Yogyakarta-Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Dr. Lukas S.
Ispanriarno, MA membuka mata kuliah umum Magister
Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta di
Ruang III/3 Gedung Bonaventura Program Pasca Sarjana, pada Sabtu (11/5/2019)
pukul 10.00 WIB.
Adapun narasumber pada acara yang bertema “Perdagangan Orang Sebagai Masalah Negara
(Sebuah Perspektif dari Nusa Tenggara Timur)” ialah Direktur IRGSC (Institute
of Resource Governance and Social Change) Dominggus Elcid Li, Ph.D.
Dr. Lukas S. Ispanriarno, MA membuka Mata Kuliah Umum |
Kasus perdagangan orang, menurut Lukas merupakan masalah yang tak kunjung usai di Indonesia.
Sangat banyak masyarakat bangsa ini yang menjadi korban perdagangan
manusia namun mereka masih belum mampu keluar. Selain itu, tak banyak pihak yang mengetahui bahwa
kasus ini sedang terjadi, masih terjadi dan semakin banyak menelan korban.
“Kita
akan membedah persoalan besar bangsa ini bersama seseorang yang menangani kasus
perdagangan orang langsung dari akar rumputnya, Nusa Tenggara Timur. Ia
merupakan seorang alumnus Ilmu Komunikasi FISIP kampus ini, yang kini sangat gencar menyuarakan
suara korban perdagangan manusia dengan rekan-rekan aktivis lainnya. Mari kita
aktif terlibat sebagai seorang akademisi yang ingin mengetahui permasalahan ini
dan kita bedah dalam mata kuliah umum pagi ini,” ujarnya sembari memberikan panggung bagi narasumber.
Elcid,
sapaan akrabnya, mengaku sudah sangat lama terjun dalam penanganan kasus
perdagangan orang yang menimpa sebagian besar orang asal NTT.
“Korban perdagangan orang yang paling besar di Indonesia berasal dari NTT. Mari kita lihat peta ini. Dari seluruh wilayah NTT, orang Dawan dan orang Sumba Tengahlah yang sebagian besar direkrut untuk diperdagangkan,” ujarnya sambil menampilkan peta wilayah NTT.
“Korban perdagangan orang yang paling besar di Indonesia berasal dari NTT. Mari kita lihat peta ini. Dari seluruh wilayah NTT, orang Dawan dan orang Sumba Tengahlah yang sebagian besar direkrut untuk diperdagangkan,” ujarnya sambil menampilkan peta wilayah NTT.
Direktur IRGSC Dominggus Elcid Li, Ph.D. |
Menurutnya,
ada banyak faktor yang sangat kompleks melatarbelakangi maraknya kasus
perdagangan orang di NTT terhitung sejak ia meneliti tahun 2014, yakni mulai
dari tingkat kemiskinan yang tinggi (pendapatan rata-rata yang sangat rendah), tingkat pendidikan
yang rendah (tidak bisa baca tulis), proses administratif kependudukan yang
kacau balau (banyak orang yang tidak mendapatkan KTP), budaya berpesta yang
menjurus pada perilaku konsumtif (gengsi kalau tidak bisa membuat pesta), posisi negara yang semakin kosong dan ketidakmampuan negara dalam penegakan hukum (tumpul keatas namun tajam kebawah).
“Berdasarkan
penelitian kami, dalam hal ini saya bilang kami karena ada banyak pihak yang
turun tangan, bahu-membahu membantu penanganan korban, kemiskinan adalah
penyebab utama seseorang menjadi korban perdagangan manusia. Mereka tidak punya
pilihan untuk bertahan hidup, tidak ada pekerjaan, tidak punya lahan untuk
digarap dan kalaupun ada lahan akan sangat sulit mendapatkan air di musim
kemarau. Sangat gersang. Satu-satunya pilihan adalah bekerja keluar
ketika tawaran itu datang memang datang,” ujarnya.
Menurutnya,
ketika seseorang dalam kondisi tidak berdaya, lapar dan miskin sangat mudah
dipengaruhi dan dijadikan target perdagangan manusia. Para
mafia akan sangat mudah merekrut korbannya ke desa-desa yang
sangat sulit dijangkau dengan hanya memberikan persenan kepada para calo lapangan yang
bersentuhan langsung dengan para korban. Tak heran, rantai pertama perdagangan orang adalah keluarga.
“Takkan ada orang yang menolak uang ratusan hingga jutaan ketika ditawarkan dalam kondisi lapar demi mengisi perut. Korban yang hanya diberikan dua ratus ribu atau satu juta akan gampang tergiur karena tidak pernah melihat uang sebanyak itu. Mereka akhirnya dipekerjakan ke luar negeri, ketika tiba disana, mereka disiksa dan diperlakukan tidak manusiawi, sama seperti kasus kekerasan yang dialami migran asal NTT, Adelina Sao yang meninggal dunia di Malaysia dengan kondisi luka parah disekujur tubuhnya dan kurang gizi,” ujarnya.
“Takkan ada orang yang menolak uang ratusan hingga jutaan ketika ditawarkan dalam kondisi lapar demi mengisi perut. Korban yang hanya diberikan dua ratus ribu atau satu juta akan gampang tergiur karena tidak pernah melihat uang sebanyak itu. Mereka akhirnya dipekerjakan ke luar negeri, ketika tiba disana, mereka disiksa dan diperlakukan tidak manusiawi, sama seperti kasus kekerasan yang dialami migran asal NTT, Adelina Sao yang meninggal dunia di Malaysia dengan kondisi luka parah disekujur tubuhnya dan kurang gizi,” ujarnya.
Namun
berdasarkan penuturannya, Adelina Sao tak jua mendapatkan keadilan hukum
meskipun sudah meninggal dunia. Majikannya dibebaskan secara sepihak oleh
pemerintah Malaysia sekalipun ia terbukti sebagai aktor dari pembunuhan kejam
seorang Migran dari Timur Tengah Selatan.
“Tahun 2018 ada 105 jenazah migran yang dipulangkan ke tanah air dan hanya 3 dari antaranya yang prosedural. Mereka adalah korban dari rantai
perdagangan orang yang melibatkan orang dekat dan biasanya struktur jaringan ini terputus. Mereka dikirim tanpa dokumen identitas yang jelas. Ketika kami
berhasil menyelamatkan korban perdagangan orang dari luar negeri dan dipulangkan
ke daerah asalnya, maka kami akan berusaha membongkar membongkar para mafianya dan korban mengaku bahwa pelakunya adalah kerabat dekatnya dan si
korban tidak mau bersaksi di pengadilan karena takut saudaranya di bui. Ini
yang sangat sulit, kasus terhenti begitu saja,” keluhnya.
Kesulitan dalam menuntaskan rantai
perdagangan orang, menurutnya karena UU TPPO dan UU Ketenagakerjaan tidak langsung beririsan. UU TPPO No. 21/2007 belum banyak dikenal oleh para penegak hukum. Selain itu, sangat disayangkan bahwa Indonesia tidak memiliki database korban perdagangan orang.
“Kalaupun
berhasil mengumpulkan semua bukti-buktinya dan sangat mungkin untuk memberatkan
si pelaku dengan Undang-undang TPPO, namun kerap kali gagal
karena si pelaku merupakan oknum dari institusi tertentu. Tak heran kalau yang diseret
ke penjara hanya para suruhan yang merekrut di lapangan, kerabat korban yang
juga korban dari sebuah iming-iming, bukan otak dari para mafia itu,” ujarnya
lagi.
Di akhir
sesi, ia menampilkan video dokumenter Kabar dari Medan yang berisi kesaksian
dari para korban asal NTT yang masih dibawah umur dan dipekerjakan di sebuah
ruko tempat menghasilkan sarang walet.
Peserta Mata Kuliah Umum UAY tentang Perdagangan Orang sebagai Masalah Negara |
“Data
sangat penting karena data adalah kunci sehingga bisa digunakan untuk memperdalam
sebuah kasus tetapi film juga tak kalah pentingnya karena lebih bersifat
reflektif,” ujarnya. Dari
video tersebut diketahui praktik perdagangan manusia yang melibatkan oknum dari
kepolisian sehingga kasus tersebut sulit untuk dibongkar. Para korbannya yang
sebagian besar masih di bawah umur dipekerjakan selama 24 jam dengan siksaan secara
fisik dan psikis hingga menewaskan dua orang.
Sebelum
menutup sesi, para peserta aktif terlibat dalam diskusi dari bulir-bulir
pertanyaan yang ditujukan kepada narasumber. Semua pertanyaan, saran dan kritik
yang disampaikan terhadap pemerintah dan semua pihak yang bertanggung jawab atas
kasus ini semakin menambah nilai diskusi dan juga menambah pengetahuan para
peserta.
Sebelum
menerima cenderamata dari civitas akademika, ia menekankan perlu ada suatu
perubahan baru dan langkah konkret yang serius oleh semua pihak terkhusus
pemerintah untuk menekan jumlah korban perdagangan manusia dengan menciptakan
lapangan pekerjaan, perbaikan sistem pendidikan dan perbaikan sistem
administratif kependudukan. Di samping itu, dukungan dari para peserta yang sudah mengetahui kasus ini juga sangat diperlukan guna mengawal penanganan kasus perdagangan orang sebagai masalah negara.
"Perlu mengerjakan ulang negara dengan menempatkan penderitaan warga sebagai fulcrum pengetahuan, melakukan dekonstruksi ulang atas pengertian negara yang sudah terlanjur hanya dimengerti dalam pengertian liberal yakni tali temali institusi semata, memahami bahwa warga negara adalah kunci dan pemegang kedaulatan," tutupnya.