Monday, July 15, 2019

Jenazah ke-46

#Kisah-Kisah dari Program Eksposure Belarasa 2018 (37)

Hari ini, Sabtu (10/11/2018) aku menjemput jenazah asal Ende atas nama SS. Jenazah Pekerja Migran Indonesia (PMI) ini tiba tanpa dijemput oleh keluarga. Ia diketahui meninggal dalam kecelakaan naas yang dialaminya pada 29 Oktober pukul 08.10 yang lalu. 

Jenazah SS tiba di Kargo Bandara El Tari Kupang
Berdasarkan keterangan yang tertulis di atas peti, jenazah dengan nomor pasport 21.72.04.10003.000386 ini sempat mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Seri Manjung Perak dan sudah diotopsi sebelum dipulangkan ke Tanah air. Aku masih ingat seminggu yang lalu, salah satu pengurus migran di Keuskupan Perak Malaysia, Dennis meminta surat kepada suster untuk bersedia menanggungjawabi proses datangnya jenazah ke Bandara El Tari Kupang untuk kemudian dikirim ke daerah asal di Desa Nuamuri, R/RW 001/001 Kec Kelimuthu, Ende, NTT. Bersamaan dengan surat tersebut maka jenazah bisa dipulangkan ke tanah air.

Doa dipimpin oleh Oma Pendeta Emmy dan ditutup dengan doa Rasario yang kupimpin untuk menghormati jenazah sebagai seorang Katolik. Ini merupakan oikumene hidup yang terjalin antar umat beragama khususnya antara Kristen Protestan dan Katolik. Kombinasi doa yang sangat mujarab dan penuh iman dalam kasih dan persaudaraan. 

Proses pemindahan jenazah SS dari kereta kargo ke mobil ambulans
Pelayanan kargo ini murni dilakukan atas dasar kemanusiaan. Kaum religius yang terlibat, masing-masing menunjukkan kekonsistenannya dalam mendampingi umatnya melalui pelayanan kargo. Kami juga secara fleksibel menjadi keluarga korban ketika tak seorangpun dari keluarganya yang datang untuk menyambut kepulangannya ke Kupang.       

Setelah berdoa di Bandara El Tari Kupang, Oma pendeta, perwakilan dari JPIT (Jaringan Peduli Perempuan Indonesia Timur) kak Dicky, aku dan satu orang mahasiswa UNDIP menghantarkan jenazah ke RSUD Yohanes Kupang.

“Tidak ada keluarganya, mari kita hantarkan sampai ke rumah sakit,” ajak Oma Pendeta Emy.

“Baik Oma. Oma mau pergi dengan saya?” tanyaku.

“Tidak, saya dengan jenazah di mobil ambulans. Kalian menyusul naik motor ya,” jawabnya sambil masuk ke dalam mobil ambulans menemani jenazah SS.

Pintu mobil ambulans ditutup dan sirene mulai dinyalakan bak teriakan seseorang yang sedang dirundung pilu. Ya, kali ini kembali ada duka. Kami mengiringi mobil jenazah dengan sepeda motor. Tentunya harus cepat dan sigap agar tidak ketinggalan dari mobil ambulans yang melaju dengan kecepatan tinggi tanpa memperhatikan rambu-rambu lalulintas.

“Tuhan, lindungilah aku,” gumamku sambil mengencangkan gas dan menerobos setiap lampu merah. Untung saja selamat. 

Sesampainya disana, kami melihat ada satu peti jenazah yang sudah diletakkan di garasi ambulans. Segera saja kudekati peti itu dan melirik pada selembar kertas yang tertempel diatasnya. Pada kertas yang selembar itu tertulis identitas korban atas nama YEON asal Desa Korowuwu, Kec Lela, Kab Sikka, NTT. Jenazah ditanggungjawabi oleh pengirimnya atas nama Yato beserta nomor handphonenya. 

“Kapan ya jenazah tiba di tempat ini?” tanyaku.

“Entahlah, biar kita cari tahu dulu. Saya hubungi dulu nomor HP yang ada disini,” ujar Kak Dicky.

Pihak yang berhasil dihubungi mengatakan bahwa jenazah yang adalah seorang katolik dan tutup usia 20 tahun itu berasal dari Kalimantan Timur, bukan Malaysia.

Namun bagi Oma pendeta Emmy, jenazah atas nama YEON tersebut diduga seorang migrant yang sebenarnya PMI. Menurutnya, ada banyak perusahaan asing yang seolah-olah milik WNI (Warga Negara Indonesia) tetapi ternyata milik asing. 

Suara orang yang dihubungi diluar sana menjawab bahwa jenazah dari Kalimantan dan sudah diurus antar kargo. Kami bisa sedikit lega saat mengetahui bahwa kepulangan jenazah tersebut sudah diurus oleh perusahaan tempatnya bekerja meskipun ada kemungkinan bahwa jenazah tersebut merupakan PMI. 

Jenazah SS dan Jenazah YEON di Garasi RSUD W.Z. Yohanes Kupang, NTT
Sebelum pulang, kami berdoa untuk kedua jenazah. Kali ini, oma memintaku memimpin doa karena kedua jenazah beragama katolik. Kupanjatkan doa dan kututup dengan Bapa Kami, Salam Maria dan Kemuliaan. Setelah doa selesai, kami berpamitan dan melanjutkan aktivitas selanjutnya.

Aku segera kembali ke biara untuk menjemput Delti, kemudian berangkat ke Claret untuk mengikuti misa penguburan Pater Ryan CMF. Sesampainya disana, ruangan sudah penuh sesak dengan umat dan kaum berjubah. Misa berlangsung khusyuk dari awal hingga proses pemakaman.

Peti jenazah dimasukkan kedalam kuburan yang sudah disedikan bersama dengan para Pater CMF yang sudah mendahuluinya. Bentuk makam dibangun bertingkat dan berkamar-kamar. Pater Ryan CMF menempati kamar nomor 4 teratas dari sebelah kiri. Kami hanya bisa menyaksikan dari jauh proses memasukkan peti kedalam kubur. Sebelum kubur ditutup secara permanen dengan semen, pihak keluarga dipersilahkan menaburkan bunga sebagai tanda penghormatan terakhir bagi Pater Ryan CMF.

Acara penguburan selesai pada pukul 19.30 WITA. Kami mengucapkan turut berdukacita yang sedalam-dalamnya untuk keluarga besar Pater CMF. Melalui peristiwa duka hari ini bersama 2 orang jenazah PMI dan 1 jenazah Pater menyadarkanku bahwa hidup sangat singkat dan Tuhan bisa memanggil kita dengan cara apa saja, dimana saja dan kapan saja tanpa memandang usia dan status sosial. Mampukanlah aku untuk mengingat bahwa keberadaanku didunia ini hanya sementara saja agar aku bisa mengabdi Engkau dan sesamaku dengan tulus, tanpa memeras dan mengeksploitasi.      


Esoknya, pada Minggu (11/11/2018) aku kembali menghantarkan jenazah SS yang akan melanjutkan penerbangan ke daerah asalnya di Ende. Namun sebelum berangkat ke Kargo, aku, calon suster Delti dan suster Vero PI mengajar anak-anak SEKAMI di Stasi Manuat. Setelah beberapa bulan tidak berkunjung ke stasi ini, akhirnya aku bisa bergabung lagi dengan mereka. Kami berkunjung dengan membawa bingkisan untuk anak-anak SEKAMI sebagai ungkapan syukur suster-suster PI atas ulangtahun yang ke-176.


Setelah misa dan mengajar SEKAMI selesai, aku berpamitan ke Kargo untuk mengantarkan jenazah SS yang akan diberangkatkan ke Ende, sementara suster Vero dan Delti segera kembali ke biara.

Namun sangat disayangkan, ketika aku tiba di bandara, peti jenazah sudah masuk ke mesin X-Ray. Aku melihat salah satu anggota BP3TKI Kupang, Pak Stefanus melangkah maju ke luar dari ruang pemberangkatan jenazah. Ia mengatakan baru saja  ia menghantarkan jenazah kedalam ruang X-Ray. Sangat disayangkan tidak ada yang mendoakan jenazah, tidak juga Pak Stef yang hanya seorang diri.
 
Namun kami tidak segera beranjak dari Bandara karena masih terdapat satu buah peti yang berada di ruang jenazah. Ternyata peti itu merupakan peti PMI yang bekerja di Kalimantan Timur. Tidak ada satupun keluarga yang mengurus keberangkatannya selain petugas bandara. Kami mengamati dari kejauhan untuk memastikan bahwa jenazah bisa masuk kedalam mesin X-Ray dan siap untuk diberangkatkan. Menurutnya, jika jenazah tidak berkoordinasi dengan BP3TKI maka kepulangan jenazah diurus secara langsung oleh agen yang berkoordinasi secara langsung lewat petugas kargo.

Kami menunggu hinga jenazah dipindahkan menggunakan pickup bandara menuju ke ruang X-Ray. Setelah itu, aku segera berpamitan dan kembali ke biara. Semoga Jenazah SS bisa tiba dengan selamat hingga ke kampung dan bisa dimakamkan secara layak. Semoga keluarga juga diberikan penghiburan atas peristiwa duka ini.


***