Friday, July 12, 2019

Jenazah ke-45

#Kisah-Kisah dari Program Eksposure Belarasa 2018 (36)
 
Pada hari ini, Minggu (4/11/2018) aku bangun lebih awal dari yang biasanya. Hari ini aku bersemangat untuk menyuci motor yang akan dipakai untuk misa ke Claret. Motor yang bersih tentu akan menambah sukacita di hari Minggu bagi si pengendaranya.

Matahari masih belum menampakkan sinarnya. Aku membuka gerbang belakang biara dan mengeluarkan sepeda motor ke bawah pohon yang ada di halaman belakang biara pada pukul 4.40 WITA. Meskipun masih tampak gelap gulita, namun aku tak memperdulikannya, tetap kulanjutkan menyuci sepeda motor secara manual. Kutimba air dari dalam bak dan kuguyur pada sepeda motor merah hitam yang sudah setia menemani kami dalam melaksanakan tugas kemanusiaan. Ya, bisa kukatakan ialah salah satu pihak yang paling setia dalam menemani kami melakukan pelayanan para korban PMI baik dalam keadaan yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.

Usai menyuci motor, aku segera mandi dengan secepat kilat agar tidak telat menuju ke gereja. Aku bersyukur bisa mengikuti misa dengan baik tanpa kekurangan sesuatu apapun. Firman Tuhan hari ini sangat menyentuh yakni dengan mengasihi manusia seperti kita mengasihi diri sendiri. Definisi kasih memang sangat luas, umum dan mudah diucapkan namun tak mudah dilakukan. Aku menilik lebih dalam pada diriku sendiri. Sudahkah aku mengasihi dan menjadi perwujudan dari kasih itu? Atau hanya sekedar formalitas saja dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi dibandingakan oranglain? Aku membawa permenungan itu hingga ke biara untuk kurenungkan pada hari ini.

Jenazah TN dimasukkan ke dalam Kargo
Aktivitasku terus berlanjut, sesampainya di biara, aku dan para suster segera menyantap makan pagi. Kemudian membersihkan asrama dan mengantar Suster Laurentina PI ke Bandara El Tari Kupang dengan menggunakan sepeda motor. Sesampainya di bandara, kuucapkan selamat berjuang kepada Suster Laurentina PI dan berharap semoga semuanya berjalan dengan lancar seturut kehendak Bapa. Kudoakan perjalanannya agar tiba dengan selamat hingga ke Jakarta dan kemudian menuju ke Jerman dan Roma hingga pada akhirnya kembali ke Kupang.

Setelah itu, aku segera menuju ke Kargo Bandara El Tari Kupang untuk mengantar jenazah atas nama TN, asal Ende yang sudah tiba pada Jumat (2/11/2018) lalu dan menginap di RSUD W.Z. Yohanes Kupang, NTT. Pihak keluarga tidak ingin jika kematian jenazah ini diketahui oleh umum. Kedatanganku juga mengundang curiga bagi mereka. Meskipun tatapan mereka penuh tanya dan tak pernah lepas olehku, aku tetap berada di tempat jenazah hingga jenazah TN dimasukkan ke dalam mesin X-Ray sebagai persyaratan keberangkatan Jenazah meninggal akibat penyakit Acute ischemic stroke.  

Jenazah TN masuk ke dalam mesin X-Ray
Tak mengapa kedatanganku di sambut dengan tatapan curiga oleh mereka, saudara si jenazah. Maafkan mereka ya Bapa, mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat, aku hanya menjalankan misi kemanusiaan, pelayanan kargo. Meskipun aku tidak mengetahui banyak tentang latar belakang jenazah, namun aku bisa menyaksikan untuk ke sekian kalinya jenazah dipulangkan dari Malaysia dan dihantar melalui Kupang untuk dilanjutkan ke Ende.

Entah kenapa aku bingung dengan perasaanku saat ini, menjemput jenazah bukan lagi menjadi sebuah ketakutan bagiku, namun sudah menjadi sebuah rutinitas. Perasaan ini tentu menimbulkan pertanyaan reflektif yang menghantui, apakah para penjemput jenazah baik dari pihak pemerintah, penggiat isu Anti human trafficking dan juga teman-teman Pers yang meliputnya merasakan hal yang sama dengan yang kurasakan? Memandang tugas ini sebagai suatu rutinitas? Jika ya, entahlah, aku tidak dapat mendefinisikan perasaan yang kualami ini lewat rentetan kata. Mungkin saja penjemputan ini sudah menjadi sebuah rutinitas, namun tentu kembali pada pribadi masing-masing dalam memaknai tugas perutusannya masing-masing. Apapun itu semoga bisa banyak membantu mereka sebagai korban yang tersingkirkan.

***