Thursday, March 31, 2016

Melupakan Halaman Lama, Memulai Lembaran Baru


"Gak usah lah dengerin orang ngomong di depan itu. Mereka itu pura-pura saja jadi pendeta padahal mereka itu polisi dan akan menangkap kita." 

Celetukan itu datang dari salah seorang dari 20-an TKI yang baru saja dideportasi dari Malaysia karena tidak berdokumen, dan singgah di RPTC untuk menunggu jadwal kedatangan kapal laut yang akan membawa mereka pulang ke kampung halaman. Tidak hanya sekali itu saja ia menyeletuk. Hampir sepanjang acara dia mengeluarkan kata-kata yang penuh dengan kecurigaan dan ketakutan. Namun begitu, teman-temannya tidak ada yang menghiraukannya, bahkan kadang menasehatinya untuk diam. Ya, dia sepertinya mengalami depresi ringan akibat penderitaannya selama mencari nafkah di negeri orang, sehingga tingkahnya agak aneh dan berbicara melantur ke sana sini. 

Hari itu, Selasa 22 Maret 2016, Sahabat Insan kembali mengunjungi RPTC Bambu Apus, untuk bertemu dengan para mantan TKI asal Flores, Sumba dan Timor yang sedang singgah di sana. Kunjungan kali ini dimaksudkan untuk mengadakan Misa untuk mereka yang beragama Nasrani, sebelum pulang naik kapal laut. Karena hari itu sudah memasuki Pekan Suci, maka sebelum misa, para suster dan seorang frater OFM yang sudah terlebih dahulu hadir, memimpin Ibadat Jalan Salib. Ibadat ini cukup menyentuh karena ditunjang oleh gambar-gambar, renungan serta lagu-lagu yang indah, sehingga semua ikut terhanyut di dalamnya. 




Ibadat Jalan Salib kemudian dilanjutkan dengan Misa yang dipimpin oleh Romo Benny Juliawan, SJ. Dalam kotbahnya, Romo Benny membahas tentang Petrus dan Yudas Iskariot. Menurut beliau, kedua murid Yesus ini sama-sama memiliki dosa besar: Petrus menyangkal Yesus sampai 3 kali, sedangkan Yudas menyerahkan Yesus kepada para pembunuhnya. Apa perbedaan keduanya? Petrus, setelah melakukan dosa, kemudian bertobat dan memperbaiki diri hingga akhirnya menjadi rasul besar. Sedangkan Yudas, ia juga bertobat, karena ia juga merasa bersalah atas perbuatannya, namun ia tidak bisa menerima bahwa Yesus, sosok yang dijahatinya itu, akan mengampuni dosa-dosanya. Yang satu menyerahkan diri pada kasih Allah, yang satu merasa tidak pantas menerima kasih Allah. Dan kita tahu akhir cerita dari keduanya. 






Romo Benny melanjutkan, drama kisah sengsara ini juga terjadi dalam hidup kita masing-masing. Cinta, kesetiaan, pengkhianatan, pertobatan, dan pengampunan. Semua orang pernah melakukan kesalahan, tapi kita mau menjadi Petrus atau Yudas? Kebangkitan Paskah juga adalah ketika kita membuka diri pada Allah Yang Maha Rahim, sehingga kita membuka hidup yang baru. Jika diumpamakan kita adalah sebuah buku, kita membuka halaman yang baru dan bab yang baru. Halaman yang lama tetap ada di sana, namun tidak kita baca lagi karena Allah sudah melupakan. Allah mudah lupa pada dosa-dosa kita. Kita saja yang masih mengingat-ingatnya. Maka di masa yang kudus ini kita diundang untuk menjadi seperti Petrus. Semua orang punya masa lalu, bahkan para Santo Santa juga punya masa lalu, dan kita para pendosa ini mempunyai masa depan. Maka kita membiarkan diri kita untuk ditebus oleh Tuhan, dan memulai hidup yang baru. 

Para TKI, setelah mengalami deportasi ini, juga diharapkan untuk memiliki harapan dan rencana-rencana baru dalam hidupnya. Yang sudah berlalu tidak usah diingat-ingat lagi. Namun, misalkan ada yang ingin kembali mencari rejeki ke Malaysia, Romo Benny juga tidak bisa menghalangi, karena itu merupakan hak masing-masing pekerja, Namun, para TKI perlu belajar dari pengalaman agar kejadian ditangkap petugas karena tidak memiliki dokumen, tidak terulang lagi. Caranya, dengan berusaha mentaati peraturan. Yang paling benar adalah berangkat dengan dokumen resmi. Jika sudah berangkat dengan dokumen lengkap, namun majikan ingin menyimpannya, maka para pekerja harus berani mengatakan bahwa dokumen itu adalah hak milik pekerja. Jika ada pekerja lain, yang ingin membangun hidupnya kembali ke kampung halaman, maka kampung halaman yang akan didatangi itu, walaupun lokasinya tidak berubah, namun itu adalah tempat yang baru, tempat untuk merajut masa depan. Kita membuka diri kita seperti Petrus, yang berdosa namun menerima untuk ditebus oleh Allah. 

Pada pertemuan kali ini, terlihat cukup banyak balita yang hadir. Keadaan mereka pada umumnya tidak terlalu baik. Hampir semuanya mengalami sakit batuk, pilek, dan panas. Hal ini wajar karena selain stamina mereka terkuras selama perjalanan, mereka yang sejak kecil tinggal di Malaysia harus menyesuaikan diri dengan cuaca Jakarta, yang kebetulan akhir-akhir ini sedang tidak bersahabat. Hebatnya, walaupun mereka dalam kondisi tidak terlalu sehat, namun adik-adik cilik ini mengikuti misa dengan tenang sampai selesai. Yang bayi tertidur pulas tanpa rewel, yang agak besar duduk dengan manis di samping bapak atau ibunya. Kehidupan keras yang dijalani oleh orang tuanya ternyata tidak membuat mereka menjadi anak-anak yang 'nakal'. Bahkan ada dua anak kembar yang sangat sopan dan ramah, selalu tersenyum, dan mencium tangan setiap orang yang menemuinya.







Setelah misa, Romo Benny memberkati rosario yang telah dipersiapkan oleh para suster, dan membagikannya kepada para TKI. Para suster kemudian membagikan juga daun palma dan beberapa baju layak pakai, yang dapat mereka pergunakan sebagai baju ganti selama perjalanan di kapal laut yang memakan waktu kurang lebih 5 hari. Tak lupa juga semua saling berbincang-bincang sehingga semua kisah terlontar. Ada seorang ibu yang baru pertama kali berangkat ke Malaysia dan langsung tertangkap oleh petugas saat baru turun dari kapal. Ada seorang bapak yang sudah 12 tahun bekerja di perusahaan bahan bangunan dan baru saat ini tertangkap oleh petugas. Ada seorang ibu yang ingin kembali lagi ke Malaysia karena suaminya masih di sana. Santapan makanan ringan yang dipersiapkan oleh para suster melengkapi acara ramah tamah siang itu.





Masalah TKI tak berdokumen di Malaysia ini memang seperti tidak berujung pangkal. Sahabat Insan pernah menulis tentang hal tersebut di artikel ini Dilema Pekerja Migran Tak Berdokumen di Malaysia. Perlu kerja sama dan upaya serius dari semua pihak, baik pekerja maupun pemerintah, agar masalah pekerja tak berdokumen ini tidak terus berulang.   


Tuesday, March 29, 2016

Siaran Pers Migrant CARE: Launching Report Kebijakan Migrasi di Indonesia dari Perspektif Hak Asasi Manusia

Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, Migrant Care mengadakan siaran Pers yang dibarengi dengan Launching Report Kebijakan Migrasi di Indonesia dari Perspektif Hak Asasi Manusia pada tanggal 7 Maret 2016. Acara tersebut dipaparkan oleh narasumber dari pemerintah, migrant care, dan perwakilan daerah di Indonesia.



Dari Kemlu diwakilkan oleh Bp. Lalu Muh Iqbal, Bp. Wahyu Susilo dan Ibu Anis Hidayah dari Migrant Care, Bp. Ragil Saputra dari kades Kandregan Kebumen, dan Bp. Saverrapall Corvando dari YKS Lembata.

Acara dibuka oleh Ibu Anis Hidayah yang mengatakan bahwa masih banyak kasus ketidaksetaraan gender yang terjadi pada PRT di luar negeri. Laporan yang dilaunching tersebut ingin memperlihatkan bahwa ada kesenjangan yang tajam antara subtansi yang terkandung dalam konvensi buruh migran dengan kebijakan migrasi tenaga kerja di Indonesia.

Menurut Iqbal, kajian ini dapat berfungsi sebagai gap analis untuk menemukan findings yang dipercaya dapat mengisi gap yang ada. Terdahulu diketahui bahwa UU no. 39 tahun 2004 merupakan Permen. Beliau mempertanyakan bagaimana mungkin Permen bisa berubah menjadi UU yang dahulunya hanya focus pada bisnis ekonomi penjualan TKI ke luar negeri. Langkah yang diambil pemerintah saat ini adalah status quo tidak memperpanjang MoU kepada negara tertuju. Dengan tujuan untuk mematangkan UU dan isi perjanjian bilateral yang memang memajukan kesejahteraan pekerja migran serta keluarga mereka.



Temuan dari kajian tersebut terkait perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya. Migrant Care juga menyebutkan kelemahan dan mengajukan rekomendasi kepada Pemerintah supaya revisi yang ada memperjuangkan HAM dari buruh Migran.

Tuesday, March 1, 2016

A Temporary Respite


As usual it began with a phone call.  In the first week of February, a call came through from the staff at the halfway house run by the Ministry of Social Welfare in East Jakarta. A group of people needed some spiritual counsel. The people were Indonesian migrant workers who had been deported from Malaysia. The next day, a group of volunteers who call themselves Care for Migrants Network of the Jakarta Archdiocese visited the shelter and organised a common counseling session and a mass because most of the deportees were Catholic.
The situation of these migrant workers is not uncommon. According to official statistics, Indonesia sends about 450,000 migrant workers abroad every year, but this does not cover those who leave the country to work using channels unrecognised by the state. Some estimates put the total number at up to 700,000 people. The most popular destination is neighbouring Malaysia which houses 1.3 to 1.6 million Indonesian migrant workers at any given time. About half of them are without documents and some of them end up in halfway houses like the one in Jakarta after being deported by Malaysian authorities.
On that day 44 deportees, including four women and a month-old baby, were housed in the shelter. They were waiting for the ship that would bring them, in a four-day voyage, to their homes in several regions in Nusa Tenggara Timur province. They had arrived two days earlier from Tanjung Pinang in the Sumatran province which borders with the Malay Peninsula. Some of them had spent up to three months in the Pasir Gudang detention centre in Malaysia before being deported. While in detention, a handful of them had been punished by caning. The baby was born in the detention centre after the mother was arrested by the authorities. Its father remained in Malaysia because he had proper documents.
What the volunteers did was simple. They tried to create a welcoming environment by providing a space for the deportees to talk, sing, pray and sometimes make confessions. Many of them had undergone traumatic experiences and had had no opportunity to deal with them. A simple gesture of friendship was all that was needed to unlock the fear and worry that had crippled them and to restore their humanity.
These volunteers have been doing this for the past four years in collaboration with the staff at the shelter. In the beginning the staff invited them only when there were Christian deportees. After a while, they allowed the group to help organise cooking or hairdressing classes for everyone in the shelter, regardless of religion.
Sahabat Insan, a Jesuit initiative that helps returning migrants, joined this network of volunteers three years ago. Most of the volunteers are nuns who run similar services for migrants and victims of trafficking in Jakarta. The group has witnessed a lot of tragic stories of violence, desperation and hopelessness and often feel completely helpless themselves. In one particular case in April 2014, the group had to deal with 21 young girls from Nusa Tenggara Timur who had been trafficked and enslaved in a bird’s nest factory in Medan, North Sumatra, for two years. Two of their friends died in captivity, which triggered the alarm that led to their release. The girls had to spend two months in the halfway house because police were investigating the case and needing them as witnesses. The friendship and warmth offered by the volunteers helped bring smiles back to their faces at the end of the stay in Jakarta. Afterwards, two nuns accompanied them on their way to Kupang, the capital of their home province and met with their families.
This simple service is supported by the Jakarta Archdiocese and the Counter Women Trafficking Commission of the Indonesian Association of Female Religious Congregations. The network has developed other activities such as organising seminars and training sessions on anti-trafficking as well as lobbying policy makers to advocate for better protection for migrant workers. The group is best defined, however, by their hospitality in offering a temporary respite for the laboured and broken.

Please visit http://sjapc.net/content/temporary-respite