Monday, October 14, 2019

Diskusi Panduan Deteksi Dini Trauma Pada Korban Perdagangan Orang Dan Kekerasan Berbasis Gender Lainnya


Hari ini, Jumat (11/10/2019) aku dan Venny mengikuti diskusi Panduan Deteksi Dini Trauma pada Korban Perdagangan Orang dan Kekerasan Berbasis Gender Lainnya yang diselenggarakan oleh Rumah Harapan. Kegiatan ini berlangsung di Shelter Rumah Harapan. Ada 9 lembaga yang diundang dalam kegiatan diskusi ini, yaitu LBH APIK NTT, P2TP2A NTT, Rumah Perempuan Kupang, Lembaga Perlindungan Anak NTT, Susteran PI Kupang, PPA Polda NTT, PPA POLRES Kupang Kota dan PPA POLRES Kabupaten Kupang.


Kegiatan ini dimulai pukul 09.30 WITA, terlambat setengah jam dari waktu yang ditentukan dalam surat undangan. Kegiatan dibuka dengan doa yang dipimpin oleh salah satu relawan Rumah Harapan. Mama Ferderika Tadu Hungu. Ketua Pengurus Rumah Harapan tersebut menyapa semua yang hadir serta mengucapkan terima kasih atas kehadiran peserta. Mama Ferderika menjelaskan bahwa diskusi Panduan Deteksi Dini Trauma pada Korban Perdagangan Orang dan Kekerasan Berbasis Gender Lainnya merupakan lanjutan kegiatan yang dilakukan pada bulan Juni lalu tentang Deteksi Dini Korban sebagai salah satu bentuk penguatan kapasitas staf, relawan/pendamping. Hal ini dikarenakan staf, relawan/pendamping berasal dari latar belakang pendidikan yang berbeda sehingga perlu untuk memiliki pengetahuan tentang Psikologi. Diskusi hari ini akan dipimpin oleh Ibu Andriyani Lay yang merupakan seorang Psikolog. Sebelum Ibu Andriyani memulai, terlebih dahulu kami semua meneriakkan yel-yel sebagai penyemangat di pagi hari ini dan karena beberapa yang hadir dalam diskusi hari ini tidak mengikuti diskusi sebelumnya, maka Ibu Andriyani memberikan review pertemuan sebelumnya yaitu tentang panduan deteksi dini trauma. Menurut Ibu Andriyani, di lapangan yang paling banyak ditangani adalah masalah stress, trauma, PTSD, depresi. Selama ini, para relawan banyak berhadapan dengan klien yang mengeluh namun belum bisa mengkategorikannya dan belum tahu penanganannya, dan hari ini Ibu Andriyani akan memberikan panduan mendeteksi dini trauma pada korban. 


Yang pertama dan yang paling penting dalam mendeteksi trauma pada korban adalah dengan mengenal para korban, misalnya latar belakang dari korban. Latar belakang itu bisa berupa agama yang menguatkan atau budaya yang melemahkan seperti budaya yang menganggap perempuan posisinya lebih rendah daripada laki-laki. Selain itu pengalaman yang dialami di masa lalu serta respon terhadap tantangan merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap frekuensi dan intensitas masalah yang dialami klien. Data diri yang dikumpulkan oleh para relawan itu memiliki hubungan dengan permasalahan yang dialami.
Ibu Andriyani memulai materinya yang pertama tentang stress (distress=negatif, oestress=positif) dan trauma. Dua kata ini seringkali disamakan namun sebenarnya berbeda. Ada kecenderengan dimana masyarakat mendefinisikan stress sebagai suatu gangguan jiwa yang berat, oleh karena itu perlu tahu perbedaannya sehingga bisa merujuk korban kepada professional.

Stress adalah suatu keadaan tidak nyaman pada seseorang karena adanya perubahan dalam diri atau lingkungan yang menuntut adanya penyesuaian pada seseorang yang mengalaminya. Perubahannya yaitu baik dan buruk. Penyesuaian terhadap kondisi itu akan menentukan seseorang mengalami stress atau tidak tergantung dari respon terhadap perubahan tersebut. Stress bisa dimanifestasikan dalam pikiran, emosi, fisik, perilaku. Kategorinya adalah ringan sampai berat dan akut sampai kronis. Berat dan ringan itu mempengaruhi seberapa banyak aspek dari diri korban yang terkena dampaknya. Akut adalah stress yang langsung terjadi, segera, mendadak, tiba-tiba dan dalam rentang waktu yang singkat dan responnya pada saat itu juga. Kronis adalah stress yang sudah berlangsung lama, jangka waktunya satu atau dua bulan. Semakin banyak yang terganggu aspek dalam diri korban artinya stress yang dialami semakin berat.

Trauma merujuk pada peristiwa negatif yang mengakibatkan kesukaran/penderitaan dan kesukaran/kesulitan itu sendiri. Trauma secara umum berarti semua pengalaman yang menyebabkan perasaan takut, ketidakberdayaan, disasosiasi, kebingungan, dan mengganggu fungsi dan aspek-aspek dari seseorang. Trauma terjadi karena ada peristiwa yang dialami secara langsung, menyaksikan (tidak hanya korban), merasakan, konfrontasi dan penyebabnya bisa berupa bencana alam, perilaku manusia (misalnya penyiksaan) atau sakit serius yang mengakibatkan kematian atau ancaman kematian, luka serius atau kehilangan anggota tubuh. Yang mengalaminya adalah individu atau diri sendiri atau orang lain (keluarga, teman, kenalan, dan lain-lain) dengan respon yang intens, berupa rasa takut, ketidakberdayaan, kengerian/sangat ketakutan (tiga hal yang menjadi ciri khas trauma). Trauma terjadi bila ancaman eskternal lebih besar daripada sumber daya internal dan esksternal untuk melakukan coping (cara mengatasi stress) terhadap ancaman tersebut. Jadi, fungsi menilai latar belakang/identitas penyintas (klien) adalah untuk mengukur sumber daya internal dan eksternal yang dimiliki, untuk melihat apakah dia mampu melakukan coping. Trauma merupakan suatu respon yang normal, tergantung cara memaknai peristiwa itu. Trauma berakibat buruk pada korban tergantung dari proses merespon dan gejala yang muncul berlangsung, lamanya frekuensi dan intensitas yang terjadi. Respon itu ada yang aktif (menanggapi, berupaya untuk menghadapi dan mengatasi masalah-masalah dari aspek yang ada dalam diri) dan ada yang menghindar (tidak mau menghadapi dan mengatasi masalah-masalah tersebut).

Gejala respon dari trauma adalah kognitif, emosional, tingkah laku, diagnosa gangguan (PTSD, amnesia). Orang yang mengalami trauma hidupnya penuh dengan diisi dengan ingatan, mimpi-mimpi, kecemasan, gelisah, dan merasa bahwa peristiwa yang dialami seolah-olah berulang kembali. Memori dan ketegangan ingatan yang muncul terus-menerus membentuk gejala dari Acute Stress Disorder dan Post Traumatic Stress Disorder. Reaksi trauma yg muncul tidak selalu negatif, ada juga positif. Misalnya reaksi positif terhadap aspek sosial adalah terhubung secara sosial, perilaku menolong dan mementingkan kepentingan orang lain.

Selanjutnya, Ibu Andriyani menjelaskan perbedaan antara PTSD dan ASD. Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) adalah gangguan traumatik paska stress, sedangkan Acute Stress Disorder (ASD) adalah gangguan stress akut.

Kriteria Diagnostik PTSD, yaitu:
a.    Individu mengalami peristiwa traumatis
b.    Terus menerus mengalami peristiwa traumatis, melalui ingatan atau mimpi,
c. Terus menerus menghindari rangsangan yang berhubungan dengan trauma dan kaku/mati rasa dalam menghadapi
d.    Gejala-gejala peningkatan ketegangan yang menetap (tidak muncul selama trauma)
e.  Durasi dari gangguan (gejala pada kriteria b, c, dan d) lebih dari satu bulan. Penting untuk mengetahui peristiwa terjadi kapan, gejala muncul sejak kapan dan sudah berlangsung berapa lama, untuk menentukan diagnosa
f.     Ganggungan tersebut menyebabkan distress yang signifikan secara klinis atau merusak fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi area penting lainnya.

Reaksi fisiologisnya ada aspek internal eksternal, yaitu:
1. Upaya menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan, tempat, aktivitas yang berhubungan dengan trauma.
2.    Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari trauma
3.    Ditandai dengan hilangnya minat atau keterlibatan dalam aktivitas penting
4.    Merasa jauh atau asing dengan orang lain
5.    Terbatasnya jarak afek atau perasaan (contohnya tidak memiliki perasaan cinta)
6.    Perasaan akan masa depan suram
7.    Sulit tidur atau tetap terjaga
8.    Mudah marah atau meledak-ledak
9.    Sulit konsentrasi
10.  Waspada berlebihan
11.  Respon ketakutan yang berlebihan

Untuk melihat akut atau kronisnya PTSD yang dialami dilihat dari durasi waktu. PTSD akut jika durasi gejala kurang dari tiga bulan dan PTSD kronis jika durasi gejala tiga bulan atau lebih. Penting untuk melihat korban mengalami PTSD adalah ada penundaan gejala minimal enam bulan setelah peristiwa traumatis. Ada 3 kelompok besar gejala PTSD, baik pada anak maupun orang dewasa, yaitu:
·    Mengalami trauma yang berulang, tidak hanya melibatkan memori yang menyakitkan namun pengalaman berulang yang dialami memiliki kualitas gangguan di luar control
·         Secara efektif menghindari stimulus yang membangkitkan peristiwa traumatis
·    Menunjukkan gejala meningkatnya ketegangan seperti sulit tidur atau tidak tenang, panik.

PTSD pada anak agak sulit didiagnosis karena sulit untuk menemukan gejalanya, karena anak bisa bermain seperti biasanya. Oleh karena itu perlu untuk mengetahui tumbuh kembang anak sehingga bisa melihat mana respon perilaku normal dan tidak normal. Mimpi anak yang mengalami trauma sering berubah menjadi ketakutan yang umum seperti mimpi diserang monster. Anak seringkali memunculkan kembali peristiwa tersebut bersama orang lain. Selanjutnya, pada anak ada acting out artinya anak bertingkah laku menunjukkan perasaan terpendamnya. Tantangannya adalah orangtua seringkali mengatakan anak tidak terpengaruh dengan trauma.

Berikut Kriteria Diagnostik ASD (Acute Stress Disorder)
a.    Individu mengalami peristiwa traumatis
b. Baik sementara mengalami atau setelah mengalami peristiwa yang menyedihkan, individu mengalami dua atau lebih gejala disosiatif.
c.  Peristiwa traumatis dialami terus menerus dialami kembali. gejala-gejala peningkatan ketegangan yang menetap (tidak muncul sebelum trauma)
d.    Ditandai dengan menghindar dari stimulus yang membangkitkan kembalinya trauma
e.    Ditandai dengan gejala-gejala kecemasan atau meningkatnya ketegangan
f.  Gangguan terjadi secara klinis menyebabkan distress atau ketidakmampuan sosial, lingkungan pekerjaan atau fungsi area penting lainnya atau ketidakmampuan individu mengerjakan tugas yang dibutuhkan
g.    Gangguan berlangsung selama minimum dua hari maksimum empat minggu
h.  Gangguan bukan dikarenaka efek psikologis langsung dari zat (rokok, alkohol, obat tertentu)

Berikut adalah reaksi/respon/gejala disasosiatif yang ditunjukkan oleh korban dengan ASD:
1.    Mati rasa atau tidak adanya respon emosional
2.    Turunnya kesadaran akan lingkungan sekitarnya (linglung)
3.    Deperzonalitation (merasa hal-hal disekitarnya tidak nyata)
4.    Dissacociative Amnesia
5.    Muncul bayangan berulang, pikiran, mimpi, ilusi, episode flashback, atau menghidupkan kembali peristiwa itu; perasaan tertekan mengingat peristiwa traumatis itu

PTSD dan ASD memiliki perbedaan. Perbedaannya adalah sebagai berikut, pada ASD onset lebih cepat dan berlangsung lebih pendek, melibatkan gejala yang lebih parah (3 gejala disasosiatif), intensitasnya lebih kuat dari PTSD. Sedangkan pada PTSD onset lebih lama atau ada penundaan, intensitasnya kuat.

Ibu Andriyani juga memberikan materi tentang cara mengasesmen korban. Beliau mengatakan bahwa dalam melakukan asesman kata kuncinya adalah fact (fakta). Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam asesmen, yang pertama adalah first asses yaitu melakukan wawancara dengan pertanyaan terbuka tertutup untuk bisa menggali informasi tentang peristiwa traumatis yang dialami, yang kedua adalah conceptualize yaitu tugas dari konselor untuk mensintesis informasi klien. Pada saat wawancara pastikan klien yang lebih banyak bicara dan sebagai konselor membuat kesimpulan dan menyusun rencana penanganannya, yang ketiga adalah treat atau penganganan

Ada dua hal yang perlu diperhatikan saat dalam proses asesmen yaitu:
1.    Aspek kriteria stressor: identifikasi peristiwa trauma, klien mengidentifikasi mana trauma yang paling mengganggu, menilai tentang respon ketakutan dan ketidakberdayaan
2. Aspek fisik dan psikologis: membutuhkan waktu yang lama, dilakukan dengan wawancara dan psikotes, kondisi medis (masalah endokrin, trauma otak, gangguan syaraf), psikosomatis, konsumsi obat-obatan (herbal, vitamin, suplemen)

Hal penting yang perlu dinilai yaitu informasi tentang fungsi individu, sumber dukungan sosial, resiko bunuh diri atau melukai diri, faktor resiko mengalami trauma (jenis kelamin, sosial-ekonomi, kepribadian, kehadiran gangguan sebelumnya, pengalaman masa kecil).
Pengetahuan yg didapat perlu diterapkan dalam penanganan, tidak hanya sekedar meminta data namun semua ada hubungannya dalam penanganan korban.

Selesai dengan materinya, kami diberikan kesempatan untuk beristirahat sejenak dan menikmati snack yang disediakan. Kegiatan dilanjutkan dengan berlatih melakukan asesmen terhadap korban untuk melihat gejala-gejala yang dialami mengarah pada ASD, PTSD atau depresi. Mungkin ini adalah sesi yang paling menyenangkan, karena di sini kami diperlihatkan bagaimana seseorang yang mengalami trauma berhadapan dengan para psikolog. Meskipun bukan korban yang sebenarnya namun disini para peserta yang lebih berpengalaman dalam menangani korban diminta untuk berakting sebagai korban dan sebagai konselor. Seorang ibu berperan sebagai seorang anak berusia delapan tahun yang mengalami pelecehan seksual dan salah satu relawan Rumah Harapan berperan sebagai Psikolog yang menangani anak tersebut, sedang kami yang lain sebagai pengamat diberikan kertas yang merupakan daftar cek gejala gangguan PTSD, ASD, dan Depresi serta kertas berisikan Asesmen Kebutuhan Mendesak dari Survivor. Dari wawancara tersebut kami diminta untuk melihat trauma yang dialami oleh anak tersebut apakah PTSD, ASD, atau depresi. Sayangnya hasil wawancara itu tidak cukup untuk melihat gejala dari anak tersebut merujuk pada PTSD, ASD, atau trauma, sehingga dilakukan wawancara kedua dengan Ibu Andriyani sendiri sebagai Psikolognya dan salah satu relawan Rumah Harapan sebagai korbannya. Disini aku melihat perbedaan antara amatir dan professional, Ibu Andriyani memberikan pertanyaan-pertanyaan lugas namun lembut sehingga kami semua bisa sampai pada satu kesimpulan bahwa korban mengalami Acute Stress Disorder. Meskipun sebenarnya untuk mengetahui trauma yang dialami tidak bisa hanya dengan satu kali pertemuan atau wawancara.

Di akhir wawancaranya, Ibu Andriyani menjelaskan bahwa saat melakukan wawancara klinis harus berfokus pada gejala/respon dari korban dan tidak mencampurnya dengan kronologis peristiwa yang dialami. Paling penting untuk dilihat adalah frekuensi dan intensitasnya. Dalam melakukan wawancara, tujuan-tujuan yang bisa dijadikan acuan untuk membuat pertanyaan adalah yang pertama untuk mengumpulkan informasi latar belakang korban, yang kedua untuk menilai masalah psikologis, dan yang ketiga adalah menilai relasi dengan keluarga serta sumber dukungan sosial. Selanjutnya Ibu Andriyani menambahkan bahwa pertanyaan yang diberikan harus sesuai dengan penanganan yang di ambil. Persiapan sebelum melakukan wawancara itu penting dan harus mengarah pada yang ingin dicapai. Untuk hal ini memang perlu banyak belajar dan pengenalan akan klien itu penting. Selain wawancara, yang perlu untuk diperhatikan adalah perlu adanya catatan observasi.
Ibu Andriyani juga menegaskan bahwa sebagai pendamping, atau sebagai orang yang membantu korban kita perlu untuk melakukan hal menyenangkan yang dilakukan setiap harinya. Ibu Andriyani membagikan kami kertas untuk menuliskan daftar aktivitas menyenangkan yang bisa dilakukan setiap harinya meskipun hanya beberapa menit untuk melepaskan stress yang dialami, karena sebagai pendamping bukan tidak mungkin tidak mengalami stress. Kami diminta untuk menuliskan serta melakukannya. Beberapa orang pendamping diminta untuk membacakan daftar aktivitas selama satu minggu yang mereka buat sebagai referensi bagi yang belum menemukan aktifitas menyenangkan, selanjutnya kegiatan ditutup dengan doa makan siang.



Laporan Jeni Lamao dari Kupang, NTT

Friday, October 11, 2019

Beasiswa Merah Putih Untuk Korban Gempa dan Tsunami Palu

Telah lebih dari satu tahun Gempa dan Tsunami Palu terjadi dan memporakporandakan kehidupan masyarakat di sana. Tanah dan bangunan seakan lenyap dalam waktu sekejap.  Lebih dari 2000 jiwa menghilang tanpa kabar. Kerusakan besar yang terjadi akibat bencana tersebut tentunya memerlukan uluran tangan dari banyak pihak untuk membantu masyarakat setempat agar dapat menjalani kehidupan yang normal kembali.

Sahabat Insan turut memberikan perhatiannya kepada bencana ini melalui kerjasamanya dengan karya pelayanan Suster PBHK dan turut berpartisipasi aktif dalam penggalangan dana Gowes For Palu. Para Suster PBHK di bawah koordinasi Suster Eugenia, PBHK membuat program beasiswa bagi anak-anak sekolah tingkat SD sampai SLTA. Program ini diambil karena pada masa tanggap darurat tersebut, belum ada lembaga yang mendampingi anak-anak dengan memberikan beasiswa. Diharapkan dengan adanya program ini, pendidikan anak-anak sebagai pemilik masa depan tetap berjalan dengan lancar setelah terjadinya bencana ini. 



Pada tahap awal, Sr Eugenia, PBHK membentuk tim pelaksana dengan mencari beberapa orang muda yang tinggal di Palu untuk membantu melaksanakan program ini. Suster sengaja mengambil orang muda setempat karena mereka yang lebih mengerti dan memahami budaya masyarakat dan lingkungan serta hal-hal lain yang berkaitan dengan program. Sampai sekarang, 12 orang muda telah bergabung dalam tim ini. Tiga orang ditunjuk sebagai penanggung jawab administrasi, lapangan dan kantor, dan delapan orang lainnya sebagai relawan di lapangan. Kedelapan relawan ini berasal dari berbagai latar belakang: 1 orang guru, 1 orang pegawai bank, 1 orang pengemudi transportasi online, serta 5 mahasiswa Universitas Tadulako Palu, dan juga dari berbagai suku: Manado, Toraja, Flores, Dayak, Jawa dan Bali, terdiri dari 4 perempuan dan 8 laki-laki. 

Setelah tim terbentuk, mereka menentukan wilayah dan daerah tujuan yang akan menjadi sasaran pertolongan yaitu: Sidera/Bulu PountuJaya, daerah transmigrasi yang terdampak gempa; Jono Oge, wilayah yang terdampak likuifaksi; dan Talise, wilayah yang terdampak tsunami. Dalam perjalanan waktu, muncul wilayah kota Palu juga mendapat bantuan dana beasiswa. Beasiswa ini diberi nama Beasiswa Merah Putih, yang merupakan warna bendera Indonesia, digunakan untuk mempersatukan seluruh warga masyarakat bangsa tanpa memandang suku, agama, dan golongan. Merah Putih juga diartikan sebagai keberanian dan ketulusan hati dalam pelayanan kepada masyarakat Palu dan sekitarnya, khususnya untuk anak-anak generasi penerus bangsa. Penyaluran dana beasiswa dilakukan dengan mengirimkan ke rekening masing-masing anak, dan penerima beasiswa wajib membuat laporn penggunaan dananya setiap bulan. Hal ini selain untuk akuntabilitas terhadap penderma, juga sebagai proses pembelajaran bagi anak-anak untuk bertanggung jawab dan menentukan skala prioritas agar menggunakan dana yang diterima terutama untuk kepentingan sekolah. 

Selain pemberian dana beasiswa, anak-anak juga mendapatkan pendampingan selama program ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendukung pembelajaran di sekolah dan meningkatkan wawasan anak-anak. Program dampingan disesuaikan dengan tingkat pendidikan anak-anak. Anak kelas 1-2 SD didampingi untuk belajar membaca, kelas 3-5 SD didampingi untuk kegiatan olah raga, dan kelas 6 SD dibantu dengan pelajaran tambahan untuk persiapan ujian akhir. Anak SD berkegiatan 2 minggu sekali, sedangkan anak SLTP dan SLTA berkegiatan sebulan sekali. Mereka akan mendapat penyuluhan kesehatan, seksualitas, narkoba, trafficking dan bertanam hidroponik. Anak-anak juga dibantu untuk mencintai lingkungan dengan mengumpulkan sampah-sampah plastik dan membawa botol minum sendiri setiap mengikuti kegiatan dampingan. 




Untuk menentukan siapa penerima beasiswa ini, pada tahap awal dilakukan pendataan anak-anak sekolah di tiga wilayah yang sudah ditentukan dibantu oleh warga setempat. Selanjutnya diadakan sosialisasi program kepada anak-anak beserta orang tuanya dan pengisian formulir pendaftaran beserta kelengkapan administrasi yang diperlukan. Setelah itu, pendaftar yang berkas-berkas yang telah lengkap persyaratan administrasinya akan dipanggil untuk dilakukan wawancara, untuk mengetahui keseriusannya mengikuti prosedur program ini. Berkas anak-anak yang telah lolos seleksi kemudian diserahkan ke bank untuk dibuatkan rekening tabungan. Tambahan wilayah bantuan beasiswa, yaitu Palu, ditentukan karena kuota yang sudah ditentukan dari awal jumlahnya berkurang karena tidak lolos persyaratan administrasi. Sampai hari ini, jumlah penerima beasiswa adalah 156 anak SD, 100 anak SLTP dan 138 anak SLTA sehingga total anak yang dibantu adalah 394 anak.




Selain pemberian dana beasiswa, banyak kegiatan lain yang dilakukan dalam program ini, yaitu:
  1. Bantuan perlengkapan sekolah, antara lain seragam sekolah, tas, sepatu, kaos kaki, perlengkapan sekolah seperti tas, buku, tempat pensil. Bantuan ini diberikan dengan mengantarkan anak-anak ke kota untuk memilih kebutuhan sekolah yang diperlukan. Ini juga untuk memberikan pengalaman lain untuk anak-anak yang notabene belum pernah masuk ke pusat perbelanjaan.                                                                                                                                                    

                                                                                  
                                                                                                                                                   
  2. Membantu pengurusan pembuatan akte kelahiran, akte nikah dan KTP, karena ada sebagian warga yang berada di daerah transmigrasi yang tidak mengurus surat-surat administrasi untuk kepentingan anak-anak mereka karena keterbatasan pengetahuan dan finansial warga. Beberapa orang tua merasa sudah miliki surat babtis dan nikah dari gereja sehingga merasa tidak perlu mengurus surat negara ke kantor catatan sipil. Sampai sekarang sudah ada 19 warga yang dibantu pengurusan berkas-berkas administrasi ini dan ada beberapa lagi yang masih dalam proses pembuatan.                                                                                                                                    
                                                                                                                                                  
  3. Penanaman pohon keras di Napu, untuk mengajarkan kepada anak-anak agar mencintai lingkungan hidup. Di Napu ada lahan luas milik PBHK yang bisa ditanami pohon-pohon keras. Sekitar 250 pohon jati super telah ditanam, mengelilingi kebun komunitas sekaligus sebagai pembatas.                                                                                                                                          

                                                         
                                                                                                                
  4. Pengembangan Ekonomi Keluarga, yang dilakukan setelah melihat kenyataan bahwa masih ada masyarakat yang memerlukan bantuan untuk mengembangkan usaha karena bantuan bencana dari pemerintah maupun lembaga lain tidak menjangkau mereka. Hal ini disebabkan karena pada masa darurat bencana, warga tersebut mengungsi ke luar kota Palu sehingga luput dari pendataan bantuan, atau karena wilayahnya tidak termasuk dalam daftar pembagian bantuan.                   


  5. Memfasilitasi anak-anak perempuan yang ingin mengembangkan diri dengan bersekolah di Jawa. Tiga anak dari Sulawesi Tengah: 2 dari Kabupaten Sigi dan 1 anak dari Kabupaten Poso serta 1 anak dari Kupang. Keempat anak tersebut ditampung di Panti Rini Purworejo. Biaya perjalanan dari daerah mereka masing-masing sampai Purworejo dan kebutuhan biaya sekolah ditanggung oleh Beasiswa Merah Putih.                                                                                          
Pelaksanaan program ini bukannya tanpa kendala. Panasnya cuaca kota Palu serta angin kencang menjadi tantangan tersendiri bagi anggota tim untuk mempersiapkan stamina yang kuat. Selain itu, anak-anak belum terbiasa membuat laporan sehingga butuh kesabaran untuk mengajarkan berulang kali kepada para penerima beasiswa baik anak maupun orang tuanya. Selain itu, seiring berjalannya waktu, tim kerja juga telah memiliki kesibukan lain, sehingga jadwal program dampingan di lapangan harus disesuaikan kembali. Sekali waktu banyak yang bisa hadir, namun di lain waktu hanya sedikit yang bisa bergabung karena kesibukan mereka. Hal yang sama terjadi juga dengan pekerjaan administrasi di posko. 








Semua kerja keras dan kelelahan tersebut terbayarkan dengan melihat keadaan yang jauh lebih baik saat ini. Anak-anak dapat melanjutkan pendidikan dengan lancar dan layak, masyarakat juga mendapatkan modal untuk menyambung hidup mereka serta pendampingan-pendampingan yang telah dilakukan untuk memperkuat karakter anak. Pekerjaan memang belum selesai. Masih banyak yang harus dibenahi. Dengan semangat cinta kasih, semoga para korban perlahan dapat menata kembali masa depannya yang telah terengut oleh bencana alam.  


Foto2 diambil dari facebook JPIC Fdnsc


Tuesday, October 8, 2019

Not Just Numbers But People With Dignity


https://www.jcapsj.org/2019/10/not-just-numbers-but-people-with-dignity/


Fr Ignatius Ismartono SJ with Somalian refugees

Indonesia hosts some 14,000 refugees from countries such as Afghanistan, Pakistan, Somalia and Iraq. They arrive in Indonesia hoping to be approved for third-country resettlement, which could be decades away.

One of the refugees is 27-year-old Nimo from Somalia. She along with four other Somalian refugees, including a child, were invited to share their experiences after a Sunday Mass on September 29 in the parish church of Sts Petrus and Paul Mangga Besar, Central Jakarta to commemorate the World Day of Migrants and Refugees.
“Being invited here, we feel like we are being treated as human beings. We want to open your heart to our experiences as refugees stranded in your country. If you cannot help us, at least you can pray for us,” shared Nimo.
The event hosted by the Jesuit parish was coordinated by the Peace and Justice Commission of the Jakarta Archdiocese in collaboration with the Jakarta Archdiocese’s Migrant Care Network. More than 100 parishioners and human trafficking activists attended the dialogue and experience-sharing session.
Besides hosting refugees, Indonesia is also a major sender of migrant workers to countries such as Malaysia, Hong Kong and Saudi Arabia. In 2018, of the 4.5 million Indonesian migrant workers, more than 1.9 million were undocumented. The real number could easily be higher because victims of human trafficking are usually difficult to identify.
Fr Ignatius Ismartono SJ, director of Sahabat Insan, a Jesuit organisation for migrant workers in Indonesia, facilitated the sharing of lessons learned and good practices of the Migrant Care Network. He invited everyone to let their hearts be moved by compassion and care for the most vulnerable people.




Fr Ismartono shares a light moment with the refugees

Six speakers from religious congregations and a lay person shared their experience in handling and accompanying undocumented migrants and victims of human trafficking. Sister Agatha of the Religious of the Good Shepherd cried when she shared how she rescued and accompanied a victim of human trafficking, moved by gratitude for the opportunity to save even just one victim from the atrocities of human traffickers. “It is not about number, it is about a human being with dignity,” she said.
In the Archdiocese of Nusa Tenggara Timur, the Local Migrant Care Network in collaboration with the Commission for Justice and Peace-the Pastoral Care of Migrants and Itinerant People of the Bishop Conference of Indonesia (KKP-KWI) facilitated an exchange on the danger of human trafficking in Uzuramba Barat Village, Ende.
Fr Aegidius Eko Aldilanta O Carm, KKP-KWI Secretary, shared how migrant worker families can be empowered through livelihood opportunities. Sr Laurentina Suharsih of the Congregation of Divine Providence testified to the pastoral care involved in receiving corpses of Indonesian migrant workers repatriated to their hometowns. Because of her involvement in receiving and taking the bodies from the cargo terminal to their families, she was dubbed “Sister Cargo”. In the last nine months she has received 88 Indonesian migrant workers’ corpses at the El Tari International Airport, Kupang and taken them to their hometowns. Sr Laurentina is one of the few people in West Timor even trying to track the missing. Since 2012, she has traveled across the island to educate villagers on the dangers of human traffickers.
In his message for the World Day of Migrants and Refugees, Pope Francis tells us that the presence of migrants and refugees helps us to read the “signs of the times” and recover essential dimensions of our Christian existence and humanity that are at risk of being overlooked in a prosperous society.
“It is not only the cause of migrants that is at stake; it is not just about them, but about all of us, and about the present and future of the human family,” says Pope Francis. “Through them, the Lord is calling us to conversion, to be set free from exclusivity, indifference and the throw-away culture.”

Fr Adrianus Suyadi SJ is the Secretary for Social Ministries of the Jesuit Conference of Asia Pacific

Tuesday, October 1, 2019

Menyediakan Hati Untuk Melayani Yang Tersisih

Peringatan Hari Migran dan Pengungsi Sedunia 2019

Tanggal 29 September 2019, Gereja Universal merayakan Hari Migran dan Pengungsi Sedunia 2019. Berbagai macam kegiatan diadakan di berbagai tempat untuk memperingati hari ini. Dewan Kepausan Vatikan - Bagian Migran dan Perantau telah menetapkan tema perayaan untuk tahun ini: It Is Not Just About Migrants.

Di Jakarta sendiri, perayaan dipusatkan di Paroki Petrus dan Paulus Mangga Besar, dan diadakan oleh Komisi Keadilan Perdamaian KAJ bekerja sama dengan Jaringan Peduli Migran (JPM) KAJ. Peringatan diawali dengan Perayaan Ekaristi bersama umat setempat pada pukul 09.00 dengan konselebran: Romo Agustinus Purwantoro, SJ selaku Pastor Kepala Paroki Mangga Besar, Romo Adrianus Suyadi SJ, sekretaris Jesuit Conference Asia Pacific, Romo Paul Rahmat, SVD, Ketua VIVAT Indonesia, serta Romo Alsis Goa Wonga, OFM, Direktur JPIC-OFM. Sebelum Misa, umat yang datang diberi lembar doa yang disusun oleh Divisi Migran – Komisi Keadilan Perdamaian Keuskupan Agung Jakarta. 

Misa yang dihadiri oleh sekitar 800 umat dirayakan dengan lebih istimewa dengan menghadirkan 4 orang pengungsi dari Somalia yang saat ini ada di Indonesia. Dalam homili, Romo Suyadi menguraikan satu persatu Pesan Bapa Suci Paus Fransiskus.  Ini bukan hanya tentang migran, tetapi tentang ketakutan-ketakutan kita, tentang kasih, tentang kemanusiaan kita, tentang tidak ada seorang pun yang diabaikan, tentang menempatkan yang terakhir di tempat yang pertama, tentang seluruh pribadi manusia, tentang membangun kota Tuhan dan manusia. Singkat kata, membahas masalah migran bukan terbatas hanya tentang mereka, tetapi ini juga tentang masalah kita semua umat manusia. Migran membantu kita membaca tanda-tanda jaman, dimana orang memiliki budaya menyingkirkan, semakin tertutup, dan tidak peduli. Melalui mereka, Tuhan mengundang kita untuk bertobat dan merefleksikan diri, mengambil bagian masing-masing untuk mewujudkan bumi yang sesuai dengan tujuan awal penciptaan. 

Selesai homili, Romo Suyadi mengundang tamu-tamu pengungsi untuk berbicara mengenai keadaan mereka. Para pengungsi dari Somalia itu kemudian menceritakan, dengan status terdampar di negara lain, mereka merasa kehilangan hak-hak dasarnya dan kesulitan untuk mendapatkan akses makanan, kesehatan, pendidikan, mata pencaharian dan lain sebagainya. Mereka juga berterima kasih atas undangan untuk hadir pada kesempatan ini, karena dengan demikian mereka merasa dimanusiakan, setelah sekian lama mereka merasa tidak ada yang peduli pada mereka. Mereka juga berharap bahwa umat yang hadir dapat memberikan perhatian dengan cara masing-masing, dan juga mendoakan mereka agar dapat segera memperoleh jalan keluar untuk hidup lebih baik dan layak. Pada akhir Misa, umat diminta untuk mendaraskan Doa Untuk Para Migran dan Pengungsi yang sebelumnya telah dibagikan saat masuk gereja.  

Selesai Misa, acara kemudian dilanjutkan dengan ramah tamah dan sharing dari para pendamping migran, pengungsi dan korban perdagangan manusia di Ruang Yohanes Lantai 2, Gedung Karya Pastoral Paroki Mangga Besar. Acara diawali dengan sambutan dari Pastor Kepala, Romo Ipung, SJ, yang menyampaikan harapannya bahwa dengan adanya acara ini, umat paroki dapat lebih menyadari sedikit mengenai kaum migran dan memahami perspektif dari dunia mereka. Kaum migran rentan dijadikan korban perdagangan manusia. Sudah menjadi rahasia umum, kawasan Mangga Besar merupakan salah satu kawasan yang rentan akan hal tersebut di Jakarta. Oleh karena itu, Romo Ipung berharap agar umat paroki dapat berperan aktif untuk ikut menuntaskan isu ini, karena umat lah yang akan tinggal di daerah itu dalam jangka waktu lama.  Demi kawasan tempat tinggal yang lebih aman dan nyaman inilah, Romo berharap umatnya dapat memiliki sedikit pengetahuan tentang kaum migran ini. Setelah cukup memahami, kemudian umat diharapkan dapat memulai aksi nyata kecil bagi lingkungan sekitar.

Acara dilanjutkan dengan Sambutan dari Komisi Keadilan Perdamaian KAJ. Pada kata sambutannya, perwakilan dari KKP menyampaikan fokus KKP yaitu: manusia ada keutuhan ciptaan bagi Allah; memberikan perlindungan kepada mereka yang miskin dan tersisih sebagai keutuhan ciptaan; memelihara lingkungan hidup; dan keadilan serta kesetaraan gender. KKP berharap agar nantinya setiap paroki di KAJ ini memiliki Seksi Keadilan Perdamaian (SKP) sehingga masalah ini dapat diselesaikan dari akarnya. Saat ini belum semua paroki KAJ memiliki SKP, termasuk Paroki Mangga Besar. Namun, kesediaan Paroki Mangga Besar untuk menjadi tuan rumah bagi peringatan Hari Migran dan Pengungsi Sedunia kali ini cukup diapresiasi sebagai langkah awal yang bagus untuk memulai perhatiannya terhadap isu ini. 

Romo Ismartono, SJ, Direktur Sahabat Insan, yang hari itu bertindak sebagai moderator membuka sharing dengan menyapa semua yang hadir di situ, dan mengajak semua orang untuk membiarkan hatinya digerakkan oleh kasih sayang dan perhatian untuk orang-orang yang paling menderita. Dengan hati terbuka, maka kita akan dapat meresapkan secara mendalam kisah-kisah dari mereka yang melakukan pelayanan dan pendampingan terhadap migran dan perantau ini, serta dapat merasakan penderitaan dan keputusasaan mereka. Romo Ismartono kemudian mempersilakan masing-masing narasumber untuk memulai kisahnya.

Penutur pertama adalah Romo Paul Rahmat, SVD, Ketua VIVAT Indonesia. Ia sudah menjadi aktivis buruh migran sejak lama. Pengalamannya dimulai ketika menjadi menjadi Pastor Paroki di Medan, dimana isu-isu mengenai kekerasan seksual yang dialami buruh migran cukup berhembus kencang kala itu. Setelah itu, kepeduliannya kepada buruh migran terus berlanjut sampai sekarang. Salah satu pengalaman menarik yang tidak bisa dilupakannya adalah kisah penyelamatan seorang anak perempuan dari jerat perdagangan manusia. Anak ini tadinya bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Penang. Suatu hari ia mendengar majikannya sedang menelpon seseorang dan berencana menjual dirinya di tempat prostitusi. Sontak ia menghubungi keluarganya untuk mencari bantuan agar diselamatkan. Melalui seorang suster, keluarga pun menghubungi Romo Paul yang akhirnya berusaha mencari jalan untuk membebaskan anak malang tersebut. Setelah berkoordinasi dengan rekan yang ada di sana dan melalui beberapa peristiwa menegangkan, akhirnya anak perempuan tersebut berhasil kabur dari rumah tersebut, dan segera didampingi untuk mengurus surat-surat di KBRI dan akhirnya berhasil dipulangkan ke kampung halamannya dengan selamat.

Suster Agatha, RGS memiliki cerita yang berbeda. Ia merasa bahwa memang sudah jalan hidupnya harus  menjadi musafir karena sejak kecil hidupnya berpindah-pindah dan tidak pernah menetap di suatu tempat lebih dari 6 tahun. Kondisi itu menjadikan Suster seseorang yang siap diutus ke manapun, hidup di perantauan dan tanpa kepastian. Tapi mungkin hal itulah yang akhirnya membawa suster berkelana jauh sampai ke Sudan. Bukan perkara yang mudah baginya untuk memulai hidup di sana, terlebih suster harus belajar bahasa Arab. Perbedaan kultur, agama, dan bahasa menjadi pergumulannya saat itu. “Tuhan, jika Kau izinkan aku berada disini, kuatkanlah aku untuk 3 hari ke depan.” Setelah lewat 3 hari, suster memohon kekuatan lagi untuk 1 minggu ke depan. Begitu seterusnya. Satu bulan… Satu tahun… Sampailah suster di penghujung misinya di Sudan, yaitu selama 4 tahun 3 bulan. Walaupun berat, tapi suster taat menjalaninya. Dan ketaatannya membawa berkat untuk orang-orang di Sudan sana.

Satu pengalaman Sr. Agatha yang menarik adalah ketika suster menyelamatkan dan mengembalikan seorang anak perempuan asal Sumba ke pangkuan orangtuanya. Anak yang saat itu masih kelas 5 SD tersebut diculik sepulang sekolah dan tanpa sepengetahuan orangtuanya, dijadikan pekerja rumah tangga di Malaysia. Orang tuanya mengira bahwa anaknya sudah hilang dan mati, karena tidak ada kabar darinya sejak kejadian penculikan itu. Sepuluh tahun kemudian, Sr. Agatha membantu untuk memulangkan anak itu ke Sumba. Ketika anak dan orangtua ini berjumpa, sungguh mereka tidak percaya. Anak mereka yang hilang, kini sudah kembali. Sukacita penuh yang dirasakan oleh Sr. Agatha karena telah mempertemukan keluarga ini.

Penutur selanjutnya, Bapak Gabriel Goa yang juga sudah malang melintang di dunia migran. Beliau tampaknya kenal betul mengenai bagaimana cara menyelamatkan buruh migran dari agen/majikannya yang tidak bertanggung jawab. “Jangan langsung diambil. Harus ada strateginya. Kalau tidak, nyawa kita yang melayang, karena kita bukan berhadapan dengan manusia biasa, melainkan mafia.” Manusia yang bukan lagi dianggap sebagai manusia, melainkan komoditas, diperjualbelikan dengan seenaknya.
Tahun 2018 saja, sebanyak 104 buruh migran Indonesia yang meninggal. Bapak Gabriel pun menyampaikan bahwa banyak kawasan di Indonesia yang menjadi sumber pengiriman perempuan ke negara-negara lain. Mereka dijadikan pengantin pesanan ke negara-negara tersebut. Bagi mereka, perempuan Indonesia menjadi komoditas yang sangat mahal untuk dijadikan sebagai prostitusi.

Salah satu pengalaman yang menarik dari suster adalah ketika beliau menyelamatkan seorang ibu yang dieksploitasi di Malaysia. Namanya Ibu Anita. Ibu Anita pulang ke Indonesia dalam keadaan buta. Suster ingin memulangkan ibu Anita ke keluarganya, tapi ibu ini menolak. Keluarganya bahkan sudah menganggap bahwa Ibu Anita sudah meninggal, karena sudah putus hubungan selama 9-10 tahun lamanya.
Sesampainya di Jakarta, ibu Anita dibawa ke 3 dokter spesialis mata untuk mengobati mata Ibu Anita. Tapi hasilnya nihil, karena saraf matanya sudah mati. Lalu, suster berperan menjadi gembala bagi ibu Anita, dimana suster dan tim mendengarkan dengan penuh kasih seluruh isi hati dan keluh kesah Ibu Anita, tanpa intervensi sedikitpun. Setelah selesai mengungkapkan pergumulannya, suster baru masuk untuk memberikan masukan. Seperti kisah yang tertera di Kitab Suci, domba yang hilang, kini telah ditemukan kembali J


Sr. Irena menjadi pendamping pekerja migran yang sudah menemani mereka cukup lama. Tugasnya sederhana. Hanya menjadi teman, menjadi pendengar yang baik, dan turut mendoakan. Karena sejatinya, mereka hanya perlu didengarkan dengan sepenuh hati dan ditemani dalam melalui hidup yang penuh dengan ketidakpastian ini. Modal utama untuk mendampingi mereka adalah hati yang tulus. Itu saja sudah cukup. Selain mendampingi buruh migran secara langsung, Sr. Irena juga memberikan penyuluhan ke sekolah, yang fokusnya adalah pencegahan. Salah satu pengalaman yang paling berkesan bagi suster adalah ketika memutus mata rantai perdagangan anak. Dalam hal ini, suster bekerja sama dengan NU. Masing-masing anak sudah ditentukan negara tujuan pengirimannya dan satu kepala dihargai 5 juta rupiah. Bayangkan, betapa teganya mereka memperdagangkan manusia yang punya hati dan perasaan. Yang lebih menyedihkan, yang diperdagangkan adalah anak-anaknya sendiri. Kebanyakan mereka berasal dari Indramayu, Karawang, dan Jakarta. Karena anak ini tidak pernah ke luar negeri, bahkan tidak pernah ke luar dari kampung halamannya, anak ini dibawa berputar-putar. Bandung – Surabaya – Jakarta - Surabaya lagi – Medan - Jakarta lagi - Rawa Bebek. Iming-iming yang diberikan mafia kepada anak-anak kecil ini untuk bekerja di Arab agar bisa naik haji gratis.

Selain kisah mengharukan ada juga cerita duka. Sr. Irena, Sr. Sari Puteri Kasih, dan 1 orang frater CM pernah memakamkan 1 orang yang terjangkit HIV/AIDS. Orang ini sudah bekerja di Malaysia selama 9 tahun, dan pulang ke Indonesia dalam keadaan terjangkit penyakit mematikan tersebut. Ketika orang ini meninggal akibat penyakit tersebut, keluarganya di kampung tidak mau menerima karena penyakit tersebut sangat menjijikan, dan dianggap penyakit menular. Akhirnya, dengan berlandaskan cinta kasih, suster dan rekan-rekan memakamkan orang ini di Jakarta. Satu kalimat yang paling membahagiakan Sr. Irena dalam menjalankan misi social ini adalah ketika seorang buruh migran menghubungi Sr. Irena dan berkata, “Suster, kami sudah sampai di rumah dengan selamat.” Sungguh, bahagia itu sesederhana ini.



Di akhir acara, Romo Ismartono sebagai moderator memberikan sedikit ringkasan mengenai sharing dari beberapa pemerhati buruh migran:
  1. Mereka terlibat dalam isu perdagangan manusia karena panggilan pribadi, dan inilah yang membuat Romo tersentuh.
  2. Panggilan pribadi tersebut sangat didukung oleh kongregasinya.
  3. Mereka bergerak dengan pendekatan pribadi, yaitu kemanusiaan. Bukan sekedar memenuhi persyaratan belaka, seperti menanyakan kartu asilumnya.
  4. Mereka tidak dapat bekerja sendiri. Melainkan, bergabung atau bekerja sama dengan komunitas agar tujuannya dapat tercapai. Hal ini disebabkan masalah buruh migran ini sangat kompleks, sehingga tidak dapat diselesaikan sendiri. Kita harus berpegangan tangan untuk menyelamatkan 1 jiwa manusia, karena ia berharga.
  5. Karena dari banyak pengalaman yang sudah diceritakan, manusia dilihat bukan sebagai ciptaan Allah. Melainkan, sebagai barang komoditas yang tidak dihargai keberadaannya.
Sesi selanjutnya adalah tanya-jawab dengan pemerhati buruh migran. Beberapa pertanyaannya adalah sebagai berikut:

Bagaimana cara menangani isu kompleks yang dialami buruh migran ini?
Jawaban yang menarik datang dari Bpk. Gabriel. Beliau menyampaikan usul yang kreatif, yaitu dimana lembaga-lembaga pemerhati buruh migran bekerja sama dengan mendorong tokoh-tokoh agama agar keresahan mereka bisa didengar oleh pejabat publik. Sudah diketahui bersama, bahwa tokoh agama merupakan peran penting dimana suara mereka cukup menjadi panutan dan didengar oleh umatnya. Karena jika hanya mengandalkan komunitas, mereka hanya dianggap mencari dana, bukan fokus pada penyelesaian isu buruh migran ini. Padahal sebaliknya. Justru merekalah yang terus memperjuangkan hak-hak buruh migran yang selama ini diabaikan dan minim perlindungan juga dari negara.

Setelah buruh migran pulang ke kampung halamannya, lalu selanjutnya apa? Apakah permasalahan mereka selesai sampai disitu?
Jawaban dari para pemerhati buruh migran ini cukup seragam, dimana mereka memberdayakan para eks buruh migran agar mereka bisa berkarya di kampungnya. Contoh usaha yang mereka sharing-kan adalah:

Sekolah Hotel Sumba
Anak-anak eks buruh migran disekolahkan di Sekolah Hotel Sumba secara gratis. Bukan hanya itu, mereka juga disediakan asrama sebagai tempat tinggalnya. Seperti diketahui bersama, Sumba kaya akan potensi alamnya, dan pariwisata menjadi salah satu penopang ekonomi pulau tersebut. Dengan didirikannya hotel di Sumba dengan memberdayakan para eks buruh migran, ini dapat membantu menyelesaikan 2 permasalahan sekaligus, yaitu meningkatkan perekonomian Sumba dan membantu memutus mata rantai perdagangan manusia di Sumba. Sambil menyelam minum air J
Suster juga pernah mendampingi 1 nona Sumba yang baru kembali dari perantauannya. Dengan penuh kasih, suster mengantar nona ini ke psikiater karena goncangan jiwa yang dialaminya. Dalam bekerja, suster tidak sendirian. Melainkan bekerja sama dengan suster dan romo paroki yang berada di Sumba. Setelah nona ini dinyatakan sehat oleh dokter, nona ini kembali ke rumahnya dengan sehat dan selamat.

Psikotes di shelter penampungan
Psikotes ini ditujukan untuk mengetahui bakat para eks buruh migran. Dengan mengetahui bakat dan minatnya, suster dapat membantu mengembangkan bakat mereka. Contohnya, jika ada yang berminat di bidang pertanian, maka suster akan mencarikan petani atau lembaga pertanian. Hal ini dilakukan agar kemampuan dan pengetahuan anak ini bertambah mahir pada bidang yang diminatinya.

Para eks buruh migran yang telah kembali ke kampung halamannya ini diharapkan menjadi agen dan penyampai pesan bahwa tidak perlu ke luar negeri untuk mencari uang dan menyejahterakan kehidupan keluarganya. Dengan mengembangkan bakat yang dimiliki, mereka tetap dapat berkarya di kampung halamannya, dekat dengan orang-orang yang dicintainya.