Monday, May 26, 2014

Akhir Bersama Ibu Ati

Mungkin, inilah saat yang ditunggu-tunggu. Saat paling membahagiakan untuk Ibu Ati. Sebab, Minggu, 22 Mei 2014 yang lalu dia dijemput oleh Dinas Pemda Semarang untuk diantar pulang.

Sahabat Insan berkesempatan mengunjunginya pada hari Jumat, 23 Mei 2014 yang lalu. Ibu Ati terlihat lebih sehat dan segar. Sudah kurang lebih 2, 5 bulan dia berada di Shelter Sahabat Insan. Sebelumnya, Sahabat Insan telah membantu biaya perawatan Ibu Ati untuk operasi kista. Kini, bekas jahitan operasi di perutnya sudah kering. Maka, dia pun sudah di-izinkan untuk pulang.


Ketika kami berkunjung ke Shelter menjumpainya, dengan penuh sukacita dia membagikan suka dukanya kepada kami. Dia mengatakan kepada kami tentang rencana hidupnya beberapa bulan mendatang. Ibu Ati akan pulang ke rumah saudaranya di Semarang. Di sana, dia akan menghabiskan waktu berpuasa sampai Lebaran. Setelah Lebaran usai, dia akan kembali lagi ke Jakarta untuk mencari pekerjaan.


”Jadi pembantu atau mengurus anak juga tak apa, saya suka ngurus anak, majikan saya yang lama saja seneng sama saya, katanya saya jujur, beda sama yang lain,” ujar Ibu Ati.

Sahabat Insan tidak tahu, apakah kunjungan kami kali itu menjadi pertemuan terakhir kami dengan Ibu Ati atau tidak. Tetapi, kami sudah mengatakan kepadanya, kalau sekiranya Ibu Ati ingin mencari pekerjaan di Jakarta, kami akan membantu mencarikan. Kami juga menyampaikan kepada Ibu Ati supaya ia bekerja saja di Indonesia. Akan lebih aman, daripada dia harus bekerja ke luar negeri. Namun, tampaknya Ibu Ati masih ragu. Tersirat keinginan untuk kembali ke majikannya yang dahulu di Malaysia.

Tak ada seorang pun yang dapat mencegah terjadinya migrasi. Keputusan bermigrasi adalah hak setiap individu. Maka, yang harus diperbaiki adalah regulasinya, berbagai peraturan untuk melindung para migran. Karena pada dasarnya tujuan mereka adalah baik: untuk meraih kehidupan yang lebih baik demi keluarga mereka.

Dalam perjumpaan kami yang lalu, Ibu Ati sempat bercerita tentang anak dan suaminya. Suaminya banyak berhutang. Selama bekerja di Malaysia, gaji yang dia kirim ke suaminya dipakai untuk melunasi hutang-hutang tersebut. Sementara anaknya yang masih berusia 17 tahun, menghamili seorang remaja yang masih berusia 14 tahun. Tiadanya sosok ibu di sisinya, tentu mempengaruhi tumbuh kembang anak Ibu Ati. Beberapa waktu setelah istrinya melahirkan, mereka kemudian bercerai. Sekarang anak Ibu Ati bekerja sebagai buruh pabrik.

Meski kini Ibu Ati dapat dikatakan seorang diri dan tak banyak kebutuhan yang harus dia cari untuk kelangsungan hidupnya, naluri sebagai seorang ibu masih terus hidup dalam dirinya. Dia mengatakan bahwa ia tak tega apabila tak dapat memenuhi permintaan anaknya, jika anaknya itu meminta sesuatu padanya. Itu yang membuatnya bertekad untuk kembali bekerja.

Apa pun keputusan yang dipilih Ibu Ati, pada akhirnya Sahabat Insan berusaha mendoakan yang terbaik bagi dirinya. Sekarang ini, Ibu Ati mungkin sudah pulang. Itulah saat yang dirindukan Ibu Ati bertahun-tahun lampau. Saat pulang, berada di kampung halaman, menghirup udara rumah, dan berkumpul dengan sanak saudara serta anak yang dirindukannya.

Nb: Kisah sebelumnya tentang Ibu Ati dapat dibaca melalui tautan berikut: 
http://perkumpulansahabatinsan.blogspot.com/2014/04/membantu-operasi-kista-ibu-ati.html

Tuesday, May 13, 2014

Metamorfosis Sri

Panas dan macet, itulah yang kami rasakan saat dalam perjalanan ke Sukabumi pada Sabtu, 3 Mei 2014 yang lalu. Tujuan kami adalah ke rumah Sri, korban yang pernah ditolong dan tinggal di shelter Sahabat Insan pada tahun 2012. Sri, mantan TKI, yang pernah mengalami kecelakaan kerja di Oman. Dia terbakar karena kompor meledak saat sedang memasak untuk majikannya. Kami ingin melihat kondisinya saat ini. Kabarnya, dia sudah mulai bekerja di salah satu pabrik di Sukabumi. 

Sri dan anaknya
Kami berangkat dari shelter pukul 10.45 WIB, jalanan hari itu padat merayap. Beberapa kali kami turun untuk bertanya letak tempat janjian kami dengan Sri. Kami memang belum pernah ke rumah Sri. Namun, berbekal nomor ponsel Sri, kami yakin pasti bisa sampai. Sri mengkehendaki supaya kami berjumpa di Terminal Lembur Situ supaya lebih dekat dengan rumahnya.

Setiap Sabtu, Sri bekerja setengah hari, sehingga kami mempunyai kesempatan untuk menemuinya setelah pulang bekerja. Salah satu penyebab kemacetan perjalanan kami adalah karena banyaknya angkot dan sepeda motor yang memenuhi badan jalan. Mereka menunggu penumpang yaitu para karyawan pabrik yang mulai pulang kerja. Kebanyakan para karyawan pabrik yang tampak dalam pemandangan kami siang itu adalah para perempuan muda. Ada yang mengenakan seragam pabrik masing-masing, ada yang mengenakan seragam hem, dan ada yang hanya mengenakan kaos.

Matahari hampir tengelam ke Barat saat kami sampai di Terminal Lembur Situ. Kami menghubungi Sri memberi tahu bahwa kami sudah sampai di terminal dan kami menunggunya di depan Alfamart. Sambil menunggu Sri, kami keluar dari mobil dan mengerakkan badan, serta kaki kami yang sudah sepanjang hari terlipat di dalam. Setelah dua puluh menit menunggu, akhirnya Sri datang dengan anak perempuannya.

Sri mengenakan kerudung bermotif kuning kembang-kembang. Dia tampak cantik dan bersih tetapi badannya tampak lebih kurus. Anak perempuannya berumur empat tahun, berambut keriting besar-besar , dan mengenakan sweater merah.  Ica, demikian nama anak itu.  Ica tampak takut dengan kami dan tidak mau berjabat tangan, dia hanya bersembunyi di belakang, sambil memegang baju ibunya.

Kami bercerita tentang berbagai hal sambil makan bakso, sementara Ica asyik bermain dengan seekor kucing. Sri bercerita tentang situasi keluarganya saat ini, pekerjaannya sebagai karyawan pabrik, anaknya yang aktif, dan tentang suami yang sudah meninggalkannya. Kata ”Ibu” tak pernah diucapkan Ica kepada Sri. Ica memanggil Sri dengan panggilan namanya, sedangkan memanggil neneknyadengan ibu. Itu karena sejak kecil Ica tak pernah kenal dengan Sri, baru sekarang Sri kembali dan Ica belum dapat memahami.

Sri adalah perempuan berbadan pendek dan kecil, tetapi dibalik itu dia adalah perempuan kuat dan tegar. Sri menanggung semua penderitaan dengan jiwa besar dan penuh kepasrahan. Dia dijual oleh suaminya sendiri untuk menjadi TKI saat anaknya masih berusia delapan bulan, perjuangan sebagai pembantu rumah tangga di negeri orang tanpa mengetahui budaya dan bahasanya, pekerjaan berat yang harus dilakukan setiap hari tanpa diimbangi dengan istirahat dan makan yang cukup, luka bakar akibat kecelakaan kerja, dibuang oleh majikan dalam keadaan sekujur tubuh masih melepuh dan ditinggal menikah lagi oleh suami yang dicintainya.

Sekarang Sri mulai bangkit membangun hidup dan masa depannya. Sri tinggal dengan kedua orang tuanya, ayahnya bekerja sebagai buruh serabutan dengan penghasilan yang tidak tentu, dua adiknya masih sekolah, sementara ibunya tidak bekerja. Gaji Sri sebagai buruh pabrik digunakan untuk menghidupi enam orang termasuk anaknya sendiri, untuk biaya makan, sekolah adiknya, dan untuk transport hariannya. Tiap bulan masih harus berhutang untuk memenuhi semuanya.

Walau demikian, Sri tetap mampu bersyukur dengan situasinya saat ini, dia tidak mau lagi pergi bekerja ke luar negeri. Suatu kali Sri pernah didatangi seorang agen yang menawarinya untuk kembali bekerja di luar negeri. Dengan tegas Sri menolaknya. Menurut pengalaman Sri, gaji yang ditawarkan agen tidak sesuai dengan kenyataan yang diterimanya saat bekerja di luar negeri dan kalau dihitung-hitung secara keseluruhan lebih untung kerja di tempat sendiri karena bisa dekat dengan keluarga, terlebih anak. Selain itu, di negeri sendiri juga jauh lebih aman dan nyaman.

Setelah puas bercerita di warung bakso, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke rumah Sri yang berada di Desa Gunung Guruh. Letak rumah Sri tidak bisa dijangkau dengan kendaraan roda empat. Kami masih harus berjalan kaki menyusuri jalan setapak melalui perkampungan dan pematang sawah dengan di sebelah sisinya adalah sungai berarus deras dengan air yang berwarna cokelat. Sesekali kami harus melompat kecil untuk melewati genangan air, karena sebelumnya hujan turun begitu deras. Kami yang tidak biasa berjalan di jalan setapak, di antara pematang dan sungai harus ekstra hati-hati karena takut terjatuh, apalagi hari sudah mulai gelap.

Sampai di rumah Sri, kami disambut oleh bapak dan ibu serta adik laki-laki yang duduk di kelas 2 SMP. Mereka menyambut kami dengan ramah dan penuh persaudaraan. Rumah keluarga Sri masih sangat sederhana, berukuran kecil, dindingnya terbuat dari anyaman bambu, dan lantainya tanah liat yang dialasi dengan bambu-bambu yang ditata rapi. Dinding bagian dalam ditutup dengan kain bekas spanduk dan sebagian lagi dengan koran dan majalah bergambar. Rasanya rumah ini terlalu sempit dihuni oleh lima orang dewasa dan satu orang anak.

Kami semakin memahami mengapa dulu Sri mampu bertahan sampai 22 bulan di Oman dengan kondisi kerja yang sangat berat dengan upah yang tidak sesuai. Kebanggaan kami pada Sri tumbuh dengan sendirinya, Sri perempuan perkasa yang sungguh sangat bertanggung jawab terhadap anak dan keluarganya. Ia rela berkurban dan menderita demi orang-orang yang dicintainya dan tetap teguh walau dibujuk rayu untuk kembali bekerja ke luar negeri. Walau hanya mengenyam pendidikan sampai kelas empat SD, tapi Sri tidak mau mengulang mengalaman pahitnya di negeri orang. Ia ingin melanjutkan hidup dan menatanya di negeri sendiri.

Bagi kami, berjumpa dan menyapa Sri dan keluarga merupakan pengalaman yang sangat berharga. Sri telah mengalami metamorfosis seperti kupu-kupu. Kendati demikian, perjuangan demi kehidupan terus dilakoninya. Kami berharap dan berdoa untuk kehidupan yang lebih baik bagi Sri, keluarga, serta anaknya kelak. Semoga Sri-Sri lain mempunyai kesadaran yang sama dalam membangun hidup di negeri sendiri demi keutuhan dan kebahagiaan keluarga.

Tuesday, May 6, 2014

Bercermin

Jumat lalu, 2 Mei 2014, Sahabat Insan kembali berkunjung ke Eboni, ruang jiwa yang menampung para buruh migran di salah satu rumah sakit di Jakarta. Ketika kami sampai, kami melihat tak banyak orang dengan kegiatan berarti di sana. Itu adalah pemandangan seperti biasa.

Bahkan kami yang hanya sesekali berkunjung pun merasa bosan melihat kegiatan mereka yang hanya makan, tidur, bersih-bersih, atau menonton televisi saja. Semua seperti di dalam penjara. Apalagi mereka yang berbulan-bulan berada di sana tanpa kepastian kapan mereka akan dipulangkan.

Ada seorang ibu yang kami jumpai di sana, sedang berdiri di sebuah kursi sambil melihat keluar jendela kecil. Dia berdiri di sana lama sekali. Hanya dengan terus memandang ke luar itu, kami tahu bahwa ibu yang kurus dengan wajah tirus tersebut mendambakan kebebasan.

Kami berkumpul di ruang depan dan mengobrol dengan beberapa dari mereka.
Wajah-wajah pasien di sana tak asing bagi kami. Mereka muka-muka lama yang kami jumpai. J yang kami jumpai sekitar sebulan lalu menyapa kami dan kembali mengeluh bosan. Perempuan muda cantik itu berasal dari Kupang. Dia merasa sehat dan tak mengalami gangguan jiwa sedikit pun. Sampai kini nasibnya tak jelas. BNP2TKI belum memberikan kepastian kapan dia akan dipulangkan.

Fia yang kami jumpai sejak dua bulan lalu masih berada di Eboni dalam keadaan lupa ingatan. Dia hanya menginat namanya, tapi rumahnya di mana dia tak ingat sama sekali. Kami baru saja menyadari bahwa dia tengah dalam keadaan hamil. Pikiran kami mulai mengira-ngira apa yang terjadi terhadapnya. Kami bersedih karenanya, padahal kami tak tahu pasti kejadian buruk yang menimpanya.

Seorang perempuan bernama Siti baru satu minggu berada di Eboni, dia meracau dalam bahasa daerah yang kadang bercampur dengan bahasa Arab. Kami sulit memahaminya. Kadang dia menjadi begitu agresif dan marah-marah sendiri pada kalimat keempat kelima dan seterusnya. Kemudian, setelah kami tegur lagi, dia tertawa. Di satu sisi kami prihatin, tapi di sisi lain kami terhibur karena tidak mengerti apa yang dia sampaikan.

Berbeda lagi dengan seorang ibu yang awalnya kami ajak bicara dan masih menjawab pertanyaan-pertanyaan kami dengan baik. Dia bercerita bahwa gajinya tak dibayar majikan. Dia kabur dan mengemis di Malaysia. Kemudian dia pergi ke Kedutaan dan dipulangkan sampai akhirnya tiba di Eboni. Dia bertanya kepada kami, apakah kami punya uang. Dia kemudian, mengadahkan tangannya meminta Rp1000,00. Ketika tak kami berikan dia protes, lalu pergi meninggalkan kami dengan wajah cemberut.

Entah apa yang mereka alami ketika bekerja di luar negeri. Kami memang hanya bisa menduga-duga. Tapi, kebanyakan cerita yang kami dengar memang mereka mengalami berbagai tindakan yang tidak menyenangkan, bahkan dapat dikatakan tidak manusiawi oleh majikan mereka.

Kunjungan hari itu menjadi berkesan karena kami berjumpa dengan seorang ibu yang pernah kami jumpai beberapa waktu lalu di Eboni. Dia adalah Ibu Eti. Dia bukan mantan TKI seperti yang lainnya. Dia mantan pasien umum di sana. Melihat kami berkunjung, wajahnya tampak gembira, dia masih mengenali kami. Pertama-tama, Ibu Eti langsung menyalami Suster Murph dan berusaha berbicara dalam bahasa Inggris. Kemudian, dia duduk bersama kami dan ikut mengobrol. Suasana kali itu menjadi penuh tawa karena dia berusaha berkomunikasi dengan Siti. Kami tertawa terbahak-bahak karena Siti dari yang bicaranya penuh emosi dan marah menjadi ikut tertawa ketika Ibu Eti berkata, ”Hei jangan marah-marah begitu!”.

Melihat Ibu Eti yang berkunjung ke Eboni, kemudian dia mau menyapa kami, juga mengajak bicara para mantan TKI, membesarkan hati kami. Kami terharu melihat kepeduliannya itu. Dia memiliki empati kepada mereka yang menderita. Mungkin terlihat sepele, hanya berkunjung, lalu duduk sebentar untuk mengajak mereka mengobrol. Namun, perhatian kecil ibu itu telah menghibur mereka yang telah lama termarginalkan. Mungkin Ibu Eti sedang bercermin. Dia melihat dirinya sendiri ketika berada lama sebagai pasien di Eboni. Dia ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Maka, dia kembali untuk memberikan perhatian kepada mereka.

Usai berkunjung ke sana, kami seolah diajak juga untuk bercermin.


http://www.yaztahtaya.org/sacmalik/empati-nedir/