#Kisah-Kisah dari Program Eksposure Belarasa 2018 (12)
Pada
penjemputan kali ini, Jumat (22/6/2018) aku dan suster Laurentina PI menjemput
tiga jenazah sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Jenazah yang merupakan PMI
kiriman dari Malaysia berangkat dengan pesawat Garuda dan tiba di Kargo Bandara
El Tari Kupang pada pukul 13.00 WITA.
Jenazah RM dan LR di atas troli Kargo Bandara El Tari Kupang |
Selama
tiga bulan aktif dalam pelayanan Kargo, baru kali ini mobil ambulans berjejer 3 dan
memuat 3 jenazah (dua orang wanita dan seorang pria). Salah satu dari tiga jenazah atas
nama MM dijemput secara langsung oleh pihak keluarga, sementara dua jenazah
lainnya RM (41) Asal Desa Kuanino Kecamatan Toraja, Kupang NTT (akan dikirimkan
ke Maumere) dan LR (34) asal Ende tidak dijemput oleh pihak keluarga. Untuk
sementara, kedua jenazah RM dan LR akan disemayamkan sementara di RSUD W.Z.
Yohanes Kupang hingga diberangkatkan ke kampung halamannya lewat jalur udara pada hari selanjutnya.
Satu
persatu dari peti sudah dimuat kedalam mobil jenazah. Suster Laurentina PI,
Romo Adnan Pr, Oma pendeta Emmy dan Mama pendeta Ina secara bergantian memimpin
doa jenazah berdasarkan kepercayaan masing-masing ada yang Kristen Protestan dan ada juga yang Katolik.
Oma Pendeta Emmy dan Mama Ina mendoakan Jenazah atas nama MM yang dijemput oleh
seorang puterinya, sementara Suster Laurentina PI dan Romo Adan Pr memimpin doa untuk jenazah RM dan
LR. Usai berdoa, jenazah atas nama MM segera dibawa ke rumah duka di daerah
Oebelo, sementara dua jenazah lainnya segera dibawa ke RSUD Yohanes Kupang.
Aku,
suster Laurentina PI serta kedua ibu pendeta turut mengantarkan jenazah MM bersama
dengan anggota BP3TKI dan juga Nakertrans Provinsi dengan menggunakan sepeda
motor ke rumah duka di Oebelo. Mengikuti iring-iringan mobil jenazah tentu
membutuhkan tenaga yang sangat ekstra. Kita harus mempunyai kemampuan
mengendarai sepeda motor dengan kecepatan yang sangat tinggi karena ambulans
tidak mengenal lampu lalulintas. Supaya tidak ketinggalan, maka aku harus berusaha
berada di sisi kanan atau kiri ambulans.
Sesampai
di rumah duka, jenazah disambut isak tangis oleh seluruh anggota keluarga. MM meninggalkan 4 orang anak dan juga 1 orang cucunya. Ia sudah bekerja di
Malaysia selama 13 tahun dan baru satu kali pulang ke tanah air. Namun sangat
disayangkan, ketika ia kembali ke kampung halaman untuk menjumpai suami, anak
dan cucunya beberapa tahun silam, ia harus mendapatkan gugatan cerai dari
suaminya dan terpaksa berpisah.
Kenyataan
pahit membulatkan tekadnya untuk kembali bekerja di Malaysia sebagai tukang
cuci di sebuah hotel. Ternyata ajal menjemputnya diusianya yang ke 43 tahun
karena terinfeksi virus.
“Kami mendengar
kabar bahwa virus menyebabkan tekanan darahnya tidak stabil pada 19 Juni 2018.
Akhirnya kami harus kehilangan mama ini untuk selamanya,” ujar Mama pendeta
Yernad dalam kata sambutan ketika menyambut jenazah dalam peti.
Usai
berdoa, jaringan koalisi Anti Human Trafficking
beserta perwakilan dari pemerintah yakni BP3TKI dan Nakertrans bersama Ibu
Pendeta Yernad sepakat untuk membuka peti jenazah di hadapan keluarga. Proses
pembukaan peti cukup lama karena peti dilem dengan sangat kuat sehingga tidak terbuka
selama perjalanan sesuai standar pengiriman jenazah internasional. Beberapa laki-laki
dewasa harus menggunakan pisau untuk membuka tutup peti yang bewarna coklat keorenan.
“Prakkk” tutup peti berhasil dibuka.
“Prakkk” tutup peti berhasil dibuka.
Kami
melihat ada plastik putih tebal yang sangat besar yang digunakan membungkus
jenazah. Orang yang bertugas membuka peti segera membuka dengan pelan plastik
penutup jenazah dimulai dari bagian kepala. Ketika plastik berhasil dibuka maka
keluar sebuah gas dari dalam jenazah yang sangat pedih dan menyengat. Seketika uap
formalin memenuhi ruang tamu tempat jenazah dibaringkan. Aku segera menutup hidungku
yang sedikit sensitif. Tangis anak-anak dan keluarga almarhum pecah ketika melihat
wajah MM terbujur kaku.
“Mama eee,, mama
eee, bangun mama ee,,,, o,, mama eee,” teriak seorang nona sambil berusaha
meraih wajahnya.
Kuberanikan
diriku untuk melihat proses pembukaan plastik jenazah dari jarak dekat. Dari
tempatku berdiri, kulihat dengan jelas seorang wanita berparas cantik yang kaku
dengan jeket jeans, celana hitam dan juga sepatu hak tinggi yang dibungkus
rapi.
Oma
pendeta Emmy segera membuka sedikit baju jenazah untuk memeriksa bagian tubuh
jenazah dan memastikan kondisi jenazah dalam keadaan baik.
“Hanya ada satu
goretan kecil di bagian perut jenazah pertanda sudah dilakukan otopsi,” ucapnya
sembari menutup kembali perut jenazah dengan bajunya.
Peti jenazah MM di buka di rumah duka |
Setelah
itu, peti kembali di tutup untuk disemayamkan pada sore hari dihari yang sama. Isak
tangis keluarga yang berduka tak terbendung. Mereka meraung sekeras mungkin
melepas rindu sambil memandang tubuh kaku orang yang dicintainya untuk
selamanya.
“Mama eee, maafkan
beta ma. Mama eee, bangun ma. Mama eeee o mama eee,” teriak puterinya tak
karuan.
“Tuhan Engkaulah
yang meneriman arwah ibu ini dalam pangkuan-Mu di surga dan berikanlah
penghiburan bagi anak-anaknya agar tetap tabah dalam iman akan Engkau,” pintaku
dalam hati saat berdiri di depan kaki jenazah.
Kami
segera menyalami keluarga yang berduka dan keluar dari ruang tempat jenazah
dibaringkan.
“Yang tabah ya
kak,” ujarku kepada si nona yang masih terisak sembari beranjak keluar ruangan
untuk mengikuti acara ibadah penguburan.
Pada
sore harinya, aku dan suster Laurentina PI mendoakan dua jenazah lainnya di
RSUD W.Z.Yohanes Kupang.
“Selamat sore
mama, apakah mama saudara yang meninggal ini?” ujarku sambil menyalam tangan
beberapa ibu yang sudah duduk di ruang garasi rumah sakit tempat jenazah di
baringkan.
“Bukan nona,
saya sama sekali tidak kenal dengan jenazah, hanya saja kami satu kampung,
sama-sama dari Ende,” ujarnya sembari tersenyum.
“Mama dapat
informasi dari mana?” tanyaku lagi.
“Saya mendapatkan
informasi dari saudara saya yang tinggal di Maumere untuk melayat ke rumah
sakit,” ujarnya.
Ternyata
sikap solider masyarakat NTT terhadap orang sekampungnya masih tinggi. Mereka
bahkan menganggap bahwa mereka masih keluarga meskipun tidak saling mengenal
satu dengan yang lainya karena satu kampung.
Jenazah PMI LR dan RM di Ruang Jenazah Kargo El Tari |
Berdasarkan
keterangan yang kami peroleh dari orang-orang yang juga datang berdoa di RSUD
Yohanes bahwa jenazah atas nama LR meninggal karena mengidap penyakit asma,
sementara atas nama RM meninggal dalam kondisi mengandung. Tidak
ada yang mengetahui secara pasti informasi lebih dalam mengenai jenazah. Namun
satu hal yang pasti dilakukan mereka dan nyata adalah kesediaan mereka untuk
datang mendoakan jenazah sekalipun mereka tidak mengenal jenazah itu.
Suster
Laurentina PI, Oma Pendeta Emmy dan Mama Pendeta Ina bersama satu orang pendeta
lainnya dengan setia memimpin doa jenazah di rumah sakit atas dasar
kemanusiaan.
“Mari kita
bersatu dalam doa,” ajak Oma Pendeta Emy yang bersedia memimpin ibadat.
Kehadiran
mereka para kaum religius bertujuan untuk menyadarkan semua pihak, bahwa jenazah
PMI yang diterima dan disambut di Kargo merupakan seorang manusia makhluk
ciptaan Allah yang secitra dengan-Nya. Mereka bukan barang yang dianggap tidak
berharga. Mereka adalah manusia yang berbudi luhur, yang rela berjuang
mempertaruhkan segalanya untuk berjuang di negeri orang.
“Ironinya,
sebagian besar PMI yang pergi bermigrasi karena keluarga, namun sangat disayangkan, disaat hembusan nafas terakhir,
tak ada keluarga yang datang menjemput. Pergi untuk keluarga, pulang tanpa
keluarga,” tutupnya.
Aku
hanya terdiam dengan pernyataan itu. Ruangan garasi mobil ambulance merupakan
saksi bisu dari penjemputan jenazah PMI seketika menjadi sangat luas dan
mengerikan. Semuanya hening, kaku sekaku mayat yang terbaring di dalam peti. Meskipun
garasi ini rela disulap menjadi tempat bersemayam sementara para jenazah, namun
ini tak bisa menutup sebuah realita ketidak pedulian pemerintah NTT terhadap permasalahan
kasus Human Trafficking yang sudah mendarah
daging dan tidak terpisahkan dari bumi Karang NTT.
Mereka
tak bisa menutupi bahwa sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan, mereka belum
benar-benar memberikan hati untuk sesamanya yang menjadi korban dari
eksploitasi dan pemerasan tak berperi kemanusiaan hingga menghilangkan hak
untuk hidup.
“Adilkan ini
untuk mereka? Dimanakah keadilan? Inikah balasan dari sebuah pengorbanan?
Bisakah kau memberikan jawab?”
Aku
masih berdiri di samping kedua peti jenazah. Sama kakunya dengan mereka yang
berbaring di dalamnya.
“Dimanakah
keadilan?” tanyaku tak terjawab.
***