Wednesday, February 19, 2020

Kumpulan Berita Tentang Jenazah Migran

Sepanjang tahun 2019, Sahabat Insan mengumpulkan berita-berita tentang Pekerja Migran Indonesia yang beredar di media nasional, khususnya berita mengenai jenazah-jenazah migran. Dari catatan yang dikumpulkan sampai tanggal 27 Januari 2020, ada 293 jenazah pekerja migran yang meninggal selama tahun 2019. Berita-berita tersebut bisa dibaca melalui link berikut ini:



daftar berita mengenai jenazah PMI 2019

Berikut peta penyebaran daerah asal jenazah pekerja migran yang dibuat berdasarkan kumpulan berita di atas:


Semoga hal ini bisa dijadikan bahan refleksi tentang penderitaan sesama kita yang mungkin luput dari perhatian kita sehari-hari. Mari tanpa henti kita berikan seluruh usaha dan doa agar penderitaan di muka bumi, rumah kita bersama ini semakin lama semakin berkurang dan bumi menjadi tempat yang menyenangkan bagi semua makhluk yang ada di dalamnya. 








Tuesday, February 18, 2020

Peringatan Hari Doa Sedunia Melawan Perdagangan Manusia di Kupang, NTT

Laporan Jeni Laamo dari Kupang

Sabtu (08/02/2020) sore, di aula Paroki Santa Maria Assumpta, adalah hari H, kegiatan doa dan refleksi bersama yang diselenggarakan oleh Jaringan Solidaritas Kemanusiaan untuk Korban Perdagangan Manusia dengan mengundang tokoh-tokoh agama di Kota Kupang, untuk memperingati Hari Doa Sedunia dan Kesadaran Melawan Perdagangan Manusia (The International Day of Prayer and Awareness Against Human Trafficking). Doa yang diselenggarakan ini sekaligus untuk memperingati Santa Josephine Bakhita, Pelindung Korban Perdagangan Manusia dan Perbudakan. Bukan tanpa alasan, doa yang dilakukan pada hari ini adalah suatu respon positif terhadap ajakan Paus Fransiskus pada Doa Angelus, 08 Februari 2015 yang berharap agar para pemimpin pemerintahan dapat bekerja dengan tegas dan berkomitmen untuk menjadi suara bagi saudara dan saudari kita, yang telah dihina dalam martabat mereka.


Jalan panjang di tempuh oleh Tim Jaringan Anti Perdagangan Orang di Kupang, agar hari doa bersama dapat terlaksana dengan baik. Dimulai dari pertemuan-pertemuan antara tim yang dilakukan sebanyak empat kali pertemuan, penyebaran undangan kepada paroki-paroki dan gereja-gereja Protestan, persiapan untuk dekorasi, sampai pada dekorasi yang dikerjakan pagi tadi. Tim Jaringan Anti Perdagangan Orang bekerja sama agar pembuatan dekorasi untuk doa dan refleksi bersama yang terjadi sore hari ini berjalan dengan baik.

Proses pengerjaan dekorasi berjalan dengan baik, sesuai dengan arahan Suster Laurentina, PI bahwa dimulai pukul sepuluh pagi, dari biara, aku dan suster Laurentina, PI dijemput Pak Herman Seran menuju lokasi. Mungkin karena hujan yang enggan berhenti sejak pagi, sehingga belum ada satu pun yang menampakkan diri di aula Paroki Gereja Santa Maria Assumpta. Bisa dimengerti karena memang cuaca tidak mendukung. Suster Elisa, PI dan suster Matilda, PI menyusul kami, mereka tiba dengan memakai motor dan berbalut mantel hujan. Aku dan Suster Laurentina, PI sudah memulainya terlebih dahulu, mengatur kursi-kursi plastik sebanyak 150 kursi. Berharap agar yang hadir bisa lebih dari 150 orang. Suster Elisa, PI langsung mengerjakan bagiannya, untuk penataan satin dan bebungaan memang dipercayakan kepada suster Elisa, PI. Ini karena suster Elisa, PI memiliki jiwa seni, sedangkan kami lebih memilih untuk melakukan pekerjaan yang lain. Tidak lama kemudian kami mendapatkan bala bantuan, Pak Eljid dari IRGSC datang membawa mahasiswa/i yang magang di kantornya. Lalu Pak Herman yang sempat pulang sebentar akhirnya kembali, Kakak Yanto yang juga datang membawa bantuan. Dekorasi dibuat hampir sama dengan saat doa refleksi bersama yang digelar di Biara Susteran PI Nasipanaf, dengan memajang foto Santa Josephine Bakhita di tengah dengan lilin-lilin yang diatur membentuk pola hati di depannya. Bunga-bunga plastik disusun disamping foto yang sudah dihiasi kain satin beraneka warna, lalu ada tanaman hidup yang dipajang untuk mempercantik dekorasi. Hasilnya sangat memuaskan dan layak sesuai dengan keringat yang dikeluarkan.



Matahari muncul malu-malu dari balik awan gelap yang menggulung, angin mengusir gulungan itu hingga biru bersinar. Hujan tidak akan menampakkan dirinya lagi. Usai makan siang, kami semua pulang. Awalnya aku dan suster Laurentina, PI memutuskan untuk tetap tinggal berjaga di aula, tapi bersyukur sekali karena Kakak Yube dan Kakak Aris dari GMIT datang dan menawarkan diri untuk berjaga sehingga kami bisa pulang untuk membersihkan diri.

Pukul 15.00 WITA, kami tiba di aula. Masuk ke dalam, kami mendapati anak-anak JPIT yang tengah berlatih. Mereka memang akan menampilkan musikalisasi puisi. Sebuah puisi yang diciptakan oleh salah satu teman mereka. Di atas meja sudah tersedia beberapa snack, ada pisang rebus, jagung rebus dan gorengan, di bawah meja ada beberapa dus akua. Makanan yang tersedia itu merupakan sumbangan dari beberapa tim jaringan, ada pula dari para suster kongregasi yang diundang. Semua turut berpartisipasi, membuka tangan dan membantu kami. Kami tidak bekerja sendiri, namun bersama-sama bergandengan tangan agar doa hari ini berjalan dengan baik dan juga menyatukan hati untuk mengatakan TIDAK pada Perdagangan Orang.

Matahari meredup, sinarnya menjingga. Hampir tiba waktunya untuk memulai kegiatan. Kursi-kursi sudah diduduki oleh peserta, meskipun masih banyak yang kosong namun kegiatan tetap harus dilaksanakan. Sebelumnya, sambil menunggu acara dimulai kami memutarkan video Kabar Dari Medan untuk ditonton bersama-sama agar peserta yang ada bisa menelaah kembali hati dan batin mereka untuk merasakan penderitaan para korban dilanjutkan dengan musikalisasi puisi oleh teman-teman dari JPIT. Beginilah puisi dengan judul Perempuan-Perempuan Pinggiran yang dibagikan bagi kami semua.



Mengayun langkah menenun mimpi
Mengasah tekad membangun harapan
Berjuang untuk hidup yang lebih baik
Perempuan-perempuan pinggiran

Ayunan langkah menjadi berat
Mimpi yang dirajut menjadi kelam
Tekad dan harapan menjadi sirna
Perempuan-perempuan pinggiran

Tertipu si tukang doa
Terjebak permainan pemilik modal
Tak berdaya dalam genggaman sang majikan

Mimpi, tekad, dan harapan belum berakhir
Mereka adalah kita
Mari berjuang dengan mereka
Keadilan milik perempuan-perempuan pinggiran

Pak Herman Seran berdiri di hadapan kami semua. Dengan kertas di tangannya, ia sudah siap untuk membuka kegiatan ini. Beliau mengucapkan selamat datang kepada semua yang ada di aula, kepada para toko agama, para biarawan/i, aktivis-aktivis, juga umat-umat Allah yang menyempatkan untuk hadir dan berdoa bersama kami. Lalu melanjutkan dengan membagikan profil Santa Josephine Bakhita secara singkat, lalu mengakhirinya dengan mengajak kita semua agar memiliki spirit yang sama dengan Santa Josephine Bakhita, mensyukuri keberuntungannya dengan membaktikan diri untuk membantu sesamanya, dan dari situlah Tuhan dipermuliakan. Pak Herman lalu mengajak untuk bergandengan tangan dan mengatakan TIDAK kepada Perdagangan Orang dan menyerahkan waktu sepenuhnya kepada Mama Pendeta Pao Ina-Ngefak memimpin doa sebagai pembuka kegiatan Hari Doa Internasional dan Kesadaran Menentang Perdagangan Manusia di Kupang, NTT.

Kenyataan memang tidak selalu sesuai dengan rencana. Awalnya kami memang tidak memikirkan untuk ada seseorang yang menjadi MC, namun sore ini kami mengutus Kakak Aris untuk mengatur agar acara berjalan dengan baik. Usai doa, Kakak Aris mempersilakan Kakak Abner untuk berpuisi di hadapan kami. Puisi dengan judul Bacerita NTT ini sungguh menyita perhatian semua orang, puisi dengan logat khas NTT ini menceritakan tentang seorang kakak yang meminta adiknya yang bernama Welmince agar menikah dengan Bernadus, pemuda di kampung daripada merantau di negeri orang mencari uang.

“Welmince, kalo nanti ada yang kirim beta pulang, kepada bapa tolong bilang sonde usah buka peti, kepada mama tolong bilang beta masih utuh, sonde ada yang ilang. Biar semua tenang.”

Itulah bait terakhir dari puisi yang dibacakan. Bait terakhir yang membuat kami berpikir, lalu menyingkronkan dengan kenyataan yang hidup ada di lapangan. Kepada jenazah-jenazah yang pulang tanpa organ-organ dalam tubuhnya. Hilang diambil oleh mafia-mafia untuk dijual, mafia-mafia tanpa nurani yang mementingkan diri.

Acara dilanjutkan, suster-suster Cannosian membagikan kepada kami kisah hidup Santa Josephine Bakhita, dari awal ia lahir, diculik hingga pemberian nama oleh para penculik kepada Bakhita kecil. Bakhita yang artinya beruntung. Lalu tahun-tahun ia berpindah majikan, sampai ia bertemu dengan para suster Cannosian dan memantapkan hatinya untuk menjadi seorang suster. Ia dengan sepenuh hati, sepenuh jiwanya melayani anak-anak di panti asuhan, menjaga agar sup tetap panas untuk dinikmati para suster juga anak-anak. Karena kebaikan hatinya, ia dipanggil Suster Morreta. Ia tetap siap sedia dalam segala keadaan apapun, entah resiko apa yang dihadapi, hingga akhirnya ia menutup mata pada 08 Februari 1947. Hidup seorang Bakhita tanpa penyesalan, ia selalu mengampuni dan mendoakan orang-orang yang pernah menganiayanya. 


Di dalam Yesus saya telah menemukan arti kasih Allah yang tanpa batas 
(Santa Josephine Bakhita).



Dari para suster Cannosian yang sudah membagikan kisah hidup Santa Josephine Bakhita, kegiatan berlanjut. Para tokoh agama yang hadir diberikan kesempatan untuk menyampaikan tanggapan reflektif mereka masing-masing, di mulai dari Abba Makarim, tokoh agama Islam yang hadir dalam doa sore hari ini. Beliau berharap agar akan ada kerjasama yang baik dari semua pihak tanpa memandang latar belakang apapun untuk memerangi isu global ini, dilanjutkan dengan tanggapan reflektif dari seorang masyarakat sipil. Ada jeda sebentar karena waktu yang menunjukkan pukul 18.00 WITA, dipimpin oleh suster Pauline, Camellian semua menunduk dan berdoa Angelus. Usai doa, dilanjutkan dengan para frater CMF yang menyanyikan lagu dengan judul Mama Cepat Pulang. Lagu ini menceritakan seorang ibu yang sudah terlalu lama merantau dan dirindukan oleh anak-anaknya, meskipun kebutuhan materi mereka terpenuhi namun kasih sayang seorang ibulah yang lebih didamba oleh anak-anak yang ditinggalkan. Ada beberapa lirik yang diubah, melihat budaya orang NTT khususnya di tanah Timor ini seperti goyang Tebe (tarian khas orang Belu). Dilanjutkan dengan tanggapan reflektif dari seorang pater, ia mengatakan bahwa akan siap sedia membantu dalam bentuk apapun jika suatu waktu tim jaringan memiliki kendala, semoga itu tidak hanya menjadi ucapan belaka. Pak Timotius dari BP3TKI pun turut serta memberikan tanggapan reflektifnya sebagai pihak pemerintah yang hadir dalam doa bersama ini. Beliau mengungkapkan kenyataan yang ada di lapangan dalam setiap penjemputan jenazah, kendala-kendala yang dihadapi, namun tetap setia sampai jenazah PMI yang dikirimkan sampai di tangan keluarga dan dikuburkan secara layak di bumi NTT ini.



Acara berlanjut, usai tanggapan reflektif itu, Monologia Bahasa Tubuh ditampilkan oleh Kakak Anggi, seorang anak didikan dari Sastrawan NTT, Abdi Keraf. Monolog Bahasa Tubuh ini ditampilkan dengan apik dan sangat luar biasa bagus, mengundang setiap insan yang hadir memperhatikan dengan seksama gerakan-gerakan tubuh dan lirik-lirik yang diucapkan.



‘Tidak cukupkah kau menyiksaku?
Dengan semua omong kosongmu selama bertahun-tahun itu
Belum puaskan kau merayuku dengan janji-janji palsu
Hingga aku muak dengan segala kepalsuanmu’

Itulah sepenggal bait pembuka yang diucapkan oleh Kakak Andi. Puisi karya Abdi Keraf ini dibacakan dengan gerakan tubuh yang indah dan memukau oleh Kakak Anggi. Usai monologia Bahasa Tubuh ini, acara hampir berada di puncaknya. Mama Pendeta Emmy dan Suster Laurentina, PI berdiri di hadapan kami semua. Mereka menyampaikan perasaan mereka masing-masing tentang kegiatan ini juga isu Perdagangan Manusia yang tidak ada akhirnya ini.




“Kami tidak bisa bekerja sendiri. Untuk itulah kami meminta bantuan dari semua pihak, semua yang hadir agar bisa memerangi Perdagangan Orang di NTT yang tidak ada ujungnya ini.” Satu ungkapan dari Suster Laurentina, PI dilanjutkan dengan Mama Pendeta Emmy yang berharap agar dengan doa yang terjadi hari ini menumbuhkan spirit baru, yang sama dengan spirit yang dibagikan oleh Santa Josephine Bakhita kepada semua yang hadir untuk melayani bersama, membantu para korban dan mengatakan tidak pada Perdagangan Orang. Satu per satu tokoh agama dipersilahkan untuk menyalakan lilin yang tersedia, di mulai dari pater dan berlanjut kepada semua yang hadir. Ada yang tak mampu menahan air mata, setulus hati berdoa, mengharapkan keadaan yang lebih baik untuk bumi NTT ini. Kegiatan dan dan refleksi bersama untuk memperingati Hari Doa Internasional Dan Kesadaran Menentang Perdagangan Manusia ditutup dengan semua berdiri, bergandengan tangan dengan menyanyikan lagu Flobamora, meresapi setiap lirik dan mengingat saudara/i yang terlebih dahulu berpulang dinegeri orang, menanamkan semangat baru untuk melayani sesama tanpa memandang bulu.


Flobamora tanah airku yang tercinta
Tempat beta dibesarkan ibunda
Meski beta lama jauh di rantau orang
Beta inga mama janji pulang e

Biar pun tanjung teluknya jauh tapele nusa ku
tapi slalu terkenang di kalbuku

Anak timor main sasando dan manyanyi bolelebo
Rasa girang dan badendang pulang e
Hampir siang beta bangun sambil managis
mengenangkan flobamora lelebo

Rasa dingin beta ingat di pangku mama 
Air mata basa pipi
Sayang e …

Semoga semangat untuk memerangi Perdagangan Orang di NTT tetap terus menyala di hati kami. Meskipun lilin yang dibakar sudah habis sumbunya, dan meleleh lalu mengering, namun api itu tetap abadi dalam hati. Dengan semangat melayani seperti yang diajarkan oleh Santa Bakhita kepada kami semua melalui kisah hidupnya yang pilu dan derita, namun karena kasih Allah lah ia bisa tetap melayani. Kata-kata Santa Bakhita yang mengatakan bahwa ia adalah seorang hamba, juga mengajarkan kepada kita untuk melayani terlebih dahulu daripada dilayani. Amin.





Monday, February 17, 2020

Jenazah Menjelang Hari Kasih Sayang

Laporan Jeni Laamo dari Kupang

Satu hari sebelum Hari Kasih Sayang, NTT kembali menerima dua jenazah PMI. Kedua jenazah ini diterbangkan dari Kuala Lumpur pada 12 Februari 2020 dengan tujuan Jakarta dan tiba tanggal 13 Februari 2020 di Kupang. Satu Jenazah tiba sendirian, sedangkan jenazah lainnya tiba dengan didampingi oleh teman sekerjanya di Malaysia.

Jenazah pertama adalah seorang pria berusia 40 tahun yang berasal dari Ende yang meninggal di negara tempatnya bekerja yaitu Malaysia pada tanggal 29 Januari 2020 pukul 14.55 waktu Malaysia karena radang saluran pernafasan. Ia diperkirakan bekerja di Malaysia selama 20-an tahun. Tidak ada yang tahu secara pasti berapa lama ia mengais rejeki di sana karena keluarga yang datang menjemput jenazah siang ini tidak begitu tahu kapan ia berangkat ke Malaysia. Yang mereka tahu bahwa ia sudah lama bekerja di sana. Jenazah ini juga tidak memiliki anak atau istri, ia membujang selama hidupnya.

Jenazah kedua adalah seorang pria berusia 39 tahun, asal Ende. Ia meninggal karena serangan jantung pada tanggal 10 Februari 2020, pukul 19.10 waktu Malaysia. Begitulah penyebab kematian yang tertera di Surat Kematiannya. Namun berbeda dengan kronologi kematian yang diceritakan oleh sang pendamping jenazah, yang mengatakan bahwa ia meninggal karena kecelakaan kerja, tergilas roda saat ia sedang memperbaiki mesin tersebut. Berdasarkan informasi dari teman sekerjanya, almarhum sudah bekerja di Malaysia selama 6 tahun dan memiliki seorang istri yang berangkat terlambat beberapa hari dari suaminya karena kendala dengan passport.


Dalam penjemputan kali ini, hadir juga keluarga, tim jaringan anti Perdagangan Orang di Kupang, diantaranya dari Rumah Harapan ada Kakak Decky dan Yeni, Mama Pendeta Emmy Sahertian, Mama Pendeta Pao Ina-Ngefak, teman-teman dari Ikatan Pelajar Mahasiswa Kabupaten Ende di Kupang, Mama Maria Hinggi dari SBMI, juga dari pihak TVRI. Ada rasa syukur dalam hati karena cukup banyak orang yang datang ke kargo untuk menjemput jenazah, setidaknya untuk hari ini kami tidak perlu lagi mencari tenaga tambahan untuk memindahkan jenazah dari troli bagasi ke mobil jenazah atau meminta bantuan pihak kargo. Semoga ke depannya, teman-teman dari Ikatan Pelajar Mahasiswa Kabupaten Ende di Kupang terus hadir bersama dengan kami di kargo, tidak hanya untuk jenazah yang berasal dari Ende, tapi setiap jenazah yang dipulangkan dari Malaysia.

Kedua jenazah akhirnya dikeluarkan dari kargo pukul 13.35 WITA. Dari troli bagasi, peti jenazah  pertama dipindahkan ke mobil jenazah RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang, sedangkan peti jenazah kedua ditarik kemudian dan dipindahkan ke mobil jenazah BP3TKI. Jenazah pertama akan langsung dibawa ke Pelabuhan Bolok dan diberangkatkan ke kampung halamannya, sedang jenazah kedua akan disemayamkan di RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes Kupang dan besok akan di berangkatkan ke Ende dengan NAM Air dengan tetap didampingi oleh teman sekerjanya.

Keesokan harinya, di hari kasih sayang tanggal 14 Februari 2020, Tim Jaringan Anti Perdagangan Orang merayakannya di Kargo Bandara El Tari Kupang, dengan menyanyikan lagu-lagu rohani tentang arti kasih yang sesungguhnya yang didapat dari Allah, sembari menunggu kedatangan jenazah PMI dari Malaysia, seorang pria berusia 37 tahun yang meninggal pada 11 Februari 2020 lalu pukul 01.30 pagi, waktu Malaysia karena sakit Stroke yang menyebabkan kelumpuhan. Almarhum berasal dari Larantuka. Tidak ada alamat pasti dari jenazah karena tidak ada keluarga yang datang menjemput jenazah di kargo bandara El Tari Kupang. Kepulangannya sendiri dibantu oleh Suster Pauline, Camellian. Suster lah yang ke kantor BP3TKI dan melapor.


Di hari ini yang harusnya penuh cinta ini, kami malah berduka, karena satu lagi Putra NTT dipulangkan dalam peti jenazah. Ini menjadi jenazah ke-7 yang dijemput oleh Tim Jaringan Anti Perdagangan Orang selama tahun 2020 ini. Dalam kesempatan tersebut hadir Mama Pendeta Emmy Sehartian, Mama Pendeta Pao Ina Bara Pa-Ngefak, Kakak Decky dan relawan Rumah Harapan, dan teman-teman dari Ikatan Pelajar Mahasiswa Kabupaten Ende (IPELMEN) di Kupang. Tidak satu pun yang ada di kargo mengenal almarhum. Semua hadir di sana hanya atas nama kemanusiaan dan hati nurani.  Pihak pemerintah pun dengan sigap membantu keluarga mengurus proses penarikan peti jenazah dari kargo. Tidak sepenuhnya pemerintah menutup mata, karena lihatlah, sesungguhnya masih ada orang-orang yang tetap bertahan berdiri karena kasih akan sesama. Semoga kasih itu tetap menyala dalam hati.

Pukul 13.08 WITA, peti jenazah yang berbalut terpal itu akhirnya dikeluarkan dari kargo. Selain bantuan dari mahasiswa asal Ende yang tergabung dalam IPELMEN, juga ada bantuan dari keluarga jenazah sebelumnya yang siang hari ini kembali menyapa kargo karena harus mengirimkan jenazah tersebut ke kampung halamannya dengan pesawat NAM Air. Mereka juga tetap setia di sana sampai jenazah yang baru datang didoakan oleh Suster Pauline, Camellian. Usai doa dipanjatkan,   mobil jenazah BP3TKI Kupang langsung membawanya ke Pelabuhan Tenau untuk diberangkatkan ke Larantuka dengan kapal. Suster Pauline turut serta, ia duduk di kursi depan mobil jenazah dan diikuti dari belakang oleh teman-teman IPELMEN yang dengan setia menyertai sampai peti dikeluarkan dari mobil jenazah dan dibaringkan di atas kapal. Tidak ada lagi yang mendampingi peti itu, namun kami percaya bahwa proses kepulangannya akan berjalan dengan baik sampai ia diterima oleh keluarganya.
Entah siapa itu sebenarnya, mungkin dia seorang bapak yang mencari nafkah di Negeri Jiran, atau seorang kakak yang berusaha untuk meringankan beban orangtuanya, atau dia seorang anak yang tidak ingin menyusahkan keluarganya sehingga mengambil keputusan untuk menjadi seorang pekerja migran. Entah dia berapa lama bekerja di Malaysia, sebagai apa dengan gaji berapa. Tidak ada yang benar-benar mengetahuinya dengan pasti. Semuanya terlihat abu-abu. Namun apapun itu, ia telah kembali ke Nusa Tenggara Timur, meskipun tanpa nyawa, meskipun dalam peti, meskipun membuat luka dan sedih yang membuncah, bumi pertiwi tetap merentangkan tangan menyambut. Semoga Tuhan Allah memberikan kekuatan dan ketabahan bagi keluarga yang ditinggalkan dan siapapun itu yang merasa kehilangan sosoknya. Semoga kasih Allah menyertai kita semua. Amin.


Mempromosikan Budaya Hospitalitas dan Solidaritas yang Tulus

Pengantar dari Romo Adrianus Suyadi, SJ 
Secretary for Social Ministries of Jesuit Conference of Asia Pacific (JCAP) 
Wisma DEWANTO, Jl. Kramat VII/25, Jakarta - 10430, Indonesia 
Phone: +62-21-315 0516, Mobile +62-81328189321 
Email: or Website: https://www.jcapsj.org/what-we-do/social-justice/  
Twitter: @ForJcap - Facebook Adrianus Suyadi - Skype: Adri Suyadi 


Para sahabat,

Hari ini adalah Hari Doa Sedunia melawan Perdagangan Manusia yang ke-enam. Hari ini ditetapkan oleh Paus Fransiskus pada 6 tahun silam, atas usulan perwakilan kongregasi para suster yang peduli dengan masalah perdagangan manusia dan perlindungan terhadap anak-anak dan perempuan.


Terkait dengan ini, berikut saya bagikan terjemahan bebas (tidak resmi) saya dari Pernyataan Jaringan Ignasian Global tentang Migrasi yang baru saja mengadakan pertemuan global di Washington, D.C. pada tanggal 3-7 Feruari kemarin. Sumber asli dalam bahasa Inggris, saya copy di bawah. Terima kasih.


Adri Suyadi

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Mempromosikan Budaya Hospitalitas dan Solidaritas yang Tulus

Pernyataan Peserta Pertemuan Jaringan Advokasi Ignasian Global tentang Migrasi (GIAN Migration)


Pada pertemuan Jaringan Advokasi Ignasian Global tentang Migrasi (GIAN Migration) yang bertempat di Washington, D.C. dari 3 sampai dengan 7 Februari, 2020, kami ingin mengundang semua Jesuit, karya-karya Jesuit, dan keluarga Ignasian pada umumnya untuk memperluas usaha-usaha advokasi kita atas nama saudara-saudari kita kaum migran.

Pertama-tama, kami ucapkan terima kasih kepada banyak dari antara Anda yang telah berjalan jauh dalam menciptakan budaya hospitalitas dengan menghidupi ajakan Paus Fransiskus yang, “Di seluruh dunia laki-laki dan perempuan – migran – mengadakan perjalanan yang berbahaya untuk melarikan diri dari kekerasan, perang dan kemiskinan. Mereka mengalami ketidak-pedulian, permusuhan di gurun, sungai dan laut….kita dapat dan kita harus memberi kesaksian bahwa tidak hanya permusuhan dan ketidak-pedulian, tetapi bahwa setiap orang adalah berharga bagi Tuhan dan dicintai-Nya. Hospitalitas adalah penting. Halnya berbicara kepada kita bahwa mereka yang lemah dan rentan, mereka yang secara material hanya sedikit yang bisa disumbangkan tetapi menemukan kesejahteraan di dalam Tuhan, dapat memberikan pesan yang berharga tentang kebaikan bagi semua. Hospitalitas termasuk tradisi keluarga dan komunitas Kristiani” (Vatican, 20 Januari, 2020). Lebih dari semua itu, hospitalitas memberi peluang bagi kita untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan dunia yang lebih bersahabat.

Melalui refleksi tentang kondisi yang berbeda-beda di mana para Jesuit dan semua keluarga Ignasian bekerja di seluruh dunia, juga lewat jeritan orang yang kami layani, kami mengadakan proses diskresi untuk mengidentifikasi dan memprioritaskan hal-hal umum yang menegaskan karya kami.  Dari analisis kontekstual kami, beberapa kecenderungan umum yang ingin kami garis bawahi adalah: meningkatnya kerentanan kaum migran di negara asal, negara transit dan negara penerima; dinamika baru migrasi seperti kafilah;  meningkatnya jumlah gelombang kelompok rentan, termasuk anak-anak yang terlantar, keluarga dan perempuan; kriminalisasi migran dan para tertuduh dalam berbagai belahan dunia; kebijakan-kebijakan publik yang semakin ketat yang melanggar hak-hak para migran. Sehubungan dengan ini, kami mengusulkan beberapa saluran aksi yang memungkinkan kita untuk berjalan sebagai satu tubuh dengan suatu misi umum bagi semua dari berbagai Konferensi.

Serikat Jesus telah lama menemani, melayani dan membela atas nama migran dan pengungsi. Kita menyadari bahwa diperlukan pendekatan komprehensif yang tidak hanya mengoptimalkan kepentingan migrasi pada umumnya, tetapi juga mengatasi resiko dan tantangan untuk pribadi maupun komunitas di negara-negara asal, negara transit dan negara tujuan. Tidak ada satu negara atau organisasi pun dapat mengatasi sendiri tantangan dan peluang fenomena global ini.

Tradisi Ignasian kita yang berakar dalam kehidupan spiritual memberi referensi yang kuat untuk mengembangkan pendekatan yang menyeluruh di mana satu langkah mengantar pada langkah berikutnya: menemani, melayani, menganalisis, meningkatkan kesadaran dan memperjuangkan (mengadvokasikan). Penemanan dan pelayanan yang kita berikan atas nama orang-orang yang rentan memberikan informasi untuk riset dan karya advokasi kita. Sebagai bagian dari panggilan dalam Preferensi Kerasulan Universal Serikat untuk menemani migran yang rentan dan terlupakan, kita harus bekerja mengubah sistem sosial dan politik yang menyebabkan ketidakadilan. Advokasi untuk kebijakan yang adil adalah unsur integral dalam menghidupi iman yang mewujudkan keadilan.
Sebagai GIAN Migration (the Global Ignatian Advocacy Network), sasaran kami untuk beberapa tahun ke depan akan berfokus pada promosi budaya hospitalitas di seluruh dunia di mana kaum migran yang rentan yang terpaksa meninggalkan rumah mereka diterima, dipromosikan, dilindungi dan diintegrasikan dalam masyarakat yang bersangkutan. “Orang yang terpaksa mengungsi, pengungsi internal dalam negeri, pengungsi lintas negara, pencari suaka dan orang tanpa kewarga-negaraan, penyintas korban perdagangan manusia, orang yang transit dan mereka yang pulang kembali” semua termasuk dalam misi ini (JCAM Statement on Migration and Refugees. Nairobi, January 23, 2020).

Di antara banyak sasarannya, GIAN Migration akan berusaha menganalisa realitas migrasi dari berbagai wilayah di dunia untuk tujuan identifikasi tren umum yang muncul, lewat riset untuk mendukung upaya advokasi kita, berbagi pembelajaran baik tentang bagaimana menciptakan budaya hospitalitas, dan mempromosikan upaya-upaya advokasi berkaitan dengan “Kesepakatan Global tentang Migrasi dan Pengungsi (the Global Compacts on Migration and Refugees).

Diterjemahkan secara bebas (tidak resmi) oleh Adrianus Suyadi, SJ dari sumber: https://www.sjesjesuits.global/en/index.php/2020/02/07/gian-migration-statement/



GIAN Migration - Promoting a genuine culture of hospitality and solidarity 

GIAN Migration Meeting 
Washington D.C., February 7th, 2020

On the occasion of the Global Ignatian Advocacy Network meeting on Migration that took place in Washington, D.C. from February 3-7, 2020, we want to invite all Jesuits, Jesuit works, and our broader Ignatian family to expand our advocacy efforts on behalf of our migrant brothers and sisters.

First of all, we thank the many among you who have gone a long way already in creating a culture of hospitality by living out Pope Francis’s reminder that, Throughout the whole world, men and womenmigrantsface dangerous journeys to flee violence, to flee from war, to escape from poverty. They experience the indifference, the hostility of the desert, the rivers and the seas…. we can and we must give witness that there is not only hostility and indifference, but that every person is precious to God and loved by him. Hospitality is important. It tells us that those who are weak and vulnerable, those who have little to offer materially but find their wealth in God, can present valuable messages for the good of all. Hospitality belongs to the tradition of Christian communities and families. (Vatican, January 20, 2020). Above all, hospitality provides us with the opportunity to build a more just society and a more fraternal world.
Through reflection on the different conditions in which the Jesuits and all the Ignatian family operate around the world as well as the cry of the people that we serve, we undertook a process of discernment to identify and prioritize the common elements that define our work. From our contextual analysis, some of the common trends we would like to emphasize are: the increasing vulnerability of migrants in the origin, transit, and receiving countries; the new dynamics of migration such as caravans; the increase in the flows of vulnerable groups, including unaccompanied minors, families and women; the criminalization of migrants and their defendants in several parts of the world; and increasingly restrictive public policies that violate the rights of migrants. In light of this, we have proposed some lines of action that allow us to walk as one body with a common mission across our different Conferences.
The Society of Jesus has long accompanied, served, and advocated on behalf of migrants and refugees. We realize a comprehensive approach is needed to not only optimize the overall benefits of migration, but also address the risks and challenges for individuals and communities in countries of origin, transit, and destination. No one country or organization can address the challenges and opportunities of this global phenomenon on its own. 
Our Ignatian tradition, rooted in a lived spiritually, provides a solid reference point to develop a holistic approach where one step leads to the next: accompany, serve, analyze, raise awareness, and advocate. The accompaniment and service we provide on behalf of vulnerable people inform our research and advocacy work. As part of the call within the Society’s Universal Apostolic Preferences to walk with marginalized and vulnerable migrants, we must work to reform the social and political systems that lead to injustice. Advocating for just policies is an integral component of living out a faith that does justice. 
As GIAN Migration, our aim for the next few years will be to focus on promoting a culture of hospitality worldwide where vulnerable migrants who are forced to flee from their homes are welcomed, promoted, protected, and integrated into our respective societies. “Forcibly displaced people –internally displaced, refugees, asylum seekers and stateless persons-, survivors of human trafficking, people in transit and those forcibly returned” are all included in this mission (JCAM Statement on Migration and Refugees. Nairobi, January 23, 2020).
Among its many objectives, GIAN Migration seeks to analyze the reality of migration in the different regions of the world for the purpose of identifying emerging common trends, using research to inform our advocacy efforts, sharing best practices on how to create a culture of hospitality, and promoting advocacy efforts linked to the Global Compacts on Migration and Refugees.