Wednesday, May 27, 2020

REKAN-REKAN PENCIPTA BAGI SEBUAH DUNIA YANG LEBIH BAIK



Diposting pada: 21 Mei 2020 | Penulis: Kardinal Michael Czerny SJ

Kategori: Keadilan sosial dan lingkungan, Politik dan urusan saat ini
Tag: Laudato si ', Coronavirus


Foto oleh Fateme Alaie di Unsplash

Dalam sebuah wawancara dengan Avvenire untuk menandai Minggu Laudato Si (16-24 Mei 2020), Kardinal Michael Czerny SJ mendesak kita untuk membiarkan ensiklik tersebut membentuk cara berpikir  kita tentang krisis coronavirus dan menemukan penyelesaian  untuk retak-retak yang nampak ketika  disoroti. ‘Sebelum menjadi" masalah sosial-lingkungan ", penciptaan adalah perkara iman yang mendasar, jadi bagaimana seorang Kristiani  dapat melihat dan mencintai dunia, rumah kita bersama, dapat menginspirasi perubahan?

Pekan  Laudato Si ini, yang merayakan ulang tahun kelima ensiklik ini, berlangsung pada saat yang dramatis, di tengah pandemi Covid-19. Apa makna khusus yang dimiliki ensiklik tersebut dalam situasi ini, "tanda zaman" ini?

Lima tahun yang lalu, Laudato si 'mengungkapkan retak  ketidakadilan manusia dan kemerosotan lingkungan.  Covid-19 memperkuat dan memperbesar garis retak  yang sama dengan cara yang konkret, dramatis dan secara tragis. Jelas.  Ini mengungkap 'percepatan' yang disebut oleh  Paus Fransiskus (Laudato si '§18): tidak hanya cara dan kecepatan penyebaran virus, tetapi juga berlangsungnya digitalisasi yang sangat cepat,  jutaan pekerjaan konvensional hilang, komunikasi online menggantikan pertemuan dan mengubah acara-acara.

Silakan memperhatikan bahwa hal itu sejajar:  krisis coronavirus dimulai dengan rusaknya  kesehatan fisik, tetapi memiliki konsekuensi sosio-ekonomi yang mengerikan, terutama di antara mereka yang paling rentan. Demikian juga krisis ekologis : dimulai dengan kerusakan lingkungan, tetapi memiliki konsekuensi yang menghancurkan bagi pekerjaan, makanan, kesehatan dan masalah sosial lainnya, mengena pada  yang paling miskin, mengena pada yang paling sulit. Kedua krisis tersebut membutuhkan penyelesaian  baru yang berlaku di mana pun juga, dan pada  semua tingkatan, tidak hanya bagi dan pada yang di 'atas'.

Dengan Laudato si 'bukan yang pertama kali Gereja berbicara tentang ekologi, tetapi berkat ensiklik ini, dibangunlah diparadigma baru ekologi yang utuh, yang mengena baik pada bahasa gerejani maupuan  bahasa umum. Proses seperti apa yang dimulai oleh  ensiklik ini?

Segera setelah diterbitkan,  Laudato si 'membantu Konferensi COP21 Paris pada Desember 2015 untuk membumi, menghidupkan dan menentukan orientasi , yang menghasilkan Perjanjian Paris – meskipun memiliki kekurangan  dan lemah, tetapi masih merupakan langkah pertama yang diperlukan. Ini juga telah merangsang munculnya banyak bentuk kegiatan di dalam paroki-paroki,  di dalam komunitas  agama lain, kelompok-kelompok  sekuler dan gerakan-gerakan. Saya percaya bahwa ini tak terduga sebelumnya untuk sebuah ensiklik.

Bagaimana kita bisa membaca ulang Laudato si dalam terang hari ini? Dan bagaimana kita bisa mendapatkan yang terbaik dari pekcan Laudato si ini?

Sah-sah saja  membaca Laudato si dalam terang Covid-19. Penyalahgunaan dan kemerosotan lingkungan  mungkin mengambil peran dalam  muncul dan  penyebaran virus, tetapi pemahaman kita harus lebih dalam sehingga sampai ke anti-nilai yang mendasar yang  yang memicu munculnya peradaban yang gemar  bersaing  dan  dan konsumeris selama ini. Dunia baru setelah Covid-19 harus jauh lebih baik.

Masih ada beberapa orang  Katolik yang mengalami kesulitan dalam mengakui bahwa  masalah lingkungan social merupakan  bagian dasarbagi  iman mereka. Apa yang bisa Anda katakan kepada mereka?

Sebelum menjadi 'masalah sosial-lingkungan', penciptaan adalah  perkara  iman yang mendasar: 'Saya percaya pada Tuhan, Bapa yang Maha Kuasa, Pencipta surga dan bumi'.

Kehidupan manusia bertumpu  pada tiga hubungan dasar dan saling terkait: dengan Tuhan, dengan sesama kita dan dengan bumi itu sendiri, bumi menjadi bagian dari ciptaan Allah yang penuh kasih. Memutar balikkan  salah satu dari hubungan itu merupakan perbuatan  dosa. Pengampunan adalah pencaharian untuk dapat mengambil peran dalam penebusan yang Kristus sampaikan kepada kita, penyembuhan hubungan yang hancur dan pemulihan keselarasan rangkap tiga.

Paus Santo  Yohanes Paulus II mengingatkan semua orang, terutama orang Kristiani,  'bahwa tanggung jawab mereka dalam penciptaan dan kewajiban mereka terhadap alam dan Sang Pencipta adalah bagian penting dari iman mereka'. [I] Jadi, dengan orang katolik yang disebutkan tadi,  marilah  kita berjalan bersama dan bersama-sama menghadapi ketidakpercayaan kita, ketakutan kita.

Querida Amazonia  (Amazonia Tercinta)  dan seluruh proses sinode tersebut adalah anak-anak Laudato si '. Dengan cara apa Querida Amazonia menggunakan Laudato si 'dan bertanya kepada  kita semua, tidak hanya orang-orang Amazon?

Sinode Amazon menunjukkan apa artinya menganggap serius Laudato si ', untuk mengatasi semua dosa sosial dan ekologi di wilayah tertentu secara agresif dan berani. Itulah  pelajaran yang perlu diikuti di mana pun juga  bumi ini.

Selain itu, Querida Amazonia tanpa malu-malu menaruh hormat kepada  orang-orang Amazon - terutama yang asli - sebagai pemegang peran utama dan tak terpisahakan  dalam melestarikan Amazon untuk memainkan peran mereka  yang mencakup planet ini. Ini menantang semua orang yang terus menyembunyikan (meskipun secara tidak sadar) sikap gemar menjajah budaya lain atau merasa berhaak atas semua sumber daya alam.

Bagaimana Laudato si dapat membantu kita  dalam pembangunan kembali pascandemi?

Pertama, mari kita perjelas - tujuan kita seharusnya tidak kembali ke 'bisnis seperti biasa', kembali ke praktik yang merusak diri sendiri, tidak manusiawi, tidak adil dan tidak berkelanjutan yang dulu dianggap  'normal' sampai awal 2020.

Sebaliknya, kata Paus Fransiskus, mari kita membangun kembali  hubungan baru, ekonomi baru, masyarakat baru. Laudato si 'menantang pendorong utama pertumbuhan yang tidak sehat dan destruktif dan  sebagai gantinya mengusulkan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan yang pantas disebut' integral '.

Mengenai cara mengatasinya, Laudato si 'memberi perhatian besar pada dialog sebagai dasar  tindakan positif yang sangat diperlukan. Satu-satunya pendekatan untuk regenerasi pasca-pandemi adalah dialog, yang berarti melibatkan semua orang yang terlibat secara jujur. Ini adalah cara sinode.

Kaum muda mungkin adalah orang-orang yang merasa paling terkena dampak krisis lingkungan. Dapatkah ekologi integral berfungsi sebagai jembatan untuk berkomunikasi dengan mereka yang merasa lebih sulit untuk berintegrasi dengan paroki tradisional atau struktur gereja?

Memang, orang-orang muda  merasa sangat marah dengan tanggung jawab yang tidak bertanggung jawab dari semua 'yang bertanggung jawab'. Ini tidak hanya pengambil keputusan dalam perdagangan dan politik, tetapi juga konsumen dan warga negara yang menjalani gaya hidup berdasarkan eksploitasi yang tidak berkelanjutan baik bagi manusia maupun planet ini.

Orang-orang muda sekarang melihat planet ini sebagai tempat penting untuk menghormati  dan memperhatikan  mereka; pada saat  gerakan kristiani dan paroki-paroki menemani  dalam pencarian mereka, kaum muda bergabung dan memang mereka mengambil peran utama. Inilah khal yang kami pelajari dari  Sinode 2018 tentang Kaum Muda.

Dari hari ke hari, krisis lingkungan semakin memburuk; sekarang ini hal itu jelas lebih serius  daripada lima tahun lalu, ketika Laudato si diterbitkan. Selama pekan ini, komitmen apa yang harus dilakukan  oleh orang-orang Kristiani?

Pertama, setiap orang, orang Kristiani dan orang lain, dapat mencoba meningkatkan hubungan kita dengan alam melalui jalan kontemplasi. Kami tidak bisa mencintai apa yang bahkan tidak kami lihat; mengamati secara  kontemplatif dapat merupakan langkah awal  untuk perjalanan tobat secara  ekologis.

Selama pandemi coronavirus, ada banyak orang  menemukan bahwa  mereka dapat hidup secara irit. Jadi kita dapat terus mengonsumsi lebih sedikit, atau memilih produk yang kurang berpolusi, atau menghindari kemasan yang tidak perlu, yang tidak dapat didaur ulang. Sebagai ganti   berbelanja tanpa memikirkan konsekuensi moral,  lingkungan, paroki paroki, sekolah, dan lembaga-lembaga Katolik kita dapat memahami bahwa 'berbelanja  selalu merupakan tindakan moral - dan bukan sekadar ekonomi' (Laudato si §206, mengutip Caritas di Veritate). Mereka dapat menggunakan botol kaca dan piring yang bisa dicuci, seperti yang dilakukan oleh banyak pusat sosial dan gerakan rakyat.

Akhirnya, dalam liturgi ,  marilah  kita berkomitmen untuk merayakan anugerah ciptaan Tuhan dengan cara yang lebih menginspirasi. Liturgi tradisional kita meliputi unsur-unsur alam: air dan minyak dalam baptisan, roti dan anggur dalam Ekaristi, api di Malam Paskah. Kita perlu mengalami alam dalam diri kita secara rohani dan diri kita sendiri dalam ciptaan, secara utuh. Kalau tidak, kita hanya terus mengeksploitasi, mengkonsumsi dan menyalahgunakan alam, daripada menerima tanggung jawab kita sebagai Rekan-Pencipta  dengan Allah dari rumah kita bersama. Segi-segi  hemat, liturgis, dan kontemplatif dari spiritualitas Kristiani akan membantu memotivasi perubahan personal, sosial dan sistemik yang diperlukan - semua  itu merupakan perubahan yang radikal!

Bisakah Anda menyebutkan beberapa inisiatif yang secara khusus terinspirasi oleh Laudato si '?

Gerakan Iklim Katolik Global (GCCM), yang juga merayakan hari jadinya yang kelima, memiliki lebih dari 900 organisasi Katolik sebagai anggota dari jaringan internasional besar dan kongregasi religius ke paroki lokal, pemimpin akar rumput, dan ribuan orang  Katolik, perempuan  dan kaum muda. GCCM membantu mengatur minggu Laudato si yang luar biasa yang kita rayakan sekarang. [Ii]

Contoh lain termasuk pertanian organik lokal di Amerika Latin, bangunan yang dipasang kembali secara ekologis di Eropa dan energi matahari yang dipasang di Afrika. Sejumlah sekolah Katolik telah menjadikan Laudato si 'sebagai tema pengajaran interdisipliner utama mereka untuk memajukan tanggung jawab ekologis dan untuk memobilisasi siswa dan keluarga mereka dalam merawat rumah kita bersama.

 Kardinal Michael Czerny SJ adalah Wakil Sekretaris Bagian Migran dan Pengungsi Lembaga di Vatikan  untuk Mempromosikan Pembangunan Manusia Integral.

Ini adalah terjemahan dari wawancara yang dilakukan oleh Lucia Capuzzi dan Stefania Falasca untuk Avvenire.

-------------

[ii] Pope Francis’s Invitation to Laudato si’ week, in English: https://www.instagram.com/p/CAQBz7HIGzj/?hl=en; in Italian: https://youtu.be/uFQAB2vuaQw

----------------------------------------------------------------------------------------------------------


CO-CREATORS OF A BETTER WORLD

In an interview with Avvenire to mark Laudato si’ week (16-24 May 2020), Cardinal Michael Czerny SJ urges us to let the encyclical shape the way we think about the coronavirus crisis and find solutions to the fault lines it is highlighting. ‘Before being a “socio-environmental issue”, creation is a fundamental article of faith’, so how can a Christian view and love of the world, our common home, inspire change?

This Laudato si’ week, celebrating the encyclical’s fifth anniversary, takes place at a dramatic moment, amid the Covid-19 pandemic. What particular meaning does the encyclical have in light of this situation, this ‘sign of the times’?

Five years ago, Laudato si’ revealed the fault lines of human injustice and environmental degradation. Covid-19 is amplifying and magnifying those same fault lines in a tragically concrete, dramatic and vivid manner. It’s exposing the ‘rapidification’ that Pope Francis identified (Laudato si’ §18): not only the manner and speed of the virus’s spread, but also the highly accelerated digitalisation underway, the millions of conventional jobs being lost, the online communication replacing meetings and changing events.

Note the parallels: the coronavirus crisis starts by damaging physical health, but it has terrible socio-economic consequences, especially among the most vulnerable. The ecological crisis is similar: it starts with environmental damage, but has devastating consequences for work, food, health and other social issues, hitting the poorest, hardest. Both crises require novel solutions that apply everywhere and at all levels, not just for and at ‘the top’.

Laudato si' was not the first time that the Church spoke of ecology, but thanks to the encyclical a new paradigm of integral ecology was established, which also had an effect on both ecclesial and common language. What processes did the encyclical initiate?

Soon after it came out, Laudato si’ helped to ground, animate and orient the Paris COP21 Conference in December 2015, which produced the Paris Agreement – flawed and weak, but still a first necessary step. It has also stimulated many forms of activism in parishes, other religions, secular groups and movements. I believe that this is unprecedented for an encyclical.

How can we re-read Laudato si’ in today’s light? And how can we get the most out of this Laudato si’ week?

It is valid to read Laudato si’ in the light of Covid-19. Environmental abuse and degradation probably contributed to the emergence and spread of the virus, but our understanding must go much deeper to the fundamental anti-values that fuelled the competitive and consumerist civilisation of yesterday. The new world after Covid-19 has to be much better.

There are still some Catholics who have some difficulty in considering the socio-environmental issue as a fundamental part of their faith. What can you say to them?

Before being a ‘socio-environmental issue’, creation is a fundamental article of faith: ‘I believe in God, the Father Almighty, Creator of heaven and earth’.

Human life is grounded in three fundamental and intertwined relationships: with God, with our neighbour and with the earth itself, the earth being part of God’s loving creation. To distort any of those relationships is to sin. Forgiveness is to seek participation in the redemption Christ brings us, the healing of broken relationships and the restoration of the three-fold harmony.

Pope St John Paul II reminds everyone, especially Christians, ‘that their responsibility within creation and their duty towards nature and the Creator are an essential part of their faith’.[i] So, with the Catholics you mention, let’s walk together and together face our disbelief, our fear.

Querida Amazonia and the whole synodal process are children of Laudato si'. In what way does Querida Amazonia draw on Laudato si’ and question us all, not only the Amazon people?

The Amazon Synod showed what it means to take Laudato si’ seriously, to address all the social and ecological sins in a given region aggressively and bravely. That’s a lesson that needs to be followed everywhere on earth.

In addition, Querida Amazonia unabashedly respects and validates the people of the Amazon – especially the indigenous ones – as the first and indispensable protagonists in preserving the Amazon to play its planetary role. This challenges all who continue to harbour (albeit unconsciously) lingering colonialist attitudes towards other cultures or a sense of entitlement over all natural resources.

How might Laudato si’ help us in a post-pandemic rebuilding?

First, let’s be clear – our objective should not be to go back to ‘business as usual’, reverting to the self-destructive, inhumane, unjust and unsustainable practices that used to be ‘normal’ until early 2020.

Instead, Pope Francis says, let us regenerate new relationships, a new economy, a new society. Laudato si’ challenges the core drivers of unhealthy and destructive growth, proposing instead an inclusive, sustainable development that deserves the name ‘integral’.

As for how to go about it, Laudato si’ gave enormous attention to dialogue as the utterly necessary foundation of positive action. The only approach to post-pandemic regeneration is dialogue, which means honestly involving all those who are concerned. This is the synodal way.

Young people are perhaps the ones who feel most affected by the environmental crisis. Can integral ecology work as a bridge to communicate with those who find it more difficult to integrate with traditional parish or church structures?

Young people are right to feel totally outraged by the flagrant irresponsibility of all ‘those responsible’. These are not only decision-makers in commerce and politics, but also consumers and citizens who live a lifestyle based on the unsustainable exploitation of both people and the planet.

Young people now see the planet as their essential locus of reverence and concern; as Christian movements and parishes accompany them in their quest, young people take part and indeed play leading roles. This we learned at the 2018 Synod on Young People.

The environmental crisis is getting worse every day; it is certainly even more serious now than it was five years ago, when Laudato si’ was published. What commitment should a Christian make this week?

First, everyone, Christians and others, can try to improve our relationship with nature via the path of contemplation. We cannot love what we don’t even see; contemplative seeing can launch the journey of ecological conversion.

During the coronavirus pandemic, many are discovering that we can live on less. So we can continue consuming less, or choosing less-polluting products, or avoiding unnecessary, non-recyclable packaging. Instead of shopping without thinking about the moral and environmental consequences, our Catholic parishes, schools and centres can accept that ‘purchasing is always a moral – and not simply economic – act’ (Laudato si’ §206, quoting Caritas in Veritate). They can use glass bottles and washable dishes, as many social centres and popular movements habitually do.

Finally, in our liturgy, let us commit to celebrate God’s gift of creation in a more inspiring way. Our traditional liturgies include elements of nature: water and oil in baptism, bread and wine in the Eucharist, fire at the Easter Vigil. We need to experience nature in us spiritually, and ourselves in creation, in an integral manner. Otherwise we just continue exploiting, consuming and abusing nature, rather than accepting our responsibility as co-creators with God of our common home. The frugal, liturgical and contemplative dimensions of Christian spirituality will help motivate the necessary personal, social and systemic changes – all radical ones!

Can you mention some initiatives particularly inspired by Laudato si’?

The Global Catholic Climate Movement (GCCM), also celebrating its fifth anniversary, has more than 900 Catholic member organisations from large international networks and religious congregations to local parishes, grassroots leaders, and thousands of Catholic men, women and young people. GCCM helped to organise the wonderful Laudato si’ week we are celebrating right now.[ii]

Other examples include local organic farming in Latin America, buildings refitted ecologically in Europe, and solar energy installed in Africa. A number of Catholic schools have taken Laudato si’ as their primary interdisciplinary teaching theme to promote ecological responsibility and to mobilise students and their families in caring for our common home.

Cardinal Michael Czerny SJ is Under-Secretary of the Migrants and Refugees Section of the Dicastery for Promoting Integral Human Development.

This is a translation of an interview conducted by Lucia Capuzzi and Stefania Falasca for Avvenire.

-------------

[ii] Pope Francis’s Invitation to Laudato si’ week, in English: https://www.instagram.com/p/CAQBz7HIGzj/?hl=en; in Italian: https://youtu.be/uFQAB2vuaQw

Wednesday, May 20, 2020

Bantuan Sembako Untuk Mahasiswa Perantau

Laporan Jeny Laamo dari Kupang 

Semua ini berawal dari kisah singkat yang terjadi di Asrama Biara Susteran PI Nasipanaf. Sore hari saat kami sedang sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing, anak-anak yang tinggal di Asrama Susteran sedang belajar bersama teman kuliah mereka. Tak lama kemudian muncullah keributan. Salah seorang teman kuliah jatuh pingsan dari atas kursi. Setelah siuman, dia bercerita bahwa ia belum makan dari pagi. Kiriman belum diterima karena orang tua di kampung pun kesulitan mencari rupiah. Keluarga memang diperhatikan oleh pemerintah, namun mahasiswa/i yang tidak bisa pulang ke kampung mereka masing-masing dan memilih bertahan di kos tidak menerima bantuan sama sekali. Hal inilah yang membuat para Suster tergerak untuk memberikan bantuan bahan makanan, yang diprioritaskan kepada mahasiswa/i yang berasal dari luar pulau.

Dampak yang dirasakan oleh masyarakat dari wabah Corona ini membuat kami mengerti bahwa banyak yang membutuhkan pertolongan. Semakin banyaknya penderita positif Covid-19 dan yang meninggal karena virus ini membuat pemerintah membatasi aktivitas warga agar penularan dapat ditekan. Hal ini membuat kemampuan masyrakat semakin berkurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Orang tua sulit mencari nafkah di tengah pandemic dan anak-anak yang jauh dari keluarga yang harus bertahan sendiri. Mahasiswa/i rantauan yang menanti kiriman orangtua yang tidak seberapa itu membuat mereka berada dalam kondisi krisis. Pemenuhan kebutuhan tidak terpenuhi seperti dulu lagi. 

Pada hari Sabtu tanggal 9 Mei 2020 jam empat sore, kami dijemput Om Bala dengan pick up, menuju Toko Beras di Oesapa  dan membeli 8 karung beras yang beratnya 40 kilogram, beras, minyak goreng, mie instan, juga telur.  Bahan-bahan makanan ini masih harus dibungkus rapi per paket sebelum diserahkan kepada mahasiswa. Data anak-anak kos penerima sembako sendiri sudah ada pada Suster Laurentina. Ada anak-anak kos yang tinggal di daerah Nasipanaf, Penfui, Matani, juga KMK Universitas Nusa Cendana. Namun untuk KMK, masih harus disortir lagi, lebih diprioritaskan pada mahasiswa yang tinggal di daerah Penfui dan Matani.


Hari menjelang malam saat kami tiba di biara, aku meminta bantuan teman-teman untuk memindahkan karung beras dan dus-dus ke kantor Unit Anti Human Trafficking. Hari ini aku banyak mengeluarkan keringat, karena memindahkan beras seberat 40 kilogram nyatanya membutuhkan tenaga meskipun diangkut berdua. Barang-barang diatur rapi agar keesokan harinya siap untuk dibungkus dalam kresek. Tiap paket terdiri dari tiga kilo beras, empat bungkus mie instan, tiga butir telur, dan satu botol minyak goreng ukuran sedang.  

Keesokan harinya, rencananya kami akan membungkus paket sembako yang akan dibagikan. Pekerjaan ini baru akan dilakukan sore hari karena menunggu Suster Laurentina yang harus pergi terlebih dahulu ke Buraen bersama Romo Ende dari Paroki Penfui dalam rangka pembagian sembako di paroki di sana. Syukurnya, Suster sudah meminta bantuan pada OMK yang ada di Kampung Bajawa, Nasipanaf. 



Menjelang sore, aku bangun dari istirahat siang dan segera menyirami bunga di taman depan sampai anak-anak OMK sampai ke biara. Suster belum juga pulang, namun anak-anak dengan sabar menunggu. Setelah Suster datang, dengan rajinnya mereka segera membungkus paket demi paket. Mereka ramai di luar, bukan hanya satu atau dua orang yang datang tapi ada 11 anak OMK yang membantu. Ruangan kantor dipenuhi berbagai suara, ada yang bekerja sambil berfoto, membuat video untuk instastory bahkan ada yang sampai membuat video Tik Tok. Wah, luar biasa sekali ini. Rasanya aku sudah lama tidak bergabung dengan anak-anak muda seumuranku sehingga menjadi terkesima dengan sikap mereka. Aku merindukan kebersamaan berkumpul bersama teman-temanku. Dalam hatiku, aku berharap Covid segera berlalu karena pandemi ini berdampak pada kita semua. Mahasiswa/i kesulitan mengikuti mata kuliah, anak-anak sekolah tidak merasakan proses belajar mengajar dengan baik, masyarakat kelas bawah yang semakin sulit mencari sesuap nasi, kepanikan dan ketakutan yang menyebar di seluruh lapisan masyarakat.

Hari Senin tanggal 11 Mei malam hari akhirnya paket-paket ini mulai dibagikan. Aku bersama Suster Laurentina, PI dan juga dua anak OMK Wilayah 5 Paroki Penfui berkunjung ke Asrama Pemda Maumere dalam rangka penyerahan 20 paket bahan makanan. Kami disambut dengan hangat oleh anak-anak asrama Maumere. Ada sekitar belasan pemuda dan pemudi yang tinggal di asrama itu. Paket bahan makanan itu dipindahkan secara bersama-sama dari bagasi mobil ke ruang tamu asrama. Kepada mereka semua yang ada di asrama, suster memperkenalkan diri, misi dan tanggungjawab suster dalam menangani masalah buruh migran, juga tak luput meminta bantuan kehadiran mereka kala ada jenazah PMI asal Maumere yang dipulangkan dari Malaysia.



Mereka mengungkapkan ucapan terima kasih atas kepedulian dari para suster Penyelenggara Ilahi yang mau hadir bersama mereka dan memberikan bantuan, dengan jujur mereka juga mengungkapkan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi dalam masa-masa pandemic ini, dengan tangan terbuka mereka pun siap menolong jika ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Rasa haru dan terimakasih benar-benar terpancar dari wajah mereka. Ada harapan agar pertemuan ini tidak hanya terjadi sekali, seperti harapan kami semua bahwa suatu saat akan kembali bertemu dan melalui pertemuan itu akan memberikan hal positif. Mungkin hanya sedikit yang bisa dibantu, namun inilah bentuk kasih dan kepedulian kami terhadap sesama. Kasih yang diperoleh dari Kristus lalu disebarkan kepada saudara dan saudari kami. Kami kembali dengan senyuman bahagia yang terukir jelas, kalimat yang mengungkapkan bahwa berbagi itu indah memang benar adanya. Semoga semakin banyak yang mau mengulurkan tangan untuk berbagi dan menolong sesama, hanya dengan satu langkah kecil menuju perubahan yang lebih baik.

Kembali ke biara, kami lalu ke Kos Imelda yang ada di Kampung Bajawa untuk menyerahkan sepuluh paket bahan makanan kepada mahasiswa/i asal Timor Leste, Sumba, Rote dan Ende yang tidak bisa pulang ke kampung halaman karena terdampak Covid-19. Ditemani oleh OMK, penyerahan berlangsung meriah dan mereka yang mendapatkan bantuan tak henti-hentinya mengucap syukur juga meluapkan rasa terimakasih mereka. Inilah kebahagiaan sederhana yang didapat dari menolong sesama.



Selasa tanggal 12 Mei, aku bersama Kakak Rita berbelanja beberapa bahan yang kurang untuk paket bahan makanan yang akan dibagikan kepada mahasiswa/i yang tergabung dalam KMK St. Thomas Aquinas Undana. Kami terlebih dahulu membeli telur, lalu membeli mie instan. Saat kembali ke biara, kami menemukan Maxi bersama teman-teman kos-nya yang mengambil paket. Mereka sedang mengambil gambar di bawah pohon. Melihat kami yang kesusahan menurunkan gardus, mereka dengan sigap membantu. Telur dan dus-dus mie instan diletakkan di dalam kantor Unit Anti Perdagangan Manusia. Pengerjaan paket akan dilanjutkan oleh OMK yang akan datang pukul sebelas siang. Saat membungkus beras, telur, mie instan dan minyak ke dalam plastik, ternyata minyak goreng dan mie sintan habis. Kali ini kami ditemani OMK dengan menggunakan dua kendaraan beroda dua agar mempermudah membawa gardus minyak dan mie.

Saat tiba lagi di biara, sudah ada anak-anak KMK yang datang untuk mengambil paket. Mereka mendapatkan jatah 30 paket. Sayangnya yang datang hanya perwakilan dan menggunakan tiga motor sehingga agak sulit untuk membawanya. Akhirnya kami memutuskan untuk menyusun beberapa plastic berisi bahan makanan itu di dalam kardus, dengan mengeluarkan telurnya untuk diletakkan di dalam tas lain. Hal ini dilakukan agar mempermudah mereka membawanya, meskipun harus bolak-balik.

Akhirnya, pembagian paket bantuan sembako berhasil diselesaikan. 
Kantor dibersihkan, paket-paket disusun rapi. Bahan makanan yang tersisa pun disimpan dengan baik di sudut kantor. Tinggal menunggu mahasiswa/i yang datang mengambilnya dari biara. Semua ini tidak bisa kami lakukan seorang diri tanpa bantuan OMK, kehadiran mereka sungguh sangat membantu juga membawa ceria dibiara ini. Meskipun hanya sesaat. Bekerja bersama memudahkan pekerjaan tersulit sekalipun. Saat mereka berpamitan usai snack bersama, suster mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya dan mengalungkan Rosario kepada setiap orang. Mereka gembira dengan pemberian itu, meskipun hanya bercandaan tapi tidak dipungkiri bahwa suster mengharapkan salah satu dari mereka ada yang berniat menjadi seorang suster PI. Well, semua itu perlu didoakan.

Jika mengingat kembali dari proses awal sampai pada tahap akhir ini, sebagai manusia biasa tentu kami tidak mampu. Mengandalkan kemampuan diri adalah celaka, oleh karena itu tak putus-putusnya kami memohon rahmat dari Allah Bapa Surgawi melalui perantaraan Bunda Maria Maria yang terkandung tanpa noda melalui doa Rosario yg setiap malam.

Talitha Kum Indonesia

Dalam rangka memerangi maraknya perdagangan manusia, terutama para perempuan yang menjadi korbannya, Suster-suster di seluruh Indonesia yang berjejaring dalam wadah Ikatan Biarawati Seluruh Indonesia (IBSI) membentuk Counter, Woman, Trafficking Commission (CWTC). Pada bulan Desember 2019 lalu, bertempat di Gedung Griya Anselma, Pringsewu, IBSI-CWTC memperkenalkan nama baru mereka, yaitu Talitha Kum Indonesia.  Badan ini merupakan bagian dari jaringan Talitha Kum Internasional yang berpusat di Roma. Talitha Kum merupakan bagian dari IBSI yang fokus untuk menangani masalah perdagangan manusia. 

Selama masa pandemi ini, selain tetap memperhatikan masalah perdagangan manusia, Talitha Kum Indonesia juga berperan aktif dalam membantu para korban terdampak covid-19. Sejak pandemi ini merebak di Indonesia pada bulan Maret 2020, banyak kegiatan yang telah dilakukan. Berikut beberapa kegiatan yang sempat disampaikan pada pertemuan rutin secara online pada Rabu, 13 Mei 2020.

Suster Katerina memulai dengan menceritakan kegiatan yang dilakukan beberapa saat terakhir ini, yaitu pendampingan terhadap seorang pekerja migran yang sudah 12 tahun hidup di Malaysia. Kisah dari pekerja migran yang dieksploitasi ini dimulai dari ia yang dibawa oleh suaminya ke Malaysia, lalu dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga dan tidak pernah mendapatkan gajinya. PMI itu lalu kabur dan memulai hidupnya dengan seorang pria. Tidak dipungkiri bahwa PMI itu sangat menderita dalam menjalani hidupnya dan dalam sehari belum tentu ia bisa makan. Oleh karena itu, Suster Katerina sudah berkoordinasi dengan Migrant Care untuk pendampingan lebih lanjut, namun memiliki kendala karena PMI itu tidak mau terbuka dengan persoalannya dan hanya mengeluh kepada keluarganya. Suster Katerina juga sudah mendesak Pemerintah Daerah untuk membuat surat agar bisa mengambil PMI itu. Sayangnya, beberapa saat kemudian PMI tersebut ditangkap dan saat ini berada di kantor polisi dalam keadaan hamil karena diperkosa. Dalam keadaan seperti ini, semakin sulit bagi PMI itu untuk pulang ke Indonesia. Suster berharap bahwa ada seseorang di sana yang bisa mendampinginya, dan akan lebih baik lagi jika wanita tersebut bisa dibawa ke shelter.  

Laporan kemudian dilanjutkan oleh Suster Cecilia dari Atambua. Sehubungan dengan adanya pandemi covid-19, kegiatan yang saat ini sedang dilakukan adalah memadukan program Go To School, pemberdayaan untuk perempuan, juga membuat brosur tentang anti Human Trafficking dan protocol kesehatan covid-19. Selain itu juga ada pembagian masker gratis kepada masyarakat bersama Komsos, Infokom dan Pol pp. Dalam langkah pemutusan penyebaran covid-19, saat ini Suster bergabung dengan RRI dalam dialog interaktif bersama Disnakertrans dan LSM.

Selanjutnya Suster Mawar SSPS juga menyampaikan kegiatan yang dilakukan, yaitu bersama Thalitha Kum Malang memberikan seminar kepada para frater yang belajar di Sekolah Tinggi Malang dengan materi arah pastoral untuk human trafficking. Selain pemberian seminar, juga dilaksanakan siaran langsung di Radio Raturosari, dan juga dalam waktu dekat akan melaksanakan siaran di televisi yang pembahasannya tentang human trafficking. Selain itu juga dilakukan advokasi kebijakan publik desa seta pembagian masker gratis dan sembako bagi keluarga yang terdampak covid-19. Untuk kegiatan pemberdayaan saat ini belum dapat dilaksanakan karena masih perlu untuk menganalisa lebih dalam, 

Dari Wonosobo, Jawa Tengah, Suster Fransiska PMY menceritakan kegiatan di bidang pencegahan, yaitu adanya pemberdayaan masyarakat dengan mendirikan PT Protekda yang merupakan pusat produktivitas dan pusat pelatihan untuk mewadahi anak-anak Tuna Rungu dalam mengembangkan keterampilannya. Hal ini dilakukan selain karena mereka sangat rawan menjadi target dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, juga karena sangat penting untuk membina mereka secara moral, spiritual dan produktivitas. Pelatihan yang dilakukan itu meliputi pelatihan mekanik, kuliner, salon. Dan sejauh ini sudah ada 38 Tuna Rungu yang diberikan pelatihan dan sudah mandiri. Pelaksanaan pelatihan tidak dilakukan menggunakan sistem perusahaan-perusahaan pada umumnya namun berfokus kepada konsep pemberdayaan dan kemandirian tunarungu. Selain itu, hal yang dilakukan adalah memberikan pendampingan terhadap Single Mother yang ada di wilayah Klaten, yaitu  dibentuknya suatu badan organisasi dengan pelatihan menjahit dan kuliner. Untuk kaum petani, dilaksanakan demonstrasi plot keluarga, pembagian masker gratis dan sembako, dan melakukan kampanye dalam bentuk video untuk pencegahan penyebaran Covid-19.  

Selanjutnya Suster Reynelda membagikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan, antara lain ada beberapa korban human trafficking yang diberdayakan untuk menjadi pegawai rumah tangga terampil, ada juga Aksi Doa bersama anak-anak asrama untuk korban human trafficking, mengadakan seminar di asrama, bimbingan konseling intensif untuk anak-anak asrama serta aksi sosial  bekerjasama dengan donator yaitu pembagian sembako dan masker kepada masyarakat yang terdampak Covid-19.

Dari Kupang, Suster Laurentina PI membagikan pengalamannya, yaitu adanya penolakan pelayaran ke kampung halaman jenazah PMI dari Maumere dan Rote. Dan untuk itu, dari Tim Jaringan Anti Perdagangan Orang di Kupang melakukan pendekatan sehingga akhirnya jenazah bisa dipulangkan. Menyambung dari yang disampaikan Suster Laurentina PI, Jeny menambahkan tentang kasus KMB Lewalemba yang terjadi pada April lalu.

Dari Malaysia, Denis Raj membagikan pengalamannya dalam menangani permasalahan PMI di sana. Ia mengungkapkan bahwa masalah yang terjadi di Malaysia tidak berbeda jauh dengan yang terjadi di Indonesia. Imigrasi Malaysia masih melakukan operasi besar-besaran  dan berhasil menangkap 3800 pekerja migran (2700 PMI dan 98 balita). Ada aturan yang berlaku di Malaysia yaitu jika ada pekerja migran yang positif Covid-19, maka majikannya yang harus bertanggung jawab. Namun ini juga hanya berlaku kepada pekerja migran berdokumen, sedangkan untuk pekerja migran yang tidak berdokumen, sulit meminta pertanggungjawaban dari majikannya. Di camp tahanan sendiri sudah ada dua kali lipat tahanan dari yang seharusnya diperbolehkan. Hal ini tentu saja membahayakan pegawai-pegawainya. Ada kasus yang terjadi dimana, pekerja migran diminta untuk membayar sendiri biaya pengecekan Covid-19, dan sekarang ini sedang mencari solusi terhadap kasus tersebut. Beruntungnya ada satu organisasi di Malaysia yang sanggup membantu namun harus memenuhi  persyaratan yang ditentukan. Denis Raj lalu menambahkan bahwa PMI yang ditangkap adalah yang tidak resmi dan KBRI Kuala Lumpur sangat membantu untuk PMI yang tidak resmi.  

Selanjutnya Romo Abi dari Paroki Buah Batu Bandung menyampaikan hal-hal yang dilakukan di parokinya. Pendampingan terhadap migran belum dilakukan secara khusus, namun di sana ada satu lembaga, yaitu LBMK (Lembaga Bantuan Mencari Kerja) yang merupakan tempat pertemuan antara pencari kerja dan pencari tenaga kerja. Penanganan terkait pandemik di Keuskupan Bandung dilakukan secara khusus oleh kelompok tugas dalam bentuk Caritas dan paroki-paroki diberi keleluasan melakukan solidaritas tersendiri. Di Paroki Buah Batu, salah satu program yang dilakukan adalah memberikan BLT kepada keluarga terdampak dan membuka solidaritas bertetangga yang meminta seluruh umat untuk memperhatikan tetangganya dan merekomendasikannya kepada Keuskupan Bandung. Sejauh ini sudah ada 60 keluarga yang direkomendasikan untuk mendapatkan bantuan dan selama 3 bulan akan diberikan paket sembako.

VIVAT yang diwakili oleh Frater Ono, SVD menjabarkan program Go To School yang rencananya akan dilaksanakan pada Maret 2020 bersama dengan Thalitha Kum Jakarta, namun karena adanya pandemik ini, maka ditunda sampai situasi memungkinkan. VIVAT bersama dengan Paroki Matraman juga membantu keluarga terdampak Covid-19 dengan memberikan paket sembako.  

Sedangkan JPIC OFM saat ini sedang berfokus pada pendampingan masyarakat yang menolak keberadaan tambang, menyalurkan APD ke beberapa rumah sakit, mendistribusikan masker, mengupayakan bantuan untuk rumah sakit yang kebakaran dan dibagikan sembako untuk masyarakat sekitar. 

Selanjutnya Pater Paulus Rahmat membagikan program terkait Anti Human Trafficking dari VIVAT dari sisi pencegahannya dengan cara membuat kelompok penenun dan petani holtikultura. Program ini sudah berjalan dua tahun dan sudah selesai dengan pendekatan berbasis paroki. Namun ada juga program-program yang tertunda antara lain program Go To School dan program pelatihan untuk jurnalis di Kupang terkait sensitifisme dan investigasi Human Trafficking. Bantuan sosial juga diberikan kepada masyarakat terdampak Covid-19 terkait keakuratan data penerima bantuan. Saat ini, VIVAT berkoalisi dengan suatu LSM menjalankan program Zero Human Trafficking Network yang dalam waktu dekat ini akan menerbitkan buletin dengan judul Memoria Passionis dengan tujuan untuk mengenang korban-korban Human Trafficking. Program selanjutnya adalah survey terhadap pekerja buruh sawit di Kalimantan dan hasil tersebut akan dikirim ke Italia. Pater Paul juga menginformasikan tentang doa lintas agama yang akan dilaksanakan tanggal 17 Mei 2020 dengan berbagai itensi doa termasuk doa bagi para korban Human Trafficking.

Romo Is tertarik dengan yang disampaikan oleh Romo Abi terkait dengan data, Romo Is juga melakukan pembicaraan dengan Desbumi dan menemukan masalah yang sama terkait keakuratan data. Romo terpikir untuk mengembangkan fungsi mengawasi karena uang yang disisihkan pemerintah besar tetapi administrasinya terlalu rumit.

Mba Ima membagikan tentang pengungsi yang ada di Indonesia. Seperti halnya PMI yang kesulitan di luar negeri dan tidak mendapatkan bantuan, begitu juga dengan pengungsi yang ada di Indonesia. Mba Ima memohon bantuan berupa kebutuhan untuk balita kepada kami yang bisa membagikan. Untuk pengungsi yang tinggal di Kali Deres terkait dengan biaya listrik dan air sudah ada yang membayarkannya, meskipun pengungsi masih kesulitan dalam mengakses fasilitas kesehatan. Suster Irene melanjutkan terkait pengungsi di Serpong yang didampingi oleh IOM. Beberapa kegiatan yang dilakukan adalah membagikan masker kepada pengungsi di Serpong yang didapat dari Romo Yadi dan berupaya memberikan bantuan kepada pekerja nonformal (pemulung, pedagang kaki lima) yang ada di Tangsel terhadap bersama PSE, KKP, HAK, dan Tanggap Darurat Paroki Santa Monika karena mereka tidak mendapat bantuan dari pemerintah.

Dari setiap pembicaraan yang dilakukan oleh masing-masing peserta, Romo Yadi mengambil beberapa kesimpulan. Pertama adalah dalam mengadvokasi kasus dilakukan secara preventif dan kuratif, dan ini merupakan hal yang sangat baik. Kedua, dalam mengantisipasi pemulangan PMI perlu ada pemantauan pergerakan mereka karena mereka bisa saja di tolak oleh warga dan perlu adanya pemberdayaan kepada PMI yang dipulangkan, untuk situasi sekarang ini pemberdayaan dalam bidang pertanian adalah yang bisa dikembangkan. Ketiga, pemilahan terkait informasi masalah-masalah yang dihadapi.

Tambahan dari Dennis Raj sebelum penutupan pertemuan online, Dennis menyarankan perlu ada pengawasan kepada PMI yang dipulangkan karena mereka yang sudah dipulangkan kembali lagi untuk bekerja di Malaysia. Untuk itu perlu untuk membangun kerjasama yang baik, dan Dennis Raj akan membagikan data PMI yang dipulangkan sehingga jaringan di Indonesia bisa mengawasi. Terkait pemulangan jenazah tidak ada masalah di NTT, namun untuk pemulangan jenazah yang berasal dari Medan sangat sulit bagi Dennis Raj, oleh karena itu suster Reynelda yang berada di Medan bersedia untuk membantu dalam pemulangan jenazah.

Pukul satu siang, kami menyelesaikan pertemuan online dan menutupnya dengan Doa Ratu Surga. Pertemuan selanjutnya akan dilaksanakan pada Rabu (20/05/2020).

Rencana tindak lanjut disarankan oleh Pater Paul yaitu pengalaman yang dijumpai tentang persoalan migran yang ditemukan di lapangan dikumpulkan dan dilaporkan kepada Kemenlu.