#Kisah-Kisah dari Program Eksposure Belarasa 2018 (7)
Jumat (1/6/2018)
yang lalu, merupakan hari lahirnya pancasila. Namun jika direnungkan, belum
semua sila diamalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimulai dari sila
pertama hingga ke lima, kehidupan sosial di negara ini masih jauh dari kata
ideal.
Sila pertama
yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa” kerap kali dinodai dengan mengadu domba
agama yang satu dengan yang lainnya dan berusaha membunuh karakter kemanusiaan
itu sendiri. Pada sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”
juga tak sepenuhnya dirasakan karena masih banyak masyarakat yang tidak
merasakan keadilan dan keberadaban sebab sebagian besar hidup di bawah garis
kemiskinan yang penuh kemelaratan, terkhusus di provinsi NTT. Tidak sedikit dari mereka
yang diperlakukan secara tidak adil dan tidak beradab sebagai korban
Human Trafficking oleh sesamanya. Orang kuat berkuasa atas yang lemah.
Sila ketiga yang
berbunyi “Persatuan Indonesia” nyatanya masih terpecah-pecah oleh gab-gab
tertentu yang merontokkan persatuan dan kesatuan sebagai bangsa bermartabat.
Sila keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan juga dipertanyakan dengan pemerintahan yang masih
tidak arif dan bijaksana dalam menangani permasalahan rakyatnya. Sila kelima “Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” belum seutuhnya terwujud karena sebagian
besar masyarakat tidak merasakan keadilan dan justru ditindas oleh
ketidakadilan yang mewabah dimana-mana.
Sama halnya
seperti hari ini (1/6), di hari pancasila, aku bersama dengan suster Laurentina PI mengisinya dengan menjemput
jenazah PMI, korban ketidak adilan atas nama HF yang lahir pada 17 Juni 1969 lalu. Berdasarkan surat
keterangan tertulis yang dibuat oleh rekan kerjanya, KN, mengungkapkan bahwa HF
mengalami stroke tanggal (17/5) dan selang 8 hari kemudian yakni pada Sabtu, (26/5/2018)
pukul 18.00 WIB, HF meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit Tanjung Karang.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter, HF meninggal karena menderita sakit sesak
nafas.
Jenazah dijadwalkan akan tiba di Kargo
Bandara El Tari Kupang pada pukul 09.30 WITA dan wajib menginap di
RSUD selama 2 malam sebelum diberangkatkan ke Ende pada Minggu (3/6) siang
melalui jalur udara. Namun nyatanya, jenazah tiba pukul 14.30 WITA karena penerbangan
tertunda akibat letusan gunung merapi di Jawa.
Kami sudah menunggu
di bandara dari pukul 10.00 WITA dan bertemu dengan beberapa anggota dari relawan
Eks migran, perwakilan BP3TKI Pak Siwa dan Pak Ujang serta pihak dari
Nakertrans, Pak Darmawan.
Suster Laurentina PI mengurus kedatangan jenazah HF |
Pater
Deus OCD
segera menyambut jenazah dalam doa sebelum dibawa ke RSUD Yohanes
Kupang.
Diantara kerumunan aku melihat kehadiran pasukan kuning, anggota Satgas
Partai Golkar dengan atributnya turut mendoakan jenazah. Wajar saja jika
kehadirannya menjadi
tanya besar, apalagi sudah mendekati pilkada dan pilpres. Apakah
penjemputan
ini juga akan masuk kedalam agenda politiknya sebagai bahan perjuangan
di
parlemen atau hanya sebagai kendaraan atau alat mencapai kekuasaan saja?
Entahlah! Ada yang bisa menjawab?
Setelah
jenazah
diberkati dan mobil ambulans berangkat meninggalkan Kargo, kami segera
pulang.
Kargo sepi kembali dan jika jenazah menginap di RSUD Yohanes, ada jadwal
doa oleh anggota koalisi yang mendoakan jenazah pada malam hari
hingga hari keberangkatan ke kampung halaman.
Pater Deus OCD memimpin doa jenazah PMI HF |
Pada Minggu (3/6/)
aku sudah berada di Kargo El Tari Kupang satu jam sebelum kedatangan jenazah. Disana
aku bertemu perwakilan dari BP3TKI Pak Stevanus, Pak Timoti dan keponakan
korban, Marcelinus serta seorang temannya yang sedang menunggu keberangkatan jenazah di ruang
Jenazah Kargo.
Pak Stev
membungkus ulang peti jenazah yang berukuran kecil untuk memastikan bahwa
plastik wrapping dapat menjaga peti
dari kebocoran cairan yang tak diinginkan sebelum memasuki mesin X-Ray.
Sebelumnya, menurut pengakuan Pak Stev, pernah terjadi kebocoran pada peti
jenazah hingga jenazah mengeluarkan cairan busuk dan membasahi semua
barang-barang penumpang bandara di dalam kabin barang.
“Kita terpaksa
harus wrapping ulang karena dulu
pernah ada kejadian, peti jenazah bocor dan airnya menggenangi semua koper
penumpang. Bau busuk dimana-mana dan banyak pihak yang dirugikan,” ujarnya.
Aku bergidik
membayangkan cairan busuk yang membasahi koper penumpang. Apalagi terkadang
jenazah yang dikirim sudah berusia 2 hingga 3 minggu terhitung dari tanggal
kematian untuk dikirimkan ke tanah air.
“Saat kejadian itu peti jenazah wajib dikeluarkan
dan jenazah dipindahkan ke peti yang baru agar dapat diberangkatkan melalui
jalur udara,” ujarnya.
“Wah, bagaimana
dengan penumpang yang lain pak?” tanyaku.
“Tentu semua
keberatan karena kopernya bau mayat. Kalau hal itu terjadi lagi tentu sangat
repot. Kita dua kali kerja dan sangat sulit berurusan dengan pihak bandara
karena semua barang wajib dikeluarkan dari pesawat dan cairan dari dalam peti
dipel terlebih dahulu. Kita jadi repot sekali,” keluhnya.
Ia menduga ada
pihak yang bermain dalam proses pengiriman jenazah.
“Kalau hal itu
terjadi maka jasa pengiriman jenazah dari negara pengirim yang diduga bermain
didalamnya. Peti yang seharusnya memiliki ketebalan sekian diganti menjadi peti
yang tipis dan murah sehingga ketika di udara peti mengalami kebocoran dan
terjadilah hal yang tidak diinginkan,” ujarnya lagi.
Aku tidak habis
pikir, ternyata sekalipun PMI dipulangkan dalam keadaan tidak bernyawa, mereka
masih saja diperas, dieskploitasi dan dianggap sebagai komoditi penghasil
keuntungan bagi para agen yang mengurusnya.
“Sangat kejam
dan biadab!” geramku dalam hati.
“Mau makan uang
banyak tapi tak mau memberikan peti yang terbaik. Susah sekali! Tapi begitulah
kenyataannya,” tambahnya lagi.
Sembari menunggu,
kusempatkan mengobrol dengan salah satu mahasiswa Undana semester 4 yang merupakan
keponakan HF, Marcelinus. Ia ingin menjemput langsung kedatangan om kandungnya
yang sudah bekerja selama belasan tahun di Malaysia. Menurut Marcel, HF yang
merupakan anak bungsu dari empat bersaudara tidak pernah berkomunikasi dengan
pihak keluarga dan baru 3 tahun belakangan menjalin komunikasi dengan pihak
keluarga.
“Om punya 1 isteri
dan 1 orang cucu dari putera tunggalnya yang sudah berkeluarga di kampung
halamannya di Ende,” ujarnya.
Setelah menunggu
selama kurang lebih 2 jam, pada pukul 11.31 WITA jenazah dimasukkan ke dalam
kargo melalui X Ray. Jika jenazah sudah masuk ke dalam X-Ray maka tinggal
menunggu waktu keberangkatan jenazah yang dijadwalkan pukul 14.00 WITA. Ada
satu orang perwakilan BP3TKI yang ikut mengantarkan jenazah hingga ke kampung
halaman di Ende.
Jenazah HF masuk ke mesin X-Ray |
Jenazah
diprediksikan akan tiba di Bandara Maumere pada pukul 15.00 WITA kemudian akan
dibawa oleh BP3TKI melalui jalur darat menuju kampung halaman di Ende yang
ditempuh dalam waktu kurang lebih 3 jam.
Pada pukul 18.00
WITA, suster Lauren mendapatkan informasi berupa keterangan dan foto dari
BP3TKI bahwa jenazah sudah tiba di kampung halaman di Ende. Semoga pihak
keluarga yang menyambut kepulangan jenazah dapat tabah dan menerima peristiwa kedukaan
ini dan arwahnya dapat beristirahat tenang dalam pangkuan Allah Bapa
dan keluarga segera segera terhibur.
***