Acara seminar dibuka oleh Rm Ignatius Ismartono SJ |
Adapun
peserta yang hadir pimpinan Sahabat Insan, Romo Ignatius Ismartono SJ, kaum
religius, berbagai aktivis/penggiat kemanusiaan dan penyintas perdagangan
manusia.
Acara
yang berlangsung kurang lebih 2 jam 30 menit ini diawali dengan pembacaan Hadist Sahih Muslim, Hadith 2001: No. 4661 dan 1172 oleh mantan PMI (Pekerja
Migran Indonesia) di Hongkong, Erwiana. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan
Injil dan pengantar yang disampaikan oleh Romo Ignatius Ismartono SJ.
“Ada
banyak kasus perdagangan manusia yang dialami oleh PMI sebagai korban ketidak
adilan di luar negeri. Mereka merasa tersingkir, terbuang dan teraniaya. Di masa Prapaskah ini mari kita merenungkan derita sesama kita yang sedang menderita,
khususnya derita yang dialami para korban perdagangan manusia. Yesus bertanya
ketika Aku lapar, engkau tidak memberi Aku makan, dimanakah kita ketika
saudara-saudara kita membutuhkan uluran tangan kita?” ucapnya mengajak seluruh
peserta masuk ke dalam permenungan.
Selanjutnya
moderator seminar, Jeni mengajak peserta melihat permasalahan yang dihadapi oleh para
PMI yang bekerja di luar negeri melalui penuturan para relawan sebagai pendamping
PMI dari akar rumputnya sembari mempersilahkan narasumber yang pertama, Arta
Elisabeth Purba untuk menyampaikan materinya.
Arta saat memaparkan tentang kasus perdagangan orang di NTT |
Melalui
penuturannya, wanita yang akrab disapa Arta ini memaparkan sekilas tentang definisi
perdagangan orang berdasarkan Undang-Undang No 21 Tahun 2007.
Kemudian ia mengajak
hadirin untuk melihat secara langsung permasalahan yang dialami masyarakat NTT
sebagai korban perdagangan manusia.
Berdasarkan
pengalaman di lapangan, ia melihat bahwa rantai perdagangan manusia yang
terjadi di NTT tidak terlepas dari peran orang-orang terdekat korban, termasuk kerabat
dekat, pemerintah bahkan aparat penegak hukum.
Mereka
bahkan melakukan pemalsuan dokumen dan menjadi penghuni gelap di negara orang
lain melalui jalur-jalur tikus yang sudah diatur sesuai skenario para calo, agen dan sponsor. Konsekuensi
dari perbuatan tersebut tentu sangat berat, mereka disulap menjadi orang gelap yang
masuk dalam cengkraman brutal dan dililit rantai hutang yang tak berkesudahan. Mereka ditindas, dilecehkan dan dieksploitasi
secara keji tanpa henti.
Dari
semua fenomena yang terjadi, ia bersama dengan kaum biarawan, biarawati dan
para religius NTT menggalang suatu gerakan bersama untuk memperjuangkan
nilai-nilai kemanusiaan demi memperjuangkan para korban.
“Disana
saya membantu karya kerasulan Anti
Human Trafficking suster Penyelenggaraan Ilahi bersama Suster Laurentina PI dengan kaum religius yang lainnya dalam menyelesaikan berbagai kasus PMI yang dipulangkan ke tanah air. Selain itu turut bergabung dalam pelayanan kargo
untuk menerima kedatangan para jenazah di Kargo Bandara El Tari Kupang,” ujarnya.
Menurutnya,
beberapa korban perdagangan orang berhasil dipulangkan dari Malaysia dan
Singapura ke daerah asalnya melalui kerjasama antar kaum religius yang ada di
NTT dengan jaringan Tripartit Dioceses yakni
keuskupan pengirim (dalam hal ini NTT), keuskupan penerima (Malaysia dan Singapura) dan keuskupan transit (Batam, Medan).
Ia
juga menuturkan berdasarkan catatan BP3TKI Kupang, Provinsi NTT telah menerima
sebanyak 64 jenazah pada tahun 2017 dan 104 jenazah pada tahun 2018.
“Dari
104 jenazah yang diterima pada tahun 2018, saya menjemput 50 jenazah yang
terdiri dari 36 pria dan 14 wanita tanpa mengenal waktu baik siang maupun tengah malam,” tuturnya.
Faktor
penyebab meninggal jenazah pun beragam, mulai dari terjangkit penyakit hingga
mengalami kecelakaan kerja.
“Sebagian
besar meninggal karena penyakit paru-paru, sedangkan yang lainnya disebabkan
penyakit maag, overdosis, DBD, kanker, stroke, kencing manis, terkena gigitan
hewan seperti ular dan anjing serta meninggal saat melahirkan Ada juga yang meninggal karena tertimpa alat berat di lokasi kerja,” tambahnya.
Ia
memaparkan kronologi beberapa jenazah yang meninggal dari awal penjemputan 13 April
2018 hingga 31 Desember 2018. Jenazah pertama yang ia jemput bersama dengan
suster Laurentina PI pada 13 April 2018 adalah Marcel Leo asal Desa Kusa Kec
Kuanfatu yang meninggal karena terkena rabies dari gigitan anjing setelah
bekerja 11 tahun di Malaysia. Jenazah ke 12 pada tanggal 14 Juni 2018 atas nama
Alfred Nenete berasal dari Desa O’O bibi Kec Kot Olin Kab TTS karena mengalami
maag kronis. Jenazah ke 13 pada tanggal 15 Juni 2018 Ani Nunuhitu Napu asal
Rote Ndao karena overdosis obat.
“Pernah
suatu waktu, dalam satu hari kami menjemput 3 jenazah sekaligus yakni pada
tanggal 22 Juni 2018 atas nama Rosana Mite asal Desa Kuanoni Kec Kota Raja
Kupang, Marta Mbatu asal Desa Oebel Kec Kupang dan Laurensius Raja asal Desa Nualy, RT 005, RW 003 Niowula, Detusoko,
Ende,” tuturnya.
Ia
menjelaskan bahwa ketika jenazah yang berasal dari luar pulau di luar daratan Kupang
tiba di Kargo Bandara El Tari Kupang maka akan disemayamkan selama satu
atau bahkan dua malam di garasi ambulans RSUD Yohanes Kupang untuk menunggu
pemberangkatan selanjutnya ke daerah asalnya. Mirisnya pemerintah tidak
menyediakan tempat persemayaman jenazah yang layak untuk PMI. Hingga saat ini, menurutnya, jenazah masih terus dipulangkan tanpa henti ke NTT.
Pada sesi selanjutnya, pembicara kedua, Saraswati memaparkan tentang maraknya perdagangan orang
yang tersebar di kota-kota Metropolitan termasuk Jakarta dengan menggunakan
kecanggihan teknologi yang mutakhir.
Saraswati memaparkan praktik perdagangan manusia secara online |
"Perdagangan
orang yang telah dipaparkan sebelumnya masih menggunakan cara konvensional dan
terjadi di pelosok negeri ini, NTT. Nah sekarang kita akan melihat praktik perdagangan orang yang terjadi di sekitar kita, di kota metropolitan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi seperti media sosial,” ujarnya.
Kecanggihan teknologi media sosial, menurutnya digunakan sebagai senjata jitu
dalam melakukan praktik perdagangan modern dan berhasil menjerat korbannya yang sebagian besar masih berstatus pelajar.
“Kita
harus mengetahui bahwa banyak media sosial yang digunakan untuk menjual manusia
salah satu yang marak sekarang dikenal dengan prostitusi online yang menggiurkan bagi anak muda pengguna internet,” ujarnya.
Ia
juga menerangkan satu persatu media sosial online yang banyak digunakan
sindikat perdagangan manusia untuk menjerat korbannya yakni aplikasi path,
tan-tan dan masih banyak aplikasi onlinelainnya. Melalui kesempatan ini, ia juga memaparkan contoh kasus belakangan ini yang menimpa banyak pelajar khususnya yang masih duduk di
bangku SMA.
Melalui pemaparannya ia mengajak semua peserta untuk waspada terhadap perkembangan teknologi yang ada dan memberikan beberapa tips untuk dapat menjadi pengguna yang bijak dalam bermedia sosial.
Pemaparan materi selanjutnya disampaikan oleh pakar hukum, Rufina Astuti Sitanggang, SH, MH
tentang Undang-Undang yang melindungi korban perdagangan manusia mulai dari
pasal 297 KUHP, pasal 83 UU No. 23 Tahun 2002 dan pasal 1 butir 1 Undang-undang TPPO.
Pakar Hukum, Rufina Astuti Sitanggang S.H, M.H |
Unsur-unsur pokok terjadinya
perdagangan manusia, dipaparkannya meliputi proses (perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemerimaan dan pemindahan), cara (ancaman kekerasan,
pemaksaan, penggunaan kekuatan, tipu muslihat, penyalahgunaan kekuasaan,
penyalahgunaan posisi rawan dan penculikan), hingga tujuan (eksploitasi,
perhambaan, kerja paksa, perbudakan, pelacuran dan pengambilan organ tubuh).
“Jika salah satu dari poin yang saya tampilkan dilayar terjadi, maka
tindakan tersebut sudah dapat digolongkan sebagai TPPO,” ujarnya. sembari menunjuk ke arah slide.
Ia mengajak para peserta untuk mereflesikan apa yang
sudah terjadi di masyarakat. Tidak sedikit orang, khususnya yang tinggal di
Jakarta mengetahui dan menyadari fenomena perdagangan orang yang sedang terjadi
di sekitarnya dan bahkan menjadi pelaku perdagangan orang itu sendiri.
“Mungkin tadi kita tercengang-cengang mendengarkan
ada banyak korban perdagangan manusia yang tidak manusiawi di NTT atau di kota metropolitan, padahal sebenarnya,
bisa jadi kita sendiri pelaku perdagangan orang itu di lingkaran
kehidupan kita. Siapa disini yang masih membayar upah pembantunya di bawah UMR?
Siapa yang masih membeli barang-barang murah tanpa mengecek asal-usul barang yang akan dibeli?
Siapa yang masih mempekerjakan para pekerjanya pada hari libur nasional atau tanggal
merah?” tanyanya tanpa mendapat jawaban dari para peserta.
Ia kemudian
mengajak seluruh peserta untuk merenungkan langkah konkret apa yang sudah
dilakukan dan harus dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap praktik
perdagangan orang di dalam masyarakat.
Setelah
pemaparan dari ketiga narasumber usai, peserta antusias memberikan ragam
pertanyaan terkait perdagangan orang sebagai respon yang positif. Seluruh pertanyaan memperkaya isi dari
materi yang disuguhkan.
Di akhir acara,
moderator membacakan kesimpulan dan ditutup secara resmi oleh Romo Ignatius
Ismartono S.J. Melalui kesempatan ini, sosok yang disapa akrab Romo Is ini
mengajak semua peserta untuk melihat lebih dalam penderitaan Yesus melalui
penderitaan yang dialami para korban perdagangan manusia di masa Prapaskah.
Seluruh peserta diajak merenungkan penderitaan para korban Human Trafficking |
“Semoga
melalui kegiatan di masa prapaskah ini, kita dapat lebih bermenung, mengasah
hati nurani kita untuk peka dan tanggap terhadap penderitaan sesama kita,
terkhusus mereka yang menjadi korban penindasan dan ketidakadilan. Mari kita mulai perubahan dari diri kita sendiri dengan mengekang hawa nafsu kita dan menetapkan pola hidup sederhana sebagai tindakan yang konkret guna meminimalisir praktik perdagangan manusia,”
tutupnya.