Friday, January 30, 2015

Darurat Perdagangan Manusia

Telah kita ketahui bahwa masalah human trafficking tidaklah mudah untuk diusut dan dibongkar. Jika kita tidak dapat bekerja sama dengan berbagai pihak, maka sangatlah mustahil bahwa kasus ini dapat selesai. Di Indonesia, perdagangan manusia merupakan kejahatan nomor dua setelah narkoba, terutama di Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurut data dari Komnas Perempuan, pada tahun 2013 di NTT ada 614 kasus yang mereka tangani. Jumlah ini belum belum termasuk yang ditangani oleh lembaga lain sebanyak 1.559 kasus. Sampai saat ini NTT menempati urutan kedua pengirim pekerja migran terbanyak setelah Jawa Barat. 

Pada tanggal 19 Desember 2014, Brigpol Rudi Soik, penyidik kasus perdagangan manusia Polda NTT menjadi salah satu narasumber di acara Mata Najwa yang ditayangkan Metro TV. Dalam acara tersebut, dia menyatakan komitmennya untuk membongkar mafia perdagangan manusia ini. Namun malang, saat acara tersebut sedang ditayangkan, dia ditahan dengan tuduhan melakukan penganiayaan terhadap Ismail Paty, ketika memburu anggota jaringan perdagangan manusia. Jaringan tersebut sangatlah luas dan banyak beroperasi terutama di pulau-pulau yang berbatasan dengan negara tetangga terutama Sumatra Utara, Kalimantan, dan Batam yang menjadi pintu keluar masuknya TKI-TKW. Rudi Soik kemudian mendekam di sel Polda NTT. 

Banyaknya kasus perdagangan manusia yang terhenti di Kepolisian Polda NTT menjadi suatu masalah yang besar dan harus segera ditangani. Kasus tersebut antara lain adalah kasus penyekapan 17 anak di perusahaan sarang burung walet di Medan, yang telah menelan 2 korban anak-anak, namun sampai hari ini pemiliknya masih dapat menghirup udara bebas. Berangkat dari keprihatinan yang demikian maka aliansi masyarakat sipil  berusaha untuk mendukung dan bekerja sama untuk menyuarakan masalah ini. Pada hari Kamis 18 Desember 2014 di kantor Komnas Perempuan diadakan pertemuan Tim Amasiaga (Aliansi Masyarakat Sipil Anti Perdagangan Manusia) yang dihadiri oleh 15 orang dari 9 lembaga/organisasi. Agenda yang dibahas ialah update informasi kasus hukum Rudy Soik pasca persidangan perdana di Kupang pada 11 Desember 2014 dan tindak lanjut kegiatan advokasi human trafficking di NTT. Berikut ini adalah beberapa point hasil pertemuan tersebut :

1.     Pembelaan hukum Rudy Soik ( litigasi )
  • Mencermati situasi di pengadilan Negeri Kupang, maka diputuskan agar para penasehat hukum Rudy Soik yang dari Jakarta sedapat mungkin turun ke Kupang pada setiap persidangan.
  • Para lawyer dari Jakarta yang mendampingi Rudy Soik adalah Muji Kartika S.H dan Asfinawati S.H.
  • Setiap kali acara persidangan perlu direkam dan didokumentasikan dalam video.
  • Perlu diperjelas skema pembiayaan (tiket, akomodasi, fotocopy, transport lokal dll.)
2.     Media Campaign
  • Kasus Rudy Soik mendapat perhatian luas dari berbagai media nasional. Karena itu Amasiaga secepatnya mengadakan sounding ke pemimpin redaksi media nasional, utamanya Kompas, Tempo dan Suara Pembaharuan .
  • Melakukan campaign lewat media sosial, khususnya facebook.
3.      Saresehan multi – stakeholders
  • Perlu diadakan saresehan atau seminar dengan menghadirkan berbagai pihak terkait untuk berembug tentang upaya-upaya efektif memberantas trafficking di NTT. Saresehan tersebut dapat dilaksanakan tahun depan entah di Kupang atau di Jakarta.
4.        Aksi
  • Mengadakan aksi di Mabes Polri dan Istana Negara untuk meningkatkan tekanan agar memberi perhatian serius terhadap kasus Rudy Soik .
  • Di Kupang mengadakan aksi dalam rangka kunjungan Presiden Jokowi pada HUT Provinsi NTT dengan mengangkat isu trafficking di NTT.
5.       Kunjungan Lembaga-lembaga Negara
  • Kapolda NTT mempunyai komitment untuk memberantas trafficking di NTT. Maka perlu diback up dan ditindak lanjuti pertemuan silaturahim dengan Kapolda untuk mengingatkan dan memperkuat komitment.
  •  Pertemuan dengan Kapolri untuk mendesak agar mendukung positioning Kapolda NTT.
  •  Melakukan audensi dan dialog dengan Menteri Tenaga Kerja dan Kepala BNP2TKI tentang PJTKI-PJTKI yang bermasalah di NTT.

6.       Kunjungan Presiden Jokowi ke NTT
  • Sudah terlaksana pada HUT Provinsi NTT pada tanggal 20 Desember 2014. Pada waktu itu para mahasiswa, LSM dan kelompok masyarakat melakukan aksi di Bandara El-Tari Kupang .
  • Teman-teman yang ada di Jakarta melakukan kontak dan pendekatan dengan orang-orang dari lingkaran terdekat Jokowi, dengan tujuan membisikkan ke pak Jokowi terkait persoalan trafficking.
Pada tanggal 13 Januari 2014 yang lalu Amasiaga diberi kesempatan untuk bertemu dengan Wakapolri Bapak Badrodin Haiti bertempat di Ruang Rapat lantai 2 Mabes Polri. Ada beberapa teman dari Kupang yang juga ikut datang dalam pertemuan tersebut, salah satunya adalah Lery Mboik. Ia mengungkapkan harapannya agar Polri dapat menindaklanjuti trafficking secara serius, karena sebanyak 26 kasus selalu berhenti di Mabes.       Harapan Lery Mboik dan teman-teman aliansi adalah Polri mendesak Polda NTT untuk lebih serius membongkar dan menyelesaikan kasus trafficking di NTT. Sedangkan Bapak Kairul Imam mengatakan bahwa mafia trafficking ini telah terorganisir dengan baik, sehingga kasus trafficking ini akan sulit dibongkar jika organisasi tersebut tidak diberantas terlebih dahulu. Bapak Geby menambahkan bahwa PT Malindo Putra Perkasa merupakan salah satu PT yang telah dicabut ijinnya oleh Kemenakertrans. Banyak ketimpangan yang terjadi bahwa di Jakarta Divisi Propam berjalan dengan baik namun di NTT tidak jalan.

Beberapa hasil pembicaraan dengan Wakapolri beberapa hari yang lalu:
  • Yang paling utama ditangani adalah perekrut utama. Selama ini polisi hanya dapat membuktikan perekrut awal.
  •  Jika di NTT tidak dapat menangani dengan tuntas masalah trafficking tersebut maka akan diadakan operasi khusus namun harus didahului dengan penyidikan (ini akan diterapkan di beberapa daerah tertentu tidak di semua polda)
  • Yang lebih penting dalam masalah trafficking ini adalah tindakan preventif / pencegahan, karena sering kali sudah ada kejadian baru dilaporkan.
  • Polisi mengakui adanya keterlibatan dari 10 orang oknum yang berpangkat AKBP di Polda NTT. Ini akan ditarik di Mabes Polri. Dalam kasus yang menyangkut kode etik kepolisian akan dipimpin sendiri di Propam Polri.
  • Wakapolri dan jajarannya akan berkomitmen untuk membongkar human trafficking, namun untuk mengajukan ke pengadilan harus bekerjasama dengan masyarakat, dan Aliansi masyarakat Sipil siap membantu apa pun yang dibutuhkan untuk proses tersebut.
  • Mendesak Gubernur NTT dan Kapolda NTT untuk menegaskan bahwa NTT Darurat Human Trafficking.
Setelah pertemuan tersebut, tim yang terdiri atas Romo Paul Rahmat SVD dari FIFAT Indonesia, Romo Ismartono SJ, Sr.Laurentina PI dan beberapa teman dari LSM-LSM sempat berfoto bersama Wakapolri Bapak Badrodin Haiti. Semoga perjuangan ini dapat mengurangi jumlah saudara-saudara kita yang menjadi korban perdagangan manusia.






Thursday, January 29, 2015

Damai Di Hati Damai Di Bumi


Tanggal 25 Desember 2014, di RPTC Bambu Apus diselenggarakan Misa Kudus untuk merayakan Natal bersama 50 orang TKI yang baru dipulangkan dari Malaysia beberapa hari sebelumnya. Misa dipimpin oleh Romo Hardi Jantan, Pr. Ikut dalam kegiatan tersebut beberapa suster dari JPM KAJ antara lain Sr. Lia, RGS, Sr. Laurentina, PI, Sr. Sensi dan Sr. Agus BKK.

Rasa haru dan syukur menyelimuti hati para pekerja migran ini sepanjang misa berlangsung. Bagaimana tidak, selama bertahun-tahun bekerja di negeri orang, tidak sekalipun mereka dapat merayakan Ekaristi, karena majikan melarang mereka pergi ke gereja. Perayaan Natal yang identik dengan perayaan keluarga juga membuat mereka mencucurkan air mata karena teringat akan handai taulan di kampung halaman yang sudah lama tidak berjumpa. Beberapa dari mereka bahkan membawa pulang anak mereka yang masih bayi yang dilahirkan di negeri jiran saat mereka masih bekerja di sana. Saat lagu Malam Kudus mengalun, mereka menumpahkan kerinduan mereka akan Sakramen Ekaristi dengan bersenandung dan mengucap syukur. Sebelum misa, mereka juga diberi kesempatan untuk menerima Sakramen Tobat.  


Setelah misa selesai, perayaan Natal ini dilanjutkan dengan makan bersama, sharing, dan atraksi spontan dari beberapa TKI. Perayaan ini memang berlangsung sangat sederhana, tetapi semoga kehadiran kita ditengah kesepian hati mereka di hari kelahiran Sang Juru Selamat ini mampu memberikan sedikit kebahagiaan dan melahirkan harapan baru akan masa depan yang lebih baik.  


Tuesday, January 13, 2015

PESAN PAUS FRANSISKUS UNTUK HARI KAUM MIGRAN DAN PENGUNGSI SEDUNIA KE-101 (2015)



Gereja tanpa batas, Ibu bagi semua orang

Saudara-Saudari yang baik,
Yesus adalah “pewarta kabar gembira yang paling agung dan Injil yang hidup” (Evangelii Gaudium, 209). Perhatian-Nya, khususnya bagi yang paling rentan dan dipinggirkan, mengundang kita semua untuk merawat mereka yang paling lemah dan mengenali wajah derita-Nya, teristimewa dalam diri para korban dari bentuk-bentuk baru kemiskinan dan perbudakan.Tuhan bersabda, “Ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku” (Mat 25:35-36). Tugas perutusan Gereja sebagai peziarah di dunia dan Ibu bagi semua orang adalah mencintai Yesus Kristus, menyembah dan mengasihi-Nya, khususnya dalam diri mereka yang paling miskin dan terbuang; tentu saja, di antara mereka adalah kaum migran dan pengungsi, yang berjuang untuk menyelamatkan diri dari keadaan hidup yang sulit dan segala bentuk marabahaya. Karena itu, tema Hari Kaum Migran dan Pengungsi Sedunia tahun ini adalah: Gereja tanpa batas, Ibu bagi semua orang.

Gereja membuka tangannya untuk menyambut semua orang, tanpa pembedaan atau pembatasan, untuk mewartakan bahwa “Allah adalah kasih” (1 Yoh 4:8,16). Setelah kematian dan kebangkitan-Nya, Yesus memercayakan tugas perutusan kepada para murid untuk menjadi saksi-Nya dan mewartakan Kabar Gembira tentang sukacita dan belas kasih. Pada hari Pentakosta, para murid dengan keberanian dan gelora semangat meninggalkan ruang atas tempat mereka berkumpul. Daya kekuatan Roh Kudus mengatasi keragu-raguan dan ketidakpastian mereka, serta membuat semua orang mampu memahami khotbah para murid dalam bahasa mereka sendiri. Semenjak awal, Gereja telah menjadi ibu dengan hati yang terbuka bagi seluruh dunia, tanpa batas. Tugas perutusan ini telah berlanjut selama dua ribu tahun. Namun, bahkan pada abad-abad pertama, para pewarta Injil berbicara tentang ibu Gereja yang universal, yang kemudian dikembangkan dalam tulisan-tulisan para Bapa Gereja dan diangkat oleh Konsili Vatikan II. Para Bapa Konsili berbicara tentang Ibu Gereja (Ecclesia Mater) untuk menjelaskan kodrat Gereja. Ia melahirkan putra-putri dan “memeluk mereka dengan cinta kasih dan perhatiannya” (Lumen Gentium, 14).

Gereja tanpa batas, Ibu bagi semua orang, menyebarluaskan suatu budaya penerimaan dan solidaritas ke seluruh dunia, agar tak seorang pun dipandang tak berguna, aneh, atau hanya seperti barang yang dapat dibuang. Bila menghayati jiwa keibuan ini secara efektif, komunitas Kristiani memelihara, membimbing, menunjukkan jalan, menemani semua orang dengan kesabaran, dan mendekatkan diri dengan mereka melalui doa dan karya belas kasih.

Kini, gerak ini memiliki arti khusus. Dalam kenyataan pada zaman ini, ketika arus perpindahan orang terjadi begitu luas, sejumlah besar orang meninggalkan tanah air mereka, dengan membawa sekoper penuh ketakutan dan hasrat, untuk menempuh perjalanan yang penuh harapan sekaligus bahaya, untuk mencari keadaan hidup yang lebih manusiawi. Namun, perpindahan semacam itu sering menimbulkan kecurigaan dan kebencian, bahkan di kalangan komunitas-komunitas gerejani, sebelum kehidupan kaum migran atau kisah-kisah penganiayaan dan kemiskinan yang mereka alami dipahami. Dalam kasus-kasus semacam itu, kecurigaan dan prasangka bertentangan dengan perintah Injili untuk menyambut dengan sikap hormat dan solidaritas orang asing yang membutuhkan pertolongan.

Di lain sisi, kita merasakan dalam hati dan budi kita panggilan untuk menyentuh penderitaan manusia dan mewujudnyatakan perintah cinta kasih yang diberikan oleh Yesus kepada kita ketika Ia menyamakan diri dengan orang asing, dengan orang yang menderita, dan dengan semua orang yang tanpa bersalah menjadi korban kekerasan dan eksploitasi. Namun, karena kelemahan kodrat kita, “kita tergoda untuk menjadi orang-orang Kristiani yang bersikap dingin terhadap luka-luka Tuhan” (Evangelii Gaudium, 270).

Keberanian yang lahir dari iman, harapan, dan kasih membuat kita mampu mengurangi jarak yang memisahkan kita dari derita manusia. Yesus Kristus selalu menunggu untuk dikenali dalam diri kaum migran dan pengungsi lintas batas negara (refugees), dalam diri para pengungsi dalam negeri (displaced persons), dan mereka yang ada di pengasingan. Melalui mereka, Ia mengundang kita untuk menyediakan milik kita bagi penggunaan bersama, dan sekali-sekali memberikan harta yang kita peroleh. Paus Paulus VI membicarakan ini ketika ia mengatakan bahwa “yang lebih beruntung seharusnya melepaskan sejumlah hak mereka untuk menyediakan harta benda mereka secara lebih murah hati demi pelayanan bagi sesama” (Octogesima Adveniens, 23).

Karakter masyarakat yang beraneka budaya pada zaman ini sebetulnya mendorong Gereja untuk membarukan komitmen-komitmen solidaritas, persekutuan, dan pewartaan Injil. Dalam kenyataan, gerak-gerak migrasi mengundang kita untuk memperdalam dan memperkuat nilai-nilai yang dibutuhkan untuk menjamin kehidupan bersama yang damai antara pribadi-pribadi dan budaya-budaya. Tidak cukuplah mencapai sekadar toleransi yang menghargai keanekaragaman dan cara-cara berbagi di antara orang-orang dengan latar belakang dan budaya yang berbeda. Persis inilah tempat Gereja memberikan sumbangan untuk mengatasi pembatasan-pembatasan dan mendorong “perubahan dari sikap-sikap yang membentengi diri, ketakutan, ketidakpedulian, dan peminggiran ... menuju sikap-sikap yang didasarkan atas budaya perjumpaan, yang merupakan satu-satunya budaya yang mampu membangun dunia yang lebih baik, lebih adil dan bersahabat” (Pesan untuk Hari Kaum Migran dan Pengungsi Sedunia 2014).

Namun, gerak-gerak migrasi ada dalam skala yang sedemikian hingga gerak-gerak migrasi itu hanya dapat diatur dan dikelola secara efektif dalam kerjasama yang sistematis dan aktif antara negara-negara dan organisasi-organisasi internasional. Migrasi memengaruhi semua orang, tidak hanya karena luasnya fenomena migrasi, namun juga karena “masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama yang ditimbulkannya, serta tantangan-tantangan luar biasa yang disebabkannya bagi bangsa-bangsa dan komunitas internasional. (Caritas in Veritate, 62).

Di taraf internasional, sering muncul debat yang berkaitan dengan tingkat kelayakan, serta metode-metode dan norma-norma yang dituntut untuk menghadapi fenomena migrasi. Ada lembaga dan organisasi di tingkat internasional, nasional, dan lokal yang bekerja keras untuk melayani mereka yang mencari perikehidupan yang lebih baik dengan bermigrasi. Kendati daya upaya mereka penuh kemurahan hati dan patut dipuji, tetap diperlukan aksi yang lebih menentukan dan konstruktif, yakni aksi yang mengandalkan jaringan kerjasama universal, yang didasarkan atas dilindunginya martabat dan posisi penting setiap pribadi manusia. Upaya ini akan semakin mengefektifkan perjuangan melawan perdagangan manusia yang merupakan aib dan kejahatan, pelanggaran hak-hak dasar manusia, serta segala bentuk kekerasan, penindasan, dan perbudakan. Namun, kerjasama menuntut hubungan timbal balik, aksi bersama, keterbukaan, dan kepercayaan, karena “tak satu negara pun dapat menghadapi sendiri kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan fenomena migrasi, yang pada saat ini sedemikian luas hingga memengaruhi setiap benua dalam gerak ganda perpindahan ke negara tujuan (immigration) dan dari negara asal (emigration) (Pesan untuk Hari Kaum Migran dan Pengungsi Sedunia 2014).

Globalisasi migrasi perlu ditanggapi dengan globalisasi aksi amal kasih dan kerjasama, untuk membuat keadaan kaum migran menjadi lebih manusiawi. Pada saat yang sama, upaya-upaya yang lebih besar diperlukan untuk menjamin lebih ringannya keadaan, yang sering ditimbulkan oleh perang atau kelaparan, yang memaksa orang untuk meninggalkan negeri kelahirannya.

Solidaritas dengan kaum migran dan pengungsi harus disertai oleh keberanian dan kreativitas yang diperlukan untuk mengembangkan tata keuangan dan ekonomi yang lebih adil dan merata di tingkat global, serta meningkatkan komitmen bagi perdamaian, yang menjadi syarat yang harus ada bagi segenap kemajuan yang otentik.

Kaum migran dan para pengungsi, Anda mendapatkan tempat istimewa di hati Gereja, dan Anda membantu Gereja untuk memperluas hatinya dan mewujudkan jiwa keibuannya bagi seluruh keluarga manusia. Jangan sampai Anda kehilangan iman dan harapan! Marilah mengingat Keluarga Kudus sewaktu mengungsi ke Mesir. Sebagaimana hati keibuan Maria dan hati Yusuf yang lembut tetap memelihara iman bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan mereka, semoga harapan yang sama dalam diri Anda akan Tuhan, tidak akan pernah luntur. Saya memercayakan Anda sekalian dalam perlindungan Keluarga Kudus, dan dalam kehangatan persahabatan, saya memberi Berkat Apostolis bagi Anda sekalian.

Vatikan, 3 September 2014

FRANSISKUS

MESSAGE OF HIS HOLINESS POPE FRANCIS FOR THE 101st WORLD DAY OF MIGRANTS AND REFUGEES (2015)



Church without frontiers, Mother to all

Dear Brothers and Sisters, 
Jesus is “the evangelizer par excellence and the Gospel in person” (Evangelii Gaudium, 209). His solicitude, particularly for the most vulnerable and marginalized, invites all of us to care for the frailest and to recognize his suffering countenance, especially in the victims of new forms of poverty and slavery. The Lord says: “I was hungry and you gave me food, I was thirsty and you gave me drink, I was a stranger and you welcomed me, I was naked and you clothed me, I was sick and you visited me, I was in prison and you came to me” (Mt 25:35-36). The mission of the Church, herself a pilgrim in the world and the Mother of all, is thus to love Jesus Christ, to adore and love him, particularly in the poorest and most abandoned; among these are certainly migrants and refugees, who are trying to escape difficult living conditions and dangers of every kind. For this reason, the theme for this year’s World Day of Migrants and Refugees is: Church without frontiers, Mother to all.

The Church opens her arms to welcome all people, without distinction or limits, in order to proclaim that “God is love” (1 Jn 4:8,16). After his death and resurrection, Jesus entrusted to the disciples the mission of being his witnesses and proclaiming the Gospel of joy and mercy. On the day of Pentecost, the disciples left the Upper Room with courage and enthusiasm; the strength of the Holy Spirit overcame their doubts and uncertainties and enabled all to understand the disciples’ preaching in their own language. From the beginning, the Church has been a mother with a heart open to the whole world, and has been without borders. This mission has continued for two thousand years. But even in the first centuries, the missionary proclamation spoke of the universal motherhood of the Church, which was then developed in the writings of the Fathers and taken up by the Second Vatican Council. The Council Fathers spoke of Ecclesia Mater to explain the Church’s nature. She begets sons and daughters and “takes them in and embraces them with her love and in her heart” (Lumen Gentium, 14).

The Church without frontiers, Mother to all, spreads throughout the world a culture of acceptance and solidarity, in which no one is seen as useless, out of place or disposable. When living out this motherhood effectively, the Christian community nourishes, guides and indicates the way, accompanying all with patience, and drawing close to them through prayer and works of mercy.

Today this takes on a particular significance. In fact, in an age of such vast movements of migration, large numbers of people are leaving their homelands, with a suitcase full of fears and desires, to undertake a hopeful and dangerous trip in search of more humane living conditions. Often, however, such migration gives rise to suspicion and hostility, even in ecclesial communities, prior to any knowledge of the migrants’ lives or their stories of persecution and destitution. In such cases, suspicion and prejudice conflict with the biblical commandment of welcoming with respect and solidarity the stranger in need.

On the other hand, we sense in our conscience the call to touch human misery, and to put into practice the commandment of love that Jesus left us when he identified himself with the stranger, with the one who suffers, with all the innocent victims of violence and exploitation. Because of the weakness of our nature, however, “we are tempted to be that kind of Christian who keeps the Lord’s wounds at arm’s length” (Evangelii Gaudium, 270).

The courage born of faith, hope and love enables us to reduce the distances that separate us from human misery. Jesus Christ is always waiting to be recognized in migrants and refugees, in displaced persons and in exiles, and through them he calls us to share our resources, and occasionally to give up something of our acquired riches. Pope Paul VI spoke of this when he said that “the more fortunate should renounce some of their rights so as to place their goods more generously at the service of others” (Octogesima Adveniens, 23).

The multicultural character of society today, for that matter, encourages the Church to take on new commitments of solidarity, communion and evangelization. Migration movements, in fact, call us to deepen and strengthen the values needed to guarantee peaceful coexistence between persons and cultures. Achieving mere tolerance that respects diversity and ways of sharing between different backgrounds and cultures is not sufficient. This is precisely where the Church contributes to overcoming frontiers and encouraging the “moving away from attitudes of defensiveness and fear, indifference and marginalization … towards attitudes based on a culture of encounter, the only culture capable of building a better, more just and fraternal world” (Message for the World Day of Migrants and Refugees 2014).

Migration movements, however, are on such a scale that only a systematic and active cooperation between States and international organizations can be capable of regulating and managing such movements effectively. For migration affects everyone, not only because of the extent of the phenomenon, but also because of “the social, economic, political, cultural and religious problems it raises, and the dramatic challenges it poses to nations and the international community” (Caritas in Veritate, 62).

At the international level, frequent debates take place regarding the appropriateness, methods and required norms to deal with the phenomenon of migration. There are agencies and organizations on the international, national and local level which work strenuously to serve those seeking a better life through migration. Notwithstanding their generous and laudable efforts, a more decisive and constructive action is required, one which relies on a universal network of cooperation, based on safeguarding the dignity and centrality of every human person. This will lead to greater effectiveness in the fight against the shameful and criminal trafficking of human beings, the violation of fundamental rights, and all forms of violence, oppression and enslavement. Working together, however, requires reciprocity, joint-action, openness and trust, in the knowledge that “no country can singlehandedly face the difficulties associated with this phenomenon, which is now so widespread that it affects every continent in the twofold movement of immigration and emigration” (Message for the World Day of Migrants and Refugees 2014).

It is necessary to respond to the globalization of migration with the globalization of charity and cooperation, in such a way as to make the conditions of migrants more humane. At the same time, greater efforts are needed to guarantee the easing of conditions, often brought about by war or famine, which compel whole peoples to leave their native countries.

Solidarity with migrants and refugees must be accompanied by the courage and creativity necessary to develop, on a world-wide level, a more just and equitable financial and economic order, as well as an increasing commitment to peace, the indispensable condition for all authentic progress.

Dear migrants and refugees! You have a special place in the heart of the Church, and you help her to enlarge her heart and to manifest her motherhood towards the entire human family. Do not lose your faith and hope! Let us think of the Holy Family during the flight in Egypt: Just as the maternal heart of the Blessed Virgin and the kind heart of Saint Joseph kept alive the confidence that God would never abandon them, so in you may the same hope in the Lord never be wanting. I entrust you to their protection and I cordially impart to all of you my Apostolic Blessing.

From the Vatican, 3 September 2014

FRANCISCUS

Monday, January 5, 2015

Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Perdamaian Dunia 2015

Berikut Pesan Bapa Suci Paus Fransiskus untuk Hari Perdamaian Dunia tanggal 1 Januari tahun 2015, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. File dalam bentuk pdf dapat diperoleh melalui link berikut: https://drive.google.com/file/d/1QiLRpOIuxGufwEeeJgLfBbYPWPqqpkcG/view?usp=sharing