Pada
hari ini, Minggu (4/11/2018) aku bangun lebih awal dari yang biasanya. Hari ini
aku bersemangat untuk menyuci motor yang akan dipakai untuk misa ke Claret.
Motor yang bersih tentu akan menambah sukacita di hari Minggu bagi
si pengendaranya.
Matahari
masih belum menampakkan sinarnya. Aku membuka gerbang belakang biara dan
mengeluarkan sepeda motor ke bawah pohon yang ada di halaman belakang biara
pada pukul 4.40 WITA. Meskipun masih tampak gelap gulita, namun aku tak
memperdulikannya, tetap kulanjutkan menyuci sepeda motor secara manual. Kutimba
air dari dalam bak dan kuguyur pada sepeda motor merah hitam yang sudah setia
menemani kami dalam melaksanakan tugas kemanusiaan. Ya, bisa kukatakan ialah
salah satu pihak yang paling setia dalam menemani kami melakukan pelayanan para
korban PMI baik dalam keadaan yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.
Usai
menyuci motor, aku segera mandi dengan secepat kilat agar tidak telat menuju ke
gereja. Aku bersyukur bisa mengikuti misa dengan baik tanpa kekurangan sesuatu
apapun. Firman Tuhan hari ini sangat menyentuh yakni dengan mengasihi manusia
seperti kita mengasihi diri sendiri. Definisi kasih memang sangat luas, umum
dan mudah diucapkan namun tak mudah dilakukan. Aku menilik lebih dalam pada
diriku sendiri. Sudahkah aku mengasihi dan menjadi perwujudan dari kasih itu?
Atau hanya sekedar formalitas saja dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi
dibandingakan oranglain? Aku membawa permenungan itu hingga ke biara untuk
kurenungkan pada hari ini.
Aktivitasku
terus berlanjut, sesampainya di biara, aku dan para suster segera menyantap
makan pagi. Kemudian membersihkan asrama dan mengantar Suster Laurentina PI ke
Bandara El Tari Kupang dengan menggunakan sepeda motor. Sesampainya
di bandara, kuucapkan selamat berjuang kepada Suster Laurentina PI dan berharap semoga
semuanya berjalan dengan lancar seturut kehendak Bapa. Kudoakan perjalanannya agar tiba dengan selamat hingga ke Jakarta dan kemudian menuju ke Jerman
dan Roma hingga pada akhirnya kembali ke Kupang.
Setelah
itu, aku segera menuju ke Kargo Bandara El Tari Kupang untuk mengantar jenazah atas nama TN,
asal Ende yang sudah tiba pada Jumat (2/11/2018) lalu dan menginap di RSUD W.Z. Yohanes Kupang, NTT. Pihak keluarga tidak ingin jika kematian jenazah ini diketahui oleh
umum. Kedatanganku juga mengundang curiga bagi mereka. Meskipun tatapan mereka
penuh tanya dan tak pernah lepas olehku, aku tetap berada di tempat jenazah
hingga jenazah TN dimasukkan ke dalam mesin X-Ray
sebagai persyaratan keberangkatan Jenazah meninggal akibat penyakit Acute ischemic stroke.
Tak
mengapa kedatanganku di sambut dengan tatapan curiga oleh mereka, saudara si
jenazah. Maafkan mereka ya Bapa, mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat, aku
hanya menjalankan misi kemanusiaan, pelayanan kargo. Meskipun aku tidak
mengetahui banyak tentang latar belakang jenazah, namun aku bisa menyaksikan
untuk ke sekian kalinya jenazah dipulangkan dari Malaysia dan dihantar melalui
Kupang untuk dilanjutkan ke Ende.
Jenazah TN masuk ke dalam mesin X-Ray |
Entah
kenapa aku bingung dengan perasaanku saat ini, menjemput jenazah bukan lagi
menjadi sebuah ketakutan bagiku, namun sudah menjadi sebuah rutinitas. Perasaan
ini tentu menimbulkan pertanyaan reflektif yang menghantui, apakah para
penjemput jenazah baik dari pihak pemerintah, penggiat isu Anti human trafficking dan juga teman-teman Pers yang meliputnya
merasakan hal yang sama dengan yang kurasakan? Memandang tugas ini sebagai
suatu rutinitas? Jika ya, entahlah, aku tidak dapat mendefinisikan perasaan
yang kualami ini lewat rentetan kata. Mungkin saja penjemputan ini sudah
menjadi sebuah rutinitas, namun tentu kembali pada pribadi masing-masing dalam
memaknai tugas perutusannya masing-masing. Apapun itu semoga bisa banyak membantu mereka sebagai korban yang tersingkirkan.
***