Friday, December 28, 2018

Sister Cargo



Dari Youtube - Associated Press

Sister Cargo. Itulah sebutan untuk Suster Laurentina, PI yang sehari-hari sering menerima jenazah pekerja migran di Terminal Kargo - Bandara El-Tari Kupang. Ia mendampingi keluarga dan mendoakan jenazah sebelum disemayamkan atau diterbangkan ke tanah asalnya. "Sasaran mereka (agen trafiking) adalah orang yang rentan: lemah ekonomi, yang biasanya mudah untuk ditipu", ujar Suster.

Dalam investigasi di South Africa, di seluruh dunia terdapat 61ribu migrant yang hilang pada tahun 2014. Di Indonesia sendiri, tercatat 26oo kasus pada saat yang sama. Tetapi angka tersebut tidak menyertakan migran yang berangkat tanpa dokumen. Seperti yang menimpa Orance Naomi Faut. Ia baru berusia 14 tahun saat pamit ke neneknya untuk pergi ke priest house untuk belajar Kitab Suci empat tahun yang lalu. Kemudian dia ditawari pekerjaan oleh seorang agen dan berangkat ke Malaysia tanpa mempelajari terlebih dahulu bagaimana keadaan di sana.

Tahun 2012, Suster Laurentina berkeliling NTT untuk mensosialisasikan betapa bahayanya perdagangan orang. "Kalau cantik-cantik, biasanya mereka dimasukkan ke prostitusi. Sedangkan yang pas-pasan, dijadikan pekerja rumah tangga." Dan tidak jarang, mereka kembali ke tanah air dalam peti mati. Misalnya Adelina Sau yang merantau ke Malaysia pada tahun 2014 karena ingin mengakhiri hidupnya yang miskin. Namun dia kembali ke tanah air dalam keadaan tanpa nyawa dan penuh luka. Ibunya mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat wajah anaknya dan bahkan mendengar suaranya selama 3 tahun 3 bulan, sebelum akhirnya ia mendengar bahwa Adelina meninggal di Malaysia.

Friday, December 21, 2018

Penghargaan Peduli Buruh Migran 2018


Tanggal 20 Desember 2018 Romo I. Ismartono, SJ menerima penghargaan Peduli Buruh Migran 2018 dalam rangka International Migrants Day 2018 di Universitas Ma Chung, Malang, Jawa Timur.  Berikut ini wawancara dengan Romo I. Ismartono, SJ: 



1. Penghargaan Peduli Buruh Migran 2018 diberikan oleh siapa untuk apa?

Dari komunitas Peduli Buruh Migran diberikan kepada saya untuk menghargai keterlibatan selama ini dalam memberi perhatian kepada masalah buruh migran.

2.  Kalau begitu, apa hubungannya dengan Universitas Ma Chung?

Tempat menyerahkan penghargaan itu di universitas tersebut.

3. Puluhan tahun  Romo Is dikenal sebagai tokoh antar-agama, mengapa sekarang tiba-tiba memperoleh penghargaan Peduli Buruh Migran 2018?

Saya berpikir, memberi perhatian pada buruh migran merupakan sebuah tindakan dialog kerja. Para buruh migran itu memiliki latar belakang agama yang berbeda dan kami para pemerhati juga demikian. Mereka adalah manusia Indonesia yang berada dalam keadaan yang sama. Manusia sebagai homo faber, makluk yang bekerja mencari kerja di tempat-tempat yang bukan asalnya. 

4. Jadi sekarang Romo Is mengurus buruh migran yang menjadi korban? Bukan mengurus buruh migran, kan?

Mungkin kata mengurus terlalu besar. Mungkin lebih tepat memper-hati-kan. Ya, perhatian itu terutama kepada yang paling membutuhkan pertolongan, yang menjadi korban, misalnya korban perdagangan orang atau human trafficking.

5. Keprihatinan terhadap korban, apakah Romo  Is tidak tertarik untuk memberdayakan calon buruh migran mengantisipasi agar mereka tidak menjadi korban?

Ya tertarik, tetapi sudah banyak lembaga yang mengurus hal itu. Kita tinggal bekerja sama dengan mereka. Saya mulai dengan memperhatikan mereka yang menjadi korban.

6. Apa langkah selanjutnya yang Romo pikirkan  terhadap korban? 

Gagasan saya: saya "membantu para penolong". Saat ini misalnya, melalui Perkumpulan Sahabat Insan,  membantu Suster Laurentina, PI yang hidup dan bekerja di Kupang, untuk mendampingi mereka dan keluarga mereka yang menjadi korban perdagangan manusia.

7. Apa rencana Romo untuk kegiatan membantu korban?  Apakah tetap sama seperti tahun-tahun lalu, atau akan ada kemajuan dalam pelayanan Romo?

Saya mau terus menawarkan usaha ini kepada orang muda. Masih banyaknya kematian buruh migran ini ditawarkan sebagai kenyataan yang memprihatinkan bagi bangsa Indonesia. Bangsa yang telah merdeka selama lebih dari 73 tahun masih saja menyaksikan kematian warganya karena kemiskinan. Bersama relawan kami mau merangkai bagaimana memberi perhatian kepada para korban dapat menjadi bagian dari pembentukan dirinya sebagai orang Indonesia.

8. Adakah ajaran Gereja yang mendukung hal itu?

Ya. Paus Fransiskus sendiri menyatakannya dalam Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (Sukacita Injil, 24 November, 2013) agar kita memberi perhatian kepada mereka yang diekploitasi, mereka yang dibuang, bagaikan sampah, sebagai berikut:

Sekarang ini segala hal bermain dalam hukum kompetisi dan the survival of the fittest, di mana yang kuat menguasai yang lemah. Akibatnya, sebagian besar masyarakat menemukan diri mereka sendiri tersisih dan tersingkir; tanpa pekerjaan, tanpa kemungkinan, tanpa jalan keluar dari itu semua. Manusia sendiri dipandang sebagai barang konsumsi yang bisa dipakai dan kemudian dibuang. Kita telah menciptakan budaya ”sekali pakai buang” yang sekarang sedang berlaku dimana-mana. Hal ini tidak lagi melulu tentang eksploitasi dan penindasan, tetapi sesuatu yang baru. Pengecualian akhirnya terkait dengan apa artinya menjadi bagian dari masyarakat dimana kita hidup; mereka yang disisihkan tak lagi menjadi kelas bawah atau masyarakat pinggiran atau yang tercabut haknya – mereka bahkan tak lagi menjadi bagian dari masyarakat. Mereka yang tersisih bukanlah orang-orang yang “dieksploitasi”,tetapi orang-orang buangan, “sampah yang dibuang”. 
(Evangelii Gaudium 2013 – nomor 53)


/wawancara selesai/



Monday, December 17, 2018

Global Migration Film Festival 2018

Selama bulan November dan Desember 2018, Sahabat Insan aktif mengikuti pemutaran film-film yang berkaitan dengan migran dan pengungsi yang ditayangkan dalam rangka Global Migration Film Festival (GMFF) yang diselenggarakan oleh IOM Internasional. Berdasarkan GMFF Book Program 2018, ini merupakan tahun ketiga sejak pertama kali IOM menyelenggarakan acara ini pada tahun 2016. Setiap tahunnya, festival ini menayangkan film-film fiksi dan dokumenter yang memotret harapan dan tantangan dari migrasi bagi mereka yang meninggalkan rumah dan negaranya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Festival ini membuka ruang untuk diskusi yang lebih mendalam tentang fenomena terbesar yang terjadi di abad ini, yaitu migrasi. Film memiliki kemampuan unik untuk menjangkau audiens dari berbagai kalangan, dan festival ini diharapkan dapat menjadi alat yang kuat untuk mempengaruhi persepsi dan sikap khalayak umum terhadap migrasi, yang pada akhirnya dapat menghasilkan kontribusi positif untuk seluruh kalangan.

Untuk Indonesia sendiri, GMFF diselenggarakan di 8 kota yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Kupang, Makassar, Medan dan Tanjung Pinang sepanjang tanggal 28 November - 18 Desember 2018. IOM menayangkan film-film yang telah diseleksi dari ratusan film dari profesional dan juga independent yang berpartisipasi dalam Annual Global Competition ke-3 yang diselenggarakan awal tahun 2018. Selain itu, IOM juga menyertakan film produksi orang Indonesia sendiri yang dibuat berdasarkan program IOM yang dilaksanakan di Indonesia tahun ini.  Film ini menjelaskan tantangan yang dihadapi oleh pekerja migran Indonesia dan juga pengungsi yang transit di beberapa tempat di negeri ini.

Di Kupang, Arta dan Suster Laurentina menghadiri GMFF yang diselenggarakan di Aula Museum Nusa Tenggara Timur pada Jumat, 30 November 2018. Saat sampai di sana, mereka diberikan brosur rangkaian acara GMFF yang akan berlangsung dua hari, yaitu tanggal 30 November dan1 Desember 2018. Yang menarik, dari sekian gambar, terdapat foto Arta dan Suster yang sedang berada dalam mobil ambulans saat mengantarkan jenazah migran yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas dari Kargo Bandara El-Tari Kupang ke RSUD Kupang. Mereka mendampingi jenazah tersebut karena tidak ada satu pun keluarga yang datang menjemput. Semua gambar yang ditunjukkan di galeri foto merupakan foto yang berhubungan dengan migrasi dan juga pengungsi.

Festival diawali dengan persembahan teatrikal puisi oleh seorang mahasiswa anggota Dusun Sastra Flobamora. Melalui puisinya, pemuda tersebut menggambarkan kondisi NTT yang selalu menerima kiriman jenazah di dalam peti kargo sebagai pintu masuk utama. Ia mengecat seluruh tubuhnya dan dengan gemetar masuk ke peti mati sebagai sebuah kritik yang tajam. Setelah pembacaan puisi, film pertama pun diputar. Unbroken Paradise menceritakan tentang kisah seorang pemuda keturunan Kurdi dari Syria yang berusaha mewujudkan mimpinya sebagai arsitek di Prancis. Ia merupakan seorang pengungsi yang berhasil lolos dari serangan bom yang merenggut nyawa keluarga besarnya. Ia menceritakan hal yang dialami sebelum ia terpisah untuk selamanya dari orang yang sangat dikasihinya. Film kedua tentang dua anak perempuan dari Afganistan yang selamat dari ledakan bom dan melarikan diri ke negara Indonesia bersama keluarganya. Mereka bersaksi tentang semua pengalaman buruk yang dialami pasca ledakan bom yang menghancurkan rumah dan seluruh bangunan sekitarnya. Saat itu juga,mereka harus kehilangan anggota keluarganya dan juga para sahabat serta orang-orang terdekatnya demi bertahan hidup. Namun di akhir film, mereka menyampaikan harapan-harapan mereka dan mengungkapkan betapa bersyukurnya mereka masih bisa mendapatkan kesempatan untuk hidup dan mendapatkan pendampingan dari IOM. Mereka mengaku masih bisa tetap belajar dan menggapai impian mereka di masa yang akan datang meskipun saat ini seperti tidak memungkinkan untuk mewujudkannya. Mereka tetap optimis dan ceria dalam melewati hari demi hari. Film selanjutnya berjudul "Impian Negeri Berkabut", yang mengangkat kisah tentang seorang gadis desa yang tergiur dengan iming-iming untuk bekerja di luar negeri dengan gaji yang besar. Demi memuaskan kebutuhan akan barang-barang mewah dengan cara instan, ia akhirnya tergiur untuk diajak bekerja ke luar negeri tanpa dokumen yang lengkap. Gadis itu kemudian disekap bersama dengan beberapa perempuan lain dalam sebuah penampungan untuk dijadikan PSK di kota besar. Gadis itu kemudian berusaha kabur dari tempat penampungan dan akhirnya diselamatkan oleh kakak kandungnya. Dalam film juga diceritakan bahwa masalah perdagangan orang tersebut diselesaikan hingga tuntas oleh pihak yang berwajib.

Usai menyaksikan film-film tersebut dan beberapa penampilan, dilaksanakan diskusi interaktif mengenai maraknya perdagangan orang di Indonesia. Kali ini, panitia mengundang sutradara film "Impian Negeri Berkabut" yang sekaligus sebagai pemeran di film itu: Mba Jum alias Ibu Samas. Tak hanya itu, salah satu perwakilan dari LSM (Bapak Herman Sheran) dan perwakilan dari IOM (Ayu) memaparkan realita yang sebenarnya tentang maraknya korban perdagangan manusia di NTT.



Di Jakarta, Sahabat Insan mengikuti rangkaian acara GMFF ini di tiga tempat:
  1. Rabu, 5 Desember jam 18.00 - 20.30 @america Pacific Place Mall
  2. Selasa, 11 Desember jam 10.00 - 14.30 London School of Public Relation (LSPR), Prof. Dr. Djajusman Auditorium & Performance Hall.
  3. Jumat, 14 Desember jam 14.00 - 21.30 Auditorium Institut Français d'Indonésie (IFI) Thamrin.
Selain Unbroken Paradise yang sudah ditayangkan saat di Kupang, film-film yang diputar selama tanggal-tanggal tersebut adalah I Am Rohingnya, Abu Adnan, Stranger, dan Journey To The Darkness.


"I Am Rohingnya: A Genocide in Four Facts" adalah film sebuah dokumenter yang menceritakan tentang usaha sebuah komunitas Rohingnya di Kanada yang ingin menyuarakan penderitaan kaumnya dengan cara menampilkan sebuah pementasan teater. Dalam teater tersebut, ditampilkan segmen-segmen saat mereka masih hidup dengan bahagia di tanah kelahirannya, kemudian datanglah para penguasa yang dengan sistematis berusaha menghapus dan menghilangkan sejarah dan budayanya melalui jalan kekerasan. Kemudian mereka berusaha menyelamatkan diri dengan lari ke negara lain dan memulai hidup baru di tempat baru tersebut dengan tidak mudah. Lewat pementasan ini, mereka ingin mengatakan kepada dunia bahwa saat ini mereka masih ada, tidak akan pernah bisa dihilangkan dan dibungkam. Duo sutradara film ini yaitu Yusuf Zine dan Kevin Young berusaha mengundang penonton untuk ikut merasakan bagaimana perjuangan dan usaha keras para pengungsi untuk lari dari tempat asalnya dan bagaimana kita bisa membantu mereka untuk memulai hidup baru secara manusiawi di tempat baru. Trailer film ini dapat dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=g7XXolxFKi0


Film selanjutnya yang diputar adalah "Journey To The Darkness" yang terinspirasi dari kisah nyata mengenai lima pencari suaka yang hendak bermigrasi secara ilegal ke wilayah Australia dengan menggunakan perahu nelayan dari Jawa. Sebelum memulai perjalanan, mereka menginap di sebuah rumah tua berukuran besar di Yogyakarta. Salah satu dari mereka merekam semua perjalanan dengan video. Dan pada malam hari mulai terjadi hal-hal aneh di rumah tersebut yang membingungkan dan tidak masuk akal, seperti televisi yang tiba-tiba menyala, teman-temannya yang tiba-tiba menghilang, pintu yang tadinya terkunci rapat tiba-tiba sudah terbuka, lampu yang kadang-kadang menyala sendiri, ruangan yang berantakan, kemunculan wanita secara misterius, dan suara-suara aneh dari lantai bawah. Film kemudian ditutup dengan pemandangan di tengah laut lepas. Trailer film ini dapat dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=u9_j_Erqno4


Pada pemutaran film hari Selasa, 11 Desember jam 10.00 - 14.30 London School of Public Relation (LSPR), Prof. Dr. Djajusman Auditorium & Performance Hall, sang sutradara Mohammad Mozafari berkenan hadir untuk bersama-sama menikmati sederetan film yang ditayangkan. Setelah film selesai, ia kemudian diundang ke panggung untuk membicarakan perihal film tersebut. M Mozafari menyatakan bahwa karena dia juga berasal dari Timur Tengah, maka dia bisa dengan cepat membuat film tersebut. Ide awal didapatkannya saat ia datang ke Indonesia pada tahun 2011, ia menemui banyak pengungsi yang tinggal di Jakarta dan punya mimpi untuk pergi ke Australia dengan perahu ilegal. Sayangnya pertemuan dengan mereka hanya sekali saja. Ia menemui anak-anak, keluarga dan kemudian mereka menghilang dengan cepat. Dari semua yang ia temui, mungkin hanya 10% yang benar-benar sampai di Australia. Lainnya meninggal, atau perahu mengalami kecelakaan dan sebagainya sehingga ia berpikir bahwa ini adalah cerita sedih dan ia perlu menyuarakannya kepada dunia melalui film yang ia buat.  Saat ditanya kenapa ia membuat film dengan cara yang tidak lazim, ia menjawab bahwa sebagai pembuat film independent ia selalu memikirkan bagaimana cara membuat film yang sebagus-bagusnya dengan seefektif mungkin. Film ini berdasarkan kisah nyata karena salah satu pemainnya adalah seorang pengungsi yang ia temui pada tahun 2012 dan ia merekam semua kejadian dari saat awal sampai akhirnya dia berangkat dengan perahu ke Australia. Saat pembuatannya, ia merekamnya dalam satu take tanpa henti. Ini menggambarkan kegelisahan yang tiada akhir yang dialami oleh para pengungsi akibat ketidakpastian nasibnya. Lorong gelap, kejadian-kejadian yang tidak mereka duga dan mengerti, merupakan hal yang dihadapi sehari-hari. Mengakhiri diskusi tersebut, sang sutradara memberikan pesan bahwa akan lebih baik jika para pengungsi dapat memperbaiki kehidupan mereka dengan cara-cara yang legal dengan bantuan dari pemerintah dan masyarakat setempat, sehingga mereka tidak perlu menempuh cara yang sangat berbahaya dan penuh resiko tersebut. 


Film selanjutnya yang diputar adalah "Strangers" karya Jonathan Behr, yang bercerita tentang kisah dua anak perempuan (pengungsi) yang takut mimpi buruknya akan terjadi, yaitu ditahan dan dideportasi oleh petugas keamanan setempat. Film ini menunjukkan kondisi psikologis yang dialami oleh migran yang yang tidak memiliki dokumentasi setiap hari, yaitu ketakutan dan kegelisahan yang tidak berkesudahan karena terancam akan dipulangkan ke negara asal. Dengan hidup dalam situasi mencekam setiap harinya, tentu tidak memungkinkan bagi mereka untuk menata kehidupan yang lebih baik. Trailer film ini dapat dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=UAXmTsPFLJo . Selain itu ditayangkan juga film "Abu Adnan", yang bercerita tentang tentang pengungsi dari Syria yang berprofesi sebagai dokter yang mengungsi bersama anaknya (Adnan) karena adanya perang dunia sehingga memaksa mereka untuk pindah ke Denmark dan memulai hidup baru. Dalam film ini disorot perjuangan mereka untuk mencoba beradaptasi di tempat yang sama sekali berbeda dengan tempat asalnya. Dari mulai kesulitan bahasa, konflik dengan anaknya yang lebih cepat mempelajari segala hal, perubahan sikap anaknya yang mulai mengikuti teman-teman sekolahnya dan kadang malu mengakui jati dirinya sebagai seorang pengungsi. Hal-hal ini yang jamak dialami oleh para pengungsi di tempat barunya dan butuh bantuan warga setempat untuk menolong mereka mengenali budaya yang mungkin tidak pernah mereka ketahui sebelumnya dengan langkah awalnya mencari persamaan-persamaan yang ada.


Selain pemutaran film, festival ini juga menampilkan karya-karya seni yang dihasilkan oleh para pengungsi, dalam bentuk lukisan, kuliner, serta pementasan cerita lokal Indonesia. Diharapkan, semakin kita mengenal mereka, semakin banyak masyarakat umum yang terketuk hatinya untuk menolong mereka yang kurang beruntung ini dengan berbagai cara yang bisa kita lakukan.