Sunday, May 31, 2015

Erwiana, Pengalaman Pahit Yang Berbuah Manis

Seorang gadis berbaju merah tampak berbincang-bincang dengan beberapa orang yang mengelilinginya. Semangat yang tinggi tampak jelas di wajahnya. Pagi itu ia sedang bersiap-siap untuk menjadi pembicara di seminar dan diskusi publik ‘Yang Teraniaya dan Yang Terabaikan’ yang diselenggarakan oleh Pusdema-LPPM dan HMJM Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Darma. Tak ada yang menyangka, sekitar setahun lalu, gadis ini pulang ke Indonesia dalam keadaan babak belur.



Sudah jatuh tertimpa tangga. Ungkapan itu sesuai untuk menggambarkan nasib Erwiana, gadis 23 tahun mantan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mencoba untuk mencari rejeki di Hongkong. Betapa tidak, cita-citanya untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya runtuh saat menghadapi kenyataan bahwa di Hongkong dia bukan hanya disiksa, namun juga tidak digaji.

Kisah sedih ini bermula saat akhir tahun 2013. Erwiana yang saat itu telah bekerja merasa gajinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Melihat teman SMAnya sukses sebagai buruh migran di Hong Kong, maka ia tertarik ikut mencari nafkah di sana. Erwiana mengikuti semua prosedur legal yang disyaratkan oleh negara, seperti harus masuk PJTKI, masuk penampungan, dan segala syarat lainnya, agar jika terjadi apa-apa ada yang mengurus . Awal Mei 2013, ia pun berangkat ke Hongkong, masuk ke penampungan agen di sana dengan kondisi yang tidak layak (lebih buruk daripada kondisi penampungan di Indonesia), dan beberapa lama kemudian dijemput oleh majikannya.

Di rumah majikan, penderitaannya pun dimulai. Ia bekerja selama 20 jam sehari , tidur 4 jam sehari, itu pun pada siang hari (jam 13-17), tidak ada hari libur, dan selama itu majikan melarangnya untuk duduk. Semua pekerjaan rumah tangga harus ia bereskan dengan cepat, harus sesuai dengan time schedule tanpa henti. Dengan beban kerja seberat itu, sehari ia hanya diberi makan 6 lembar roti dan 450 ml air putih, dan hanya mendapatkan jatah nasi sebanyak 1 rantang untuk seminggu. Jika melakukan kesalahan sedikit saja, maka majikan akan memukulinya di seluruh bagian tubuh, dari kepala, tangan, badan sampai kaki. Alat untuk memukul pun beragam, dari gantungan baju, tongkat kayu, penggaris  atau apa pun yang ada di depannya. Bahkan majikannya pernah meletakkan pipa penyedot debu di bibirnya dan dinyalakan, membuat giginya sobek dan giginya hancur. Penganiayaan yang dilakukan berkali-kali membuat sekujur badannya penuh luka, bahkan di beberapa bagian seperti di tangan dan kaki sampai membusuk karena belum sembuh sudah dipukul lagi. Pernah suatu saat ia menelpon agen, karena ia ingat pada saat berangkat ia diberi pesan jika terjadi apa-apa diminta menghubungi agen. Namun apa daya, oleh agen dia disuruh bertahan dan dikembalikan lagi kepada majikannya karena potongan gajinya yang belum selesai. Ia semakin tidak berdaya karena semua dokumennya ditahan oleh agen. Pada penganiayaan terakhir, ia dipukul sedemikian kerasnya sampai mengalami gegar otak. Kondisi yang semakin parah membuat ia tidak mampu bangun lagi dan majikannya memulangkannya ke Indonesia pada bulan Januari 2014.

Sebelum dipulangkan ke Indonesia, ia didandani sedemikian rupa: dipakaikan 6 lembar baju, rambut dikuncir dan di make-up agar di bandara luka-lukanya tidak terlalu terlihat oleh orang lain dan menimbulkan kecurigaan. Majikannya memberinya tiket, paspor dan uang 100 ribu tanpa membayar sepeser pun gaji yang seharusnya menjadi haknya karena telah bekerja selama delapan bulan. Erwiana sempat meminta tambahan uang saku, karena uang 100 ribu tidak cukup untuk naik bis dari Solo ke Ngawi, tempat tinggal orang tuanya. Namun permintaan itu ditolak oleh majikannya. Saat di bandara, ia pun harus dipapah dan memakai popok agar tidak terlalu sakit saat duduk di kursi pesawat. Di bandara, ia kembali dipesan untuk diam, dan jika bicara keluarganya diancam akan dibunuh.




Harapannya mulai timbul saat di bandara, ia bertemu dengan seorang pegiat migran yang akhirnya mengantarkannya pulang ke Ngawi, Jawa Timur dan juga diam-diam mengambil fotonya. Foto inilah yang kemudian disebar di jaringan migran di Hong Kong. Di rumahnya, ia disambut dengan isak tangis oleh keluarga dan para tetangga yang miris melihat kondisinya. Selanjutnya, ia kemudian dihubungkan dengan Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI), LBH Yogyakarta, Mission for Migrant Worker dan Justice Committe for All Migrant yang terus mendampinginya untuk menyembuhkan luka-luka bekas penganiayaan, sekaligus menyebarkan berita ini ke jaringan buruh migran di Hong Kong. Kabar ini kemudian menyebabkan timbulnya aksi solidaritas di berbagai tempat dari ribuan buruh-buruh migran di Hongkong, serta didukung juga oleh pegiat-pegiat HAM di sana. Dukungan ini membuat Erwiana memberanikan diri untuk menuntut haknya serta menjerat majikannya dengan tuduhan tindakan penyiksaan. Keberaniannya inilah yang membuat ia masuk dalam daftar 100 orang paling berpengaruh di dunia versi majalah TIME. 

Perjuangan tersebut tidak sia-sia. Setelah laporan masuk, pihak Kepolisian Hong Kong datang ke Indonesia untuk minta penjelasan. Erwiana pun setelah kondisinya pulih, beberapa kali terbang ke Hong Kong untuk memberikan kesaksian. Akhirnya, pada bulan Februari 2015, pengadilan Hong Kong menyatakan majikannya bersalah dan terbukti melakukan tindakan penganiayaan kepadanya. Seperti dimuat pada South Cina Morning Post, Selasa (10/2/2015), Hakim Pengadilan Distrik Hong Kong Amanda Woodcock menyatakan majikannya bersalah atas 3 hal, yaitu: bersalah atas 18 dari 20 dakwaan kejahatan yang dijerat oleh jaksa, bersalah karena telah mengancam Erwiana untuk membunuh korban dan keluarganya, serta bersalah karena tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar gaji Erwiana. Untuk itu, ia meminta majikannya untuk menebus gajinya sebesar 28.800 dolar Hong Kong atau setara dengan 47 juta rupiah. Majikannya sendiri dijatuhi hukuman penjara selama 6 tahun.

Kini Erwiana sudah menjalani hari-harinya sebagai mahasiswa di Universitas Sanata Darma Yogyakarta setelah menerima beasiswa penuh dari isntitusi pendidikan tersebut. Pengalaman pahitnya sebagai TKI di negeri orang membuat ia ingin membagikan apa yang diketahuinya kepada TKI lainnya yang ingin mengadu nasib di negeri orang, agar kejadian yang sama tidak terulang lagi. Menurut Iwenk dari JBMI yang mendampingi proses hukum Erwiana bersama Sarli Zulhendra, pengacara dari LBH, kasus kekerasan terhadap Erwiana ini menjadi bertambah berat karena Erwiana tidak tahu ke mana harus melapor, padahal cukup mudah, tinggal tekan angka 999 dan langsung tersambung ke Kantor Polisi. Sosialisasi seperti inilah yang perlu dilakukan kepada TKI sebelum mereka berangkat ke luar negeri. Semoga tidak akan lagi Erwiana-Erwiana yang lain, yang harus menderita demi meningkatkan kesejahteraan keluarganya, seperti tersirat dalam kalimat penutup Erwiana,"Impian kami hidup sejahtera di negeri sendiri, tanpa harus berpisah dengan keluarga tercinta, dan terpaksa menjadi buruh murah di negara orang tanpa perlindungan".



Wednesday, May 20, 2015

Joint Statement Ministerial Meeting On Irregular Movement Of People In Southeast Asia


 
JOINT STATEMENT
MINISTERIAL MEETING ON IRREGULAR MOVEMENT
OF PEOPLE IN SOUTHEAST ASIA

The Ministers of Foreign Affairs of Malaysia, Indonesia and Thailand met in Putrajaya, Malaysia on Wednesday, 20 May 2015 to discuss the issue of irregular movement of people into Indonesia, Malaysia and Thailand. This is with a view to finding a solution to the crisis of influx of irregular migrants and its serious impact on the national security of the affected countries. 

They agreed to resolve this issue in keeping with the spirit of unity and solidarity of ASEAN as well as the aspiration to have a people-oriented and people-centered ASEAN.

Acknowledging the dire humanitarian circumstances of the crisis, the Ministers expressed their deep concern on the plight of the irregular migrants, including those currently on the high seas, and in particular women and children.

The Ministers emphasized that necessary measures have been taken by the three (3) countries on humanitarian grounds, beyond their international obligations, in addressing the current influx of irregular migrants and further underlined that the issue cannot be addressed solely by the three (3) countries.

The Ministers strongly condemn people smuggling and human trafficking and expressed their governments’ determination to continue to take the necessary action, individually and collectively, to bring the perpetrators of such heinous crimes to justice.

The Ministers acknowledged that a comprehensive and durable solution to the crisis requires, inter alia, the involvement of relevant stakeholders and through the various existing international mechanisms.  This notwithstanding, they agreed to implement the following interim measures:

1.   Addressing the Root Causes

The root causes and other contributory factors to the recent influx of irregular migrants should be immediately identified and addressed by the parties concerned. To this end, Malaysia, Indonesia and Thailand remain prepared to continue to assist and work, in a constructive manner with the parties concerned.

2.   Role of Affected Countries

Malaysia, Indonesia and Thailand will continue to uphold their responsibilities and obligations under international law and in accordance with their respective domestic laws, including the provision of humanitarian assistance to the irregular migrants.   

Indonesia and Malaysia agreed to continue to provide humanitarian assistance to those 7,000 irregular migrants still at sea.  We also agreed to offer them temporary shelter provided that the resettlement and repatriation process will be done in one year by the international community.  In the meantime, Malaysia and Indonesia invite other countries in the region to join in this endeavour.

The enforcement agencies of the countries concerned will continue to share intelligence information in their efforts to combat people smuggling and human trafficking.


3.    Role of the International Community

Malaysia, Indonesia and Thailand call upon the international community to uphold their responsibility and urgently share the burden of providing the necessary support to Malaysia, Indonesia and Thailand in addressing the problem.  Subject to assurances by the international community to provide the necessary support, the Ministers propose the following:
i.                    The international community will be responsible in providing Malaysia, Indonesia and Thailand with the necessary support, particularly financial assistance, to enable them to provide temporary shelter and humanitarian assistance to the irregular migrants currently at risk.  These migrants will be sheltered in a designated area to be agreed by the affected countries and administered by a joint task force to be established by the affected countries;
ii.                  The international community will take responsibility for the repatriation of the irregular migrants to their countries of origin or resettlement to third countries within a period of one year. 

4.    Role of ASEAN

The Ministers called on ASEAN to play an active role in addressing the issue in an effective and timely manner, in the spirit of ASEAN solidarity.  The Ministers further recommended the convening of an emergency meeting by the ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime to address the crisis at hand.  They welcomed ASEAN’s initiative to establish a regional framework to address trafficking in persons as well as provide assistance to victims through the ASEAN Convention on Trafficking in Persons.


Putrajaya
20 May 2015

Hospitality and Solidarity needed in addressing Rohingya


from http://www.jrsap.org/news_detail?TN=NEWS-20150519024001




Rohingya refugees wait with uncertainty after arriving by boat to Langsa, East Aceh, Indonesia on 15 April 2015 (Nasruddin FPRM)
Rohingya refugees wait with uncertainty after arriving by boat to Langsa, East Aceh, Indonesia on 15 April 2015 (Nasruddin FPRM)
(Bangkok) 19 May 2015 — Hospitality and solidarity are two principle human values expressed in human interaction and deeds, especially towards those in dire needs and those marginalised. The people in the Asia Pacific region have a long tradition manifested in social and religious values. Globally these values are cemented in international norms and standards on how to treat people in distress like the Rohingya people experiencing now in their odyssey to safety. It is time for the ASEAN and global community to recall these values and norms when deciding how to respond to the suffering of the Rohingya people approaching the shores of ASEAN nations. The protection of lives as a core human right should be prioritized over any other interests or scenario. I would like to repeat what Pope Francis once said “I beg the Lord to grant us more politicians who are genuinely disturbed by the state of society, the people, and the lives of the poor." - Bambang A. Sipayung SJ 


Jesuit Refugee Service Asia Pacific is deeply concerned on the rapidly deteriorating situation the Rohingya are facing in the region over the last years.The failure of governments in Indonesia, Thailand, Malaysia and Myanmar to adequately respond to their current plight is a human tragedy – and a sign that governments are detached from the values deeply embedded in the cultures, society and religions of ASEAN countries.
Hospitality matters immensely, especially for vulnerable women, children and those who are on their journey to find safety. Countries failing to allow people to disembark from ill-equipped vessels and ensuring access to their right to seek asylum have jeopardized the value of hospitality for those in dire need.
In this very moment we are creating a precedent on how we deal with people in distress, asking for our help in maybe their darkest hours. It is in this moment that ordinary people have shown hospitality and solidarity in preventing death at sea like the fishermen bringing to shore the stalled boats, even when their military are pushing them back out to sea. It is these fishermen and communities extending their support and welcome to Rohingya people after months at sea that is a strong symbol that these values are alive and give reason for hope.
 ASEAN governments and leaders should follow this important example by addressing the Rohingya’s immediate needs for protection and start to develop a long-term vision on how to end their plight after decades of deteriorating suffering. Now is the time to call into action the protection-sensitive regional approach, which was envisaged in the Jakarta Declaration of 2013, and redefine ASEAN as a community. Using resources to save lives is needed, not extending consistent rejection experienced by one of the most persecuted people of our times.
 JRS AP welcomes an initiative to hold a joint meeting at the end of this month to address this crisis and to find a coordinated solution. We urge everyone participating in this meeting to observe the values of hospitality, solidarity, and justice as pillars of a protection-sensitive regional approach. As only by acknowledging and addressing the plight of the Rohingya people will we be able to find a way to address the root causes of their suffering.

Press Contact Information
Nick Jones
adv.com@jrsap.org
+66 2 640 9590

Monday, May 18, 2015

Mengenal Paralegal dan Implementasinya

Untuk melanjutkan dua kegiatan KKP-PMP (Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoran Migran Perantau) Regio Jawa yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu sosialiasi Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan (GATK) di Rumah Retret Maria Guadalupe Duren Sawit dan di Griya Karmel -Purwakarta, maka diadakan pertemuan ke-3 yang bertempat di  Villa Rosa Batu Raden Purwokerto tanggal 30 April-3 Mei 2015. Pertemuan yang dikoordinir oleh JPIC Regio Jawa ini mengambil tema: Pelatihan Paralegal. Jika kedua pertemuan sebelumnya lebih bersifat sosialisasi GATK, maka pertemuan kali ini berupa pelatihan / workshop. Fasilitator dalam pertemuan ini adalah Romo Siswantoko, Pr dan Bapak Azaz Tigor Nainggolan dari KKP-PMP - KWI dan Moh. Nurkhoirun dari Komnas HAM. Pertemuan ini dihadiri oleh 35 peserta dari berbagai latar belakang, antara lain anggota JPIC dari RSCJ, MTB, OP, FMM, JMJ, OSU, CB, BKK, SSpS, SND dan PI, KKP Keuskupan Purwokerto, Keuskupan Malang dan Keuskupan Bandung,  OMI - yayasan YSBS Cilacap dan wakil dari Keuskupan Agung Semarang. 

Misa Pembukaan / sumber: fb Ignatius Yunanto

Berikut laporan dari Suster Laurentina, PI yang hadir di pertemuan tersebut mewakili JPIC-PI dan Sahabat Insan. 

Suster Laurentina, PI mempresentasikan hasil kerja kelompok / sumber: fb. Ignatius Yunanto


Siapa Itu Paralegal

Paralegal berasal dari kata 'Para' dan 'Legal'. Para berarti seperti atau menyerupai. Legal berarti tindakan atau berperilaku sebagai penegak hukum. 

Paralegal adalah seseorang yang berperan  menjadi jembatan bagi masyarakat pencari keadilan dengan advokat dan aparat penegak hukum  atau lembaga negara lainnya untuk penyelesaian masalah hukum dan HAM yang dialami individu maupun kelompok masyarakat. 

Paralegal mengutamakan penguatan sikap dan keterampilan dasar utama: penguatan masyarakat, pengetahuan HAM,  pendidikan hukum, dan pelayanan bantuan hukum.

Paralegal menggunakan pendekatan logika, HAM  dan wawasan hukum kritis dengan memanfaatkan sebesar-besarnya pengalaman konkrit masyarakat setempat.

Siapa Saja Yang Bisa Menjadi Paralegal
Siapapun bisa menjadi paralegal, misalnya: pimpinan komunitas, kepala suku, pemuka agama, tokoh masyarakat, mahasiswa, aktifis, dan guru.

Kode Etik Paralegal
1. Menjunjung tinggi nilai keadilan, kebenaran dan hak-hak asasi manusia,
2. Memiliki rasa percaya diri dan keberanian untuk menegakkan keadilan dengan berbagai resiko,
3. Tidak menyalahgunakan peranannya untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.
4. Bersikap lepas bebas, tanpa ada kepentingan politik praktis

Syarat menjadi  Paralegal
Seseorang yang menjadi paralegal tidak mesti seorang sajana hukum atau mengenyam pendidikan hukum di perguruan tinggi, namun ia harus mengikuti pendidikan khusus paralegal. Di dalam pendidikan khusus ini, paralegal diberikan beberapa pengetahuan dasar serta beberapa ketrampilan dasar Advokasi, Hukum dan HAM.

Peran dan Lingkup Kerja Paralegal
  1. Memfasilitasi dan memotivasi masyarakat untuk mengorganisir dirinya dalam menghadapi masalah-masalah mereka, disamping membantu mereka untuk membentuk organisasi mereka sendiri,
  2. Melakukan analisis sosial, yang dimaksudkan untuk membantu paralegal dan masyarakat agar memahami sifat struktural dari perkara sehingga dapat menemukan, bagaimana jalan pemecahan terhadap persoalan-persoalan. 
  3. Membimbing, melakukan mediasi (perantara), yaitu memberikan bimbingan dan nasehat hukum serta melakukan mediasi dalam perselisihan yang timbul di antara anggota masyarakat,
  4. Jaringan kerja, yaitu menjalin hubungan kerja dengan organisasi-organisasi dan kelompok lain serta individu-individu (wartawan, peneliti, dll) guna mendapatkan dukungan terhadap masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
  5. Advokasi, yaitu melakukan advokasi dengan mengangkat persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat ke permukaan, sehingga diperhatikan oleh para pembuat keputusan dan dapat mempengaruhi keputusan mereka. Dalam hal tertentu yang dimungkinkan oleh hukum dan peraturan yang berlaku, paralegal dapat mewakili dan mendampingi.
  6. Mendidik dan melakukan penyadaran, yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai hak-hak mereka, memberikan informasi tentang hukum-hukum tertentu yang dapat melindungi mereka, memberikan informasi mengenai program pengembangan dan kesejahteraan masyarakat yang dilaksanakan pemerintah dan bagaimana cara untuk berpartisipasi dalam melaksanakan program-program tersebut.
Spiritualitas Advokasi , Menghadirkan Allah Di Tengah Masyarakat

Suasana diskusi / sumber: fb Ignatius Yunanto
Situasi dunia semakin tidak menentu dewasa ini. Ketamakan, kerakusan dan egoisme semakin merajalela menguasai hidup manusia. Cuek dan ketidakpedulian dengan sesama mengakibatkan suara Tuhan tidak terdengar lagi, serta jeritan sesama semakin kurang diperhatikan oleh manusia. Banyak persoalan terjadi di perbatasan negeri ini, seperti kerusakan hutan dan pertambangan-pertambangan yang semakin menggerogoti bumi akibat keserakahan. Dengan situasi yang demikian ini maka kita diajak untuk keluar dari diri kita sendiri untuk peduli dengan sesama dan lingkungan sekitar kita.

Dalam Evangelii Gaudium, Paus Fransiskus sendiri mengatakan bahwa ia lebih suka Gereja yang memar, terluka dan kotor berada di jalan-jalan, bukan Gereja yang sehat karena terkungkung dan menutup diri dalam rasa amannya sendiri, bukan juga Gereja yang akhirnya terjebak dalam jaringan dan prosedur. Dengan pernyataan Paus tersebut kita diajak untuk terus menerus melangkah ke luar, menyapa sesama dan hidup ditengah masyarakat dan dunia.

Kita diajak untuk mendalami semangat hidup Yesus sendiri dengan :
  • Tidak mementingkan diri sendiri
  • Menjadi manusia yang bebas dari segala hawa nafsu kedudukan, jabatan tetapi dengan bebas mencintai dan melayani sesama, khususnya yang menjadi korban ketidakadilan
  • Menjadi manusia yang penuh kasih sehingga bebas dari rasa dendam dan mudah memaafkan.
Intinya Gereja mengajak kita untuk berpihak kepada kaum miskin dan menghargai orang miskin. Keberpihakan kepada kaum miskin hendaknya diterjemahkan ke dalam pelayanan iman, bukan hanya bantuan material. Disamping itu dituntut pula adanya pelayanan rohani kepada mereka. Pelayanan sejati adalah penyalur rahmat untuk membangun persaudaraan, menolong, melayani, memelihara, membimbing dan menyembuhkan.

Pastoral Advokasi Adalah Melayani

Melayani merupakan Simbol Kehadiran Allah di tengah dunia.

Advokasi sebagai tindakan kenabian artinya adalah: membangun pelayanan pada sesama yang diperlakukan tidak adil, ditindas dan dimiskinkan, agar ada harapan dan perubahan hidup, perilaku dan kebijakan.

Paus Fransiskus mengatakan: "Tuhan telah menciptakan dunia sebagai satu taman yang indah dan meminta kita untuk memeliharanya. Namun melalui dosa, kita telah merusak keelokan alam tersebut. Manusia juga ikut menghancurkan kesatuan dan keindahan keluarga, menciptakan struktur sosial yang meluaskan kemiskinan, kebodohan dan korupsi. Setiap orang harus belajar menangis untuk orang lain yang terpinggirkan dan menderita. Kasih sayang dan empati yang dangkal dengan cara memberi sedekah tidak lagi cukup”. Dengan ini Paus mengajak kita untuk memberikan perhatian tulus bagi yang miskin dan terpinggirkan sehingga mereka kembali memiliki harapan. Paus juga mendesak agar pemerintah menghindari struktur sosial yang melanggengkan kemiskinan, kebodohan dan korupsi. Disamping itu beliau menyerukan agar semua orang menolak korupsi serta menghilangkan semua sumber daya yang ada untuk memberdayakan orang miskin dan lemah.

Advokasi berarti menghadirkan kasih dengan mewujudkan keadilan. Advokasi atau advocare berarti juga melayani atau mendampingi

Latar Belakang Kebutuhan

Minimnya sumber daya advokat public atau paralegal, dipandang penting untuk mendorong pengembangan sumber daya hukum masyarakat di tingkat lokal atau di masyarakat korban itu sendiri. Upaya membangun sumber daya hukum sejalan dengan prinsip ADVOKASI yang tidak hanya mengedepankan masyarakat korban sebagai pelaku ADVOKASI (people centre), akan tetapi juga agar akses masyarakat marjinal, miskin dan tertindas terhadap keadilan dapat lebih terbuka.

Advokasi :
Usaha sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan PERUBAHAN, dengan memberikan sokongan, pendampingan dan pembelaan terhadap kaum lemah (miskin, terbelakang, dan tertindas) atau terhadap mereka yang menjadi korban sebuah kebijakan dan ketidakadilan agar rakyat bisa melindungi serta memperjuangkan hak dasarnya (hak asasi manusia).

Advokasi Gereja
Pro Kehidupan: Penghapusan Hukuman Mati, Lingkungan Hidup, Perdagangan Manusia, Kekerasan-Penindasan, Pembodohan, Penggusuran, Pemiskinan, Layanan Publik dan Korupsi. Dengan kata lain kita harus berani untuk keluar dari diri, berani berbuat nyata dan mendengarkan, menggerakkan serta menyuarakan.

Tujuan Advokasi
Perubahan Perilaku Gereja, Publik dan Kekuasaan: menghadirkan Allah di tengah dunia
Advokasi mengajak masyarakat untuk menjadi subyek dalam perubahan sosial dan mengajak masyarakat agar ikut membangun hak dasarnya (hak asasi) dan  mengendalikan perkembangan yang terjadi pada diri mereka serta komunitasnya.

Manfaat Advokasi
  • Membangun  kesadaran kita/Gereja.
  • Menjadi simbol gerakan kehadiran Gereja
  • Membongkar ketidak-adilan
  • Mengubah struktur kekuasaan menjadi adil
  • Membangun perubahan berkelanjutan, kesejahteraan umum.
  • Membangun korban menjadi pejuang perubahan, tidak diam dan tidak takut rusak relasi dengan kekuasaan
“Bukalah mulutmu untuk orang yang bisu, untuk hak semua orang yang merana. Bukalah mulutmu, ambillah keputusan secara adil dan berikanlah kepada yang tertindas dan yang miskin hak mereka. (Amsal 31:8-9)”

Jenis Advokasi
Advokasi Kasus: menggerakkan korban agar sadar, kuat & berani dan melayani. Korban menjadi Pejuang (Victim ke Survival)

Advokasi Struktural: menggerakkan pemerintah atau umat agar berubah melayani untuk kesejahteraan umum (Bonum Commune).

Pilihan Pastoral Advokasi
  1. Membangun Isu Strategis: pro kehidupan, pro poor dan keadilan melalui media pastoral: menjadi contoh kehadiran, keberpihakan, edukasi keberpihakan umat, kesadaran politik
  2. Membangun Komunitas BASIS Gerakan Pastoral Advokasi: kelompok pelayanan sosial, animasi advokasi pelayanan, kaderisasi umat, pelayanan struktural
  3. Menjadi simbol: kehadiran Gereja, lobby atau jembatan kepada pemerintah dan pembuat keputusan (pengusaha dan tokoh): masuki ranah kekuasaan dan pembuatan kebijakan.
Deus Caritas Est, Allah adalah Kasih (Ensiklik Paus Benediktus XVI, 25 Desember 2005) menyatakan bahwa:
(28) Gereja memiliki kewajiban menerjemahkan, mensosialisasikan dan mewujudkan keadilan dan harus aktif  berperan serta tetapi bukan menggantikan peran negara. Gereja hadir menggumuli keadilan yaitu membuka pikiran dan kepedulian bersama, kesejahteraan bersama. Kasih - Caritas - selalu perlu,  juga dalam masyarakat yang paling adil.
(29) Pembangunan struktur adil adalah tugas negara. Gereja mendukung secara moral sebagai gerakan politik langsung para awamnya (umat) menghadirkan kasih dalam masyarakat yang adil. 

Saturday, May 16, 2015

Mendoakan Arwah dan Upaya Menghapus Hukuman Mati di Indonesia.

Untuk mendoakan arwah terpiana mati yang sudah menjalani eksekusi pada Rabu, 29 April 2015 dini hari dan juga sebagai ujud upaya penghapusan hukuman mati di Indonesia, Romo, Suster, Ibu, Bapak, orang muda Katolik dan jaringan hapus hukuman mati untuk hadir dalam Misa Arwah pada: 
Rabu, 29 April 2015
Pukul: 19.00 – selesai.
Tempat: Rumah Duka St. Carolus
Ruang tempat jenazah Rodrigo Gularte (Brazil) disemayamkan.

Misa arwah akan dipimpin oleh Bapak Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ign. Suharyo.
Terima kasih.

Kontak: Pastor Siswantoko (Komisi Keadilan dan Perdamaian KWI), Azas Tigor Nainggolan (Komunitas Pro Kehidupan), Dining.

Demikian edaran yang diterima oleh Sahabat Insan menyusul kabar bahwa delapan terpidana mati kasus narkoba telah dieksekusi oleh regu tembak Kejaksaan Agung di Nusakambangan pada Rabu dini hari. Sahabat Insan yang selama ini ikut aktif menentang hukuman mati kemudian memenuhi undangan terbuka tersebut dengan menghadiri misa yang dikoordinir oleh Komisi Keadilan dan Perdamaian KWI.

Sore itu, Rumah Duka St. Carolus, terutama di ruang Kristoforus tempat jenazah Rodrigo disemayamkan, sudah mulai penuh sesak dengan wartawan dan juga umat yang ingin ikut mendoakan. Tampak mobil-mobil media dan juga karangan bunga duka cita ikut memenuhi halaman ruangan yang terletak paling pojok tersebut. Bersama Rodrigo, turut dieksekusi ketujuh terpidana mati kasus narkoba lainnya, yaitu: Myuran Sukumaran dan Andrew Chan asal Australia, Martin Anderson (Ghana), Raheem A Salami, Sylvester Obiekwe, dan Okwudili Oyatanze dari Nigeria serta Zainal Abidin asal Indonesia. Foto ketujuh terpidana mati tersebut turut dipasang di sekitar peti jenazah Rodrigo. Di barisan kursi depan, sepupu Rodrigo yang selama ini mendampinginya, Angelita, terlihat berpakaian hitam dan tak berhenti menangis. Ia tampak sangat terpukul dengan apa yang terjadi pada terpidana mati yang sering dikabarkan mengalami gangguan jiwa tersebut.

Mgr. Suharyo berbincang dengan keluarga Rodrigo




Rodrigo sendiri ditangkap petugas bea cukai Bandara Soekarno-Hatta pada 31 Juli 2004 lalu saat hendak menyelundupkan 19 Kilogram kokain melalui papan selancar. Ia diputus bersalah dengan vonis mati di PN Tangerang setahun kemudian. Ia sempat mengajukan beberapa langkah hukum, namun semuanya gagal. Terakhir, grasi Rodrigo ditolak oleh Presiden Jokowi pada 5 Januari 2015 melalui Keppres No 5/G Tahun 2015 yang menyebabkan ia dieksekusi mati bersama terpidana lainnya. 



Misa requiem malam itu dipimpin oleh Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Suharyo, bersama dengan ketiga Romo lainnya yaitu Romo Siswantoko, Pr, Romo Simon Petrus Lili Tjahjadi, Pr dan Romo Rofinus Neto Wulli, Pr. Dalam homilinya, Mgr. Suharyo mengucapkan duka citanya kepada keluarga yang ditinggalkan. Beliau menegaskan, hanya Tuhan yang berhak menentukan hidup mati seseorang. Lebih lanjut Mgr. Suharyo mengulas tentang kata-kata ‘adil’ dan ‘benar’. Menurut beliau, kata ‘adil’ dan ‘benar’ ada pasangannya. Benar pasangannya adalah kasih, sedangkan adil pasangannya pengampunan. Tidak ada kebenaran dan keadilan yang berdiri sendiri tanpa berpasangan dengan kasih dan pengampunan. Itulah Allah Yang Maha Rahim, yang selalu membuka jalan pertobatan bagi kita. Bagi Alah Yang Maha Rahim, tidak ada jalan yang tertutup. Memang Allah yang seperti itu sering kita rasakan jauh, karena yang kita hadapi adalah manusia-manusia yang seringkali tidak tahu pasangan-pasangan kata itu. Tahu mengucapkannya, tetapi tidak paham untuk mewujudkannya. “Allah Yang Maha Rahim, kita boleh yakin, telah menerima saudara kita ini Rodrigo Gularte di dalam pangkuan-Nya yang abadi bersama dengan teman-temannya.” lanjut Mgr. Suharyo. Beliau kemudian mengajak umat untuk saling mendoakan, dan berharap semoga kita semua pelan-pelan dapat mengalami semakin pribadi Allah Yang Maha Rahim itu. Beliau juga berharap semoga kehadiran dan doa-doa umat dapat mengantar saudara-saudara kita khususnya Rodrigo Gularte kembali kepada Allah yang dia percaya sebagai asal dan tujuan hidupnya, dan juga menjadi kekuatan bagi keluarga yang menyertai dan keluarga besar yang ditinggalkannya.  

Pembukaan Misa
Homili oleh Mgr. Suharyo
Doa Syukur Agung
Komuni
Komuni



Pemberkatan Jenazah
Pemercikan Air Suci

Mgr. Suharyo mengucapkan belasungkawa kepada keluarga
Romo Simon Lili mengucapkan duka cita kepada keluarga

Misa malam itu dihadiri sekitar 300-an umat. Tampak di antara mereka adalah Romo Franz Magnis Suzeno, Suster Lia RGS, Suster Laurentina, PI dan juga Sr. Murphy RGS beserta rekan-rekannya. Dalam wawancara dengan wartawan, Romo Magnis menyatakan bahwa kedatangannya ke misa requiem Rodrigo adalah mengantar kepergian warga Brasil itu untuk terakhir kalinya dan secara tulus mendoakan arwahnya. Menurut beliau, walaupun dia seorang terpidana, namun atas dasar kemanusiaan beliau berbelarasa karena Rodrigo adalah seseorang yang nyawanya direnggut oleh negara. Menurut Romo Magnis, ada cara lain yang lebih proporsional dan konstruktif dalam menghukum seorang pelaku kriminal.


Sesuai misa, wartawan kemudian berebut mewawancarai Mgr. Suharyo yang akhir-akhir ini begitu gencar menyuarakan bahwa gereja menentang hukuman mati. Para wartawan tersebut menanyakan komentar Mgr. Suharyo tentang kedelapan terpidana mati yang akhirnya dieksekusi. Mgr. Suharyo, yang didampingi oleh Romo Siswantoko dan Bpk Azas Tigor Nainggolan kembali menegaskan sikap gereja yang menentang hukuman mati, karena hidup adalah milik Tuhan, dan hanya Tuhan yang berhak mengambilnya. Beliau secara pribadi merasa sangat sedih, sebab negara seenaknya menentukan hidup mati seseorang dengan hukuman mati. Dengan hukuman mati, bangsa Indonesia telah mencederai sila kedua Pancasila: Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Menurut beliau, nasib manusia di negara ini bisa diselesaikan seperti sebuah tontonan. Hukuman mati dibuat berseri layaknya menonton film bersambung. “Semoga tidak ada lagi hukuman mati. Minimal untuk terpidana kasus narkoba maupun kasus lain, supaya lebih diperlakukan layaknya manusia. Para pemegang keputusan seperti hakim dan jaksa tidak boleh main-main dengan hidup manusia!” tegasnya. Lebih lanjut beliau mengatakan, "Saya tidak mengatakan terpidana mati itu tidak bersalah. Bahkan kesalahan mereka sangat berat. Tapi sebesar apapun kesalahan manusia, bagi gereja selalu ada pintu untuk bertobat, tidak ada hukuman final." Mengakhiri wawancara, Mgr. Suharyo menekankan, bahwa gereja tidak akan pernah lelah menentang hukuman mati. Saat ditanya lebih lanjut, apakah gereja akan terlibat lebih jauh untuk mendampingi terpidana mati dalam hal hukum, Uskup menyatakan bahwa tugas gereja adalah menyuarakan dan mengawal hal-hal yang berkaitan dengan moral, sedangkan untuk hal lain akan dilakukan oleh ahlinya masing-masing.  



Pada kesempatan yang sama, kuasa hukum Rodrigo dari KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan), Putri Kanesia, berkata bahwa hukum di negara ini hanya melihat dari satu sisi, yaitu sisi besarnya kesalahan, tanpa mempertimbangkan usaha para terpidana untuk bertobat. Dia berharap bahwa hukuman terhadap pelanggaran berat apapun, paling maksimal adalah hukuman seumur hidup. Kepala Divisi Pembela Hak Sipil Politik Kontras itu juga menjelaskan, pihak keluarga akan melanjutkan proses hukum meski Rodrigo sudah dieksekusi. Tim kuasa hukum juga akan hadir dalam sidang permohonan pengampuan (perwalian) pada 6 Mei mendatang. Dalam misa arwah malam ini, orangtua kandung Rodrigo tidak hadir karena kondisi yang terlalu renta sehingga tidak memungkinkan mereka untuk hadir. Namun mereka tetap menunggu kedatangan jenazahnya di Brasil.


Pada akhirnya, satu nyawa yang melayang tidak memiliki pengaruh positif yang signifikan untuk memperbaiki keadaan, namun memiliki efek negatif yang cukup besar bagi keluarga yang ditinggalkan. Semoga suatu saat nanti pemerintah dan para penegak hukum di negeri ini dapat mengambil keputusan yang lebih bijaksana dalam menangani persoalan-persoalan bangsa, terutama untuk segera menghapus hukuman mati.
  

nb: berita dikumpulkan dari berbagai sumber.