malaysia dengan gaji yang lumayan tinggi sebagai pengasuh anak dan pembantu rumah tangga. Meskipun tidak disetujui oleh orangtuanya, ia tetap dibawa ke Malaysia dan dipekerjakan dengan dokumen palsu.
Terkait pemalsuan dokumen kependudukan, sebenarnya akan semakin sulit dilakukan jika pendataan kependudukan Indonesia sudah menganut single identification number (SIN). Perkembangan digital di Indonesia memungkinkan SIN untuk dapat segera diterapkan. Apalagi saat ini digitalisasi data Kartu Tanda Penduduk WNI (e-KTP) sudah mencapai 97,6% (Februari 2018).
Semakin sulitnya pemalsuan dokumen dilakukan, akan meningkatkan pengamanan yang ketat di suatu negara. Peluang untuk memutus rantai perdagangan manusia juga akan semakin besar, apalagi jika dilakukan kerja sama antara Indonesia dan negara lain secara efektif. Indonesia dapat mengamankan penduduknya yang keluar, dan sebaliknya juga ikut membantu pengamanan warga negara lain yang rentan masuk Indonesia sebagai korban perdagangan manusia.
Digitalisasi Mampu Hapus Perdagangan Manusia
Dunia digital yang terus berkembang saat ini memungkinkan proses-proses yang dahulu dibatasi ruang, jarak, dan waktu menjadi terpangkas. Perkembangan teknologi yang semakin canggih sangat memungkin ketersediaan lapangan pekerjaan baru dengan profesi yang berbeda dan belum pernah ada sebelumnya. Manusia juga dituntut untuk semakin mampu mengelolah teknologi yang mutakhir dan bersaing dengan segala kemampuan yang ada. Maka bukan tidak mungkin muncul media-media baru milik perseorangan, individu atau kelompok tanpa bergantung pada media besar.
Namun bagaimana dengan mereka yang tinggal di daerah terpencil yang sama sekali asing dengan teknologi? Bisa jadi mereka akan semakin tersingkir dan tenggelam oleh perkembangan zaman. Bagaimana mungkin mereka yang jauh dari akses listrik akan menguasai teknologi berbasis internet jika di rumah mereka masih diterangi oleh obor dan lilin kecil?
Hal ini masih dialami salah satu korban perdagangan manusia asal Desa Abi, Dusun 2, Kecamatan Oenino, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur yang meninggal sebagai PMI (Pekerja Migran Indonesia) di Malaysia. Di desanya yang sangat jauh ke pelosok, masih tidak ada akses jalan, listrik dan air bersih. Rumah mereka juga masih terbuat dari bambu dan beralaskan tanah.
Tidak heran, mereka akan merasa seperti makhluk asing dan justru diperalat dari keterasingannya dan gampang disesatkan melalui janji-janji palsu untuk kemudian ditipu, diperbudak, serta dilacurkan dalam rantai perdagangan manusia.
Dalam hal ini, pihak yang kuat tentu berkuasa sementara yang lemah akan semakin diperalat, tersisih dan tersingkir seperti yang dikatakan Paus Fransiskus dalam suratnya tentang Arah Orientasi Pastoral terkait perdagangan manusia.
Salah satunya contoh nyata ialah kasus seorang PMI (Pekerja Migran Indonesia) Adelina Sao yang meninggal di negara penempatannya di Malaysia pada 11 Februari 2018 yang lalu akibat kekerasan fisik dan psikis oleh majikannya Ambika (61). Namun anehnya, Pengadilan Tinggi Penang membebaskan MAS Ambika (61) mantan majikannya pada 18 April 2019.
KJRI (Konsulat Jenderal Republk Indonesia) yang tidak menerima keputusan tersebut telah mengirimkan surat resmi kepada Wakil Jaksa guna mendapatkan klarifikasi dan penjelasan lebih lanjut dari Pengadilan Tinggi Penang. Kejaksaan Agung Malaysia juga telah mengajukan upaya banding terhadap keputusan Mahkamah Tinggi yang membebaskan Ambika (https://radartegal.com/berita-kriminal/kejagung-malaysia-banding-pembebasan-majikan.30199.html).
Diketahui bahwa tahun 2015, Adelina dibawa oleh orang tidak dikenal dari kampungnya, ditawarkan bekerja di Malaysia dengan gaji yang lumayan tinggi sebagai pengasuh anak dan pembantu rumah tangga. Meskipun tidak disetujui oleh orangtuanya, ia tetap dibawa ke Malaysia dan dipekerjakan dengan dokumen palsu.
Terkait pemalsuan dokumen kependudukan, sebenarnya akan semakin sulit dilakukan jika pendataan kependudukan Indonesia sudah menganut single identification number (SIN). Perkembangan digital di Indonesia memungkinkan SIN untuk dapat segera diterapkan. Apalagi saat ini digitalisasi data Kartu Tanda Penduduk WNI (e-KTP) sudah mencapai 97,6% (Februari 2018).
Semakin sulitnya pemalsuan dokumen dilakukan, akan meningkatkan pengamanan yang ketat di suatu negara. Peluang untuk memutus rantai perdagangan manusia juga akan semakin besar, apalagi jika dilakukan kerja sama antara Indonesia dan negara lain secara efektif. Indonesia dapat mengamankan penduduknya yang keluar, dan sebaliknya juga ikut membantu pengamanan warga negara lain yang rentan masuk Indonesia sebagai korban perdagangan manusia.