Hari ini, Minggu (14/10/2018) aku menjalankan kewajiban
sebagai seorang katolik untuk mengikuti misa pagi bersama dengan para suster Penyelenggaraan
Ilahi di Paroki St Yosep Pekerja Penfui, Kupang, NTT. Usai misa, kami kembali ke
biara dan mempersiapkan sarapan pagi untuk disantap bersama. Setelah makanan
selesai dihindangkan, kami segera sarapan.
Usai makan, aku segera berkemas-kemas menuju ke Kargo
Bandara El Tari Kupang untuk memberangkatkan jenazah PMI yang dikirim dari
Malaysia pada Jumat (12/10/2018) lalu seorang diri. Sesampainya di kargo, hanya
aku dan salah satu petugas BP3TKI, pak Stefanus yang berada di kargo untuk
memberangkatkan jenazah JF ke kampung halamannya.
Menurutnya, jenazah JF sudah menginap selama dua malam 3
hari di RSUD Yohanes Kupang tanpa keluarga. Ia mengatakan bahwa JF asal
Dusun Krokowolon RT/RW 02/01 Desa Waiar Kec Kewapante Kupang, NTT dipulangkan
secara mendadak tanpa pemberitahuan pada Jumat (12/10) lalu. Menurutnya, hal
ini terjadi karena kurangnya koordinasi dari KBRI kepada petugas BP3TKI dalam
hal pemulangan jenazah.
Berdasarkan keterangan dari dokumen yang tertempel
rapi di atas peti, jenazah kelahiran Flores 3 April 1962 ini telah meninggal
pada 7 Oktober 2018 lalu karena mengidap penyakit Advanced hepatoma di Rumah Sakit Segamat, Malaysia. Dengan berbagai
proses panjang, jenazah kemudian berhasil dipulangkan ke Kupang pada Kamis
(11/10) dengan rute Kuala Lumpur ke Jakarta, Jakarta ke Kupang. Sebelum masuk
ke ruang X-Ray, aku dan pak Stef
mendoakan jenazah JF dengan doa Bapa Kami dan Salam Maria sehingga
perjalanannya berjalan lancar tanpa kekurangan sesuatu apapun dan bisa dimakamkan secara layak.
Jenazah JF memasuki mesin X-Ray sebagai persyaratan keberangkatan |
Sepulang dari Kargo, aku segera menyusul Suster Laurentina
PI ke kantor DPD NTT untuk mengikuti pertemuan yang diadakan AICHR (ASEAN
Intergovernmental Commission on Human Rights) bekerjasama dengan IOM (International
Organization for Migration) Kedutaan Swiss Jakarta, DPD Kupang, dan Kementerian
Luar Negeri Republik Indonesia.
Dalam pertemuan bergengsi ini, diusung tema “Dialog
Publik dan Pelatihan Pendekatan Berbasis HAM untuk implementasi Konvensi ASEAN
melawan Tindak Pidana Perdagangan Orang Khususnya Perempuan dan Anak (ACTIP)”.
Kegiatan ini bertujuan untuk mengimplementasikan pendekatan berbasis HAM dalam
penanganan perdagangan orang di ASEAN, khususnya di wilayah NTT.
Dalam pertemuan ini turut hadir Wakil Gubernur NTT,
Josef Nai Soi didampingi oleh DPD NTT, Kementerian Sosial, Dinas Sosial
Provinsi, Nakertrans, Bareskrim Kupang, Lembaga Perlindungan Perempuan dan
Anak. Tak hanya itu, perwakilan dari IOM, pegiat issu pemberantasan perdagangan
orang NTT dan beberapa LSM lainnya serta insan pers juga memenuhi undangan.
Wakil Gubernur NTT, Josef Nai Soi yang membuka acara
secara langsung, menyampaikan apresiasinya terhadap semua pihak yang bersama-sama
bergandengan tangan dalam memberantas pelaku perdagangan orang. Ia juga
mengungkapkan keseriusannya dalam memberantas perdagangan orang yang terjadi di
daerah NTT. Hal itu sudah terbukti dengan kembalinya beberapa korban
perdagangan manusia dari Medan (3 orang) dan dari Maumere (11 orang) ke
Kupang.
Wagub NTT, Josef Nai Soi (6 dari kanan) dan Prof Dinna Wisnu, Ph.D (7 dari kanan) berfoto bersama |
Ia juga mengatakan secara tegas untuk meluruskan
realisasi dari pasal 1 dan 2 UU No 21 tahun 2007 yang menegaskan bahwa hukuman
bagi pelaku perdagangan orang adalah minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun masa
kurungan dan membayar denda. Ia menegaskan bahwa pasal tersebut menggunakan
kata penghubung DAN bukan ATAU sehingga meskipun sudah mendapatkan hukuman
tahanan, pelaku perdagangan manusia wajib membayar denda.
Menurutnya, dari segi perundang-undangan, penegakan
untuk memberantas perdagangan orang sudah sangat lengkap, namun sangat
diperlukan implementasinya dalam masyarakat. Ia juga membukakan rencana
perjalanannya yang akan berangkat ke Malaysia bersama dengan Gubernur NTT guna
melakukan pendataan bagi saudara-saudari PMI yang berada di Malaysia.
“Jika memang kondisi mereka disana sejahterah dengan
pekerjaannya namun tidak punya dokumen, maka kita fasilitasi dengan baik segala
pengurusan dokumennya, namun kalau pekerjaannya kurang bagus maka akan kita
segera pulangkan ke NTT,” ujar Josef yang juga merupakan wakil Victor B. Laiskodat.
Sehubungan dengan hal itu, Wakil Indonesia di AICHR Prof
Dinna Wisnu, Ph.D, berharap pertemuan ini bisa memberikan pemahaman
tentang HAM dan mencegah kerentanan oleh para pelaku perdagangan manusia. Ia juga
memaparkan secara keseluruhan permasalahan terkait perdagangan orang yang
terjadi dalam lingkup internasional (ASEAN), nasional bahkan hingga ke lingkup
regional.
Dari hasil diskusi kali ini, aku mengetahui dengan
jelas berbagai kasus perdagangan manusia yang tidak hanya terjadi di daratan
melainkan juga di lautan luas. Mirisnya, praktik kejahatan luar biasa ini
terorganisir dengan baik bahkan berjalan mulus melintasi batas negara.
Untuk memerangi hal itu, menurutnya perlu dilakukan langkah
konkret oleh seluruh lapisan masyarakat dalam sebuah jaringan yang terkoneksi
dengan baik. Dengan jaringan yang terjalin dengan baik, maka kasus perdagangan manusia bisa di
tangani dengan lebih baik.
Diakhir diskusi, Prof
Dinna mengajak peserta untuk memetakan hal konkret terkait cara pencegahan, perlindungan korban, penegakan hukum dan
penuntutan, serta jenis-jenis kerjasama antar negara. Seluruh masukan dan saran
yang membangun, melalui Prof
Dinna akan di rangkum oleh AICHR untuk kemudian diramu menjadi suatu
kebijakan yang bisa diimplementasikan secara efektif sebagai jawaban untuk berbagai
kasus human trafficking. Musuh kita
adalah Kejahatan. Enyalah kejahatan, datanglah kebenaran.
***