#Kisah-Kisah dari Program Eksposure Belarasa 2018 (20)
Hari ini, Sabtu (21/7/2018) aku kembali menjemput
jenazah PMI yang dikirim dari Malaysia di Kargo Bandara El Tari Kupang tanpa
Suster Laurentina PI yang sedang mengikuti pertemuan para suster di pulau Jawa.
Sementara Delti si calon suster sedang membantu di karya Pendidikan dan Kebun sehingga
tidak bisa menemaniku dalam tugas ini.
“Baiklah,
aku harus pergi melakasanakan misi ini meskipun tidak ada yang menemani. Aku
yakin Tuhan besertaku,” ujarku sambil menghidupkan sepeda motor dan segera
melesat ke kargo.
Pada pukul 12.30 WITA, aku tiba di kargo
dan segera melangkah mendekati ruang jenazah untuk bergabung dengan kelompok
relawan lainnya yang sudah bersiap di Kargo. Tepat pukul 13.23 WITA jenazah
atas nama B asal dari Waturesa RT 015 RW 009 Dusun Waturesa Desa Woiorega Kec
Paga Kab Sikka NTT dimuat di dalam kereta barang dan dipindahkan ke ambulans.
Para relawan kemanusiaan yang hadir mengangkut
peti jenazah yang berwarna putih ke dalam ambulans karena tidak ada seorangpun
keluarga yang datang ke kargo.
“Mari
bantu mengangkat petinya,” ajak petugas BP3TKI, Pak Stef sambil berusaha
memindahkan ke dalam mobil jenazah bersama dengan relawan yang lainnya.
Jenazah B dipindahkan dari kereta kargo ke ambulans |
Pak Stef mengaku sempat kesulitan
menghubungi nomor telepon keluarga yang ada di Maumere untuk saling
berkoordinasi namun setelah mencoba berulang kali, PakStef akhirnya bisa
berkoordinasi dengan keluarga dan segera mengurus pemulangan jenazah.
Tak ada yang tahu bagaimana asal usulnya
dan kronologi kisah B selama merantau di negeri Jiran Malaysia. Tidak ada seorangpun
yang tahu jika dukanya, hingga raganya tiba di tanah air, termasuk aku dan jua
keluarganya. Setelah di pindahkan ke ambulans, kami segera menyambutnya dalam
doa yang dipimpin oleh Romo Adnan Pr. Romo memercikinya dengan air suci dan
menutup dalam berkat penutup bersamaan dengan pintu mobil yang ditutup. Jenazah
segera dibawa ke RSUD W.Z. Yohanes Kupang untuk disemayamkan selama satu malam.
Aku segera kembali ke biara dan singgah
di pasar untuk membeli beberapa keperluan biara. Pada sore harinya, usai bergotong-royong
membersihkan biara, aku segera berangkat ke RSUD W.Z Yohanes Kupang.
Dalam perjalanan, aku singgah di toko membeli lilin untuk dipasang di samping kiri dan kanan peti jenazah di ruang garasi mobil jenazah. Saat memasuki ruang garasi, belum ada seorangpun jaringan koalisi yang kutemui. Tiba-tiba aku bergidik ngeri. Aku berdiri di gerbang garasi di ruang jenazah dan untung saja tidak berapa lama setelah itu, seorang relawan OMK yang datang untuk mendoakan jenazah.
Dalam perjalanan, aku singgah di toko membeli lilin untuk dipasang di samping kiri dan kanan peti jenazah di ruang garasi mobil jenazah. Saat memasuki ruang garasi, belum ada seorangpun jaringan koalisi yang kutemui. Tiba-tiba aku bergidik ngeri. Aku berdiri di gerbang garasi di ruang jenazah dan untung saja tidak berapa lama setelah itu, seorang relawan OMK yang datang untuk mendoakan jenazah.
Kami duduk di samping peti jenazah dan
menunggu yang lainnya datang sambil menyalakan lilin duka. Kebetulan di samping
kamar jenazah terdengar ratap tangis karena kehilangan orang yang disayang
akibat kecelakaan sepeda motor. Dengan rasa penasaran aku bertanya pada seorang
ibu yang ada ditempat itu.
“Ibu
selamat malam, kalau boleh tau yang meninggal pria atau wanita?” tanyaku
penasaran.
Menurutnya, pria tersebut baru memiliki
satu orang anak dan mengalami tabrakan ketika pulang pada pagi hari.
“Ya,
sebelumnya, ia diketahui sedang berpesta minuman keras dengan beberapa orang
temannya. Tak lama setelah itu, ia memutuskan untuk pulang ke rumah dan
kehilangan keseimbangan dan akhirnya menabrak orang lain dengan kecepatan
tinggi,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa pengendara yang
ditabraknya dalam keadaan sekarat di ruang IGD. Aku merinding mendengar tangis
dan ratap dari isterinya yang meraung-raung tanpa henti. Perpisahan oleh maut memang
menyayat dan tidak mengenal ihklas. Tak ada yang rela dipisahkan dari orang yang
disayangi, namun setiap orang tentu akan mengalami hal yang sama, meninggal untuk
selama-lamanya.
Pada pukul 20.05 WITA, anggota koalisi
anti perdagangan orang NTT Pak Herman dan Ibu Esni tiba di rumah sakit dan
kamipun mulai berdoa yang dipimpin oleh Pak Herman. Kami segera berpamitan dan
aku kembali pulang ke biara. Aku percaya meskipun aku sendirian melintasi
jalanan menuju Penfui, Tuhan akan tetap menyertai. Aku sedikit lega karena
sudah sedikit menghapal jalanan Kupang dan bisa kembali ke biara tanpa
kekurangan sesuatu apapun.
Keesokan harinya, Minggu (22/7/2018) aku
segera berangat ke kargo untuk menghantarkan jenazah B usai mengikuti misa di
gereja ST Yosep Pekerja Penfui. Sesampainya di kargo, tak ada seorangpun yang
kutemui selain Pak Stef. Kulihat peti sudah terbungkus rapi setelah di wrapping ulang oleh BP3TKI sebelum
diberangkatkan ke Maumere. Tak berapa lama setelah itu, seorang dari anggota
koalisi anti perdagangan orang NTT.
Meskipun hanya kami bertiga yang
mengatar jenazah, namun kami tetap berdoa untuk keselamatan jenazah hingga ke
Maumere. Aku memimpin doa untuk pertamakalinya bagi jenazah yang ke 26 ini. Ya,
tidak terasa sudah 26 jenazah yang kujemput terhitung sejak April 2018.
Entah kenapa kali ini aku merasakan
kesedihan yang mendalam saat menyadari bahwa ia tidak punya siapa-siapa dan tidak
dijemput sama sekali. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menyambut dan
mengantarkannya dalam doa, sama seperti yang kulakukan pada penyambutan jenazah
yang lainnya.
***