Karena hari Minggu, maka sosialisasi diawali dengan Misa Minggu yang dipimpin oleh Pater Sil, CMF. Pada saat pengumuman, bapak Sekretaris Paroki menginformasikan di atas mimbar bahwa setelah Misa akan ada sosialisasi, sehingga umat diharapkan tidak langsung pulang. Namun cukup disayangkan bahwa banyak anak muda yang tetap pulang terlebih dahulu, hanya beberapa saja yang bertahan. Untunglah umat lainnya setia tetap tinggal di tempat duduk untuk mengikuti acara ini.
Suster Laurentina mengawali acara dengan memperkenalkan diri secara singkat, baik mengenai beliau secara pribadi maupun tentang kerasulan anti human trafficking yang menjadi karya suster. Suster juga menjelaskan tentang visi tarekat yang berkaitan dengan pemberantasan perdagangan manusia. Tidak ketinggalan, suster juga menceritakan perjalanan hidupnya selama di Tanah Timor ini. Usai perkenalan, suster mengutarakan harapannya semoga di daerah tersebut tidak ada yang menjadi PMI illegal. Namun ternyata ada salah satu umat yang menyahut bahwa di tempat itu ada. Sebelum Suster masuk kepada materi ia bertanya apakah sebelumnya sudah ada yang memberikan sosialisasi tentang perdagangan orang, mungkin dari dinas sosial atau pun dinas terkait lainnya. Dan menurut mereka ini adalah kali pertama mereka mendapatkan sosialisasi semacam ini.
Slide demi slide yang tertera di layar putih disampaikan oleh suster Laurentina PI, hingga sampai ke slide yang memperlihatkan gambar situasi di penampungan. Peserta yang hadir memberikan respon, berucap dengan bahasa daerah yang artinya entah apa, mereka kaget dan decakan keluar dari bibir mereka. Slide yang mendapat respon lagi dari mereka adalah saat gambar yang menampakkan pekerja di ladang sawit, seolah baru mengetahui apa yang dikerjakan di ladang sawit.
Selain berbagi kisahnya bertemu dengan korban-korban perdagangan orang, Suster juga bercerita tentang jenazah-jenazah yang diterima di kargo bandara El Tari Kupang. Hal yang tidak pernah dilupakan oleh suster adalah menanyakan kepada peserta yang hadir, apakah ada keluarga dari mereka yang bekerja di Malaysia. Bapak Sekretaris Paroki menyampaikan kepada suster bahwa warga di situ paling banyak bekerja di Kalimantan, sedangkan yang di Malaysia hanya beberapa orang saja. Salah satu dari beberapa orang tersebut adalah ibu kandung dari seorang anak bernama M. Ibunya pergi ke Malaysia saat ia masih kelas enam SD dan beberapa tahun yang lalu pernah pulang ke Indonesia untuk melihat keadaan keluarganya. M memiliki seorang ayah yang bekerja sebagai seorang petani. Suster kemudian meminta M untuk menanyakan kepada ibunya alamat lengkap tempat ia bekerja, sehingga suster bisa menghubungi jaringannya yang berada di Malaysia untuk mengecek keadaan dan kondisi kerja ibunya.
Bapak Sekretaris Paroki juga memberikan pertanyaan kepada suster Laurentina tentang apa yang menjadi faktor penyebab seseorang bisa pergi ke Malaysia. Menjawab pertanyaan yang diberikan, suster Laurentina PI mengatakan bahwa penyebab seseorang bisa pergi mengadu nasib di negeri orang adalah karena tuntutan ekonomi, faktor mental, pendidikan yang rendah, juga tidak ada kecintaan terhadap daerah di sini. Suster Laurentina melanjutkan bahwa sebenarnya mereka bisa berusaha untuk melakukan sesuatu di daerah sendiri tanpa harus pergi ke negeri orang. Selesai tanya jawab, suster mempersilakan kepada yang hadir di situ jika ada yang ingin bertanya atau bercerita, bisa langsung datang ke Pastoran karena suster akan ada sampai besok pagi. Mengakhiri sesi sosialisasi ini, bapak Sekretaris Paroki mengajak agar umat tidak pergi ke Malaysia dan bangun usaha sendiri di kampung halaman.
Seperti biasa, setelah seluruh rangkaian acara selesai dilaksanakan, diadakan foto bersama dengan umat yang setia sampai sosialisasi selesai. Secara perlahan, umat pun bubar. Namun ada sepasang suami istri yang menceritakan bahwa ia memiliki saudara sepupu yang sudah di Malaysia sekitar tujuh belas tahun. Pasangan suami istri itu hanya mengetahui bahwa saudaranya berada di Malaysia Timur, dan dulu pernah mengirimkan uang Rp.900.000,- untuk ibunya yang di kampung dan setelahnya tidak ada di kabar. “Apakah ada fotonya?” suster Laurentina PI bertanya kepada pasangan itu. Mereka hanya menjawab dengan mungkin ada, mereka perlu mengecek lagi di rumah orangtua sepupunya itu. Pembicaraan itu akhirnya ditutup dengan foto bersama di depan gereja.