Tuesday, May 31, 2016

Sekelumit Kisah Dari Sebuah Rumah Singgah

Dua minggu lalu, tepatnya tanggal 16 Mei 2016, Sr. Eugenia, PBHK, salah satu relawan Sahabat Insan yang saat ini bertugas di Purworejo, berkunjung ke Jakarta untuk beberapa kepentingan. Kesempatan ini tidak beliau lewatkan untuk mengunjungi beberapa tempat yang pernah didampingi. Salah satunya adalah rumah singgah di daerah Pisangan, Jakarta Timur.


Rumah singgah ini berada tepat di depan rumah singgah Sahabat Insan sebelumnya. Dengan luas bangunan sekitar 300 m2, sore itu rumah tersebut tampak penuh dengan korban. Sekitar 30 pria berada di ruang itu. Termasuk di antaranya Jiwo (bukan nama sebenarnya), salah satu mantan TKI yang baru saja dioperasi di sebuah rumah sakit di Jakarta Pusat karena bekas jahitan saat dibedah di Madinah mengalami infeksi.


Jiwo, pemuda berusia sekitar 23 tahun tersebut, tampaknya juga sedikit tidak stabil. Kepada Sahabat Insan yang menjenguknya sore itu, ia bercerita tak tentu arah dan melantur kemana-mana. Ia adalah anak kedua dari empat bersaudara. Kakak lelakinya sudah terlebih dahulu mengais rejeki sebagai pekerja migran di Malaysia. Ia sebenarnya tidak ingin mengikuti jejak kakaknya. Namun, pada saat adik perempuannya lulus SMA, tiba-tiba adiknya terserang suatu penyakit dan kemudian meninggal dunia. Ia sangat sedih dengan kepergian adiknya itu, yang tampaknya adalah adik kesayangan. Maka ia memutuskan untuk pergi bekerja di Arab Saudi. Pikirnya, jika di sana, ia bisa mendoakan adiknya dengan lebih khusuk karena dekat dengan Masjidil Haram, tempat tersuci bagi umat muslim.


Singkat cerita, sekitar setahun yang lalu, ia pergi ke Arab Saudi dan bekerja di Madinah sebagai tukang bangunan. Di sana ia mengontrak sebuah rumah bersama kedelapan temannya. Uang kontrakan sebesar 800 real mereka tanggung bersama. Di pekerjaan tersebut, ia bekerja selama 6 hari dalam seminggu dan libur setiap hari Jumat. Selama bekerja, ia rajin mengirimkan uang kepada keluarganya di kampung. "Tapi nggak banyak, paling-paling 500 real", ujarnya sambil tertawa kecil. Pada suatu hari, setelah makan siang, ia merasa perutnya melilit begitu hebat seperti keracunan. Semakin hari, perutnya terasa semakin sakit sehingga pada suatu hari ia pingsan. Oleh teman-temannya ia kemudian diantarkan ke sebuah rumah sakit di sana dan pada saat sadar, perutnya sudah dibedah. Setelah pulih, ia pun pulang ke kontrakannya.

Gelombang PHK besar-besaran yang dilakukan oleh sebuah Grup Perusahaan Raksasa di Arab Saudi kemudian membawanya pulang ke Indonesia bersama ratusan teman-temannya yang juga mengalami pemutusan hubungan kerja. Beberapa dari mereka kemudian transit ke rumah singgah tersebut untuk mengurus asuransi PHK. Saat tinggal di situ, Jiwo terus menerus mengeluhkan perutnya yang terasa sakit dan bicaranya semakin melantur. Akhirnya pendampingnya menemukan penyebabnya, yaitu bekas jahitan di Saudi mengalami infeksi.


Saat itu juga pendampingnya memeriksakan ke dokter serta mengurus asuransi kesehatannya. Beruntung karena jaminan kesehatan tersebut dapat dicairkan dan operasi dapat dilakukan. Saat operasi, dokter kembali membuka bekas jahitan tersebut dan menemukan ada benang pancing tertinggal di perutnya. Setelah mengeluarkan benang dan cairan, dokter kemudian menutup perutnya dengan benang yang nantinya akan menyatu dengan daging, dan berpesan untuk kembali kontrol seminggu kemudian. Saat Sahabat Insan menjenguknya, ia sudah terlihat lebih sehat walaupun sekali-kali meringis karena bekas operasi yang masih terasa nyeri. Teman-teman lainnya yang selama di rumah singgah ditugaskan untuk menjaganya juga bercerita, bahwa setelah operasi, bicaranya juga lebih teratur dan terarah, padahal biasanya kacau balau. Tetapi mereka masih mengawasi Jiwo secara ketat, karena dia sering mencuri kesempatan untuk merokok dan minum kopi, padahal sudah dilarang oleh dokter selama masa penyembuhan.



Menurunnya kondisi perekonomian dan beberapa musibah yang terjadi akhir-akhir ini di Saudi Arabia memang membawa dampak besar untuk para pekerja Indonesia yang mencari nafkah di sana, terutama para pria yang bekerja di bangunan. Sebenarnya, sejak bulan Januari 2016, mereka sudah tidak menerima gaji. Namun mereka masih berprasangka baik bahwa gaji hanya terlambat beberapa minggu saja. Tetapi sampai bulan Maret, gaji yang mereka harap-harapkan tak kunjung diterima, sementara persediaan uang mereka untuk hidup sehari-hari sudah habis, belum lagi keluarga di kampung sering menanyakan kiriman uang bulanan. Akhirnya mereka berunjuk rasa dan menghasilkan keputusan PHK tersebut. Menurut berita yang dimuat oleh detik.com, sebanyak 800 orang  dari 15.000 pekerja yang mengalami PHK massal adalah pekerja Indonesia. Mereka dipulangkan secara bertahap oleh Pemerintah Indonesia, bekerja sama dengan agen-agen yang dulu memberangkatkan mereka ke Arab Saudi. BNP2TKI sendiri berjanji akan secara maksimal menfasilitasi para pekerja untuk mendapatkan semua hak yang belum mereka terima.

Sementara itu, para pekerja yang tinggal sementara di rumah singgah tersebut rata-rata sudah bekerja selama setahun dari rencana kontrak dua tahun. Selama ini, mereka selalu menerima pembayaran gaji dengan tepat waktu. Kisaran balas jasa yang mereka terima adalah 1100 - 2000 real tergantung jenis pekerjaan dan banyaknya pekerjaan lembur yang harus diselesaikan. Saat tiba di Indonesia, mereka menunda kepulangannya ke kampung halaman dan tinggal di rumah singgah dengan berbagai kepentingan. Selain Jiwo yang memang sedang sakit, ada yang sedang menunggu cairnya asuransi, menunggu jadwal pemulangan, dan ada juga yang menunggu kepastian pembayaran gaji mereka. Setelah mengalami PHK ini, sebagian besar menyatakan untuk sementara ini tidak ingin kembali dulu ke sana dan mencoba mencari nafkah di negeri sendiri. Namun, tidak menutup kemungkinan jika ada tawaran yang baik, mereka akan kembali ke sana, karena selama ini cenderung tidak mengalami masalah yang berat.

Menurut pendamping, biaya operasional untuk menampung orang sebanyak ini tentu saja sangat besar. Selain mengandalkan bantuan dari para penderma, ia juga membuka warung nasi kuning yang buka setiap jam 17.00 untuk menambah pemasukan sehingga mampu merawat mereka yang menjadi korban. Setiap pagi, para pendamping akan membelanjakan sayur mayur di pasar dan mereka yang tinggal di shelter akan memasak sendiri untuk makan hari itu. Pengalaman hidup di negeri orang ternyata cukup membuat mereka terlatih dan terampil untuk minimal mengurus diri sendiri.

Pada akhirnya, adalah hak masing-masing individu untuk memilih jalan hidupnya. Yang dapat kita lakukan adalah, memberitahukan informasi sebanyak-banyaknya kepada calon pekerja, sehingga mereka mengetahui semua resiko yang mungkin akan dihadapi di negeri orang dan sekaligus bagaimana cara mengantisipasinya. Semoga kesadaran akan hal tersebut semakin meningkat, sehingga pekerja-pekerja migran di Indonesia tidak hanya memperoleh kesejahteraan, namun juga keamanan dan kenyamaan dalam bekerja.


Tuesday, May 24, 2016

Evaluasi Darurat Perdagangan Manusia

Sejak akhir tahun 2014, pemerintah Indonesia sudah menetapkan status darurat perdagangan manusia, salah satunya di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun sampai hari ini, tidak ada tindak lanjut yang signifikan atas penetapan status tersebut. Praktek perdagangan manusia masih saja sering terjadi, dan usaha-usaha pencegahan yang dilakukan terlihat tidak maksimal untuk mengatasi masalah ini.

Hal tersebut mendorong Kelompok Kerja Menentang Perdagangan Manusia (Pokja MPM) melakukan pertemuan dengan berbagai pihak, antara lain DPR, Kemenaker, dan lembaga-lembaga pemerhati TPPO di gedung Komnas Perempuan pada hari Senin, 25 April 2016, untuk melakukan diskusi dengan tema: Evaluasi Darurat Perdagangan Manusia di NTT. Pokja MPM sendiri merupakan jaringan yang terus mendorong untuk menghentikan perdagangan manusia. Hadir dalam acara tersebut antara lain Ibu Magdalena Sitorus dan Sri Nurherwati dari Komnas Perempuan, Wakil dari Kemenaker RI, Nurul Qoiriah dari IOM, wakil dari Komnas HAM, dan Bapak Farry Djemi Francis dari DPR RI.


Menurut IOM (IOM Counter-Trafficking database from 2005 to Desember 2015), situasi TPPO di NTT adalah sebagai berikut:
·    Mayoritas korban asal NTT adalah perempuan berumur kisaran 16 – 45 tahun
·    Bagi korban di bawah umur, dokumen perjalanan rata-rata diproses di kota besar.
·    Kebanyakan korban diming-imingi gaji sekitar IDR 750 ribu – IDR 2,5 Juta
·    Keluarga dibujuk rayu oleh perekrut dengan pemberian uang sirih pinang sebesar IDR 150 ribu – IDR 9 juta
·    Sebagian besar korban berasal dari Kabupaten Soe, Belu, Kupang, Manggarai Timur, Flores, Timur Tengah Selatan, Sabu Raijua, dan Maumere
·    Mayoritas korban perempuan dijanjikan bekerja di sektor domestik di negara tetangga serta di kota-kota besar. 
·    Dalam perjalanannya, mereka ditransitkan di daerah seperti Kupang, Ruteng, Labuan Bajo, Surabaya, Jakarta, dan Batam
·    Sementara untuk korban laki-laki dijanjikan dan dieksploitasi di industri perkebunan.


Sedangkan situasi eksploitasi yang dialami korban rinciannya adalah:
·    79,61% Korban tidak diberikan gaji yang dijanjikan
·    Dokumen perjalanan dan/atau dokumen identitas 76,77% korban ditahan oleh majikan atau agen
·    59,22% korban tidak diberikan makan dan air minum yang layak
·    39,54% di antara korban juga mengalami penjeratan hutang dan 37,6% dari mereka bekerja dalam waktu yang sangat panjang (12 – 22 jam)
·    24,82% dari korban juga sempat mengalami kekerasan fisik
·    7,6% mengalami kekerasan seksual
·    Dan bahkan 2,48% mereka mengalami pemerkosaan pada saat kerja


Profil perekrutnya adalah sebagai berikut:
·    60,46% korban direkrut oleh perekrut individual, calo ataupun tetangga
·    34,22% dari korban direkrut melalui PPTKIS
·    4,8 % direkrut oleh seseorang yang mereka kenal, seperti teman, anggota keluarga (orang tua / suami/ istri)
·    0,18% dari korban mengaku telah diculik dan dijerumuskan ke dalam situasi eksploitasi

Masih menurut IOM, tantangan dalam penanganan kasus TPPO di NTT adalah:
·    Terbatasnya anggaran untuk penanganan korban TPPO
·    Dalam penanganan kasus, kebanyakan aparat penegak hukum kurang sensitif dengan kondisi korban
·    Ketidakseriusan dalam proses penuntutan kasus-kasus TPPO
·    Terbatasnya unit layanan korban di tingkat pusat dan daerah
·    Kurangnya komitmen pemerintah dalam pencegahan dan penanganan TPPO
·    Kurang diprioritaskannya permasalahan TPPO oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/tidak berfungsinya GTPP TPPO Provinsi dan belum adanya GT di tingkat kabupaten
·    Kurangnya koordinasi antar-intansi, baik antar-pemerintah, pemerintah dengan non-pemerintah, serta antar-non-pemerintah


IOM sendiri mengapresiasi anggaran untuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) yang naik sampai 300%. Namun IOM juga mengkritisi, bahwa dana sebanyak itu selama ini sebagian besar hanya dipakai untuk seminar dan training. IOM berharap bahwa ke depannya dana tersebut akan banyak dialokasikan untuk kepentingan korban, terutama selain untuk menuntaskan kasus mereka, juga mengembalikan kehidupan sosialnya agar dapat menjalani hidup seperti semula

Masukan dari IOM, yang perlu dilakukan pemerintah adalah 
-     Persamaan penanganan kasus. Selama ini pemerintah terkesan tebang pilih. Kasus artis NM secara cepat dinyatakan sebagai TPPO, sedangkan kasus-kasus yang lain dengan korban yang jelas-jelas ada malah susah diproses.
-     Mendorong adanya gugus tugas di kota/kabupaten. Data yang ada saat ini, dari 555 kota/kabupaten, hanya 166 yang memiliki gugus tugas. Itu pun bisa berpotensi terjadi disfungsi, karena ada lembaga namun minim atau malah tanpa ada kegiatan sama sekali.  Jika masyarakat tidak memantau, maka fungsi itu tidak akan berjalan.

IOM juga mengatakan bahwa gugus tugas kalau masih dibawah KPPPA, maka akan memiliki fungsi yang terbatas.

Kasus perdagangan manusia yang masih segar dalam ingatan kita dan masih dalam penanganan sampai saat ini adalah kasus Dolfina Abuk.  Perempuan berusia 30 tahun asal Desa Kotafum Kecamatan Biboki Anlen Kab Timor Tengah Utara, NTT ini bekerja di Malaysia sejak akhir 2013, dan dipulangkan ke Kupang dalam keadaan tak bernyawa pada awal April 2016. Ia dinyatakan meninggal oleh pihak Rumah Sakit di Malaysia pada tanggal 7 April 2016. Padahal, sebulan sebelumnya, keluarganya mengatakan bahwa Dolfina menghubungi mereka dengan gembira untuk memberitahukan bahwa masa kontrak kerja telah selesai dan akan diantar ke agen. Kasus ini semakin misterius karena saat keluarga membuka peti jenazahnya, keadaannya sangat menyedihkan karena penuh jahitan. Tercatat jahitan ada di leher lingkar depan, lingkar kepala bagian atas, lingkar belakang kepala, serta jahitan panjang dari leher turun ke perut hingga pangkal kemaluan. Pada saat mulutnya dibuka, lidahnya juga tidak ada. Hidungnya berwarna biru belau, dan tubuhnya terlihat kempis seperti tidak ada isi dalam lagi. Menurut Kuasa Hukum Dolfina, Adrianus Magnus Kobesi SH dari Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Timor (PLBH Timor), Dolfina berangkat dengan dokumen palsu, karena menggunakan KTP dan paspor beralamat di Atambua, Belu. Padahal ia merupakan warga Biboki, Timor Tengah Utara. Ada beberapa fakta hukum lain yang dipegang oleh PLBH Timor untuk memproses lebih lanjut kasus ini. Pihak Pemerintah Daerah, Kepolisian dan Dinas terkait juga berkomitmen untuk menyelidiki kasus ini secara tuntas.

Menurut narasumber dari Komnas Perempuan, Sri Nurherwati, walaupun aturan yang memberikan perlindungan kepada warga sudah cukup baik, namun praktik TPPO masih kerap terjadi di Indonesia dan NTT merupakan salah satu  kawasan yang rawan. Kasus-kasus serupa seringkali terus berulang karena lemahnya proses penegakan hukum. Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2015, pengaduan kasus perdagangan orang yang diproses ke persidangan di pengadilan tidak mencapai 10%. Di ranah (yang menjadi tanggungjawab) negara, CATAHU 2016 mencatat adanya  6 kasus lainnya dilaporkan terjadi di NTT antara lain kasus trafficking yang menemui hambatan di kepolisian  dan  kasus  penganiayaan oleh oknum polisi. Ini menunjukkan bahwa kekerasan yang dilakukan negara cenderung sedikit dilaporkan. Padahal data kualitatif negara sebagai pelaku langsung atau melalui pembiaran, muncul dengan berbagai bentuk. Sementara catatan Polda NTT, penanganan kasus masih di bawah 10% dan penanganan bagi korban belum tercatat

Komnas Perempuan kemudian memberikan 2 buah rekomendasi, yaitu 1) Perbaikan sistem migrasi tentang tata kelola bekerja ke luar negeri atau daerah yang aman dari kerentanan korban TPPO; 2) Penegakan hukum yang serius dalam perlindungan korban TPPO, perubahan sistem mekanisme penyidikan, penuntutan dan penghukuman yang memutus mata rantai impunitas pelaku dan pemenuhan hak pemulihan bagi korban.

Lebih lanjut, DPR seharusnya bisa mengatasi lemahnya penegakan hukum ini bersama-sama dengan pihak lainnya, misalnya bisa lebih mendesak kepolisian untuk melakukan reformasi di institusi.  Selama ini tindakan yang banyak dilakukan bukan pencegahan, tetapi pemulihan korban. Situasi yang membuat darurat adalah, pada saat proses penegakan hukumnya, yang diperhatikan hanyalah korban, bukan pelaku. Contoh yang nyata adalah kasus Wilfrida, yang selalu berulang dengan korban-korban lainnya. DPR wajib berdialog dengan semua pihak yang terkait, karena hukum untuk trafiking masih sangat mandul.

DPR sendiri dalam kesempatan tersebut mengatakan bahwa komitmen dalam menangani perdagangan orang di Indonesia dilakukan dalam dua cara:
-    Melalui Fungsi Legislasi (Produk Undang-Undang), dengan menjadikan RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri sebagai RUU prioritas di tahun 2016 ini. Selain itu DPR juga telah menyusun UU tahun 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
-    Melalui Fungsi Pengawasan, dengan memberikan rekomendasi kepada Kementerian dan Lembaga terkait, antara lain: Kementerian Tenaga Kerja, BNP2TKI, Kementerian Luar Negeri, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kepolisian RI.


Menurut DPR, saat ini Komisi VIII telah berhasil meyakinkan pemerintah untuk menaikkan anggaran Kementerian PP dan PA. Dalam pengajuan anggaran yang disampaikan, tahun 2016 ini kementerian tersebut mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp 1,2 triliun.

Menutup pertemuan ini, Bapak Farry Djemi Francis dari DPR menyatakan komitmennya untuk siap memfasilitasi para pemerhati kasus TPPO ini jika ingin bertemu dengan pimpinan-pimpinan DPR untuk menyuarakan apa yang sedang mereka perjuangkan, karena untuk bertemu DPR secara formal ada 7 step yang harus dilalui. Sedangkan Bapak Gabriel dari Pokja MPM menyarankan untuk mendorong kembali usaha peningkatan pelayanan terhadap kasus-kasus TPPO dengan pintu masuk dari kasus Dolfina Abuk di NTT. Kasus ini harus dikawal penyelesaiannya agar jangan berhenti seperti yang banyak terjadi sebelumnya. Jika kasus ini terkawal dengan baik, maka bisa menjadi jalan untuk kasus-kasus lain agar bisa ditangani dengan maksimal. 




Friday, May 13, 2016

Oleh-oleh Kisah Inspiratif Dari Negeri Vietnam

Pada kunjungan ke Vietnam dalam rangka pertemuan jaringan lembaga pemerhati buruh migran se-Asia Pasific (JCAP Migration Network Gathering), Ibu Astuti sebagai wakil dari Sahabat Insan berkesempatan untuk mengunjungi kedua restoran yang inspiratif, karena didirikan bukan hanya untuk kepentingan bisnis semata, namun juga sarat dengan misi sosial.

Restoran pertama adalah milik Mr. Francis.  Beliau lahir dari sebuah keluarga miskin di Vietnam. Tak ingin kemiskinan terus membelenggunya, ia memutuskan untuk bermigrasi ke negara-negara di Eropa untuk meraih kehidupan yang lebih baik dan memperdalam ilmu dan pengalaman di bidang kuliner sebagai koki (chef). Usahanya tidak sia-sia. Di Eropa, ia menjadi seorang koki yang sukses dan pernah bekerja di berbagai hotel bintang lima di berbagai negara. Sebuah rumah di Jerman yang didiami bersama istri dan kedua anaknya juga berhasil ia miliki. Namun saat menginjak usia 50-an, ia merasa sudah cukup bekerja untuk dirinya sendiri dan memutuskan untuk kembali ke negara asalnya dan membaktikan dirinya untuk kepentingan mereka yang tidak mampu. Tentu saja melalui bidang yang telah dikuasainya, yaitu kuliner.        

Mr.  Francis kemudian memberikan pendidikan gratis kepada anak-anak yang memiliki bakat, minat dan ingin menekuni profesi sebagai koki. Syaratnya, mereka harus bisa memberikan Surat Keterangan Miskin dari pemerintah setempat. Setiap tahun, Mr.  Francis mendidik 30 anak di setiap semester, dan menanggung seluruh biayanya yang meliputi biaya pendidikan (termasuk buku,alat tulis, seragam), biaya hidup sehari-hari dan keperluan pribadi anak (tempat tinggal, makan minum dan kebutuhan harian). Pendidikannya sendiri berlangsung selama dua tahun, terdiri atas pendidikan memasak pada tahun pertama, dan dilanjutkan dengan Cara Penyajian dan Bahasa Inggris pada tahun kedua. Pendidikan ditutup dengan Kerja Praktek, dimana anak-anak didik tersebut dilatih bekerja di dunia nyata melalui magang di hotel-hotel bintang empat. dan dihadapkan langsung dengan atasan, majikan dan juga pelanggan. Setelah mereka lulus, Mr. Francis akan menyalurkan mereka ke hotel bintang 5 yang mulai tumbuh banyak di Vietnam

Mr. Francis mengakui, bahwa apa yang dilakukannya ini tidak mudah. “Memang bukan itu yang saya cari”, tegasnya. Memilih dan menentukan siapa yang patut dan pantas ditolong, itu sangat menyakitkan. “Di antara banyak anak muda yang berkeinginan dan tidak mampu itu, saya harus memilih 30 anak yang tepat, karena terbatasnya kemampuan yang saya miliki dan juga masalah tempat. Selain itu, saya harus mengatur waktu untuk mengajar mereka dan mencari tenaga-tenaga pengajar yang berkualitas agar mereka menjadi mahir dan teruji”. Untuk memenuhi kebutuhan itu, Mr. Francis telah menjalin kerjasama dengan sebuah institusi pendidikan memasak yang cukup terkenal di Jerman agar anak didiknya mendapatkan sertifikasi dari lembaga tersebut  dan diakui dimanapun mereka nanti bekerja.  .

Tidak hanya masalah tempat dan biaya yang dihadapi oleh Mr. Francis dari waktu ke waktu, namun juga masalah keluarga yang sering memaksa anak didiknya bekerja untuk membantu ekonomi keluarganya yang miskin, karena selama proses belajar, mereka tidak memberi kontribusi finansial kepada keluarga masing-masing. Untuk mengatasi masalah tersebut, Mr. Francis mencari donatur untuk sedikit membantu keluarga itu hingga anaknya lulus, bekerja dan mendapatkan penghasilan untuk keluarganya. Mr. Francis juga berurusan dengan pajak yang tidak sedikit, dan juga sering diperiksa oleh pihak berwenang karena banyaknya anak muda yang berkumpul di situ. 

Mr. Francis menyadari bahwa program ini memerlukan biaya yang tidak sedikit. Untuk itulah restoran tersebut didirikan, yaitu untuk menunjang biaya operasional kegiatan sosial ini. Selain itu, Mr. Francis juga mengharapkan bantuan dari mereka yang telah lulus dan bekerja untuk memberikan donasi selama 15 tahun terhitung sejak mereka mulai memiliki penghasilan. Namun ia tidak menentukan berapa sumbangan yang harus diberikan, karena sadar bahwa kepentingan keluarga harus tetap dinomorsatukan. Mr.  Francis juga mengajak teman-temannya di Jerman yang sebagian besar sudah pensiun, untuk datang membantu mengajar di Vietnam selama tiga bulan. Jangka waktu tiga bulan ini dimaksudkan agar  masing-masing temannya dapat membantu dengan nyaman, tanpa perlu disusahkan dengan berbagai perijinan untuk bekerja dan tinggal di Vietnam, dan hanya sebagai turis. Sekalipun berganti-ganti pengajar, namun dipastikan bahwa pelajaran yang diterima oleh anak didik tetap berkesinambungan sebab telah tersedia garis besar materi pengajaran yang harus diberikan.

Memberi harapan baru pada 30 keluarga setiap awal semester dan memberi hidup baru bagi 30 anak didik setiap akhir semester, adalah pencapaian dari perjuangan bersama Mr. Francis dan anak didiknya.


Pelajaran yang dapat diambil dari kisah Mr. Francis Ini adalah:
  • perbuatan baik membutuhkan komitmen untuk keluar dari kenyamanan pribadi;
  • perbuatan baik membutuhkan perencanaan dari hilir ke hulu tanpa menghilangkan atau meminimalkan kesulitan;
  • perbuatan baik harus dilakukan bersama-sama dan 
  • perbuatan baik haruslah mengenai hal yang kita kuasai
Restoran lainnya, memiliki kisah yang tak kalah menarik. Ada dua keistimewaan restoran ini, yaitu mereka tidak hanya mempekerjakan pekerja yang ‘normal’ secara fisik, namun juga para penyandang tunarungu, serta menetapkan tarif yang murah untuk semua hidangan yang tersedia. Dibawah ini Ibu Astuti menceritakan kisahnya saat mengunjungi restoran tersebut.

Pagi itu kami memasuki ruangan yang harum, bersih dan asri. Kami disambut oleh beberapa pramusaji, yang tersenyum lebar dan mengangguk dengan sopan, mempersilahkan kami masuk dan mengambil tempat duduk. Suasana tenang dengan alunan musik dari tape, mengiringi perbincangan kami pagi itu diselingi suara sendok dan garpu yang menggesek piring. Tidak terlalu terburu-buru, para pramusaji dengan ramah menyerahkan daftar menu dan mendatangi kami satu-persatu, kemudian mencatat pesanan kami. Tidak ada yang aneh di restoran itu hingga saya mulai memperhatikan tidak seorang pun pramusaji di sana yang berbicara dengan temannya, bahkan untuk sekedar minta tolong sekali pun. Tertangkap mataku, di sudut ruangan, dua di antara mereka berbicara dengan membuka mulut dan bersuara pelan sambil menggerak-gerakkan tangannya. Luar biasa...!!! Saya baru menyadari bahwa mereka adalah para penyandang tunarungu. Saat ada beberapa dari kami yang menanyakan jenis hidangan yang tertera pada buku menu yang diberikan, pramusaji tersebut memanggil rekannya yang mampu berbicara untuk membantu menjelaskan. Kami cepat terlayani dan merasa puas dengan makanan dan kopi yang nikmat serta layanan yang ramah.


Saat kami menanyakan, mengapa banyak tunarungu yang diperkerjakan di sini, kami mendapatkan jawaban yang mengagumkan. “Mengapa tidak? Mereka sangat berkualitas, dapat melayani dengan baik.” jelas salah satu pegawai restoran tersebut. Memang ada kesengajaan untuk menerima mereka bekerja di tempat itu, karena mereka kurang mendapat perhatian dan menjadi laskar tak berguna sehingga perlu pertolongan agar mereka mendapat hak yang sama seperti yang warga lainnya; dan pertolongan itu menyangkut banyak hal.

Setelah kenyang dan nyaman, kami dibawa ke toko yang menjual berbagai jenis makanan/buah kering yang tidak jauh dari restoran dan kami mendapati bahwa pemilik toko sekaligus produser makanan itu adalah pemilik restoran tadi. Kami tidak menemukan pekerja tunarungu di toko ini walau tetap disambut dengan tidak kalah ramahnya. Karena kami mendapat bocoran bahwa keuntungan usaha makanan/buah kering ini selalu disisihkan untuk usaha restoran itu, maka kami berbelanja sebagai wujud dukungan dan penghargaan kami.

Setelah dari resto itu, beberapa dari kami pergi ke sebuah sekolah tuna rungu. Murid yang belajar di situ mulai dari tingkat play group sampai SMA. Gedung sekolah tersebut merupakan gedung tua, dengan semua bagian yang serba tua. Ternyata hal itu disebabkan karena mereka tidak mendapat perhatian pemerintah dan menjadi 'terbuang & tidak berguna'. Murid-murid belajar di sekolah sejak jam 06.30 sampai jam 17.00. Banyak yang harus diajarkan kepada mereka, terutama untuk meningkatkan kesadaran bahwa mereka berharga dan harus mampu mandiri. Murid-murid juga belajar menanam di pot untuk menyaksikan sendiri bahwa Tuhan mencinta dan menumbuhkan, serta memberi masa depan asal mereka berusaha keras. Makan siang disediakan di sekolah walau pun sangat sederhana & relatif sedikit. Dalam kesempatan tersebut, Sang Ketua Kelas mengucapkan terima kasih akan kedatangan kami dan mendoakan kebahagiaan, kesehatan dan kesuksesan. Sangat mengharukan dan merasakan sungguh Tuhan sangat baik.







Kami diminta membentuk jari seperti ini, artinya: KASIH
Entah mengapa, kami mengakhiri kegiatan hari itu dengan mendatangi restoran yang sama, sekedar menikmati makan malam dalam keramahan mereka. Tidak terlalu banyak tamu yang menikmati makan malam disana, lebih banyak yang menikmati kopi sambil bercakap-cakap.

Perlakuan yang sama kami peroleh, pandangan ramah dan senyuman, pelayanan yang cepat dan makanan yang nikmat. Puas dengan makan malam, kami meminta bon dan terkejut melihat angka yang tertera, Dalam hati kami bertanya, apakah tidak salah? Harga itu kurang dari setengah harga yang kami dapati di restoran lain. Ini juga merupakan keistimewaan dari restoran ini, yang tidak hanya mengejar keuntungan semata. Akhirnya kami menyerahkan pembayarannya yang disambut senyum lebar sang pramusaji.

Malam semakin larut dan kami meninggalkan tempat itu dengan melalui meja dimana mereka berkumpul, bercengkerama dan bercakap-cakap dalam keheningan. Sungguh suatu malam yang ceria dalam temaram cahaya bulan purnama.

Kesimpulan/garis merahnya :
  • Perbuatan baik berjalan sejajar dengan usaha dalam kehidupan. 
  • Perbuatan baik akan berhasil dengan persetujuan dan kerelaan dari orang-orang yang mendapat perbuatan baik itu.
  • Tidak perlu malu melakukan perbuatan baik. 
Menanggapi kedua kisah di atas, Romo Ismartono mengatakan bahwa dengan contoh-contoh nyata yang kita temui, kita semakin melihat bahwa:
  1. Kegiatan cinta kasih untuk mereka yang kurang/tidak beruntung menjadi ungkapan iman.
  2. Kata-kata Yesus dalam Yoh 12:8, mengundang kita untuk cermat dan teliti karena mungkin kita melihat orang miskin, tetapi tidak melihat Yesus yang tersembunyi di dalamnya, maka
  3. Mt 25: 31-46 merupakan penegasan bahwa Yesus menyamakan diri dengan bersembunyi di dalam mereka.  




Tuesday, May 3, 2016

Peluncuran Bersama Buku Panduan Untuk Para Pendamping dan Saksi/Korban TPPO

International Organization for Migration (IOM) Indonesia bersama Nexus Institute, dengan dukungan dari Kedutaan Amerika di Indonesia menyelenggarakan Peluncuran Bersama “Buku Panduan” dan “Direktori” tentang layanan bagi saksi dan/atau korban Tindak Pindana Perdagangan Orang (TPPO) di Indonesia. Peluncuran kedua buku ini dilakukan hari Jumat 29 April 2016 di @america Pacific Place, Jakarta Selatan.

Buku "Panduan Mekanisme Pelayanan Saksi Dan/Atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia", diterbitkan oleh IOM bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KPPPA) selaku Sekretariat Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO Pusat. Buku ini berisi:
  • Dasar Hukum Perlindungan Korban TPPO, 
  • Cara Mendampingi Saksi dan/atau Korban TPPO, dan 
  • Data-data lembaga penyedia layanan bagi saksi dan/atau korban TPPO yang ada di Indonesia maupun luar negeri. 
Sedangkan buku 'Direktori Layanan untuk Korban Perdagangan Orang dan Pekerja Migran Indonesia Yang Mengalami Eksploitasi" diterbitkan oleh Nexus Institute bekerja sama dengan Kementerian Sosial dan KPPPA. Nexus Institute merupakan lembaga yang berfokus pada studi HAM dan kebijakan, yang berfokus di Washington. Namun beberapa tahun terakhir mereka memperoleh bantuan dari Kedutaan Amerika untuk melaksanakan program yang ada di Indonesia. Selain direktori yang memuat layanan-layanan terkait TPPO, dalam buku ini juga ditambahkan daftar layanan yang bisa dihubungi untuk pekerja migran dan orang miskin dan kelompok rentan. 

Kedua perangkat bantu tersebut disusun dan diterbitkan dengan harapan agar masyarakat terutama korban dan pendamping, termasuk organisasi masyarakat sipil mendapatkan informasi lebih lengkap tentang ketersediaan unit-unit layanan yang dapat memberikan bantuan bagi korban dan bagaimana mengakses layanan tersebut. 

Pada peluncuran bersama ini, juga diselenggarakan “Diskusi Publik” dengan tema Komitmen Bersama Dalam Mewujudkan Pemberian Layanan Kepada Korban Secara Sinergis.” Pada kesempatan ini dibahas tentang bagaimana mewujudkan komitmen dan sinergi antar lembaga, baik pemerintah ataupun non-pemerintah agar layanan dapat diakses secara maksimal.

Mengawali acara tersebut, Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Bryan McFeeters, dalam sambutannya mengatakan bahwa bagi Amerika, trafiking merupakan salah satu isu pelanggaran hak asasi manusia yang paling mendesak dewasa ini. Perdagangan orang adalah masalah yang memerlukan niat politik yang sungguh-sungguh, untuk memastikan bahwa hukum telah ditegakkan bagi masyarakat yang lemah dan rentan, selain juga memerlukan kerangka hukum untuk melindungi para korban dan mengadili para pelakunya. Dari segi hukum memang harus ada penegakan hukum yang kuat, tapi hari ini dibahas dari segi lain, yaitu harus ada informasi untuk publik dan pejabat.

Bryan McFeeters kemudian mengutip apa yang dikatakan oleh Menteri Luar Negeri USA John Kerry, keadilan bagi korban perdagangan orang bukan hanya sekedar memiliki hukum yang tertulis, tetapi juga harus didukung dengan sumber daya, strategi dan aksi sehingga bisa memberikan hasil yang tepat. Dan acara ini penting karena membicarakan aksi yang tepat untuk membantu korban trafiking. Ini adalah satu upaya untuk menjembatani antara penyedia layanan dan korban. Pemerintah US sangat berkenan untuk mendukung program ini dan berharap usaha ini bisa membantu warga negara Indonesia di mana pun mereka berada, khususnya untuk mendapatkan manfaat dari beragam pilihan bantuan yang tersedia untuk mereka. 

Sementara ibu Ida Mae dari IOM mengatakan, TPPO memberikan sebuah ancaman yang sangat besar bagi WNI dan juga bagi pekerja asing yang ada di Indonesia. IOM Indonesia sendiri telah memberikan bantuan kepada 8515 korban perdagangan orang baik WNI maupun WNA yang memang diperdagangkan di Indonesia. Selain bantuan berupa kebutuhan dasar, IOM juga memberikan bantuan reintegrasi. 

IOM Indonesia telah bekerjasama dengan berbagai mitra, baik mitra pemerintah dan non pemerintah, dalam mengimplementasikan strategi 5P yg terdiri dari pencegahan, kebijakan, penuntutan, perlindungan korban dan kemitraan. Upaya dan komitmen dari pemerintah Indonesia sudah luar biasa, dengan mengesahkan UU untuk pemberantasan TPPO, pendirian dan penggerakan gugus tugas perdagangan orang secara nasional, dan dengan disusunnya rencana aksi nasional untuk TPPO. Mekanisme perlindungan bagi TPPO sebenarnya sudah tersedia. Namun dengan adanya kerjasama erat yang diusung oleh berbagai pihak, diharapkan ketersediaan layanan tersebut bisa diakses secara maksimal oleh korban TPPO. Hal tersebut adalah spirit utama yang digaungkan di acara peluncuran buku panduan ini, yang ditargetkan terutama untuk digunakan oleh penyedia layanan dalam mengakses bantuan untuk saksi dan korban TPPO. Buku ini merupakan alat yang praktis untuk digunakan bagi para target pembaca, dalam memperoleh pengertian dan informasi terkait lingkup perlindungan berdasarkan UU dan peraturan yang telah diatur oleh pemerintah Indonesia. Bagian terakhir dalam buku ini menyajikan direktori untuk siapa saja dan layanan apa saja yang dapat diberikan oleh institusi-institusi untuk dapat memudahkan akses terhadap layanan tersebut. Dengan penyusunan dan akan didistribusikannya 500 buku panduan ini, terutama di area Jakarta dan Jawa Barat, diharapkan dapat mendorong peningkatan pelayanan kepada korban TPPO dan diharapkan juga dapat digunakan dalam skala nasional. IOM pada kesempatan tersebut berterima kasih kepada Ibu Sri Danti Anwar (Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) beserta para staf yang terlibat atas kontribusi dan masukannya dalam penyusunan buku ini.    

Selanjutnya, Rebbeca Surtees, program manager dan senior officer  Nexus Institute mengatakan bahwa kedua buku ini sangat komplementer satu sama lain. Melalui buku ini, Nexus telah mendorong proses reintegrasi, karena di dalamnya ada banyak sekali informasi tentang layanan yang bisa dimanfaatkan baik oleh korban trafiking, pekerja migran, serta masyarakat sosial yang mengalami kekurangan. Selama ini, walau sudah banyak layanan yang disediakan oleh Pemerintah RI, namun banyak korban yang tidak tahu bagaimana cara mengaksesnya jika mereka membutuhkannya. Buku ini akan membantu mereka memenuhi kebutuhan tersebut, bukan hanya terbatas pada korban, namun juga lembaga-lembaga pendamping mereka. 

Menutup rangkaian sambutan pada acara tersebut, Dr. Sudjatmiko, M.A, Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, mengatakan bahwa kasus perdagangan orang  sudah menjadi masalah yang besar. Masalah ini sudah memiliki derajat yang sama bahayanya dengan kejahatan lintas negara lainnya, yaitu korupsi, terorisme, dan narkoba. Ini sudah menjadi bahaya bagi dunia dan bagi Indonesia. Kalau dulu Indonesia hanya sebagai negara transit, maka sekarang sudah menjadi negara sumber dan tujuan.  Sebenarnya Indonesia sudah memiliki perangkat perundang-undangan yang lengkap, namun kasus malah semakin meningkat,  karena mafia makin banyak dan metode makin bervariasi, sehingga Pemerintah berharap bisa mengatasi masalah ini sebaik-baiknya dengan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak. Kedua buku ini diharapkan bisa memenuhi hal tersebut. Pemerintah sendiri sudah memiliki wacana untuk membentuk sebuah badan khusus tentang perlindungan dan pencegahan TPPO seperti halnya BNPT, KPK, dan BNN.  

Dr. Sujatmiko kemudian secara resmi meluncurkan kedua buku panduan tersebut dan secara simbolik menyerahkannya kepada Sr. Katarina, FSGM dan Ketua Umum SBMI, Hariyanto. 



Acara kemudian dilanjutkan dengan diskusi publik dengan pembicara  Bapak Fajar Nuradi (Kasubdit Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesa, Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum  Indonesia Kementerian Luar Negeri RI); Bapak Ahmad Sahidin (Staf Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan Korban Perdagangan Orang Kementerian Sosial RI); Bapak Budi Prabowo (Asisten Deputi TPPO Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak); dan AKBP Julianto Sirait (Kepala Satgas Unit Trafiking Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Kepolisian RI). 


Secara umum, semua pemateri mengakui bahwa hukum di Indonesia sudah sangat lengkap dalam melindungi warganya agar tidak menjadi korban perdagangan manusia. Pemerintah sudah menangani kasus TPPO ini secara serius dengan meratifikasi UU Palermo dan diterbitkannya UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun program yang sudah dijalankan belum mampu mencegah, dan kebanyakan hanya menangani korban yang sudah berjatuhan.  


Pihak Kepolisian sendiri,  selalu bertindak dengan respon yang berbasis HAM dan mendahulukan kepentingan korban. Menurut catatan Kepolisian, selama tahun 2005-2009 sebanyak  3339 orang telah teridentifikasi sbg korban trafiking.  Dalam melaksanakan penyidikan TPPO, ada hak-hak yang harus dihormati dan dijunjung tinggi, misalnya hak mendapatkan pendampingan di sidang, mendapatkan informasi sampai sejauh mana kasus-kasus yg melibatkan orang-orang tersebut ditangani, tidak pernah menempatkan tersangka dan korban dalam ruang yang sama, kepentingan terbaik untuk anak (jika korbannya adalah anak), kerahasiaan, sampai perlindungan saksi dan korban.


Sedangkan Kemenlu menyatakan bahwa semua perwakilan RI di luar negeri terutama yang memiliki kasus TPPO yang tinggi sudah diberikan panduan untuk memberikan perlindungan sesuai protokol Palermo. Dari berbagai kasus, penyelesaiannya berada dalam kisaran 50% karena terkendala sistem yang diberlakukan di negeri tersebut. Namun, Kemenlu secara aktif mencoba untuk membuat MoU ke berbagai negara, terutama dengan negara-negara yang memiliki kasus TPPO terbesar. Saat ini Indonesia sudah memiliki MoU dengan Uni Emirat Arab sebagai negara dengan jumlah kasus terbesar, karena Pemerintah mereka sangat mendukung untuk berkomitmen dalam hal ini. Selanjutnya Kemenlu akan melakukan penjajagan dengan Malaysia dan Bahrain.

Menanggapi pemaparan tersebut, Hariyanto dari SBMI mengatakan bahwa kenyataan di lapangan, Kepolisian tidak memiliki kesamaan perspektif terhadap TPPO. Penanganan kasus di Jakarta berbeda dengan yang di daerah. Ini yang menjadi persoalan utama dalam kebijakan soal TPPO. Sedangkan Suster Katarina FSGM mengatakan bahwa kenyataannya di kabupaten/kota ketika mereka ingin memulai kerjasama dengan pemerintah, termasuk gugus tugas, mereka sama sekali belum tersentuh. Bahkan saat para biarawati ingin mengkampanyekan Stop Trafiking dan  Migrasi Aman, mereka sama sekali tidak tahu apa itu yang sedang diperjuangkan. Semua hal bagus yang didengar pada sore hari ini, di lapangan masih jauh dari selayaknya.  

Atas keluhan tersebut, para pembicara menyatakan bahwa memang pelaksanaan program yang telah mereka rancang masih sarat dengan kekurangan di sana sini. Namun mereka berjanji untuk terus memperbaikinya sehingga kulaitas pelayanan pemerintah akan terus meningkat dari waktu ke waktu. Ini menjadi PR bagi pemerintah dan mereka mohon dukungan dari semua pihak agar semua yang sudah disusun dapat diwujudkan dengan baik. Khusus dari Kepolisian, mereka berpesan agar semua korban dan pendamping pemerhati TPPO untuk tidak segan-segan memberikan informasi-informasi penting kepada polisi. “Jangan takut, kami bukan penjahat, justru kami  melawan kejahatan", begitu pesan AKBP Julianto Sirait menutup acara sore itu.