Tampaknya
tak ada kata weekend untuk menjemput kedatangan
jenazah yang datang pada hari ini, Sabtu (30/6/2018). Aku sangat memahami bahwa
dalam menjalankan tugas dan karya Anti
Human Trafficking aku harus selalu
siap sedia. Sering juga jenazah datang secara tiba-tiba dengan pemberitahuan
yang sangat mendadak bahkan saat jenazah sudah berada di kargo dan tidak ada
yang menangani, sama seperti peristiwa hari ini.
“Kak, handphone
kakak berdering tuh,” ucap Iga, keponakan suster yang membantuku membersihkan
halaman biara untuk digunakan oleh OMK (Orang Muda Katolik) di acara Nusra
Youth Day se-Nusa Tenggara.
Aku segera
berlari ke kamar dan mengangkatnya.
“Halo selamat
pagi suster, ada apa?” tanyaku.
“Kamu dimana? Di biara kan? Kamu segera menuju ke kargo karena ada jenazah yang sudah tiba disana.”
“Jenazah? Dari mana suster?” tanyaku sambil menyeka keringat.
“Tidak ada waktu menjelaskan, segera keluarkan sepeda motor dan pergi ke Kargo.”
Aku segera bersiap dan meluncur seorang diri ke Kargo Bandara El Tari Kupang karena Suster Laurentina PI sedang bertugas di luar daerah. Saat tiba di Kargo, jenazah sudah berada di mobil jenazah dan sedang menunggu kedatangan keluarga. Kudekati peti dan kulihat dokumen yang tertempel di peti atas nama YD.
Berdasarkan informasi dari BP3TKI, jenazah YD sudah bekerja selama 4 tahun
di Malaysia dan belum pernah kembali ke tanah air. Ia meninggalkan dua orang
putera yang berumur 10 tahun dan 7 tahun serta seorang isteri yang juga
sama-sama bekerja di Malaysia.
Meskipun
isteri masih dalam perjalanan dari Malaysia ke Kupang, namun pihak keluarga
yang berdomisili di Kupang segera membawa peti jenazah ke rumah duka di Jl
Nangka, Kupang. Aku bersama Pendeta Emy dan juga Pendeta Ina segera melesat ke
rumah duka mengikuti ambulans dengan menumpang mobil Disnakertrans. Ternyata mobil salah satu media yakni TVRI juga mengikuti iring-iringan ambulans hingga ke rumah duka.
Rumah
duka yang kami tuju merupakan rumah dari saudara (om kecilnya) YD. Mereka masih satu
keluarga dekat dan sangat terbuka dengan kedatangan jenazah YD. Sesampainya di
rumah duka, peti dimasukkan ke ruang tamu dan didoakan oleh Oma pendeta Emy
beserta keluarga. Usai berdoa, seorang mama yang sedari tadi menangis mulai
berkata-kata.
“Perkenalkan,
saya Adri. Jenazah memanggil tante kepada saya karena dia adalah
keponakan saya. Jujur saya tidak mengingat lagi bagaimana wajah si jenazah karena
sudah sangat lama sekali tidak bertemu,” ucapnya sesekali menyeka air matanya
dan memandang peti jenazah keponakannya.
“Setahu saya, YD merupakan anak ke 4 dari 13 bersaudara, yakni 1 wanita dan 12 pria”
ujarnya lagi.
Ia
mengakui bahwa jenazah YD pergi lewat jalur tidak resmi membawa serta sang isteri. Semua dokumen diurus
oleh ayah kandung isteri (mertua). Sepasang kekasih ini terpaksa meninggalkan kedua
buah hatinya untuk diurus di kampung bersama pihak keluarga isteri.
“Sebenarnya
masih ada pergolakan untuk penguburan almarhum karena antara isteri dengan
pihak keluarga ponakan kami ini masih memperdebatkan lokasi penguburan jenazah,”
ujarnya.
Menurutnya,
sang isteri menginginkan suaminya dikubur di kampungnya di Rote Tengah,
sementara pihak keluarga besar suami bersih keras menguburkan di kampung
halamannya di Rote Selatan.
“Entahlah, masih
bingung mau dibawa kemana jenazah ini. Belum ada kata sepakat. Kita sedang menunggu
kedatangan sang isteri dari Malaysia yang akan tiba di Kupang siang ini.
Mungkin sebentar lagi karena beberapa menit lalu ia memberitahu bahwa pesawatnya
sudah mendarat di bandara,” ujarnya.
Benar
saja, tidak lama kemudian, suara tangis seorang wanita yang merupakan isteri
jenazah, tumpah di depan peti jenazah. Meskipun baru tiba, tangisnya terdengar
amat pilu. Wanita yang memiliki kulit sawo matang dan badan yang sangat kurus itu
terkulai lemas di atas kursi.
“Tolong ambilkan
air panas untuknya,” ucap mama itu kepada anak gadisnya.
Terlihat
seorang wanita membawakannya minuman hangat, namun ia menolak. Pandangannya
menerawang sangat jauh. Sorot matanya penuh beban. Kuamati gerak geriknya dalam
diam. Tampaknya ia sangat terluka, seakan tak bisa disembuhkan.
Jenazah YD tiba di rumah keluarga di Kupang sebelum di berangkatkan ke Rote |
“Saya kenal
kehidupan mereka di Malaysia karena kami merupakan tetangga di sana. Semasa
hidupnya, suaminya selalu menghambur-hamburkan uang untuk membeli minuman keras
seperti alkohol,” ujarnya.
Menurutnya, sang
isteri tidak pernah bisa menyimpan uang sedikitpun demi memenuhi kebutuhan minuman
keras suaminya. Namun disaat yang bersamaan, ia selalu mengeluh sakit pada bagian
kaki, tangan dan perut.
“Sering kram juga
pada bagian perutnya,” ujarnya.
Sebelum
meninggal, almarhum YD meminta diurut karena kakinya sakit. Lalu majikan membawanya
ke klinik kesehatan Beluru dan ia menghembuskan nafas terakhirnya disana.
Aku
hanya terdiam mendengarkan kesaksian wanita itu sambil memandangi isterinya yang
masih termenung di samping peti.
“Pantas saja
mama ini kurus kering,” gumamku dalam hati.
Dalam
jeritannya yang sempat tertumpah beberapa menit lalu, terbersit ribuan duka
yang tak bisa dijelaskan. Tak ada pilihan selain mengikhlaskan sang suami pergi
untuk selama-lamanya.
Aku
hanya bisa mengelus punggung isterinya yang sangat kurus itu ketika hendak
meninggalkan rumah duka. Berharap bahwa bisa sedikit menenangkannya. Tak ada
yang bisa kulakukan selain mendoakan yang terbaik untuk arwah jenazah dan
keluarga yang ditinggalkan. Rencananya jenazah akan dikirim ke Rote pada Minggu
(1/7/2018) pukul 04.00 WITA melalui jalur laut dan biaya ditanggung oleh keluarga.
Sekali
lagi, setiap penjemputan jenazah selalu menyimpan kisah dibaliknya. Ada
kepedihan, luka dan perasaan tertekan dalam diri mama yang kehilangan suaminya
ini.
***