Monday, September 30, 2019

Mengapa Hari Migran dan Pengungsi Sedunia ke-105 Dirayakan Tanggal 29 September?

Ada pertanyaan dari beberapa pihak, mengapa Hari Migran dan Pengungsi Sedunia ke-105 dirayakan pada tanggal 29 September? Pertanyaan ini wajar dilontarkan mengingat pada tahun-tahun sebelumnya, peringatan tersebut dilakukan pada Minggu kedua setelah Epifani atau bulan Januari.

Postcard 08 Rowelyn Daisy Torrefiel

Seperti tercantum dalam web vaticannews yang dimuat pada tanggal 20 November 2018 , juru bicara Takhta Suci, Greg Burke mengatakan bahwa  Paus Fransiskus telah menggeser perayaan Hari Migran dan Pengungsi Sedunia atas permintaan berbagai Konferensi Waligereja. "Bapa Suci telah memindahkan Hari Migran dan Pengungsi Sedunia ke hari Minggu terakhir bulan September,” bunyi pernyataan itu. "Dengan demikian, Hari Migran dan Pengungsi Dunia berikutnya, yang ke-105, akan dirayakan pada hari Minggu 29 September 2019." "Seperti biasa, teks Pesan Bapa Suci akan dirilis beberapa bulan sebelumnya," tambah Burke.

Asal-usul Hari Migran dan Pengungsi Sedunia dapat ditelusuri hingga tahun 1914, beberapa bulan sebelum pecahnya Perang Dunia I. Tersentuh oleh kisah jutaan orang Italia yang telah bermigrasi ke luar negeri sejak awal abad ke-20, Paus Pius X meminta semua orang Kristen untuk berdoa bagi para migran. Beberapa bulan kemudian, penggantinya, Paus Benediktus XV, meresmikan Hari Migran untuk mendukung secara spiritual dan ekonomis pekerjaan pastoral bagi para imigran Italia.

Pada tahun 1952, Hari Migran memperluas konotasinya menjadi lebih bersifat internasional dan Gereja-gereja tertentu dipanggil untuk memilih tanggal untuk merayakan hari selama tahun liturgi. Santo Yohanes Paulus II adalah paus pertama yang, sejak 1985, telah menerbitkan Pesan Bapa Suci setiap tahun yang menekankan pada beberapa realitas dan kesulitan spesifik orang-orang yang bermigrasi, dan menyerukan Gereja untuk bertindak.

Pada tahun 2004, Dewan Kepausan untuk Pastoral Migran dan Perantau memperluas hari itu bagi para pengungsi dan menyebutnya sebagai “Hari Migran dan Pengungsi Sedunia.” Atas perintah Santo Yohanes Paulus II, sejak tahun 2005, Hari Migran dan Pengungsi Sedunia telah dirayakan oleh Gereja Universal pada hari Minggu ke-2 setelah Epifani.

Pada Hari Migran dan Pengungsi Sedunia ke-104 tanggal 14 Januari 2018, Paus Fransiskus mengumumkan perubahan tanggal perayaan yang akan menjadi hari Minggu terakhir bulan September. 

Berikut teks asli berita dalam web vaticannews https://www.vaticannews.va/en/pope/news/2018-11/pope-francis-world-day-migrants-refugees-september-press-office.html:

************************************

Pope shifts World Day of Migrants and Refugees to September

Pope Francis has shifted the Catholic Church’s annual World Day of Migrants and Refugees from January to September, the Holy See spokesman, Greg Burke said in a statement on Nov. 20.

“At the request of various Bishops’ Conferences, the Holy Father has moved the World Day of Migrants and Refugees to the last Sunday of September,” the statement read. “Thus, the next World Day of Migrants and Refugees, the 105 th , will be celebrated on Sunday 29 September 2019.”  “As usual, the text of the Holy Father’s Message will be released some months before the World Day,” Burke added.

Origins

The origins of the World Day of Migrants and Refugees can be traced to 1914, a few months before the outbreak of World War I.  Touched by the drama of millions of Italians who had migrated abroad since the beginning of the 20th century, Pope Pius X called on all Christians to pray for migrants.

A few months later, his successor Pope Benedict XV instituted the Day of the Migrant to support spiritually and economically the pastoral work for Italian emigrants. 

In 1952, Migrant Day took on a broader and more international connotation and the particular Churches were called upon to choose a date to celebrate the day during the liturgical year.

St. John Paul II was the first pontiff who, since 1985, has issued a message each year drawing attention to some of the specific realities and difficulties of people on the move, calling the Church to action.

In 2004, the Pontifical Council for the Pastoral Care of Migrants and Itinerant People extended the day to refugees calling it the World Day of Migrants and Refugees.

At the behest of St. John Paul II, since 2005, the World Day of Migrants and Refugees has been celebrated by the Universal Church on the 2nd Sunday after the Epiphany.

On the 104th World Day of Migrants and Refugees, January 14, 2018, Pope Francis announced the change in the date of celebration which will be the last Sunday of September.

Topics
·         POPE FRANCIS
·         MIGRANTS AND REFUGEES
·         WORLD DAY
·         PRESS OFFICE


20 November 2018, 16:55



Persaudaraan Insani Demi Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama


Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Ahmed el—Tayeb, menandatangani Dokumen tentang Persaudaraan Insani Demi Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama, selama Konferensi Global tentang topik itu di Abu Dhabi.

Photo oleh Vincenzo Pinto/AFP diambil dari Dokpen KWI

Di bawah ini disajikan terjemahan dalam bahasa Indonesia berdasarkan teks resmi bahasa Inggris atas dokumen ini:

Pengantar

Iman menuntun orang beriman untuk melihat dalam orang Iain seorang saudara laki-laki atau saudara perempuan yang harus didukung dan dicintai

Melalui Iman kepada Allah yang telah menciptakan alam semesta, segala makhuk, dan semua manusia (setara karena belas kasihan-Nya), orang-orang beriman dipanggil untuk mengungkapkan persaudaraan insani ini dengan melestarikan ciptaan dan seluruh alam semesta dan mendukung semua orang, terutama yang termiskin dan mereka yang paling berkebutuhan.

Nilai transendental ini telah menjadi titik tolak untuk beberapa pertemuan yang ditandai dengan suasana persahabatan dan persaudaraan di mana kami berbagi tentang sukacita, kesedihan, dan masalah-masalah dunia kita sekarang.

Kami telah melakukannya dengan memikirkan kemajuan ilmiah dan teknis, pencapaian medis, era digital, media massa dan komunikasi.

Kami juga berefleksi tentang tingkat kemiskinan, konflik dan penderitaan begitu banyak saudara dan saudari di berbagai belahan dunia sebagai akibat dari perlombaan senjata, ketidakadilan sosial, korupsi, ketimpangan, kemerosotan moral, terorisme, diskriminasi, ekstremisme, dan banyak penyebab Iainnya.

Dari diskusi-diskusi kami sebagai saudara yang terbuka, dan dari pertemuan yang mengungkapkan harapan besar akan masa depan yang cerah bagi semua manusia, gagasan dokumen tentang Persaudaraan lnsani ini lahir.

Inilah sebuah teks yang telah dipertimbangkan dengan tulus dan serius sehingga menjadi  pernyataan bersama tentang aspirasi-aspirasi yang indah dan mendalam.

Ini adalah dokumen yang mengundang semua orang yang memiliki iman kepada Allah dan kepercayaan terhadap persaudaraan insani untuk bersatu dan bekerja sama sehingga dapat menjadi panduan bagi generasi mendatang untuk memajukan budaya saling menghormati dalam kesadaran akan rahmat ilahi agung yang menjadikan semua manusia sebagai saudara dan saudari.

Paus dan Imam Besar: Deklarasi bersejarah tentang perdamaian, kebebasan, hak-hak perempuan

Dokumen

Dalam nama Allah yang telah menciptakan semua manusia setara dalam hak, kewajiban, dan martabat, dan yang memanggil mereka untuk hidup bersama sebagai saudara, untuk memenuhi bumi dan menyebarkan nilai-nilai kebaikan, cinta, dan kedamaian;
  • Atas nama hidup insani yang tak bersalah dan yang dilarang Allah untuk dibunuh, seraya menegaskan bahwa siapa pun yang membunuh seseorang tidak ubahnya seperti membunuh seluruh umat manusia, dan siapa pun yang menyelamatkan seseorang adalah seperti yang menyelamatkan seluruh umat manusia;
  • Atas nama orang miskin, orang papa, orang yang terpinggirkan, dan mereka yang paling berkebutuhan, yang Allah perintahkan agar kita bantu sebagai kewajiban yang dituntut dari semua orang, terutama dari mereka yang kaya dan berada;
  • Atas nama anak yatim, para janda, pengungsi dan mereka yang diasingkan dari rumah dan negara mereka; atas nama semua korban perang, penganiayaan, dan ketidakadilan; atas nama mereka yang lemah, mereka yang hidup dalam ketakutan, para tawanan perang, dan mereka yang disiksa di bagian dunia mana pun, tanpa membedakan;
  • Atas nama orang-orang yang kehilangan keamanan, kedamaian, dan kemungkinan untuk hidup bersama, karena menjadi kurban kehancuran, bencana, dan perang;
  • Atas nama persaudaraan insani yang merangkul semua manusia, menyatukan mereka dan menjadikan mereka setara;
  • Atas nama persaudaraan ini yang terkoyak oleh politik ekstremisme dan perpecahan, oleh sistem-sistem yang mencari keuntungan tak terkendali atau oleh kecenderungan ideologis penuh kebencian yang memanipulasi perilaku dan masa depan laki-laki dan perempuan;
  • Atas nama kebebasan yang telah Allah berikan kepada semua manusia seraya menciptakan mereka bebas dan mengistimewakan mereka dengan anugerah itu;
  • Atas nama keadilan dan belas kasihan, dasar kemakmuran dan batu penjuru iman;
  • Atas nama semua orang yang berkehendak baik dan hadir di setiap bagian dunia;

Dalam nama Allah dan segala sesuatu yang dinyatakan sejauh ini; AI-Azhar aI-Sharif dan Kaum Muslim di Timur dan Barat, bersama dengan Gereja Katolik dan umat Katolik di Timur dan Barat, menyatakan menerima budaya dialog sebagai jalan; kerjasama timbal balik sebagai tuntunan tingkah laku; saling pengertian sebagai metode dan standar.

Kami yang percaya kepada Allah dan pada perjumpaan terakhir dengan-Nya dan pengadilan-Nya, berdasarkan tanggung jawab religius dan moral kami, dan melalui dokumen ini, menyerukan kepada diri kami sendiri, kepada para pemimpin dunia serta para arsitek kebijakan internasional dan ekonomi  dunia, agar bekerja keras untuk menyebarkan budaya toleransl dan hidup bersama dalam damai; agar mengadakan intervensi pada kesempatan paling awal untuk menghentikan pertumpahan darah orang yang tidak bersalah dan mengakhiri perang, konflik, kerusakan lingkungan, serta kemerosotan moral dan budaya yang dialami dunia saat ini.

Kami menyerukan kepada kaum intelektual, para filsuf, tokoh agama, seniman, pakar media, dan semua laki-laki dan perempuan berbudaya di setiap bagian dunia, untuk menemukan kembali nilai-nilai perdamaian, keadilan, kebaikan, keindahan, persaudaraan insani, dan hidup berdampingan untuk menegaskan pentingnya nilai-nilai ini sebagai jangkar keselamatan bagi semua, dan untuk memajukannya dimana-mana.

Deklarasi ini, yang bertolak dari pertimbangan mendalam atas realitas kita saat ini, seraya menghargai keberhasilannya dan solider dengan penderitaan, bencana, dan malapetakanya, mempunyai keyakinan kuat bahwa di antara penyebab paling utama dari krisis dunia modern adalah  hati nurani manusia yang kehilangan kepekaan, gerak menjauhkan diri  dari nilai-nilai agama, dan individualisme yang dominan , disertai  dengan filosofi materialistis yang mendewakan pribadi manusia serta memperkenalkan nilai-nilai duniawi dan materiil sebagal pengganti prinsip-prinsip paling tinggi dan transendental.

Sambll mengakul langkah-langkah positif yang diambil oleh peradaban modern di bidang sains, teknologi, kedokteran,  industri, dan kesejahteraan, terutama di negara-negara maju, kami ingin menekankan bahwa, terkait dengan kemajuan bersejarah seperti itu, betapa hebat dan bernilai pun, sekaligus ada suatu kemunduran rnoral yang mempengaruhi tindakan-tindakan internasional, maupun suatu pelemahan nilai-nilai dan tanggung jawab spiritual.

Semua ini berkontribusi pada perasaan frustrasi, keterasingan, dan keputusasaan yang membuat banyak orang jatuh ke dalam pusaran ekstremisme yang ateistis, agnostis, atau religius atau dalam ekstremisme fanatik dan buta, yang pada akhirnya mendorong  bentuk-bentuk ketergantungan dan penghancuran diri secara individual atau pun kolektif.

Sejarah menunjukkan bahwa ekstremlsme agama, ekstremisme nasional, dan juga intoleransi telah menghaslikan di dunia, baik di Timur maupun di Barat, apa yang bisa disebut sebagai tanda-tanda “perang dunia ketiga yang dijalankan sedikit demi sedikit”.

Di beberapa bagian dunia dan dalam banyak situasi yang tragis, tanda-tanda ini mulai tampak secara menyakitkan, seperti dalam situasi-situasi di mana jumlah tepat korban, janda dan anak yatim tidak diketahui.

Kami melihat, di samping itu, daerah lain bersiap untuk menjadi teater konflik baru, dengan pecahnya ketegangan serta penumpukan senjata dan amunisi, dan semua ini dalam konteks global dibayangi oleh ketidakpastian, kekecewaan, ketakutan akan masa depan, dan dikendalikan oleh kepentingan ekonomi yang berpikiran sempit.

Kami juga menegaskan bahwa krisis-krisis politik yang besar, situasi-situasi ketidakadilan, dan ketimpangan dalam distribusi sumber daya alam – yang hanya menguntungkan minoritas yang kaya sampai merugikan mayoritas penduduk bumi – telah menghasilkan, dan terus menghasilkan, jumlah besar orang yang miskin, lemah dan meninggal.

Hal ini menyebabkan krisis dan bencana yang telah menimpa berbagai negara, terlepas dari sumber daya alam dan sumber daya anak muda yang dimiliki bangsa-bangsa itu. Dalam menghadapi krisi-krisis seperti itu yang mengakibatkan kematian jutaan anak-anak -terbuang karena kemiskinan dan kelaparan – ada kebisuan yang tidak dapat diterima di tingkat internasional.

Dalam konteks ini jelaslah bagaimana keluarga sebagai pangkal dasar masyarakat dan kemanusiaan sangat penting dalam hal menurunkan anak-anak ke dunia, membesarkan mereka, mendidik mereka, dan memberi mereka pembinaan moral yang kuat dan rumah yang aman.

Menyerang institusi keluarga, memandangnya hina atau meragukan peran pentingnya, adalah salah satu kejahatan yang paling mengancam pada zaman kita.

Kami juga menegaskan pentingnya membangkitkan kesadaran agama dan perlunya menghidupkan kembali kesadaran ini di hati generasi baru melalui pendidikan yang baik dan kepatuhan pada nilai-nilai moral dan ajaran agama yang tulus.    

Dengan cara ini kita dapat menghadapi kecenderungan yang individualistis, egois, saling menentang, dan juga mengatasi radikalisme dan ekstremisme buta dalam segala bentuk dan ungkapan.

Tujuan pertama dan terpenting agama adalah percaya kepada Allah, menghormati-Nya dan mengundang semua laki-laki dan perempuan untuk percaya bahwa alam semesta ini bergantung pada Allah yang mengaturnya. Dia adalah Pencipta yang telah membentuk kita dengan ebijaksanaan ilahi-Nya dan telah memberi kita karunia kehidupan untuk dilindungi.

Ini adalah hadiah dan tidak seorang pun berhak untuk mengambil, mengancam atau emanipulasinya semaunya. Memang, setiap orang harus menjaga karunia kehidupan ini dari awalnya hingga akhirnya yang alami. Karena itu kami mengutuk semua praktik yang mengancam kehidupan seperti genosida, aksi terorisme, pemindahan yang dipaksa, perdagangan manusia, aborsi dan uetanasia. Kami juga mengutuk kebijakan yang mempromosikan praktik-praktik itu.

Selain itu, kami dengan tegas menyatakan bahwa agama tidak boleh menghasut orang kepada perang, sikap kebencian, permusuhan, dan ekstremisme, juga tidak boleh menghasut kepada kekerasan atau penumpahan darah.

Kenyataan tragis ini terjadi karena orang menyimpang dari ajaran agama. Itulah hasil dari manipulasi politis terhadap agama-agama dan dari interpretasi yang dibuat oleh kelompok-kelompok religius, yang dalam perjalanan sejarah, telah mengambil manfaat dari dampak kuat sentimen agama pada hati orang dengan tujuan untuk membuat mereka bertindak dengan cara yang tidak ada hubungannya dengan kebenaran agama.

Ini dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan yang bersifat politis, ekonomis, duniawi, dan picik. Karena itu kami menyerukan kepada semua pihak agar berhenti menggunakan agama untuk menghasut kepada kebencian, kekerasan, ekstremisme dan fanatisme buta, dan menahan diri dari menggunakan nama Allah untuk membenarkan tindakan pembunuhan, pengasingan, terorisme, dan penindasan.

Kami meminta  ini karena kami bersama-sama percaya kepada Allah yang tidak menciptakan manusia untuk dibunuh atau saling bertarung, atau disiksa atau dihina dalam situasi hidup mereka. Allah Yang Mahakuasa tldak perlu dibela oleh siapa pun dan tidak ingin nama-Nya digunakan untuk menteror orang.

Dokumen ini, sesuai dengan Dokumen-Dukumen lnternasional sebelumnya yang telah menekankan pentingnya peran agama dalam membangun perdamaian dunia, menjunjung tinggi hal-hal berikut:

  • Keyakinan teguh bahwa ajaran otentik agama-agama mengundang kita untuk tetap berakar  pada nilai-nilai perdamaian; untuk mempertahankan nilai-nilai saling pengertian, persaudaraan insani dan koeksistensi yang harmonis; untuk menegakkan kembali hikmat, keadilan, dan cinta; dan untuk membangkitkan kembali kesadaran beragama di kalangan anak muda sehingga generasi masa depan dapat dilindungi dari ranah pemikiran materialistis dan dari bahaya politik keserakahan dan ketidakpedulian yang tak terkendali, yang didasarkan pada hukum kekuatan dan bukan pada kekuatan hukum;
  • Kebebasan adalah hak setiap orang: setiap individu menikmati kebebasan berkeyakinan, berpikir, berekspresi dan bertindak. Pluralisme dan keragaman agama, wama kulit, jenis kelamin, ras, dan bahasa dikehendakl oleh Allah dalam hikmat-Nya, yang dengannya la menciptakan manusia. Dari sumber hikmat ilahi inilah berasal hak kebebasan berkeyakinan dan kebebasan untuk berbeda. Oleh karena itu, kenyataan bahwa orang dipaksakan untuk mengikuti agama atau budaya tertentu harus ditolak, seperti juga memaksakan suatu cara hidup budaya yang tidak diterima orang lain;
  • Keadian berdasarkan belas kasihan adalah jalan yang perlu diikuti untuk mencapai hidup bermartabat yang menjadi hak setiap manusia;
  • Dialog, pengertian, penyebaran budaya toleransi, penerimaan orang lain, dan hidup bersama secara damai akan memberikan sumbangan penting untuk mengurangi banyak masalah ekonomi, sosial, politik dan lingkungan hidup yang menjadi beban berat sebagian besar umat manusia;
  • Dialog di antara orang-orang beriman berarti berkumpul dalam ruang luas nilai-nilai spiritual, insani, dan sosial yang dimiliki bersama; dan, dari situ, menyiarkan nilai-nilai moral tertinggi yang menjadi tujuan agama-agama. Dan berarti juga menghindari diskusi yang tidak produktif;
  • Perlindungan tempat-tempat ibadah – sinagog, gereja, dan masjid - adalah kewajiban yang  dijamin oleh agama, nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan perjanjian internasional. Setiap upaya untuk menyerang tempat-tempat ibadah atau mengancamnya dengan serangan kekerasan, pemboman, atau perusakan, merupakan penyimpangan darl ajaran agama serta pelanggaran jelas terhadap hukum internasional;
  • Terorisme adalah menyedihkan dan mengancam keamanan manusia, entah itu di Timur atau Barat, Utara atau Selatan; dan menyebarkan ketakutan, teror, dan pesimisme. Akan tetapi, hal itu bukan disebabkan oleh agama, juga tidak ketika teroris memakainya. Ini lebih disebabkan oleh akumulasi interpretasl yang salah terhadap teks-teks agama dan oleh kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan kelaparan, kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, dan kebanggaan. Karena itu sangat penting berhenti mendukung gerakan teroris yang dimungkinkan oleh pendanaan, penyediaan senjata dan strategi, dan oleh upaya untuk membenarkan gerakan ini bahkan dengan menggunakan media. Semua ini harus dianggap sebagai kejahatan internasional yang mengancam keamanan dan perdamaian dunia. Terorisme semacam itu harus dikutuk dalam segala bentuk dan ungkapannya;
  • Konsep kewarganegaraan didasarkan pada kesetaraan hak dan kewajiban, sehingga semua menikmati keadilan. Karena itu penting untuk menegakkan dalam masyarakat kita konsep kewarganegaraan penuh dan menolak penggunaan istilah minoritas secara diskriminatif yang menimbulkan perasaan keterasingan dan inferioritas. Penyalahgunaannya membuka jalan bagi permusuhan dan perselisihan; dan membatalkan keberhasilan apa pun dan merampas hak-hak keagamaan dan sipil dari sebagian warga negara yang dengan demikian didiskriminasi;
  • Tidak dapat disangkal bahwa hubungan baik antara Timur dan Barat amat diperlukan untuk  keduanya, dan tidak boleh diabaikan, agar masing-masing dapat diperkaya oleh budaya pihak lain melalui pertukaran dan dialog yang bermanfaat. Barat dapat menemukan di Timur obat bagi masalah-masalah spiritual dan religius yang disebabkan oleh materialisme yang berlaku. Dan Timur dapat menemukan banyak elemen di Barat yang dapat membantu membebaskannya dari kelemahan, perpecahan, konflik dan dari kemunduran Ilmiah, teknis, dan budaya. Penting untuk memberi perhatian kepada perbedaan agama, kebudayaan dan sejarah yang merupakan unsur vital dalam membentuk karakter, budaya, dan peradaban Timur.  Juga penting untuk memperkuat rangkalan hak-hak asasi manusia guna membantu menjamin hidup bermartabat bagi semua manusia di Timur dan Barat, sambil menghindari politik standar ganda;
  • Adalah persyaratan penting untuk mengakui hak perempuan atas pendidikan dan pekerjaan, dan untuk mengakui kebebasannya untuk menggunakan hak politiknya sendiri. Selain itu, diperlukan upaya untuk membebaskan perempuan dari kondisi historis dan sosial yang bertentangan dengan prinsip-prinsip iman dan martabat mereka. Juga perlu melindungi perempuan dari eksploitasi seksual dan dari perlakuan sebagai barang dagangan atau obyek kesenangan atau keuntungan finansial. Oleh karena itu, harus diakhiri semua praktik tidak manusiawi dan vulgar yang merendahkan martabat perempuan. Harus diupayakan untuk mengubah undang-undang yang mencegah perempuan menikmati sepenuhnya hak-hak mereka;
  • Adalah tugas keluarga dan  masyarakat untuk melindungi hak-hak dasar anak untuk bertumbuh dalam lingkungan keluarga, untuk menerima makanan sehat, pendidikan, dan dukungan, Tugas-tugas semacam itu harus dijamin dan dilindungi agar tidak diabaikan atau ditolak kepada anak mana pun di belahan dunia mana pun. Semua praktik yang melanggar martabat dan hak-hak anak harus dikecam. Sama pentingnya untuk waspada terhadap pelbagai bahaya yang mereka hadapi, khususnya di dunia digital, dan memandang perdagangan mereka yang tidak bersalah ini dan semua pelanggaran terhadap masa muda mereka sebagai tindakan kriminal;
  • Perlindungan hak-hak kaum lansia, dan mereka yang lemah, cacat, dan tertindas adalah kewajiban agama dan sosial yang harus dijamin dan dipertahankan melalui undang-undang yang ketat dan pelaksanaan kesepakatan-kesepakatan internasional yang berkaitan.

Untuk tujuan ini, melalui kerja sama timbal balik, Gereja Katolik dan Al-Azhar menyatakan dan berjanji untuk menyampaikan Dokumen ini kepada semua pihak yang berwenang, para pemimpin yang berpengaruh, umat beragama di seluruh dunia, organisasi-organisasi regional dan internasional yang sesuai, organisasi-organisasi dalam masyarakat sipil, lembaga-lembaga keagamaan, dan para pemikir terkemuka. Mereka selanjutnya berjanji untuk mengumumkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Deklarasi ini pada semua tingkat regional dan internasional, sambil meminta agar prinsip-prinsip ini diterjemahkan ke dalam kebijakan, keputusan, ketetapan legislatif, program-program studi, dan bahan-bahan untuk diedarkan.

Al-Azhar dan Gereja Katolik meminta agar Dokumen ini menjadi bahan penelitian dan refleksi di semua sekolah, universitas dan institut pendidikan, agar membantu mendidik generasi baru membawa kebaikan serta kedamaian bagi orang lain, dan dimana-mana menjadi pembela hak-hak dari mereka yang tertindas dan yang terkecil di antara saudara-saudara kita.

Sebagai kesimpulan, aspirasi kami adalah:

Deklarasi ini dapat menjadi undangan untuk mengadakan rekonsiliasi dan persaudaraan di antara semua orang beriman, juga di antara orang yang percaya dan tidak percaya, dan di antara semua orang yang berkehendak baik;

Deklarasi ini dapat menjadi seruan bagi setiap hati nurani yang tulus yang menolak kekerasan dan ekstremisme buta; seruan bagi mereka yang menghargai nilai-nilai toleransi dan persaudaraan yang dimajukan dan didorong oleh agama-agama;

Deklarasi ini dapat menjadi kesaksian akan kebesaran iman kepada Allah yang mempersatukan hati yang terpecah dan mengangkat jiwa manusia;

Deklarasi ini dapat menjadi tanda kedekatan antara Timur dan Barat, antara Utara dan Selatan, dan antara semua orang yang percaya bahwa Allah telah menciptakan kita untuk saling mengerti, bekerja sama, dan hidup sebagai saudara dan saudari yang saling mencintai.

Inilah yang kami harapkan dan berusaha mencapai dengan tujuan menemukan perdamaian universal yang dapat dinikmati oleh semua orang dalam hidup ini.

Abu Dhabi, 4/2/2019  



Friday, September 27, 2019

KEUSKUPAN ATAMBUA YOUTH DAY II MALAKA

Laporan Jeny Lamao, relawan di Kupang

Menjadi muda dan enerjik itu merupakan suatu anugerah, apalagi bisa bertemu dengan orang muda lainnya dari berbagai daerah.




Temu akbar bernama Keuskupan Atambua Youth Day (KAYD) ini diselenggarakan 4 tahun sekali dengan menyedot orang muda dari paroki-paroki Keuskupan Atambua. Peserta datang dari 66 paroki Keuskupan Atambua.  Tahun ini, KAYD diselenggarakan di Malaka, tepatnya Paroki Betun, selama satu minggu terhitung tanggal 22-28 September 2019. Namun pada tanggal 22-25 September 2019, peserta diharuskan live-in di Paroki-paroki Malaka. 30 menit perjalanan kami tempuh dari rumah untuk sampai ke tempat kegiatan dilangsungkan. Suster Laurentina PI akan memberikan materi pada pukul 11.00 WITA. Namun kami sudah sampai sebelum waktu yang ditentukan. Ramai, penuh, dan bersemangat. Tiap paroki memiliki baju OMK-nya sendiri, bawahannya mereka memakai sarung. Berbagai motif terlihat. Mereka duduk di aula terbuka, hari ini mereka akan menerima materi pertama dari Mgr. Dominikus Saku, Uskup Atambua. Suster Laurentina, PI ikut bergabung dengan Bapak Uskup Atambua dan duduk di depan.  

Dalam materinya, Bapak Uskup memaparkan jalan terjal yang harus dilewati jika ingin menjadi orang muda Katolik yang unggul, cerdas, kreatif, dan bersahabat. Beliau menegaskan bahwa orang muda harus produktif dan mampu bersaing. Dari pemberian materi, bapak uskup melanjutkan dengan ceramah. Materi diakhiri dengan menyanyikan Mars OMK yang dipandu dengan video koreografi. Semangat, penuh gairah, mereka dengan lantang menyanyikan Mars OMK. ‘Bergandenglah dan bergembira karena kita bersaudara, wujudkan Orang Muda Katolik tumbuh cerdas sejahtera, bersama meraih mimpi dalam cita dan cinta. Bersama mengikuti Kristus sahabatku.’Itu adalah sepotong lirik lagu yang dinyanyikan, ada yang berputar, ada yang bergandengan, sesuai irama lagi mereka bergoyang. Menjadi muda itu memang seru dan menyenangkan. Menjadi muda berarti berani. Berani untuk menjalankan kehendak Tuhan dalam semua medan hidup kita, berani untuk menjalani panggilan hidup dari Tuhan dan berani menghidupi iman kita tanpa menyembunyikannya atau menyepelekannya.

Kegiatan berlanjut, peserta di bagi menjadi kelompok-kelompok. Satu kelompok akan diberikan materi oleh suster Laurentina PI, sedang yang lain dengan pemberian materi yang lain. Suster Laurentina PI memberikan materi tentang Human Trafficking di sebuah aula terbuka sekolah. Lumayan jauh jarak yang harus ditempuh dan kami melaluinya dengan jalan kaki, bersama dengan peserta.

Sampai di ruangan, peserta kembali menyanyikan Mars OMK, sementara aku dan suster Matilda PI menyiapkan peralatan untuk pemberian materi. Suster Laurentina PI disambut dengan luar biasa oleh peserta. Mereka duduk dengan tenang dan mendengarkan dengan baik materi-materi yang disampaikan oleh suster. Selama pemberian materi ada satu insiden terjadi di mana layar putih yang menampilkan materi terjatuh dan tidak bisa dibuka kembali, sehingga in-fokus diarahkan ke tembok dan gambar-gambar menjadi kabur. Meskipun demikian, peserta tetap fokus dan memperhatikan perkataan suster. Menyelingi materinya, Suster Laurentina, PI bertanya pada peserta tentang saudara mereka yang bekerja di Malaysia dan berbagai tantangan yang dihadapi. Seorang perempuan muda maju, dengan berani ia menceritakan keluhan dari saudaranya yang pergi bekerja di Malaysia tanpa passport atau dokumen. Orang yang membawanya bekerja sudah pulang ke Indonesia dan sejak Maret saudaranya belum menerima gaji. Pertanyaan tentang keluhan PMI sebagai pembuka untuk menunjukkan beratnya PMI yang bekerja di luar.

Sesi selanjutnya adalah sesi diskusi atau tanya jawab. Dalam sesi ini, lima orang peserta diberikan kesempatan untuk memberikan pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan dikumpulkan, dan suster Laurentina, PI menjawab secara bergiliran.  

Apa peran orang muda untuk mencegah terjadinya Perdagangan Orang?
Jawaban dari Suster adalah anak muda diajak untuk mencintai daerah sendiri, kreatiflah, dan ciptakan lapangan kerja sendiri. Bangunlah NTT. Lihatlah peluang yang ada. 

Moratorium menghambat seseorang untuk bekerja, mengapa pemerintah harus mengadakan moratorium? Padahal seseorang yang sudah pernah bekerja dan mengambil jatah liburnya tidak bisa kembali karena moratorium itu sehingga perlu mempertimbangkan bagi mereka yang sudah bekerja di luar negeri dan kembali ke pekerjaan mereka.
Suster Laurentina, PI memberikan informasi bahwa moratorium artinya memperbaiki, membuat aturan main bekerja di luar dengan segala permasalahannya dan satu bulan yang akan datang moratorium akan diberhentikan karna tidak efektif, juga dibutuhkan regulasi. Setelah dievaluasi, moratorium akan dicabut, namun yang kerja di luar harus sesuai aturan. Ada sertifikat dari BLK yang ditandatangani Gubernur NTT.


Bagaimana solusi supaya ke depan tidak terjadi Human Trafficking?
Suster Laurentina, PI menjawab bahwa harus bekerjasama, dan jika ada yang mengajak untuk pergi keluar negeri tidak boleh percaya begitu saja. Dan seandainya memang mau kerja di luar negeri datang ke BP3TKI/Nakertrans. 

Masalah ekonomi, bagaimana memberi rekomendasi kerjasama dengan Malaysia?
Jawaban yang diberikan adalah sudah ada kerjasama dengan Malaysia yang namanya Tripartit. Seandainya pun kita menyiapkan tenaga kerja untuk bekerja di Malaysia, namun jika tidak ada perlindungan untuk apa? Karena sampai sekarang Undang-undang di Malaysia sama sekali tidak berpihak pada pekerja. 

Bagaimana modus pelaku perdagangan orang?
Suster Laurentina mengatakan bahwa pelaku itu bisa datang dengan berbagai modus. Modusnya ada yang berupa beasiswa dan dilakukan melalui keluarga juga orang terdekat seperti pacar. Pada akhirnya, Suster Laurentina, PI menyampaikan agar selalu berhati-hati karena Human Trafficking tidak memandang bulu, siapa saja bisa menjadi korban. Oleh karena itu yang sudah mengetahui tentang bahayanya perlu membagikan kepada orang lain sehingga tidak terjerumus.

Setelah sesi diskusi selesai, suster Laurentina PI diberikan tanda mata, dan dilanjutkan dengan membuat video singkat dimana peserta mengucapkan ‘KAYD, Stop Menjual Orang NTT, sambil membuat gerakan tanda X dengan tangan.



Dari aula sekolah, kami kembali ke tempat semula, dan panitia sudah menyiapkan makan siang bagi kami di ruang makan paroki gereja. Kami makan bersama Romo Goris. Selesai makan, Romo Goris menemani kami diluar menunggu jemputan mobil travel yang mengantar kami pulang. Kami mempersiapkan barang-barang yang kami bawa, ku cium tangan Pak Gabriel lalu mencium hidup ibu dan Kakak Tina. Kami berpamitan untuk pulang kembali Kupang.




***

Tuesday, September 24, 2019

Ini Bukan Hanya Tentang Migran


Pesan Paus Fransiskus untuk 
Hari Migran dan Pengungsi Sedunia 2019



'Ini bukan hanya tentang migran'


27 MEI 2019 16: 00 TEKS STAFF PAPAL ZENIT


Berikut ini adalah naskah Pesan Bapa Suci Fransiskus untuk Hari Migran dan Pengungsi Sedunia 2019, yang akan diadakan pada 29 September mendatang, dengan tema: "Ini bukan hanya tentang migran":


PESAN DARI BAPA SUCI
Ini bukan hanya tentang migran


Saudara dan saudari yang terkasih,

Iman meyakinkan kita bahwa secara misterius Kerajaan Allah sudah ada di dunia ini (lih. Gaudium et Spes, 39). Namun di zaman kita sekarang, kita sedih melihat rintangan dan perlawanan yang terjadi. Konflik kekerasan dan perang habis-habisan terus menghancurkan umat manusia; ketidakadilan dan diskriminasi  silih beganti; ketidakseimbangan ekonomi dan sosial pada ukuran lokal atau global terbukti sulit diatasi. Dan lebih dari semua itu, mereka yang termiskin dan paling tidak beruntung yang menanggung dampaknya.

Masyarakat yang paling maju secara ekonomi memberi kesaksian akan kecenderungan yang berkembang menuju individualisme ekstrem, yang dikombinasikan dengan mentalitas utilitarian dan diperkuat oleh media, menghasilkan “globalisasi ketidakpedulian”. Dalam skenario ini, para migran, pengungsi, orang-orang terlantar dan korban perdagangan manusia telah menjadi tanda pengucilan. Selain kesulitan yang ditimbulkan oleh kondisi mereka, mereka sering dipandang rendah dan dianggap sebagai sumber segala penyakit masyarakat. Sikap itu merupakan peringatan yang mengingatkan kita akan kemerosotan moral yang akan  kita hadapi jika kita terus mengandalkan budaya membuang itu. Bahkan, jika terus berlanjut, siapa pun yang tidak termasuk dalam norma-norma kesejahteraan social, mental dan fisik  yang diterima, berada dalam bahaya  mengalami peminggiran  dan pengucilan.

Oleh sebab itu,  kehadiran para migran dan pengungsi - dan orang-orang rentan pada umumnya - adalah undangan untuk memulihkan beberapa dimensi hakiki keberadaan Kristiani dan kemanusiaan kita yang dalam masyarakat yang makmur terancam untuk diabaikan. Itulah  sebabnya bahwa ini bukan hanya tentang  migran. Ketika kita menunjukkan kepedulian kepada mereka, kita juga menunjukkan kepedulian terhadap diri kita sendiri, kepedulian bagi semua orang; dalam merawat mereka, kita semua bertumbuh; dengan mendengarkan mereka, kita juga menyuarakan diri kita yang mungkin  kita tetap menyembunyikannya karena pada jaman ini hal itu tidak dihargai.

Kuatkanlah hatimu, inilah Aku, jangan takut!” (Mat 14:27). Ini bukan hanya tentang  migran: ini juga tentang ketakutan- ketakutan kita. Tanda-tanda kekejaman yang kita lihat di sekitar kita meningkat kan “ketakutan kita terhadap 'liyan', yang tidak kita kenal, yang dipinggirkan, orang asing… Khusus sekarang ini, kita dihadapkan kepada migran dan pengungsi yang mengetuk pintu kita untuk mencari perlindungan, keamanan dan masa depan yang lebih baik. Dalam batas tertentu, ketakutan itu masuk akal, juga karena kurangnya persiapan untuk menemui mereka ”(Homili di Sacrofano, 15 Februari 2019). Tetapi masalahnya bukan kita ragu dan takut. Masalahnya adalah ketika mereka mengkondisikan cara berpikir dan bertindak kita sehingga kita menjadi  tidak toleran, tertutup, dan bahkan mungkin - tanpa menyadarinya - rasis. Dengan cara ini, ketakutan menghalangi kita dari keinginan dan kemampuan untuk bertemu dengan liyan, orang yang berbeda dari diri saya; itu membuat saya kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan Tuhan (lih. Homili dalam Misa untuk Hari Migran dan Pengungsi Sedunia, 14 Januari 2018).

"Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihimu apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?”(Mat 5:46). Ini bukan hanya tentang migran: ini tentang kasih. Melalui karya amal kasih, kita menunjukkan iman kita (lih. Yak 2:18). Dan bentuk amal kasih  tertinggi adalah yang ditunjukkan kepada mereka yang tidak dapat membalas dan mungkin bahkan berterima kasih kepada kita sebagai balasannya. “Ini juga tentang wajah yang ingin kita tunjukkan kepada masyarakat kita dan tentang nilai setiap kehidupan manusia ... Kemajuan masyarakat  kita ... terutama tergantung pada keterbukaan kita untuk disentuh dan digerakkan oleh mereka yang mengetuk pintu kita. Wajah mereka menghancurkan dan menolak semua berhala palsu yang dapat mengambil alih dan memperbudak hidup kita; berhala-berhala yang menjanjikan kebahagiaan semu dan sesaat yang buta terhadap kehidupan dan penderitaan orang lain ”(Ceramah kepada Caritas Keuskupan Rabat, 30 Maret 2019).

“Tetapi seorang musafir Samaria yang datang kepadanya tergerak oleh belas kasihan ketika melihatnya” (Luk 10:33). Ini bukan hanya tentang migran: ini tentang kemanusiaan kita. Belas kasih memotivasi orang Samaria itu – yang bagi orang Yahudi adalah orang asing - untuk tidak lewat begitu saja. Belas kasih adalah perasaan yang tidak dapat dijelaskan hanya secara  rasional semata-mata. Belas kasih menyentuh lubuk hati manusia yang paling dalam sehingga menimbulkan dorongan kuat untuk "menjadi sesama” bagi semua orang yang kita temui sedang berada dalam kesulitan. Seperti yang Yesus sendiri ajarkan kepada kita (lih. Mat 9: 35-36; 14: 13-14; 15: 32-37), berbelas kasih berarti mengakui penderitaan orang lain dan mengambil tindakan segera untuk meringankan, menyembuhkandan menyelamatkan.

Berbelas kasih berarti memberi ruang bagi kelembutan yang oleh masyarakat kita di jaman sekarang sering ditindas. “Membuka diri kepada orang lain tidak membawa kita pada pemiskinan, tetapi lebih pada pengayaan, namun lebih dari pada  itu justru memungkinkan kita untuk menjadi lebih manusiawi: untuk mengenali diri kita sebagai bagian dari keseluruhan yang lebih besar dan memahami hidup kita sebagai anugerah bagi orang lain; untuk melihat bahwa tujuan hidup kita bukan untuk kepentingan kita sendiri, tetapi lebih untuk kebaikan umat manusia ”(Pidato di Masjid Heydar Aliyev di Baku, 2 Oktober 2016).

Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga. (Mat 18:10). Ini bukan hanya tentang migran: ini adalah sebuah pertanyaan  untuk melihat apakah tidak ada seorangpun yang diabaikan. Dunia saat ini semakin menjadi lebih elitis dan kejam terhadap mereka yang tersingkir. Negara-negara berkembang terus kehabisan sumber daya alam dan manusia terbaik mereka demi keuntungan beberapa pasar yang  diistimewakan. Perang hanya berdampak pada  beberapa wilayah di dunia, namun senjata perang diproduksi dan dijual di wilayah lain yang kemudian tidak mau menerima pengungsi yang diakibatkan oleh konflik ini. Yang membayar harganya selalu adalah anak-anak kecil, orang miskin, mereka yang paling rentan, yang dilarang untuk berada di meja dan hanya mendapat sisa “remah-remah” perjamuan (lih. Luk 16: 19-21). “Gereja yang 'maju'… dapat bergerak maju, dengan berani mengambil inisiatif, pergi ke yang lain, mencari mereka yang telah jatuh, berdiri di persimpangan jalan dan menyambut orang-orang yang terbuang” (Evangelii Gaudium, 24). Perkembangan yang tertutup membuat orang kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin. Di lain pihak, pembangunan yang nyata berupaya melibatkan semua laki-laki dan perempuan di dunia ini  untuk mempromosikan pertumbuhan yang utuh dan untuk menunjukkan kepedulian kepada generasi mendatang.

Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya.”(Mrk10: 43-44). Ini bukan hanya tetang migran: ini tentang menempatkan yang terakhir di tempat yang pertama. Yesus Kristus meminta kita untuk tidak menyerah pada logika dunia, yang membenarkan ketidakadilan bagi orang lain untuk keuntungan diri sendiri atau kelompok sendiri. “Aku dulu, baru kemudian yang lain!” Sebaliknya, semboyan orang Kristiani yang benar adalah, “Yang terakhir adalah yang pertama!” “Roh individualistis adalah tanah subur untuk pertumbuhan ketidakpedulian jenis itu terhadap sesama kita yang cenderung untuk melihat mereka semata-mata dari segi ekonomi, untuk kurangnya kepedulian terhadap kemanusiaan mereka dan akhirnya pada ketakutan dan sinisme. Bukankah ini sikap yang sering kita adopsi untuk  orang miskin, yang terpinggirkan dan yang 'paling kecil' dari masyarakat? Dan berapa banyak dari yang 'paling kecil ini yang kita miliki di dalam masyarakat kita! Di antara mereka, saya pikir terutama para migran, dengan beban kesulitan dan penderitaan mereka, karena mereka setiap hari mencari, seringkali dalam keputus-asaan, tempat untuk hidup dalam damai  dan bermartabat ”(Pidato kepada Korps Diplomatik, 11 Januari 2016). Dalam logika Injil, yang datang kemudian menjadi yang terdahulu  dan kita harus menyediakan  diri  untuk melayani mereka.

“Aku datang supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh 10:10). Ini bukan hanya tentang migran: ini tentang  seluruh pribadi manusiatentang semua orang. Dalam perkataan Yesus, kita menemukan inti dari misi-Nya: untuk melihat bahwa semua menerima karunia kehidupan dalam kepenuhannya, sesuai dengan kehendak Bapa. Dalam setiap kegiatan politik, dalam setiap program, dalam setiap tindakan pastoral, kita harus selalu menempatkan pribadi  manusia sebagai pusat, dalam banyak segi, termasuk  dimensi rohani. Dan ini berlaku bagi semua orang, yang kesetaraan dasarnya harus diakui. Oleh karena itu, “pembangunan tidak dapat dibatasi hanya untuk pertumbuhan ekonomi semata-mata. Agar menjadi sahih, pembangunan harus menyeluruh; pembangunan harus menumbuhkan perkembangan setiap orang dan keseluruhan manusia ”(SANTO PAULUS VI, Populorum Progressio, 14).
  
Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah” (Ef 2:19). Ini bukan hanya tentang migran: ini tentang membangun kota Tuhan dan manusia. Di jaman kita, yang juga bisa disebut era migrasi, banyak orang tak berdosa menjadi korban “penipuan besar” pengembangan teknologi dan konsumerisme tanpa batas (lih. Laudato Si ’, 34). Sebagai akibatnya, mereka melakukan perjalanan menuju "surga" yang secara tak terelakkan mengkhianati harapan mereka. Kehadiran mereka, terkadang tidak nyaman, membantu  menyanggah mitos kemajuan yang menguntungkan hanya beberapa orang  tetapi dibangun di atas pemerasan banyak orang. “Kita sendiri perlu melihat dan kemudian memungkinkan orang lain untuk melihat, bahwa migran dan pengungsi tidak hanya mewakili masalah yang harus dipecahkan tetapi mereka juga adalah saudara dan saudari yang harus disambut, dihormati dan dicintai. Mereka adalah kesempatan yang diberikan Tuhan Sang Penyelenggara untuk membantu membangun masyarakat yang lebih adil, demokrasi yang lebih sempurna, negara yang lebih bersatu, dunia yang lebih bersaudara dan komunitas Kristiani yang lebih terbuka dan membawa Kabar Gembira (Pesan untuk Hari Migran dan Pengungsi Dunia 2014)).

Saudara dan saudari yang terkasih, tanggapan kita terhadap tantangan-tantangan yang ditimbulkan oleh migrasi jaman ini dapat diringkas dalam empat kata kerja: sambut, lindungi, dukung dan integrasikan. Namun kata kerja ini tidak hanya berlaku untuk migran dan pengungsi. Kata kerja itu menggambarkan misi Gereja untuk semua yang hidup di ambang batas pinggir  keberadaan mereka, yang perlu disambut, dilindungi, didukung dan diintegrasikan. Jika kita mempraktikkan keempat kata kerja itu, kita akan membantu membangun kota Tuhan dan manusia. Kita akan mendukung  pengembangan manusia yang utuh bagi semua orang. Kita juga akan membantu masyarakat dunia untuk semakin dekat dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yang telah ditetapkan untuk dirinya sendiri dan bahwa, tanpa pendekatan semacam itu, akan terbukti sulit untuk dicapai.

Singkat kata, bukan hanya masalah migran yang dipertaruhkan; ini bukan hanya tentang mereka, tetapi tentang kita semua dan tentang masa kini dan masa depan keluarga manusia. Migran, terutama mereka yang paling rentan, membantu kita membaca "tanda-tanda jaman". Melalui mereka, Tuhan memanggil kita untuk bertobat, untuk dibebaskan dari ketertutupan, ketidakpedulian, dan budaya membuangLewat mereka, Tuhan mengundang kita untuk memeluk sepenuhnya hidup Kristiani dan ikut ambil peran, masing-masing sesuai dengan panggilannya sendiri, untuk membangun dunia yang semakin sesuai dengan rencana Tuhan.

Dalam mengungkapkan harapan yang penuh doa ini dan melalui perantaraan Perawan Maria, Bunda Dipamarga, saya memohon berkah yang berlimpah dari Tuhan bagi semua migran dan pengungsi di dunia ini dan bagi semua orang yang menemani dalam perjalanan mereka.


Dari Vatikan, 27 Mei 2019

FRANSISKUS

© Libreria Editrice Vatican


============================================================

TEKS ASLI

Pope Francis’ Message for 2019 World Day of Migrants and Refugees

‘It is not just about migrants’

MAY 27, 2019 16:00 ZENIT STAFFPAPAL TEXTS


The following is the text of the Message of the Holy Father Francis for the World Day of Migrants and Refugees 2019, to be held this coming September 29, on the theme: “It is not just about migrants”:


Message of the Holy Father
It is not just about migrants


Dear Brothers and Sisters,

Faith assures us that in a mysterious way the Kingdom of God is already present here on earth (cf. Gaudium et Spes, 39). Yet in our own time, we are saddened to see the obstacles and opposition it encounters. Violent conflicts and all-out wars continue to tear humanity apart; injustices and discrimination follow one upon the other; economic and social imbalances on a local or global scale prove difficult to overcome. And above all, it is the poorest of the poor and the most disadvantaged who pay the price.

The most economically advanced societies are witnessing a growing trend towards extreme individualism which, combined with a utilitarian mentality and reinforced by the media, is producing a “globalization of indifference”. In this scenario, migrants, refugees, displaced persons and victims of trafficking have become emblems of exclusion. In addition to the hardships that their condition entails, they are often looked down upon and considered the source of all society’s ills. That attitude is an alarm bell warning of the moral decline we will face if we continue to give ground to the throw-away culture. In fact, if it continues, anyone who does not fall within the accepted norms of physical, mental and social well-being is at risk of marginalization and exclusion.

For this reason, the presence of migrants and refugees – and of vulnerable people in general – is an invitation to recover some of those essential dimensions of our Christian existence and our humanity that risk being overlooked in a prosperous society. That is why it is not just about migrants. When we show concern for them, we also show concern for ourselves, for everyone; in taking care of them, we all grow; in listening to them, we also give voice to a part of ourselves that we may keep hidden because it is not well regarded nowadays.

“Take courage, it is I, do not be afraid!” (Mt 14:27). It is not just about migrants: it is also about our fears. The signs of meanness we see around us heighten “our fear of ‘the other’, the unknown, the marginalized, the foreigner… We see this today in particular, faced with the arrival of migrants and refugees knocking on our door in search of protection, security, and a better future. To some extent, the fear is legitimate, also because the preparation for this encounter is lacking” (Homily in Sacrofano, 15 February 2019). But the problem is not that we have doubts and fears. The problem is when they condition our way of thinking and acting to the point of making us intolerant, closed and perhaps even – without realizing it – racist. In this way, fear deprives us of the desire and the ability to encounter the other, the person different from myself; it deprives me of an opportunity to encounter the Lord (cf. Homily at Mass for the World Day of Migrants and Refugees, 14 January 2018).

“For if you love those who love you, what recompense will you have? Do not the tax collectors do the same?” (Mt 5:46). It is not just about migrants: it is about charity. Through works of charity, we demonstrate our faith (cf. Jas 2:18). And the highest form of charity is that shown to those unable to reciprocate and perhaps even to thank us in return. “It is also about the face we want to give to our society and about the value of each human life… The progress of our peoples… depends above all on our openness to being touched and moved by those who knock at our door. Their faces shatter and debunk all those false idols that can take over and enslave our lives; idols that promise illusory and momentary happiness blind to the lives and sufferings of others” (Address at the Diocesan Caritas of Rabat, 30 March 2019).

“But a Samaritan traveler who came upon him was moved with compassion at the sight” (Lk 10:33). It is not just about migrants: it is about our humanity. Compassion motivated that Samaritan – for the Jews, a foreigner – not to pass by. Compassion is a feeling that cannot be explained on a purely rational level. Compassion strikes the most sensitive chords of our humanity, releasing a vibrant urge to “be a neighbor” to all those whom we see in difficulty. As Jesus himself teaches us (cf. Mt9:35-36; 14:13-14; 15:32-37), being compassionate means recognizing the suffering of the other and taking immediate action to soothe, heal and save.

To be compassionate means to make room for that tenderness which today’s society so often asks us to repress. “Opening ourselves to others does not lead to impoverishment, but rather enrichment, because it enables us to be more human: to recognize ourselves as participants in a greater collectivity and to understand our life as a gift for others; to see as the goal, not our own interests, but rather the good of humanity” (Address at the Heydar Aliyev Mosque in Baku, 2 October 2016).

“See that you do not despise one of these little ones, for I say to you that their angels in heaven always look upon the face of my heavenly Father” (Mt 18:10). It is not just about migrants: it is a question of seeing that no one is excluded. Today’s world is increasingly becoming more elitist and cruel towards the excluded. Developing countries continue to be drained of their best natural and human resources for the benefit of a few privileged markets. Wars only affect some regions of the world, yet weapons of war are produced and sold in other regions which are then unwilling to take in the refugees produced by these conflicts. Those who pay the price are always the little ones, the poor, the most vulnerable, who are prevented from sitting at the table and are left with the “crumbs” of the banquet (cf. Lk 16:19-21). “The Church which ‘goes forth’… can move forward, boldly take the initiative, go out to others, seek those who have fallen away, stand at the crossroads and welcome the outcast” (Evangelii Gaudium, 24). A development that excludes makes the rich richer and the poor poorer. A real development, on the other hand, seeks to include all the world’s men and women, to promote their integral growth, and to show concern for coming generations.

“Whoever wishes to be great among you will be your servant; whoever wishes to be first among you will be the slave of all” (Mk10:43-44). It is not just about migrants: it is about putting the last in first place. Jesus Christ asks us not to yield to the logic of the world, which justifies injustice to others for my own gain or that of my group. “Me first, and then the others!” Instead, the true motto of the Christian is, “The last shall be first!” “An individualistic spirit is fertile soil for the growth of that kind of indifference towards our neighbors which leads to viewing them in purely economic terms, to a lack of concern for their humanity, and ultimately to feelings of fear and cynicism. Are these not the attitudes we often adopt towards the poor, the marginalized and the ‘least’ of society? And how many of these ‘least’ do we have in our societies! Among them, I think primarily of migrants, with their burden of hardship and suffering, as they seek daily, often in desperation, a place to live in peace and dignity” (Address to the Diplomatic Corps, 11 January 2016). In the logic of the Gospel, the last come first, and we must put ourselves at their service.

“I came so that they might have life and have it more abundantly” (Jn 10:10). It is not just about migrants: it is about the whole person, about all people. In Jesus’ words, we encounter the very heart of his mission: to see that all receive the gift of life in its fullness, according to the will of the Father. In every political activity, in every program, in every pastoral action, we must always put the person at the center, in his or her many aspects, including the spiritual dimension. And this applies to all people, whose fundamental equality must be recognized. Consequently, “development cannot be restricted to economic growth alone. To be authentic, it must be well-rounded; it must foster the development of each man and of the whole man” (SAINT PAUL VI, Populorum Progressio, 14).

“So then you are no longer strangers and sojourners, but you are fellow citizens with the holy ones and members of the household of God” (Eph 2:19). It is not just about migrants: it is about building the city of God and man. In our time, which can also be called the era of migration, many innocent people fall victim to the “great deception” of limitless technological and consumerist development (cf. Laudato Si’, 34). As a result, they undertake a journey towards a “paradise” that inevitably betrays their expectations. Their presence, at times uncomfortable, helps to debunk the myth of a progress that benefits a few while built on the exploitation of many. “We ourselves need to see, and then to enable others to see, that migrants and refugees do not only represent a problem to be solved but are brothers and sisters to be welcomed, respected and loved. They are an occasion that Providence gives us to help build a more just society, a more perfect democracy, a more united country, a more fraternal world and a more open and evangelical Christian community” (Message for the 2014 World Day of Migrants and Refugees).

Dear brothers and sisters, our response to the challenges posed by contemporary migration can be summed up in four verbs: welcome, protect, promote and integrate. Yet these verbs do not apply only to migrants and refugees. They describe the Church’s mission to all those living in the existential peripheries, who need to be welcomed, protected, promoted and integrated. If we put those four verbs into practice, we will help build the city of God and man. We will promote the integral human development of all people. We will also help the world community to come closer to the goals of sustainable development that it has set for itself and that, lacking such an approach, will prove difficult to achieve.

In a word, it is not only the cause of migrants that is at stake; it is not just about them, but about all of us, and about the present and future of the human family. Migrants, especially those who are most vulnerable, help us to read the “signs of the times”. Through them, the Lord is calling us to conversion, to be set free from exclusivity, indifference, and the throw-away culture. Through them, the Lord invites us to embrace fully our Christian life and to contribute, each according to his or her proper vocation, to the building up of a world that is more and more in accord with God’s plan.
  
In expressing this prayerful hope, and through the intercession of the Virgin Mary, Our Lady of the Way, I invoke God’s abundant blessings upon all the world’s migrants and refugees and upon all those who accompany them on their journey.

From the Vatican, 27 May 2019

FRANCIS

© Libreria Editrice Vatican