Friday, April 27, 2018

Berbagi Kisah: Duka Keluarga Penerima Jenazah Migran

Sejak awal April 2018, Arta, seorang anak muda yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di jurusan ilmu komunikasi sebuah universitas negeri di Medan, bergabung bersama Sahabat Insan untuk menjadi relawan. Dara berusia 22 tahun yang selalu bersemangat ini memiliki tujuan mulia, yaitu ingin melihat dan mengetahui secara langsung penderitaan saudara sebangsanya yang kurang beruntung, khususnya dalam hal ini para Pekerja Migran Indonesia (PMI). Oleh sebab itu, ia bersedia meluangkan waktunya selama setahun untuk terjun langsung ke Kupang, NTT. Seperti kita ketahui bersama NTT merupakan salah satu pengirim PMI tertinggi di Indonesia, dan yang lebih mengenaskan lagi, kasus pekerja migran yang berasal dari daerah ini cukup tinggi, mulai dari yang 'sekedar' tidak menerima gaji, dideportasi, disiksa, dipulangkan dalam keadaan sakit berat, bahkan tidak sedikit yang meninggal dunia. Tanggal 12 April, Romo Ismartono mengantarnya ke bandara Soekarno-Hatta untuk menuju Kupang. Di Kupang ia mendampingi karya pelayanan Sr. Laurentina, PI yang sudah setahun terakhir ini ditugaskan di sana. Baru selama dua minggu berada di Kupang, sudah banyak daerah dan kegiatan yang dilakukan bersama-sama dengan Suster. Berikut salah satu kisah yang ditulisnya saat mendampingi Suster menjemput jenazah dan menyerahkannya kepada keluarga.

Penjemputan Jenazah Pekerja Migran

Aku memulai hari dengan doa pagi bersama suster Laurentina PI, suster Marieta PI dan suster Yoselina PI di kapel Penyelenggara Ilahi, Nasipanaf, Penfui. Usai menyantap makanan rohani, kami juga menyantap sarapan fisik yang menyehatkan ala susteran PI. Setelah itu, aku dan suster Lauren kerja bakti membersihkan kantor YSPI (Yayasan Sosial Penyelenggara Ilahi) yang baru di aula depan biara PI. Kini sudah ada lemari yang baru dan perkakas kantor lainnya yang telah kami beli kemaren sore. Tinggal membersihkan sedikit guna pemantapan lebih lanjut. Kami bernafas lega saat semua barang sudah tersusun rapi. Kantor sangat nyaman untuk digunakan sebagai kantor misi yang fokus untuk menangani masalah kemanusiaan khususnya perdagangan orang yang terjadi di NTT (Nusa Tenggara Timur).

Siang harinya, suster Lauren mendapatkan informasi kedatangan jenazah dari Malaysia secara mendadak. Suster terlihat sibuk menjawab beberapa panggilan masuk dan berkomunikasi lewat gawainya untuk pengurusan jenazah. Kali ini ada tiga jenazah yang akan kembali ke tanah air, yakni dua orang wanita dewasa dan 1 orang bayi. Untuk wanita dan anak bayinya dikabarkan akan tiba pada pukul 22.00 WITA hari ini. Sementara untuk jenazah wanita yang lainnya akan tiba pada Rabu (25/4/2018) siang.

Salah satu keluarga dari 3 jenazah tersebut, segera datang menjemput kami pada siang hari setelah mendapatkan informasi dari suster Lauren. Beliau datang dengan mengendarai mobil menjemput aku dan suster tepat pukul 12.14 WITA untuk berangkat ke BP3TKI.

Sesampainya di sana, kami disambut baik oleh petugas dan segera bertemu dengan pak Siwa sebagai salah satu penanggungjawab di BP3TKI yang berada dalam naungan BNP2TKI. Keluarga korban segera dimintai keterangan oleh petugas guna kelengkapan data penerima jenazah esok siang. Fotokopi KTP beliau juga segera diminta dan di scan sebagai persyaratan khusus. Tak perlu waktu yang lama untuk mengurus semuanya. Aku senang dengan pelayanan mereka yang sigap dan ramah. Apalagi mereka sangat kenal dengan suster Laurentina PI yang selalu berkoordinasi dengan mereka untuk mengurus kepulangan jenazah.

Usai mengisi semua data diri penerima jenazah, kami segera pamit untuk kembali ke biara. Sore harinya, kami keluar biara untuk membeli ATK (Alat Tulis Kantor) yang baru untuk kantor YSPI. Aku sangat senang ketika pada akhirnya bisa mencicipi bakso khas Kupang saat keluar bersama suster dalam perjalanan pulang. Ya, setidaknya kerinduan akan makanan demikian sudah terpuaskan pada hari ini. Terima kasih suster, ucapku pelan sebelum menerkam habis semangkok bakso dihadapanku.

Pada malam hari, aku kembali mengikuti doa malam dengan suster Yoselina PI, suster Marieta PI, suster Laurentina PI dan anak asrama yang lainnya. Senang sekali bisa mengikuti berbagai aktivitas sepanjang hari ini dengan penyelenggaraan Ilahi dan kembali bersyukur kepada Tuhan dengan ritual yang menenangkan jiwa. 

Usai doa malam, aku dan suster mempersiapkan diri untuk menjemput jenazah satu orang ibu dan anak bayinya yang dikabarkan tiba pada pukul 22.00 WITA. Ibu tersebut meninggal karena melahirkan. Entah kenapa menjemput jenazah memiliki tantangannya sendiri. Apalagi malam ini angin bertiup lumayan kencang karena di Kupang sedang musim angin. Ya, aku sudah menyerahkan perjalanan malam kami kepada Tuhan yang Maha Baik dan Agung. Semoga semua dapat berjalan dengan baik dan lancar, harapku sebelum memulai perjalanan. Kami kembali melalui jalanan terjal berbatu yang gelap gulita. Hanya cahaya lampu sepeda motor dan bintang di langit yang menerangi jalan malam dingin kali ini.

Kami tiba di kargo pada pukul 22.25 WITA. Tampak keluarga korban sudah memenuhi kargo. Tak lama kemudian, jenazah tiba dan memasuki kargo didampingi suami korban. Petugas BP3 TKI segera memindahkan dua peti jenazah ibu bersama dengan bayinya. Kulihat seorang nona sedang nangis tersedu-sedu melepas kepergian mamanya yang meninggal pasca melahirkan adiknya. Kutanyakan pada nona yang berada di sampingnya. Ternyata nona tersebut merupakan puteri pertama dari jenazah.  

Saat jenazah sudah berada di dalam ambulans, suster Lauren segera mendoakannya bersama dengan pihak keluarga. Doa ditutup dengan mendaraskan doa 3 kali Salam Maria. Usai berdoa, kuberanikan diriku memberikan ucapan turut berduka pada nona yang sedari tadi kuamati. Kujabat tangannya dan kupeluk dengan hangat sembari kuusap punggungnya untuk menenangkannya. Lalu kuteguhkan dia dengan mengatakan bahwa Tuhan memiliki rencana yang terindah atasnya dan keluarga-Nya. Kusarankan ia untuk tak larut dalam kesedihan dan air mata untuk melepas kepergian mamanya, melainkan harus dengan doa agar mama dan adiknya bisa selamat dari api penyucian.

Ia mengatakan dengan pelan bahwa ia anak pertama dan masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Adik keduanya masih duduk di bangku 3 SMP, dan adik ketiganya di bangku kelas 3 SD. Nona yang disebelahnya juga menangis dengan tersedu-sedu. Ternyata ia adalah anak angkat dari jenazah yang meninggal. Ia mengaku sudah dirawat dari kecil oleh almarhum dan kini ia kuliah semester IV di Kupang. Ternyata tak hanya ia yang diangkat anak oleh almarhum. Adiknya yang kini baru mulai mendaftar kuliah juga diasuh oleh almarhum.

Aku trenyuh mendengar pengakuan singkatnya. Ternyata almarhum mama yang meninggal ini sangat baik dan tulus. Buktinya ia serius mengasuh, membesarkan dan mendidik anak angkatnya hingga kuliah. Aku hanya berharap kuliah nona yang sudah duduk di semester IV itu tak putus di tengah jalan. Semoga ia bisa tetap menyelesaikan kuliahnya hingga selesai dan menjadi teladan bagi adik-adiknya yang lain.


Kupandangi mereka sebelum berangkat ke Malaka yang memerlukan waktu tempuh kurang lebih 8 jam. Anehnya anaknya tak mau naik dalam mobil jenazah mamanya. Ia lebih memilih untuk naik pick up bersama dengan keluarganya yang lain sementara anak angkatnya menaiki ambulans. Mereka melambaikan tangannya kearahku. Walaupun baru kenal beberapa detik yang lalu, namun keakraban diantara kami sepertinya sudah cukup terjalin. Mata kami beradu pandang saling menguatkan ketika ia menatap penuh harap.

Kupejamkan mataku tepat pukul 00.15 WITA ketika aku merebahkan tubuh untuk beristirahat. Sebelumnya aku berdoa agar mama dan adik bayi yang baru saja kami temui di kargo bisa berbahagia beristirahat tenang dalam pangkuan Allah Bapa dan keluarga yang ditinggalkan segera sembuh dari kedukaan.

Keesokan harinya, aku kembali menjemput jenazah tepatnya pada hari Rabu (25/4/2018) pukul 13.00 WITA. Kali ini aku bersama suster Laurentina PI tiba di Kargo pada pukul 13.00 WITA. Baru kali ini aku datang menjemput jenazah pada siang hari. Jenazah wanita ini meninggal akibat gangguan di saluran pernapasan. Berdasarkan keterangan, ia meninggal di Rumah Kongsi Simpang Dua Pekan Gwaney Malaysia pada Sabtu (21/4/2018) pukul 02.00 WITA.

Jenazah sudah lama menunggu kedatangan keluarga di luar Kargo di dalam mobil ambulans. Biasanya, keluarga akan datang lebih dahulu dibandingkan jenazah. Namun kali ini, kami terpaksa menunggu pihak keluarga yang bertanggung jawab untuk menandatangani surat pernyataan penerimaan jenazah dari BP3TKI. 

Sepuluh menit kemudian, muncul seorang bapak dan dua orang wanita mengenakan sendal jepit. Bapak yang giginya penuh dengan sirih pinang menangis merang-raung sambil memeluk peti jenazah yang sudah berada di dalam ambulans. Ia menghempaskan dirinya ke arah peti sambil berteriak bahwa ia sudah melarang kepergian jenazah untuk bekerja ke luar negeri. Suster Lauren segera mendekati si bapak dan mencoba untuk menenangkannya sampai yang secara tak sadar memeluk suster dengan erat.

Sementara ada dua orang wanita berteriak meraung-raung, yang satu merupakan kakak kandung dari jenazah dan nona yang satunya lagi merupakan anak pertama dari jenazah. Ia terlihat sangat terpukul dengan kepergian jenazah yang pergi secara mendadak. “O mama O mama e,“ teriak nona sambil meronta-ronta dan tiba-tiba pingsan. Tim relawan mencoba untuk menenangkan nona tersebut yang sudah dalam kondisi tidak sadarkan diri di samping mobil ambulans hitam. Ia merupakan anak pertama dari enam bersaudara. Sementara adik kandungnya yang paling bungsu masih berumur 1 tahun.


Berdasarkan keterangan, jenazah memutuskan untuk ikut suami bekerja di luar negeri Malaysia. Ia berniat untuk bekerja bersama sang suami yang sudah 3 tahun bekerja sebagai buruh di salah satu perkebunan sawit di Malaysia. Namun baru 1 bulan di negeri orang dan belum sempat bekerja, ia sudah meninggal karena sakit saluran pernapasan yang dideritanya.

Tak lama setelah itu, nona kembali setengah sadar dan mencoba untuk berdiri. Namun ia kembali meraung-raung saat melihat peti jenazah. Suster Lauren segera merangkulnya dan mengelus punggungnya. Nona ini memeluk suster dengan sangat erat dan tanpa sadar menarik kerudungnya suster hingga terlepas. Setelah agak tenang, si nona dan keluarga bersatu dalam doa yang dipimpin oleh Diakon Adnan. Terik matahari siang yang menusuk kulit semakin menambah kedukaan di hari ini.

Usai pemberkatan peti jenazah dengan air suci, si nona kembali berteriak histeris. Ia berusaha untuk menjangkau peti jenazah namun gerak tubuhnya terlihat sangat berat meskipun jaraknya sangat dekat dengan peti. Didampingi beberapa orang yang merangkulnya, si nona akhirnya bisa menggapai peti jenazah. Ia terlihat memeluk dan sesekali menepuk peti yang berwarna putih. Badan dan matanya terlihat sangat letih dan lelah. Suara paraunya sesekali hilang tak mampu mengudara.

Aku yang mendengarnya tiba-tiba bergidik ngeri. Keluarga ini sangat histeris dengan kematian jenazah. Ya, penjemputan jenazah kali ketiga ini berbeda dengan penjemputan jenazah sebelumnya. Jika yang sebelumnya aku melihat keluarga nangis dalam suasana yang terkontrol dan cenderung senyap, kali ini keluarga yang datang menangis dengan sangat histeris dan menyayat hati.


Tak lama kemudian, petugas BP3TKI mempersilahkan keluarga untuk naik ke dalam mobil jenazah menuju ke kampung halaman. Si nona dan wanita yang lainnya memilih untuk duduk bersama dengan peti jenazah. Ia terlihat menyenderkan dadanya ke peti jenazah sambil menangis tanpa mengeluarkan air mata. Tampaknya ia sudah terlalu lelah menangisi kepergian mamanya. Sementara satu pria yang lainnya duduk dibagian depan bersama dengan supir. Perjalanan menuju Malaka memakan waktu yang cukup lama yakni kurang lebih 8  jam. Kami mengiringi kepergian keluarga dengan doa. Semoga arwah jenazah dapat beristirahat dalam dan dalam lindungan Allah Bapa. 


Tuesday, April 10, 2018

Laporan Dari Diskusi Konsolidasi Masyarakat Sipil Peduli Perdagangan Orang di Indonesia

Berikut berita yang dimuat di harian Timor Express
(https://timorexpress.fajar.co.id/2018/04/10/kemenaker-bentuk-20-desmigratif-di-ntt/) mengenai pembentukan Desa Migran Produktif (Desmigratif) di NTT.

*******************************************************************



EKONOMI

Kemenaker Bentuk 20 Desmigratif di NTT

POSE BERSAMA. Para peserta diskusi konsolidasi masyarakat sipil peduli perdagangan orang di Indonesia pose bersama usai kegiatan di aula Gereja Paroki St. Yoseph Matraman, Jakarta Timur, Senin (9/5).
GATRA BANUNAEK/TIMEX
Kepedulian Pemerintah Bagi TKI dan Purna TK
JAKARTA, TIMEX– Masalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) saat ini menjadi masalah yang sangat serius. Untuk mengatasinya butuh kerjasama yang baik dari semua stakeholer terkait. Salah satu program andalan yang sudah diterapkan di masyarakat oleh Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) RI yakni program Desa Mnigran Produktif (Desmigratif). Dengan program tersebut, diharapkan para TKI bisa mendapatkan informasi tentang tata cara bagaimana menjadi TKI ke luar negeri, sesuai dengan prosedur yang berlaku. Mulai dari tingkat pemerintah desa.
Ini disampaikan Maria Magdalena Galingging selaku staf khusus Kemenaker RI ketika menjadi salah satu pambicara dalam kegiatan diskusi konsolidasi masyarakat sipil peduli perdagangan orang di Indonesia, Senin (9/5) di aula Gereja Paroki St. Yoseph Matraman, Jakarta Timur.
Menurut Maria Magdalena, Kemenaker RI pada tahun 2018 ini sudah menargetkan untuk membentuk 130 Desmigratif di sejumlah provinsi. Salah satunya di Provinsi NTT. Khusus untuk Provinsi NTT, maria menyebutkan, pihaknya sudah membentuk beberapa Desmigratif yang tersebar di beberapa kabupaten/kota seperti, Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Kabupaten TTS, TTU, Belu, Sumba Barat Daya, Ende, Sikka, Flores Timur dan Kabupaten Alor. “Masing-masing provinsi akan mendapatkan program Desmigratif di 10 kabupaten/kota. Dan masing-masing kabupaten/kota akan ada dua Desmigratif. Dengan demikian maka akan ada 20 Desmigratif di NTT,” ujarnya.
Masih menurut dia, keterbatasan sarana dan prasaran di daerah yang membuat masyarakat harus rela menjadi TKI. Kasus TKI, bukan saja menjadi hal kasuistis jika sudah ada masalah dengan TKI-nya, tetapi masalah TKI juga sudah tersistematis. Di NTT misalnya. Ada banyak TKI yang berangkat secara ilegal dan berdasarkan hasil survei diketahui bahwa pemalsuan dokumen kependudukan calon TKI biasanya dilakukan di daerah lain. “Seperti di TTS, beberapa warganya justru dipalsukan dokumen kependudukannya di Camplong, Kabupaten Kupang,” terang Maria Magdalena.
Maria berharap, program Desmigratif diharapkan bisa meningkatkan produktivitas desa yang merupakan kantong buruh migran, sehingga bisa meningkatkan potensi ekonomi yang dimiliki. Di NTT, sasaran Desmigratif untuk masyarakat akan dilakukan lewat kegiatan pembuatan keripik bayam. “Kita sementara berusaha untuk membuka pasar untuk bisa menampung hasil produksi mereka. Dengan demikian, apa yang dihasilkan bisa bermanfaat dan punya pemasukan,” akunya.
Di Desmigratif itu juga, ungkap Maria Magdalena, pihaknya juga menempatkan dua petugas pelayanan yang bertugas mendata calon buruh migran. Petugas juga akan mensosialisasikan bagaimana menjadi TKI secara aman, serta mendorong dan memberdayakan usaha produktif untuk keluarga TKI atau mantan TKI, agar dapat meningkatkan potensi ekonomi mereka. “Desmigratif menjadi salah satu laboratoium Kemenaker RI untuk bisa membantu masyarakat yang ingin menjadi TKI. Program andalan ini juga menjadi senjata ampuh untuk menekan jumlah TKI non-prosedural. Menjadi TKI non-prosedural ini juga berkaitan erat dengan tindak pidana perdagangan manusia (human trafficking) yang kerap melibatkan masyarakat sebagai korbannya,” pungkas Maria. (gat/fmc/tom)

Monday, April 2, 2018

VOX VICTIMAE VOX DEI: Peluncuran dan Diskusi Buku Settling Down The Struggles of Migrant Workers to Adapt

Suara korban merupakan suara Allah, begitu kira-kira yang disampaikan oleh Romo Ismartono, SJ membuka acara diskusi buku Settling Down The Struggles of Migrant Workers to Adapt pada Senin, 26 Maret 2018 di Sanggar Prathivi Building, Jakarta Pusat.


Romo Benny Hari Juliawan, SJ yang menjadi penulis sekaligus editor buku tersebut pertama-tama menyebutkan latar belakang dibuatnya buku. “JCAP memiliki kekurangan dari segi riset, padahal banyak data. Maka kami sepakat membuat penelitian bersama sehingga ada keterampilan baru dalam melakukan penelitian, memperluas jejaring atau cakupan karya lembaga”. Romo Benny memang sejak lima tahun yang lalu dipercaya menjadi koordinator Jesuit Conference of Asia Pacific (JCAP) dengan fokus pada persoalan migrasi. Karena cakupan migrasi luas, dia berusaha mengisi kekosongan dengan spesifikasi pelayanan pada persoalan buruh migran. Selain menjadi koordinator JCAP, Romo Benny juga menjadi penasihat di Sahabat Insan. Maka buku Settling Down ini menjadi salah satu buah karya hasil penelitian bersama anggota JCAP. Sebelumnya, pada tahun 2016, JCAP juga sempat menerbitkan buku berjudul Left-Behind Children and the Idea of the Family dengan fokus tulisan pada persoalan keluarga buruh migran di Asia.

Terdapat 6 tulisan dari buku Settling Down ini yang masih memiliki benang merah dengan tema pengalaman buruh migran ketika mereka sampai di negara tujuan dan ketika mereka pulang ke kampung halaman. Keenam tulisan tersebut di antaranya kisah buruh migran di Taiwan, Korea, Filipina, Vietnam, dan Indonesia.


Di dalam buku Settling Down, Romo Benny menuliskan kisah buruh migran dari Indonesia berjudul “Going Back to Poverty: Failed Laboour Migration in Flores, Indonesia”. Romo Benny pun berbagi kisah yang ditulisnya kepada kami. Tulisannya itu berdasarkan pengalaman Romo Benny berjumpa dengan sekelompok pemuda berjumlah 12 asal dari Pulau Ende, Flores, yang dideportasi oleh Malaysia. Menurut Romo Benny hal ini menjadi menarik karena mereka berasal dari desa yang sama dan saling mengenal satu sama lain.


Kisah tentang 12 Pemuda Ende    
                                            
Di Malaysia, ke-12 pemuda Ende itu ditangkap dalam perjalanan menuju ke tempat konstruksi lain. Mereka bekerja untuk pemborong yang sama. Ketika tengah malam mereka akan dipindah, sialnya, mereka kena razia dan ditangkap. Usia mereka bervariasi di antara 18-50 tahun. Beberapa dapat dikatakan “veteran”, sudah sering keluar masuk Malaysia. Namun, bedanya kali ini mereka tertangkap karena semua tidak memiliki dokumen. Menurut Romo Benny hal tersebut merupakan fenomena migrasi tradisional, yaitu direkrut saudara atau teman sekampung. Pola rekrutmennya adalah “Kalau pulang ajak temanmu beberapa dan dibawa ke sini untuk bekerja”. Ini seperti di rumah ada asisten rumah tangga, dan saat pulang Lebaran dia mengajak teman atau saudaranya dari kampung. Ini lebih rumit karena melewati batas negara dan tanpa dokumen. Tentu berbeda dengan calo karena mencari untung dari penderitaan orang lain. Dalam hal ini tidak begitu karena teman sendiri: hari ini direkrut besok dia merekrut, sangatlah cair.

Di Malaysia, ke-12 pemuda Ende  itu lalu dihukum 6 bulan penjara dan dideportasi. Apabila di Malaysia mereka dianggap kriminal yang melanggar undang-undang ketenagakerjaan, begitu mereka naik kapal dari Portland ke Tanjung Priok dan ditemui oleh pemerintah Indonesia, status mereka dari kriminal berubah menjadi korban. Di Jakarta mereka untuk sementara ditampung di Rumah Perlindungan/Trauma Center (RPTC) milik Kemensos sebelum dipulangkan ke kampung halaman. Menurut Romo Benny, perlindungan sosial kita masih banyak lobang. Ada dua masalah yang seharusnya lekas dibenahi. Pertama, lemahnya lokasi lintas sektoral (komunikasi dan koordinasi dari pemerintah pusat, kabupaten, ke provinsi, dan sebaliknya). Kemensos memulangkan mereka di Tanjung Priok dengan memberikan uang saku dan uang jalan. Dari Tanjung Priok ke Maumere mereka dijemput Dinas Kenakertrans Maumere. Di Maumere harusnya mereka dijemput oleh petugas dan diserahkan secara resmi kepada keluarga masing-masing, namun hal tersebut tidak terjadi. Akhirnya ketika negara tidak berfungsi, jaringan kekeluargaan masuk. Tengah malam mereka menelpon teman-teman mereka, lalu jaringan kekerabatan berfungsi: mereka dijemput motor dan kembali ke rumah mereka diantar teman-teman mereka itu. Tidak ada yang tahu baik itu Dinaskertrans karena katanya tidak ada laporan dari pusat, dan ketika sudah ada berita semacam itu provinsi pun tidak mengecek ke pusat.

Masalah kedua, tidak ada kegiatan yang dilakukan oleh para buruh migran tersebut untuk menambah keahlian mereka selama menunggu jadwal kembali ke kampung halaman. Misalnya saja, di RPTC, kebanyakan yang bekerja di sana adalah sukarelawan. Jumlah petugas hanya 1 sampai 2 orang saja, dan tidak ada kegiatan untuk mengisi waktu. Misalnya ada yang ingin membuat pelatihan memasak, tidak ada kompor dan alat-alat lainnya yang tersedia di sana. Sesekali para relawan membawakan alat pelatihan yang diperlukan. Namun di waktu lain saat melakukan kunjungan lagi, alat tersebut tidak ketahuan lagi ada di mana. Selain itu, selama masa penantian tersebut, tidak ada pula yang melakukan sosialisasi dan memberi tahu atau menanyakan soal hak hak mereka.

Sebagai penutup, Romo Benny memaparkan beberapa hal yang menjadi sebab terbentuknya deportasi, yaitu karena kepentingan nasional dua negara yang bersangkutan, sistem pelayanan perlindungan sosial, dan kerentanan para buruh migran: mereka berpendidikan rendah, ekonomi lemah, dan tidak berpengalaman. Agensi para buruh migran ini tidak diperhitungkan. Mereka tak pernah ditanya kenapa mereka bermigrasi, apa yang terjadi sampai di rumah dan lain sebagainya, sehingga kebijakan pemerintah yang dibuat selalu meleset. Selalu ada faktor lain selain persoalan ekonomi yang menyebabkan mereka pergi dari rumah. Misalnya dalam kisah kedua belas pemuda Ende tersebut, mereka bermigrasi bukan hanya karena uang yang mereka dapatkan dari hasil berkebun di kampung hanya terbatas dan cukup untuk sehari-hari, melainkan juga karena adanya imaji yang terbentuk dalam impian mereka. Mereka bukan bermimpi datang ke Jakarta, melihat Monas, melainkan ingin pergi ke Malaysia melihat Menara Petronas, karena cerita teman-temannya itu.
                           
Seringkali masyarakat berpikir bahwa buruh migran dengan dokumen, dan yang biasa disalurkan melalui PJTKI akan lebih aman. Menurut Romo Benny, “Migrasi tradisional NTT dapat dikatakan ambigu. Kalau bicara HAM dan perdagangan manusia maka semua harus, sebaiknya jalur formal, tapi tak menjamin keselamatan dan tantangan banyak, mahal, waktu lama, ikut prosedur dst. dan rawan suap menyuap dan capek, mahal akhirnya. Tanpa dokumen, bedanya murah, untuk majikan tak perlu bayar permit kerja”. Dengan demikian, baik yang berdokumen maupun yang tidak sama-sama rentan mengalami kekerasan di negara tempat bekerja. Bedanya yang berdokumen artinya negara dan PJTKI bertanggung jawab secara hitam di atas putih. Namun, biaya yang dikeluarkan sangat besar, dibandingkan dengan jalur tanpa dokumen. Maka dalam hal ini baik itu buruh migran berdokumen atau tidak sangatlah penting peran negara untuk melindungi warga negaranya.

Terakhir, Romo Benny menekankan pentingnya perlindungan di tingkat bilateral dan ASEAN. ASEAN memang sudah menandatangani perlindungan, namun masih sebatas untuk buruh migran yang berdokumen, jika tanpa dokumen mereka tidak diurus maka sebenarnya, tidak terlalu berpengaruh untuk kebanyakan buruh migran.


Mencermati bahwa persoalan migrasi dan buruh migran ini tak pernah ada habisnya maka hadirnya lembaga-lembaga sosial seperti JCAP, Sahabat Insan, dan lainnya yang menaruh perhatian kepada mereka yang dibuang atau dimarginalkan sangatlah dibutuhkan.