Monday, June 24, 2019

AKSI DAMAI MELAWAN PERDAGANGAN ORANG DI NTT

Pada bulan Mei 2019, para pemerhati kasus-kasus perdagangan manusia di NTT cukup sering melaksanakan aksi damai. Aksi damai ini selain dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya perdagangan manusia, juga untuk mengingatkan pemerintah daerah akan komitmen awalnya yang bertekad untuk memberantas perdagangan manusia sampai ke akar-akarnya. 

Yayasan Sosial Penyelenggaraan Illahi (YSPI), mitra Sahabat Insan di Kupang, turut bergabung dalam 2 aksi damai selama bulan Mei. Yang pertama, Kampanye Anti Perdagangan Manusia yang dilaksanakan pada tanggal 4 Mei 2019 di area Car Free Day (CFD) di Kupang. Sedangkan yang kedua, dalam skala yang lebih besar, dilakukan di depan Polda NTT dan Gedung Sasando kantor Gubernur NTT pada hari Senin, tanggal 6 Mei 2019.

Pada hari Jumat tgl 3 Mei 2019, sehari sebelum Kampanye Anti Perdagangan Manusia dilaksanakan, para aktivis bahu membahu mengerjakan papan kampanye dan juga replika manusia di kantor IRGSC . Relawan Sahabat Insan, Jeny Lamao pun ikut bergabung dalam kesibukan tersebut. Ia membantu merekatkan kardus yang sudah ditempeli kertas berisi tuntutan agar kaku, juga memotong kardus-kardus tersebut agar terlihat lebih rapi dan ukurannya sesuai dengan kertas tuntutan yang ditempel. Kardus-kardus itu digunting dengan menggunakan cutter dan penggaris. Semua kegiatan itu dilakukan hingga malam hari sampai semuanya siap dipakai untuk kegiatan esok hari. Sementara para relawan sibuk mempersiapkan perlengkapan, Suster Laurentina dan Pendeta Emmy sibuk melayani wawancara dari berbagai media yang datang secara bergantian.


Keesokan harinya, Sabtu, (04/05/2019) hari H untuk pelaksanaan Kampanye Anti Perdagangan Orang di NTT. Semua aliansi yang terlibat yang hadir dalam aksi kampanye tersebut berkumpul di depan Hotel Cendana pada pukul 07.00 WITA, dan pada pukul 09.00, aksi dimulai dengan bersama-sama berjalan memutar di jalur El-Tari yang pada hari Sabtu selalu menjadi jalur CFD. Yang berdiri paling depan adalah para suster dan Mama Pendeta Emmy, yang selama ini dengan tanpa takut selalu berdiri di garda terdepan untuk membela kemanusiaan, termasuk membela para korban perdagangan manusia. Bergabung juga bersama mereka Romo Paulus Rahmat, SVD dan Suster Genobeba, SSpS dari VIVAT Indonesia. Masing-masing pihak berdiri sambil memegang papan yang sudah dipersiapkan sehari sebelumnya.  Dengan memakai selendang, para peserta aksi terlihat unik dibandingkan dengan masyarakat lainnya yang datang ke situ untuk berolahraga atau sekedar jalan-jalan di area CFD ini. Mereka terlihat semakin mencolok dengan kalungan papan tuntutan yang kata-katanya tegas meminta keadilan. Kaum muda yang kebetulan hadir di situ seperti menemukan hal baru yang membuat mereka tertarik. Beberapa dari mereka dengan malu-malu mendatangi peserta aksi dan meminta ijin untuk memegang dan foto dengan papan tuntuan itu. Dengan senang hati para peserta aksi memberikannya karena dengan begitu pesan-pesan yang tertulis di papan itu akan semakin banyak tersebar di media-media sosial sehingga semakin banyak pula pihak yang sadar akan  bahaya perdagangan manusia ini. 


Aksi Damai kedua dilaksanakan pada hari Senin, 6 Mei 2019. Sejumlah elemen masyarakat dan lembaga-lembaga pemerhati kasus perdagangan manusia melakukan aksi damai di halaman depan Polda NTT dan Gedung Sasando - kantor Gubernur NTT di Kupang. Aksi damai ini dilakukan untuk mengingatkan kembali komitmen pemerintah daerah untuk memberantas kejahatan perdagangan manusia di NTT, namun kenyataannya sampai saat ini kasus-kasus perdagangan manusia yang terjadi malah makin marak. Selain itu mereka juga memprotes keputusan hakim yang telah menetapkan vonis bebas untuk majikan almarhum Adelina Sau, salah satu pekerja migran Indonesia yang meninggal dunia di salah satu rumah sakit di Penang Malaysia pada tanggal 11 Februari 2018 yang lalu dan ditemukan dalam keadaan kurang gizi dan luka parah di sekujur tubuhnya.


Mengawali aksi damai tersebut, para peserta berkumpul di gereja Santo Yoseph Naikoten. Masing-masing tidak lupa memakai selendang asal daerah mereka, antara lain dari Alor,  Larantuka,  Sabu dll. Keluarga Adelina Sau ikut bergabung turun ke jalan bersama dengan para aktivis lainnya. Kegiatan ini dimulai dengan perarakan dari gereja St. Yoseph Naikoten ke Polda NTT.  Perarakan ini didahului dengan mobil pick up hitam yang memuat beberapa speaker dan replika PM Malaysia, serta orang-orangan berjas memeluk peti bertuliskan RIP. Suara musik ikut mengiringi dari ujung jalan. Agenda yang akan dilakukan adalah aksi di depan Polda NTT dan beraudiensi dengan mereka, melanjutkan perjalanan ke kantor Gubernur NTT sambil bernyanyi, berorasi atau membaca puisi, beraudiensi dengan pemerintah NTT dan acara simbolis sebagai protes terhadap pemerintah Malaysia.

Saat perarakan dimulai, Suster Laurentina, Mama Pendeta Emmy, dan Yohana Banunaek-ibunda Adelina Sau beserta keluarganya berdiri paling depan dengan memegang papan tuntutan. Bersama dengan aktivis lainnya, perarakan yang diringi lagu Kebenaran Akan Terus Hidup yang dinyanyikan oleh Putra Wiji Thukul, seolah tak mengenal rasa takut. Lagu ini sangat menyentuh di hati, apalagi ada puisi yang ucapkan dengan penuh penjiwaan.  

Sesampai di depan Kantor Polda NTT, orasi kemudian dibuka oleh Lia dari OPSI, yang kedua adalah Ardi/IRGSC yang duduk di atas speaker dengan selendang merah membalut kepalanya.  Orasi-orasi kemudian dilanjutkan oleh aliansi mahasiswa yang tergabung dalam aksi protes terhadap pihak kepolisian yang diam saja dan tidak menyelesaikan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang semakin marak terjadi di NTT.  Ketua IRGSC, Elcid Li pun tidak ketinggalan menyampaikan orasinya. Dia menekankan bahwa semua warga negara harus dibela haknya, dan aparat keamanan yang diam adalah penjahat.  Setelah selesai berorasi, para aktivis meminta untuk dipertemukan dengan Kapolda dan Wakapolda. Permintaan ini pada awalnya ditolak, namun setelah berbagai usaha dilakukan, akhirnya mereka mengijinkan Mama Pendeta Emmy untuk masuk ke dalam, disusul kemudian oleh  Suster Laurentina.  Selama kurang lebih tiga puluh menit beliau berdua beraudiensi dengan Polda NTT.


Selesai dari sana, aksi kemudian dilanjutkan ke Gedung Sasando kantor Gubernur NTT. Para aktivis berbaris dengan tertib dengan kawalan dari Kepolisian, dengan urutan replika paling depan, lalu pick-up, kelompok yang memegang bendera dan diikuti oleh yang menggenggam papan tuntutan. Di sana, Suster Laurentina membacakan sebuah puisi berjudul Suara Kebisuan. Puisi tersebut menggambarkan mereka yang tak bisa lagi menyuarakan kesakitan yang dirasakan. Aksi dilanjutkan dengan pembacaan Surat Tuntutan oleh Mama Pendeta Emmy. Bagian paling menyentuh mungkin adalah saat Ibunda Adelina Sau menyampaikan isi hatinya tentang kematian anaknya. Dengan terbata-bata karena isakan yang tak bisa ditahannya dan dengan penuh uraian air mata, ia mengungkapkan perasaannya dengan  bahasa daerah Timor yang diterjemahkan oleh saudara laki-lakinya.   “Kesedihan kami tak pernah berakhir, saya terus menyesal dan juga marah, karena Adelina meninggal bukan karena sakit tapi disiksa oleh majikannya.”  



Aksi kemudian dilanjutkan dengan aksi tabur bunga pada replika PM Malaysia lalu membakar replika itu diiringi puisi menyayat hati oleh seorang perempuan bersarung dan berselendang Timor ungu.  Pada awalnya, gubernur hanya ingin bertemu dengan lima orang perwakilan. Namun para peserta aksi damai menginginkan mereka, sang penguasa yang turun untuk melihat aspirasi rakyatnya. Karena Gubernur NTT saat itu sedang melakukan pertemuan di Ende, akhirnya Wakil Gubernur, Bapak Yosef Nae Soi bersama dengan rombongannya keluar menemui para peserta aksi.  Mama Pendeta Emmy berdiri paling depan bersama Suster Laurentina, sedangkan mama Adelina Sau berdiri di sebelah Wakil Gubernur.  Mama pendeta Emmy kemudian menyampaikan setiap hal yang memang perlu di sampaikan terkait dengan kasus Adelina Sau dan setiap jenazah-jenazah yang tiba di NTT.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Gubernur, Bapak Yosef Nae Soi, menyampaikan bahwa dalam menyelesaikan masalah, mereka memakai hukum internasional Human Trafficking dan tidak bisa mengintervensi hukum negara manapun. Menurutnya berteriak di depan kantor gubernur ini sia-sia, karena untuk menyelesaikan masalah ini harus ada pertemuan antara pemerintah Indonesia dengan Malaysia. Pemerintah Luar Negeri akan berupaya untuk koordinasi dengan Pemerintah Malaysia, dan jika upaya ini gagal maka akan memakai hukum internasional agar pelaku bisa mendapatkan hukuman yang setimpal. Ketua IRGSC kemudian kembali menekankan hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian lebih dari Pemerintah Daerah, seperti pengawasan ketat untuk kasus pemalsuan dokumen, memperkuat pemetaan di desa-desa, serta tindakan tegas atas pelaku perdagangan manusia, mengingat  Gubernur NTT Viktor Laiskodat dalam kampanyenya pernah berjanji akan mematahkan kaki dari pelaku-pelaku perdagangan orang. Ia menambahkan bahwa demo-demo semacam ini sudah sering dilakukan, namun Pemerintah seperti tidak serius merespon tuntutan-tuntutan yang pernah diajukan.

Aksi tersebut ditutup dengan pembacaan Pernyataan Sikap oleh Pendeta Emmy Sahertian. Beliau menekankan, kasus Adelina Sau ini menjadi simbol tidak dihargainya martabat kemanusiaan para pekerja migran, khususnya asal NTT yang bekerja di Malaysia.  Ia berharap PM Malaysia tidak berdiam diri melihat ketidakadilan terhadap orang kecil yang terjadi di wilayahnya. Ia juga menuntut Pemerintah Indonesia segera melakukan banding atas vonis bebas yang diberikan kepada majikan Adelina Sau. Seharusnya pemerintah secara aktif memperjuangkan hak buruh migran, terutama di negeri orang. Selama ini, perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah dianggap masih lemah. Kasus Adelina Sau harusnya menjadi tonggak peningkatan kerja sama antara Indonesia dan Malaysia dalam menyelesaikan persoalan hak pekerja migran. Kemiskinan yang menjadi alasan untuk merantau seharusnya tidak ditanggapi dengan sewenang-wenang dan mengabaikan hak hidup secara layak. Perdagangan manusia telah merusak peradaban NTT, terutama basis keluarga. Sebagai penutup, ia menambahkan bahwa tuntutan ini disuarakan atas nama kemanusiaan dan keadilan sosial. “Sekecil apapun suara kami disuarakan, pasti Tuhan akan membesarkannya.”