Friday, November 15, 2019

Fenai Battun, Kelompok Usaha Penghasil VCO Di Desa Battuna

Desa Battuna, sesuai dengan namanya, dipenuhi oleh batu-batuan di sepanjang jalannya. Desa ini terletak sekitar 40 km dari Kupang. Di sini, para Suster PI bekerja sama dengan masyarakat setempat membuat program pemberdayaan perempuan untuk penduduk setempat dengan membentuk sebuah komunitas penghasil Virgin Coconut Oil (VCO). Kelompok usaha ini diberi nama Fenai Battun, yang dalam bahasa setempat artinya adalah ibu yang berusaha di bebatuan. Keprihatinan para Suster melihat kenyataan bahwa banyak orang NTT yang bekerja di luar negeri dan pulang tinggal nama membuat mereka tergerak untuk memberdayakan ibu-ibu yang ada di sini demi membangun ekonomi keluarga.


Usaha ini diawali pada Minggu pagi tanggal 6 Oktober 2019, saat Suster Elisa, PI dan Suster Matilda, PI ke sana untuk melakukan sosialisasi. Kegiatan hari itu dimulai dengan Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Romo Jefri, Pastor Paroki setempat. Setelah Misa selesai, para peserta berkumpul di salah satu rumah umat. Bukan hanya umat Katolik saja yang mengikuti kegiatan ini, tetapi juga ibu-ibu dari Gereja Protestan. Sebagian besar dari mereka adalah ibu-ibu PKK.

Ide untuk memulai usaha ini didasarkan kenyataan bahwa di desa ini sumber daya alamnya 75% tersedia namun pengolahan dan pengelolaannya belum memadai, sehingga selama ini hasil desa terbatas hanya dikonsumsi oleh warga desa setempat saja. Kakak Melki, salah satu pemuda desa Battuna yang gencar membangun desanya, mengatakan bahwa tujuan dibuat usaha ini adalah agar hasil-hasil produksi yang selama ini telah dibuat bisa mendapatkan ijin dan bisa beredar tidak hanya di desa tersebut tapi juga sampai ke kota bahkan juga sampai ke luar provinsi dan juga ke pulau lain. Ibu Ketua PKK, Mince Ohemetan juga menambahkan bahwa usaha ini juga bertujuan menghilangkan tembok pemisah antara Katolik dan Protestan yang selama ini tercipta. Ia berharap bahwa usaha ini bisa bertahan lama, tidak hanya hangat-hangat kuku berumur dua atau tiga bulan saja. Semua yang hadir di situ menyetujui dan ikut bersemangat berperan serta. Suster Elisa juga menegaskan bahwa di desa tersebut ada peluang untuk membangun dan kemauan untuk maju, sehingga hanya diperlukan pengelolaan yang baik untuk bisa mengembangkan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada. Tujuannya adalah untuk meningkatkan ketrampilan dalam berwirausaha, menembus pasar lokal, serta memberikan manfaat bagi diri sendiri, keluarga dan juga orang lain.

Langkah selanjutnya adalah memilih pengurus. Tahap ini memiliki tantangan tersendiri karena banyak yang tidak bersedia untuk jadi pengurus karena rata-rata semua takut memegang jabatan. Para Suster memberikan pengertian bahwa ibu-ibu yang dipilih menjadi pengurus tidak akan bekerja sendiri dan juga akan ada banyak hal yang bisa dipelajari. Setelah berdiskusi cukup lama, akhirnya terpilihlah ketua, sekretaris, bendahara, divisi produksi, divisi pemasaran dan humas. Sedangkan pembina dan pengawas adalah para Suster sendiri.

Untuk menunjang kegiatan ini, pada hari Sabtu, tanggal 12 Oktober 2019 Para Suster mengantarkan peralatan yang diperlukan, antara lain alat pemarut kelapa, ember penampung, toples, saringan, corong, dan panci.  Alat-alat pembuat VCO tersebut secara resmi diserahkan oleh Sr Elisa, PI dan Sr. Mathilda, PI kepada para pengurus Kelompok Fenai Battun bertempat di Kantor Desa. Para Suster juga memanfaatkan pertemuan tersebut untuk menjelaskan kembali secara singkat tentang maksud dan tujuan kegiatan pemberdayaan tersebut. Suster juga menjabarkan tugas dan tanggung jawab masing-masing pengurus seraya menegaskan bahwa usaha ini tidak main-main dan serius untuk dijalankan, agar para ibu di desa ini memiliki ketrampilan serta pengalaman menjalankan sebuah komunitas atau organisasi, dan Suster berjanji akan terus mendampingi sampai komunitas mandiri. Selain itu, pada kesempatan tersebut Suster juga membahas tentang aspek legal dan cara mengurusnya.







Kegiatan pertama yang dilakukan adalah Pelatihan Pengolahan Minyak Kelapa Murni yang diadakan pada hari Sabtu, 19 Oktober 2019. Masing-masing peserta diminta untuk membawa dua buah kelapa kering yang akan diolah menjadi VCO.  Sebelum pelatihan dimulai, semua peralatan dicuci dengan air panas agar steril. Pelatihan diadakan di Kantor Desa dan dimulai pukul 09.30 WIT. Pelatihan kali ini dipandu oleh dua orang instruktur sepasang suami istri yang sudah berpengalaman membuat VCO, Bapak Apri Resi dan Ibu Marni Resi. Mereka menjelaskan bahwa kunci sukses pembuatan VCO adalah sabar. Proses pembuatannya mudah namun diperlukan ketekunan agar mendapatkan hasil yang baik.

Setelah dijelaskan proses-prosesnya, ibu-ibu yang hadir langsung keluar aula untuk memulai praktek. Mereka mulai membersihkan kelapa kering dan memisahkan kelapa yang di dalamnya sudah ada embrio karena itu tidak akan menghasilkan minyak yang baik. Setelah dibersihkan, daging kelapa dicuci bersih dan kemudian diparut dengan  mesin. Selanjutnya, kelapa parut dicampur dengan air panas dengan perbandingan 1:1, dan kemudian dijadikan santan. Santan tersebut kemudian didiamkan sebentar agar air terpisah dari santan. Saat air sudah terpisah dari minyak, airnya dikeluarkan dan disisakan sedikit untuk proses fermentasi. Disinilah kesabaran itu diuji, karena harus menunggu santan tersebut berubah menjadi minyak kelapa murni dan cepat atau lambatnya tergantung suhu udara. Dalam proses ini diperlukan suhu udara yang sejuk serta tempat yang tertutup rapat agar udara tidak bisa masuk. Namun karena saat ini sedang musim panas, Bapak Apri mengatakan bahwa proses penyulingan akan dilakukan pada hari Senin, 21 Oktober 2019. 

Ibu-ibu mengupas dan membersihkan kelapa
memarut kelapa dengan mesin
hasil parutan kelapa
parutan kelapa sudah menjadi santan
didiamkan sebentar agar santan dan air terpisah
Airnya dikeluarkan dan disisakan sedikit untuk proses fermentasi

Bapak Apri menjelaskan bahwa nantinya akan keluar bintik-bintik hitam. Yang diambil adalah bagian atas yang merupakan minyak, airnya bisa dipakai sebagai cuka, namun endapan atau ampas santannya dibuang karena itu merupakan racun. Setelah minyak diambil, yang perlu dilakukan adalah menyaring minyak itu dengan tisu sebanyak delapan kali, agar benar-benar bersih dari sisa-sisa air. Jika semua proses selesai, minyak diletakkan dalam wadah yang sudah dipersiapkan dan siap dipasarkan. VCO ini bisa bertahan sampai tiga tahun jika tidak bersentuhan langsung dengan kulit manusia dan memiliki banyak kegunaan, seperti menurunkan berat badan, memperbaiki sistem pencernaan, mengatasi gatal-gatal karena alergi atau digigit semut dan banyak manfaat lainnya.

Disaring dengan tisu

Disaring dengan tisu


Kegiatan selanjutnya yang akan dilakukan adalah Pelatihan dan Pemantapan Pengurus. Suster merasa perlu untuk melakukan kegiatan ini karena melihat ada beberapa pengurus yang tadinya bersedia namun tidak ikut hadir dalam pertemuan, sehingga perlu pendekatan khusus. Sr. Elisa, PI menegaskan bahwa dalam berorganisasi, perlu ada konflik agar komunitas bisa berkembang. Semua perlu berkontribusi agar kemajuan bersama dapat dicapai. Suster juga memberikan penguatan kepada ibu-ibu setempat dan meminta mereka untuk tidak takut belajar dan mau membuka diri untuk melihat peluang yang ada. 


Langkah warga desa yang berinisiatif untuk membuat usaha sendiri dari hasil bumi mereka dan juga semangat ibu-ibu yang berusaha mencari tambahan penghasilan perlu diapresiasi. Jika semakin banyak tempat lain melakukan hal ini, maka kesempatan kerja di dalam negeri akan meningkat dan mereka tidak perlu pergi jauh ke negeri seberang untuk mencari sesuap nasi. Kerja sama yang dilakukan oleh masyarakat lokal juga bisa menambah guyub antar warga serta meningkatkan rasa persaudaraan sehati sepenanggungan sehingga bisa saling menolong dan bahu-membahu. Semoga usaha-usaha seperti ini semakin banyak dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan oleh desa-desa lainnya di seluruh NTT sehingga pada akhirnya menjadi desa yang maju dan mandiri.  



Saturday, November 2, 2019

Michael Cardinal Czerny, SJ, Pemerhati Migran-Pengungsi dan Orang Terbuang

Kita bersyukur karena salah satu putra bangsa, Mgr Ignatius Suharyo, pada tanggal 5 Oktober 2019 yang lalu telah ditahbiskan menjadi Kardinal oleh Paus Fransiskus bersama 12 Kardinal lainnya. Salah satu Kardinal yang ditahbiskan tersebut adalah Michael Czerny, SJ.


Taukah Anda, Michael Czerny, SJ adalah penyusun buku "The Pastoral Orientation On Human Trafficking" yang telah diterjemahkan oleh Sahabat Insan dalam buku "Arah Pastoral Mengenai Perdagangan Manusia" yang telah diterbitkan oleh Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran-Perantau KWI? Buku ini telah dibahas bersama-sama dalam Bedah Buku yang diadakan oleh Sahabat Insan bulan Juni lalu bersama Romo A. Suyadi, SJ dan moderator Romo I. Ismartono, SJ.   


   
Michael Czerny,SJ merupakan Kepala Bagian Migran dan Perantau - Dewan Kepausan Vatikan. Jabatan ini disandangnya sejak tahun 2017. Penunjukannya menjadi Kardinal cukup mengejutkan, karena selama ini track-recordnya jauh dari jalur untuk menjadi Kardinal. Bahkan, saat ditunjuk pun ia masih menjadi seorang Pastor, sehingga sehari sebelum ditahbiskan menjadi Kardinal, ia ditahbiskan terlebih dahulu sebagai Uskup. Selama ini Pastor Michael Czerny, SJ banyak bergelut dengan para migran dan perantau juga orang-orang yang terpinggirkan. Selain itu ia juga memberikan perhatian besar kepada ekologi dan alam ciptaan, sesuai dengan pesan Paus Fransiskus yang tertuang dalam ensiklik Laudato Si'
tweet @jesuitczerny
Dengan semua latar belakang karya pelayanan yang telah ia lakukan, Kardinal Michael Czerny, SJ pun memilih untuk mengenakan salib dari kayu yang berasal dari potongan perahu yang digunakan oleh para migran untuk menyeberangi Mediterania untuk mendarat di Lampedusa, Italia Selatan. Lampedusa merupakan tempat pertama yang dikunjungi oleh Paus Fransiskus di luar Roma, untuk menunjukkan kepedulian Paus akan kaum migran.

tweet @jesuitczerny
Lambang Kardinal yang ia pilih pun sarat dengan simbol-simbol yang menunjukkan keberpihakannya kepada mereka yang terpinggirkan. Warna hijau dari perisai itu mewakili komitmennya untuk memelihara ciptaan, rumah kita bersama, yang dinyatakan dalam ensiklik Paus Laudato Si'. Di bagian atas ada lambang Serikat Yesus, ordo tempat ia bernaung sejak tahun 1964. Di bawahnya, ada kapal kuning yang membawa keluarga yang terdiri dari 4 orang yang sedang berlayar. Kapal merupakan sarana yang biasa dipakai oleh pengungsi untuk mencari kehidupan yag lebih baik di lokasi lain. Ini juga merupakan gambaran tradisional Gereja, Perahu Petrus, yang menerima mandat dari Tuhan untuk menerima orang asing (Mat 23:35), dimanapun Gereja menemukannya. Lebih jauh, seperti logo komunitas L'Arche, kapalnya adalah pengingat akan belas kasih terhadap semua orang yang tersisih, terlupakan dan terbuang. Sedangkan air di bawah kapal mewakili Samudera Atlantik, yang dilintasi oleh Kardinal Czerny bersama keluarganya ketika mereka berimigrasi dari Cekoslowakia ke Kanada pada tahun 1948. Untuk moto, Kardinal Czerny memilih satu kata: SUSCIPE, yang merupakan kata pertama dari doa dalam Latihan Rohani Santo Ignatius Loyola dalam bahasa Latin: Suscipe, Domine, universam meam libertatem ("Ambillah dan terimalah ya Tuhan, semua kebebasanku")
Pengangkatan Michael Czerny, SJ sebagai Kardinal menunjukkan kepedulian Paus Fransiskus yang sangat tinggi terhadap masalah migran dan pengungsi serta orang terbuang lainnya, dan tentunya berharap Gereja dapat bersuara dan bertindak lebih banyak untuk mereka yang telah kehilangan hak-hak dasarnya sebagai manusia dan hidup tanpa masa depan ini.

tweet @jesuitczerny