Wednesday, May 8, 2019

Menghidupi Sengsara Yesus melalui Kisah Sengsara Para Migran

Jakarta-Sahabat Insan menyelenggarakan Diskusi Publik Migran dan Korban Perdagangan Manusia di Sanggar Prathivi Building, Jl Pasar Baru Selatan No.23, Jakarta Pusat pada Jumat (22/3/2019) pukul 14.00 WIB. 

Acara seminar dibuka oleh Rm Ignatius Ismartono SJ
Diskusi ini bertujuan untuk mengajak seluruh peserta yang hadir merenungkan sengsara Yesus yang mengatakan ketika Aku sengsara kau perhatikan Aku (bdk. Matius 25;35-36) dalam diri para korban perdagangan manusia melalui penuturan dari narasumber, relawan Sahabat Insan, Arta Elisabeth Purba S.Ikom dan Saraswati S.Ikom serta pakar hukum Rufina Astuti Sitanggang S.H., M.H.

Adapun peserta yang hadir pimpinan Sahabat Insan, Romo Ignatius Ismartono SJ, kaum religius, berbagai aktivis/penggiat kemanusiaan dan penyintas perdagangan manusia.

Acara yang berlangsung kurang lebih 2 jam 30 menit ini diawali dengan pembacaan Hadist Sahih Muslim, Hadith 2001: No. 4661 dan 1172 oleh mantan PMI (Pekerja Migran Indonesia) di Hongkong, Erwiana. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan Injil dan pengantar yang disampaikan oleh Romo Ignatius Ismartono SJ.

“Ada banyak kasus perdagangan manusia yang dialami oleh PMI sebagai korban ketidak adilan di luar negeri. Mereka merasa tersingkir, terbuang dan teraniaya. Di masa Prapaskah ini mari kita merenungkan derita sesama kita yang sedang menderita, khususnya derita yang dialami para korban perdagangan manusia. Yesus bertanya ketika Aku lapar, engkau tidak memberi Aku makan, dimanakah kita ketika saudara-saudara kita membutuhkan uluran tangan kita?” ucapnya mengajak seluruh peserta masuk ke dalam permenungan. 

Selanjutnya moderator seminar, Jeni mengajak peserta melihat permasalahan yang dihadapi oleh para PMI yang bekerja di luar negeri melalui penuturan para relawan sebagai pendamping PMI dari akar rumputnya sembari mempersilahkan narasumber yang pertama, Arta Elisabeth Purba untuk menyampaikan materinya.

Arta saat memaparkan tentang kasus perdagangan orang di NTT
Melalui penuturannya, wanita yang akrab disapa Arta ini memaparkan sekilas tentang definisi perdagangan orang berdasarkan Undang-Undang No 21 Tahun 2007. 

Kemudian ia mengajak hadirin untuk melihat secara langsung permasalahan yang dialami masyarakat NTT sebagai korban perdagangan manusia.

Berdasarkan pengalaman di lapangan, ia melihat bahwa rantai perdagangan manusia yang terjadi di NTT tidak terlepas dari peran orang-orang terdekat korban, termasuk kerabat dekat, pemerintah bahkan aparat penegak hukum.

Mereka bahkan melakukan pemalsuan dokumen dan menjadi penghuni gelap di negara orang lain melalui jalur-jalur tikus yang sudah diatur sesuai skenario para calo, agen dan sponsor. Konsekuensi dari perbuatan tersebut tentu sangat berat, mereka disulap menjadi orang gelap yang masuk dalam cengkraman brutal dan dililit rantai hutang yang tak berkesudahan. Mereka ditindas, dilecehkan dan dieksploitasi secara keji tanpa henti.

Dari semua fenomena yang terjadi, ia bersama dengan kaum biarawan, biarawati dan para religius NTT menggalang suatu gerakan bersama untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan demi memperjuangkan para korban.

“Disana saya membantu karya kerasulan Anti Human Trafficking suster Penyelenggaraan Ilahi bersama Suster Laurentina PI dengan kaum religius yang lainnya dalam menyelesaikan berbagai kasus PMI yang dipulangkan ke tanah air. Selain itu turut bergabung dalam pelayanan kargo untuk menerima kedatangan para jenazah di Kargo Bandara El Tari Kupang,” ujarnya.

Menurutnya, beberapa korban perdagangan orang berhasil dipulangkan dari Malaysia dan Singapura ke daerah asalnya melalui kerjasama antar kaum religius yang ada di NTT dengan jaringan Tripartit Dioceses yakni keuskupan pengirim (dalam hal ini NTT), keuskupan penerima (Malaysia dan Singapura) dan keuskupan transit (Batam, Medan).

Ia juga menuturkan berdasarkan catatan BP3TKI Kupang, Provinsi NTT telah menerima sebanyak 64 jenazah pada tahun 2017 dan 104 jenazah pada tahun 2018.

“Dari 104 jenazah yang diterima pada tahun 2018, saya menjemput 50 jenazah yang terdiri dari 36 pria dan 14 wanita tanpa mengenal waktu baik siang maupun tengah malam,” tuturnya.

Faktor penyebab meninggal jenazah pun beragam, mulai dari terjangkit penyakit hingga mengalami kecelakaan kerja.

“Sebagian besar meninggal karena penyakit paru-paru, sedangkan yang lainnya disebabkan penyakit maag, overdosis, DBD, kanker, stroke, kencing manis, terkena gigitan hewan seperti ular dan anjing serta meninggal saat melahirkan Ada juga yang meninggal karena tertimpa alat berat di lokasi kerja,” tambahnya.

Ia memaparkan kronologi beberapa jenazah yang meninggal dari awal penjemputan 13 April 2018 hingga 31 Desember 2018. Jenazah pertama yang ia jemput bersama dengan suster Laurentina PI pada 13 April 2018 adalah Marcel Leo asal Desa Kusa Kec Kuanfatu yang meninggal karena terkena rabies dari gigitan anjing setelah bekerja 11 tahun di Malaysia. Jenazah ke 12 pada tanggal 14 Juni 2018 atas nama Alfred Nenete berasal dari Desa O’O bibi Kec Kot Olin Kab TTS karena mengalami maag kronis. Jenazah ke 13 pada tanggal 15 Juni 2018 Ani Nunuhitu Napu asal Rote Ndao karena overdosis obat.

“Pernah suatu waktu, dalam satu hari kami menjemput 3 jenazah sekaligus yakni pada tanggal 22 Juni 2018 atas nama Rosana Mite asal Desa Kuanoni Kec Kota Raja Kupang, Marta Mbatu asal Desa Oebel Kec Kupang dan Laurensius Raja asal Desa Nualy, RT 005, RW 003 Niowula, Detusoko, Ende,” tuturnya. 

Ia menjelaskan bahwa ketika jenazah yang berasal dari luar pulau di luar daratan Kupang tiba di Kargo Bandara El Tari Kupang maka akan disemayamkan selama satu atau bahkan dua malam di garasi ambulans RSUD Yohanes Kupang untuk menunggu pemberangkatan selanjutnya ke daerah asalnya. Mirisnya pemerintah tidak menyediakan tempat persemayaman jenazah yang layak untuk PMI. Hingga saat ini, menurutnya, jenazah masih terus dipulangkan tanpa henti ke NTT.

Pada sesi selanjutnya, pembicara kedua, Saraswati memaparkan tentang maraknya perdagangan orang yang tersebar di kota-kota Metropolitan termasuk Jakarta dengan menggunakan kecanggihan teknologi yang mutakhir. 

Saraswati memaparkan praktik  perdagangan manusia secara online
"Perdagangan orang yang telah dipaparkan sebelumnya masih menggunakan cara konvensional dan terjadi di pelosok negeri ini, NTT. Nah sekarang kita akan melihat praktik perdagangan orang yang terjadi di sekitar kita, di kota metropolitan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi seperti media sosial,” ujarnya.  

Kecanggihan teknologi media sosial, menurutnya digunakan sebagai senjata jitu dalam melakukan praktik perdagangan modern dan berhasil menjerat korbannya yang sebagian besar masih berstatus pelajar.

“Kita harus mengetahui bahwa banyak media sosial yang digunakan untuk menjual manusia salah satu yang marak sekarang dikenal dengan prostitusi online yang menggiurkan bagi anak muda pengguna internet,” ujarnya.

Ia juga menerangkan satu persatu media sosial online yang banyak digunakan sindikat perdagangan manusia untuk menjerat korbannya yakni aplikasi path, tan-tan dan masih banyak aplikasi onlinelainnya. Melalui kesempatan ini, ia juga memaparkan contoh kasus belakangan ini yang menimpa banyak pelajar khususnya yang masih duduk di bangku SMA. 

Melalui pemaparannya ia mengajak semua peserta untuk waspada terhadap perkembangan teknologi yang ada dan memberikan beberapa tips untuk dapat menjadi pengguna yang bijak dalam bermedia sosial. 
Pemaparan materi selanjutnya disampaikan oleh pakar hukum, Rufina Astuti Sitanggang, SH, MH tentang Undang-Undang yang melindungi korban perdagangan manusia mulai dari pasal 297 KUHP, pasal 83 UU No. 23 Tahun 2002 dan pasal 1 butir 1 Undang-undang TPPO

Pakar Hukum, Rufina Astuti Sitanggang S.H, M.H
Unsur-unsur pokok terjadinya perdagangan manusia, dipaparkannya meliputi proses (perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemerimaan dan pemindahan), cara (ancaman kekerasan, pemaksaan, penggunaan kekuatan, tipu muslihat, penyalahgunaan kekuasaan, penyalahgunaan posisi rawan dan penculikan), hingga tujuan (eksploitasi, perhambaan, kerja paksa, perbudakan, pelacuran dan pengambilan organ tubuh).  “Jika salah satu dari poin yang saya tampilkan dilayar terjadi, maka tindakan tersebut sudah dapat digolongkan sebagai TPPO,” ujarnya. sembari menunjuk ke arah slide.

Ia mengajak para peserta untuk mereflesikan apa yang sudah terjadi di masyarakat. Tidak sedikit orang, khususnya yang tinggal di Jakarta mengetahui dan menyadari fenomena perdagangan orang yang sedang terjadi di sekitarnya dan bahkan menjadi pelaku perdagangan orang itu sendiri.

“Mungkin tadi kita tercengang-cengang mendengarkan ada banyak korban perdagangan manusia yang tidak manusiawi di NTT atau di kota metropolitan, padahal sebenarnya, bisa jadi kita sendiri pelaku perdagangan orang itu di lingkaran kehidupan kita. Siapa disini yang masih membayar upah pembantunya di bawah UMR? Siapa yang masih membeli barang-barang murah tanpa mengecek asal-usul barang yang akan dibeli? Siapa yang masih mempekerjakan para pekerjanya pada hari libur nasional atau tanggal merah?” tanyanya tanpa mendapat jawaban dari para peserta.

Ia kemudian mengajak seluruh peserta untuk merenungkan langkah konkret apa yang sudah dilakukan dan harus dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap praktik perdagangan orang di dalam masyarakat.

Setelah pemaparan dari ketiga narasumber usai, peserta antusias memberikan ragam pertanyaan terkait perdagangan orang sebagai respon yang positif. Seluruh pertanyaan memperkaya isi dari materi yang disuguhkan.

Di akhir acara, moderator membacakan kesimpulan dan ditutup secara resmi oleh Romo Ignatius Ismartono S.J. Melalui kesempatan ini, sosok yang disapa akrab Romo Is ini mengajak semua peserta untuk melihat lebih dalam penderitaan Yesus melalui penderitaan yang dialami para korban perdagangan manusia di masa Prapaskah.

Seluruh peserta diajak merenungkan penderitaan para korban Human Trafficking
“Semoga melalui kegiatan di masa prapaskah ini, kita dapat lebih bermenung, mengasah hati nurani kita untuk peka dan tanggap terhadap penderitaan sesama kita, terkhusus mereka yang menjadi korban penindasan dan ketidakadilan. Mari kita mulai perubahan dari diri kita sendiri dengan mengekang hawa nafsu kita dan menetapkan pola hidup sederhana sebagai tindakan yang konkret guna meminimalisir praktik perdagangan manusia,” tutupnya.