Tuesday, June 30, 2015

Mengenal Komunitas Anak Belajar

Sahabat Insan memberikan bantuan biaya operasional kepada Komunitas Anak Belajar untuk mendukung kegiatan belajar mengajar mereka.



Komunitas Anak Belajar merupakan komunitas yang berbasis pada pendidikan alternatif bagi anak-anak yang berlokasi di pinggiran wilayah Jakarta, seperti Cakung, Jakarta Timur dan Muara Baru, Jakarta Utara, serta satu lokasi yang baru berdiri sejak Februari 2015 di Megamendung, Bogor,  Jawa Barat. Anak-anak komunitas berasal dari keluarga miskin dimana orang tua mereka mencari nafkah dengan mengusahakan lahan kosong untuk pertanian, pedagang kaki lima, pedagang keliling dan sayur di pasar, buruh pabrik, penjual ikan, maupun supir ojek motor.


Pendidikan formal yang tidak mendukung sepenuhnya perkembangan anak, membuat komunitas ini berinisiatif untuk mengusahakan pengembangan pendidikan alternatif, khususnya dalam pendidikan dasar dan budi pekerti, serta pengetahuan umum. Anak-anak lahir dari orang tua yang berpendidikan rendah dan prioritas perjuangan hidup orang tua hanya untuk menghidupi keluarga, kesejahteraan anak-anak dalam hal pendidikan menjadi teabaikan. Rendahnya tingkat pendidikan dan kesadaran warga untuk memperbaiki diri meningkatkan pengetahuan membuat anak-anak tidak mampu menghadapi arus modernisasi yang merajalela hingga ke pinggiran kota Jakarta. Banyak anak putus sekolah dan tidak memiliki motivasi untuk maju. Kondisi ini mendorong hati dan pikiran para fasilitator untuk berbuat seusatu bagi anak-anak ini yang adalah masa depan bangsa.


Program pendidikan alternatif dimulai di wilayah Cakung Timur sejak tahun 2006 dengan kegiatan belajar rutin baca-tulis-berhitung-bicara. Pada tahun 2008, kegiatan belajar dikembangkan dengan pengetahuan teoritis dan praktis berupa ketrampilan berorganisasi dalam kegiatan pendidikan. Kegiatan ini membuka kesadaran dan pemahaman di antara anak-anak dan orang tua mengenai pentingnya pendidikan.


Tahun 2009, anak-anak kategori akhir mulai ikut aktif mendukung kegiatan para relawan. Mereka memfasilitasi kegiatan belajar bagi adik-adik mereka di kategori awal. Anak-anak remaja membangun usaha ketrampilan dengan belajar wirausaha. Produksi ketrampilan mereka seperti kreasi daur ulang, kartu paper quilling, karya rajutan, kreasi manik-manik, kreasi bungkus kopi, dan membuat coklat dan biskuit untuk dijual pada saat hari raya untuk tabungan masa depan mereka.

tas dari bungkus kopi

tatakan gelas


Pada November 2011, lahan kosong yang biasanya dipakai warga untuk mengusahakan pertanian, digusur demi kepentingan pembangunan. Ganti rugi sebesar Rp. 500.000,00 akhirnya mereka terima. Sebagian pindah mencari lahan kosong yang tersisa, sebagian lagi pulang ke kampung halaman. Sebagai antisipasi penggusuran lahan warga, akhirnya disewa sebuah rumah untuk perpustakaan dan pelatihan ketrampilan, sementara kegiatan belajar dilakukan di atas puing-puing tempat lama dengan menggunakan tenda yang disebut ‘Tenda Belajar’. Akhir Juli 2012 kegiatan belajar seluruhnya berpindah ke rumah kontrakan, yang mereka sebut ‘Rumah Belajar’.


Pada bulan September 2011, kegiatan dikembangkan di Muara Baru, Jakarta Utara dan pada bulan Februari 2015, dikembangkan lagi di wilayah Sarang Tupai, Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Kondisi kedua lokasi tersebut tidak jauh berbeda dengan lokasi sebelumnya.


Saat ini, kegiatan rutin mereka di masing-masing wilayah adalah: 
  1. Cakung: kegiatan akademis berupa kegiatan belajar dan pengembangan ketrampilan, serta kegiatan program berupa perpustakaan, peningkatan gizi anak, wirausaha 'Usaha Mandiri' dan beasiswa,
  2. Muara Baru: kegiatan belajar dan perpustakaan,
  3. Sarang Tupai: kegiatan belajar dan peningkatan gizi anak.



Seluruh kegiatan komunitas anak belajar bisa diakses melalui webblog www.cakungchildrencommunity.blogspot.com, sedangkan produksi ketrampilan para remaja dan kaum Ibu dapat diakses dalam blog www.cakungchildrencreation.blogspot.com.



 

Menengok mereka yang tertinggal di rumah perlindungan

Ditengah maraknya berita penyintas Rohingya, Sahabat Insan mendapat kabar ada belasan orang dari Myanmar yang diamankan. Kami mengira mereka adalah sebagian dari penyintas Rohingya. Kami akhirnya mengunjungi mereka di Rumah Perlindungan milik pemerintah. Sesampainya di RPTC, kami disambut oleh 4 mantan TKI. Ke 4 ibu-ibu tersebut menyapa kami dan langsung mengajak mengobrol. Mereka sering dilanda rasa bosan sembari menunggu proses pemulangan ke daerah asal. Kunjungan kami bertepatan dengan pelatihan tata rias yang dipandu oleh Mbak Vinka. Pihak RPTC biasanya juga memberikan kegiatan yang beragam setiap hari Selasa.  

Mbak Vinka mengajarkan bagaimana cara merias diri yang benar

Para mantan TKI antusias dalam merias wajah teman mereka
Kami mulai membaur dengan kelompok tata rias tersebut. Mereka dengan seksama mendengarkan arahan yang diberikan Mbak Vinka. Antusiasme sangat terlihat jelas dari cara mereka bertanya dan meyakinkan teman yang lain bahwa apa yang dilakukan sesuai dengan petunjuk Mbak Vinka. Mereka berganti-gantian dalam mempraktekan alat rias. Mereka yang sudah selesai merias diri langsung mengambil handphone dan mengabadikan foto itu. Sembari kami bercengkrama dengan para mantan TKI, petugas sosial ikut bergabung dengan kami. Sedikit banyak beliau menceritakan apa saja yang dilakukan oleh RPTC terhadap para TKI, proses bagaimana TKI bisa sampai di Rumah Perlindungan, dan kasus kasus apa saja yang sudah ditangani oleh mereka. Sungguh hal tersebut sangatlah berharga buat kami. Kemudian, kami membagi kue yang sudah dipotong tadi. Sembari menyantap kue tersebut, beliau memberitahukan bahwa ada korban lain yang berada di RPTC. Ada 18 orang berkewarganegaraan Myanmar yang menjadi korban trafficking sebuah Perusahaan Thailand yang beroperasi di Tual, Flores. Kamipun berpamitan kepada ibu-ibu tersebut dan bertolak ke bangunan sebelah dimana para korban trafficking tinggal.

para buruh migran Myanmar
Kami berjalan ke gedung sebelah dan bertemu dengan belasan orang Myanmar yang sedang bersantai. Belasan orang tersebut diamankan pada tanggal 3 Juni 2015. Mereka tidak memiliki dokumen yang lengkap ketika bekerja di Flores. Mereka direkrut oleh perusahaan Thailand yang bergerak di bidang perikanan. Hampir seluruh pekerjanya adalah warga negara asing. Mereka menceritakan bahwa selama 6 bulan bekerja dan mereka belum menerima gaji. Keterbatasan bahasa membuat kami kesulitan saat melontarkan beberapa pertanyaan pada mereka. Untungnya, ada satu orang yang bisa berbahasa melayu. Walaupun dengan kosa kata yang sederhana, bapak tersebut mencoba menceritakan pengalaman pahit yang mereka alami.  Mereka merasa ditipu oleh perusahaan Thailand. Awalnya, mereka ingin memiliki penghasilan yang lebih baik tapi mereka malah dimanfaatkan oleh perusahaan asing itu. Mereka sungguh kecewa dan teringat akan keluarga mereka di Myanmar. Bapak itu mengeluarkan foto anak dan istrinya. Beliau sangat merindukan keluarganya. Selain buruh migran dari Myanmar, ada juga yang berasal dari Sumatra dan sekitarnya. Mereka bekerja sebagai buruh pabrik penghasil papan. Mereka sudah berada di Malaysia selama 1 tahun. Hampir semua pemuda itu berambut botak. Dengan senyuman, mereka menceritakan bahwa itu adalah salah satu syarat bekerja di pabrik tersebut. Mereka bekerja di Malaysia hanya bermodal paspor karena itulah mereka ditangkap oleh petugas kepolisian setempat. Para pemuda tersebut akhirnya singgah di rumah perlindungan sampai proses berkas pemulangan mereka selesai.

para buruh migran Indonesia berfoto bersama Suster Laurent


Suster Laurent dan Suster Muprhy akhirnya menyudahi perbincangan kami siang itu. Kami kemudian berfoto bersama di taman dan berpamitan. Semoga mereka segera bertemu dengan keluarga mereka dan mendapatkan pekerjaan yang layak.



Bantuan Alat Bantu Dengar Untuk Anak TKI

Pada awal April 2015, Pak Ali, salah satu pegiat buruh migran dari Buruh Migran Saudi Arabia (BMISA) menghubungi Romo Benny. Beliau mengutarakan keinginannya agar Sahabat Insan membantu pembelian alat bantu dengar untuk anak bungsunya, Ardi.

Pak Ali tidak tahu secara pasti sejak kapan anak bungsunya itu menderita gangguan pendengaran. Sejak lahir, Ardi, anak lelaki kelahiran 11 September 2003 ini sudah dititipkan kepada neneknya di Tasikmalaya karena tuntutan ekonomi yang membuat Pak Ali harus pergi Arab Saudi untuk mencari nafkah. Pak Ali merasa tenang meninggalkannya karena selain bersama neneknya, Ardi juga diasuh oleh kedua kakak perempuannya. Ardi kecil tumbuh sebagai anak yang tampan, pintar dan periang.

Keanehan mulai dirasakan oleh keluarga ini saat sampai usia 3 tahun, Ardi belum mampu berkomunikasi dan merespon setiap orang yang berbicara kepadanya. Keluarga sudah menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan pendengaran Ardi. Namun sekali lagi, karena keadaan ekonomi, Pak Ali tidak terlalu memperhatikan hal ini dan sibuk dengan segala pekerjaannya. Hari berganti hari dan semakin lama Ardi semakin tumbuh besar. Pak Ali pun mulai melihat kebutuhan mendesak anaknya untuk memakai alat bantu dengar.

Pak Ali kemudian mengajak anaknya untuk memeriksakan kondisi pendengarannya di dokter THT di sebuah rumah sakit di Tasikmalaya. Setelah diperiksa, dokter menyatakan bahwa pendengarannya masih bisa ditolong dengan memakai alat bantu dengar. Dokter pun memperkirakan harga alat tersebut sekitar 4 juta rupiah.

Sahabat Insan kemudian menyarankan untuk memeriksakan lebih intensif ke Jakarta. Awalnya Ardi dibawa ke Poli THT Rumah Sakit Carolus, dan kemudian dirujuk ke Rumah Sakit THT Proklamasi untuk pemeriksaan lebih lanjut. Kedua dokter yang ditemui sama-sama menyayangkan mengapa Ardi tidak diperiksakan sejak kecil. Menurut dokter-dokter tersebut, usia 11 tahun sudah cukup terlambat untuk memperbaiki kembali pendengaran Ardi. Kalaupun saat ini dipasang alat bantu dengar, itu hanya akan berfungsi sebagai pengeras suara, yang fungsinya lebih kepada keamanannya, misalnya bisa mendengar suara klakson, suara angin, suara teriakan dan lain-lain sehingga ia terhindar dari bahaya. Namun untuk bisa berkomunikasi dua arah, diperlukan terapi secara intensif dalam jangka waktu yang cukup lama, minimal setahun, karena usia Ardi yang cukup besar.

Lebih lanjut dokter menguraikan secara panjang lebar tentang hal-hal yang berkaitan dengan pemasangan alat bantu. Bahwa Ardi yang sudah ‘nyaman’ dengan kondisi pendengarannnya sekarang, bisa jadi ‘merasa tidak memerlukannya’ sehingga bisa jadi ia akan terganggu dengan alat tersebut. Oleh sebab itu dukungan dan pengawasan seluruh keluarga sangat diperlukan. Selain itu alat tersebut tidak boleh jatuh atau kena air, dan harus mengganti batere selama selang waktu tertentu. Dengan segala pertimbangan tersebut, akhirnya Sahabat Insan dan Pak Ali sepakat untuk membeli alat tersebut di Tasikmalaya.

Semoga alat tersebut berguna bagi Ardi sehingga dapat belajar lebih baik dan menimba ilmu setinggi-tingginya demi masa depan yang lebih cerah.



Monday, June 1, 2015

Building a Better Migration Network

http://sjapc.net/content/building-better-migration-network

Visitors to Taiwan are greeted at the Taipei airport by signs welcoming migrant workers to the island country. The authorities provide a lot of information to migrant workers, on their rights as well as precaution measures in place, upon their arrival to the country, even before they meet their agencies or employers. In a country with 23 million people, the presence of more than half a million migrant workers is no small figure.
It was in this setting and context that this year’s Jesuit Conference of Asia Pacific Migration Network meeting was held from April 21 to 23.
The inaugural meeting in Jakarta last year had resulted in an action plan, and the group had gathered to see if it had actually worked and what lessons could be learnt from the first year of collaboration. There was clearly a stronger sense of purpose and eagerness.
The network’s five participating institutions were represented by their directors, old and new. At Yiutsari in Korea, Fr Kim Tae-jin SJ had taken over from Fr Kim Chong-dae SJ who had left the post to do tertianship in Australia. Fr Archie Carampatan SJ had succeeded Fr Nilo Tanalega SJ as the executive director of UGAT Foundation in the Phillippines. Fr Ando Isamu SJ of Tokyo Migrants' Desk was accompanied by his secretary Ms Jessie Tayama, while Fr Ismartono SJ of Sahabat Insan in Indonesia came with Ms Astuti Sitanggang, a legal officer of the organisation. Sr Wei Wei and Ms Jennie Lee represented the Rerum Novarum Center in Taiwan.
Also in the meeting were Fr Joseph Dao Nguyen Vu SJ, a Jesuit from the California Province who has just been appointed executive secretary of the Vietnamese Episcopal Commission for the Pastoral Care of Migrants and Itinerant People; Fr Bambang Sipayung SJ, regional director of Jesuit Refugee Service Asia Pacific; and three young Jesuits residing in Taiwan who came as observers: Joseph Bui Ngoc Thang SJ, Jean Amegble Yao Kékéli SJ, and Joseph Nguyen Bao An SJ.
JCAP Migration Network Meeting in Taiwan, May 2015
The group agreed that communication had been the most challenging action in the plan. Collaborating across the boundaries of Asia Pacific may look doable on paper during this Internet age, but virtual communication has its limitations. People have different attitudes toward the Internet and much was lost in the process of trying to get connected, at least in the early stages. Face-to-face interaction remains the most productive means of communication.
Another point raised was the capacity of the institutions to implement programmes. Most of them are small in terms of personnel and budget, and they can only do so much with the resources they have to hand. Being part of the network means more work that can be easily overlooked given their tight schedule.
A major challenge arises with leadership changes, which shows a lack of institutional capacity that stands in contrast to the designation of migration as a common apostolic priority of this Jesuit Conference. Serious investments in all departments are needed to make this priority more meaningful.
And an activity that made the meeting more meaningful was the visit to Rerum Novarum shelter in Taipei. Shielded from prying eyes, the small two storey building nestled unnoticed between the surrounding tall office blocks. There eight women migrant workers from Indonesia and the Philippines had taken refuge after experiencing abuse, mistreatment, non-payment of wages, and contract termination. Rerum Novarum runs the shelter like a home for these unfortunate women, making them feel safe and welcome despite the hardship.