Monday, December 23, 2019

Jenazah Menjelang Akhir Tahun

Hari ini tanggal 23 Desember, tujuh hari lagi menjelang tahun berganti, namun kegiatan penjemputan jenazah di Terminal Kargo - Bandara tidak juga mereda. Bahkan, dalam seminggu terakhir ini, ada tiga orang pekerja migran yang dipulangkan ke kampung halamannya dalam keadaan tanpa nyawa.

Pertama adalah jenazah seorang pria yang sampai di bandara pada tanggal 17 Desember 2019 pukul 13.17 WITA. Walaupun dijemput oleh seorang keponakannya, namun ia sama sekali tidak mengetahui data pamannya tersebut. Yang ia tahu adalah bahwa pamannya sudah lama pergi merantau, namun memutuskan untuk membujang sampai akhir hidupnya. Sakit yang diderita pamannya pun ia tidak tahu. Rencananya jenazah akan disemayamkan di RSUD W.Z. Johannes Kupang terlebih dahulu selama 3 hari sebelum diberangkatkan ke kampung halamannya di Bolla Sikka dengan menggunakan KM Umsini. Penyebab kematian lelaki ini pun tidak diketahui sama sekali.




Dua hari setelahnya, tepatnya tanggal 19 Desember 2019 pada pukul 13.39 WITA, tim kembali menerima jenazah seorang pekerja perempuan asal Malaka yang meninggal dunia di Malaysia karena sakit saluran pernafasan. Ia baru 7 bulan berada di Malaysia dan bekerja di perkebunan kelapa sawit. Namun ini bukan kali pertama ia ke Malaysia, karena sebelumnya ia sudah berulang kali pergi, sampai akhirnya pengembaraannya selesai di dunia. PMI ini sendiri sudah berkeluarga dan anaknya pun sudah dewasa, sehingga setidaknya ia tidak lagi menanggung hidup dari anak-anaknya selain dirinya sendiri. Usianya pun terbilang cukup muda yaitu 39 tahun. Dalam penjemputan kali ini ada keluarga yang turut serta hadir dan juga pihak BP3TKI yang senantiasa berjasa, serta Kakak Decky dan seorang relawan dari Rumah Harapan. Keluarga yang datang adalah keluarga yang cukup dekat dengan PMI yang meninggal ini. Mereka menempuh perjalanan dari Malaka hanya untuk bisa membawanya kembali ke kampung halamannya. Kembali kepada pangkuan ibu pertiwi, Tanah Timor tercinta.  Keluarga bercerita, bahwa untuk pemulangan dari Kuala Lumpur ke Indonesia, mereka bersama-sama mengumpulkan uang, hingga akhirnya ada bantuan dari pemerintah, dalam hal ini BP3TKI yang sedikit banyak meringankan jumlah biaya pemulangan untuk sampai rumah duka di Malaka. Kedatangan jenazah yang disambut dengan hujan deras akhirnya membuat tim relawan dan keluarga mendoakan jenazah di dalam Area Kedatangan Kargo. Setelah doa yang dipimpin oleh Suster Elisa, PI selesai dipanjatkan, sirine ambulans mulai terdengar dan mobil mulai bergerak menuju kampung halamannya. Suara sirine menyatu dengan suara hujan yang menggema, meninggalkan kami dalam keheningan dan kepiluan menanggung duka mendalam atas berpulangnya putri NTT.




Jenazah ketiga datang pada hari Sabtu, 21 Desember 2019, beberapa hari menjelang Natal. Sabtu adalah hari libur bagi pekerja di lembaga pemerintahan, sehingga pihak BP3TKI, yaitu Pak Stef, datang dengan busana kasual. Pak Stef kemudian berbicara dengan pihak keluarga tentang proses pengembalian jenazah kepada keluarga serta beberapa dokumen yang harus ditandatangani pihak kepala desa juga dari keluarga. Sudah ada keluarga yang datang menjemput di kargo, lalu ada Kakak Pian dari Rumah Harapan yang hari ini menampakkan diri menggantikan Kakak Decky yang tidak bisa hadir di kargo. Keluarga yang datang ada beberapa yang tinggal di Kota Kupang dan ada yang dari Malaka. Ya, jenazah yang tiba hari ini berasal dari Malaka, tepatnya di Dusun Tubusiaran, Desa Rabasa, Kecamatan Malaka Barat, Kabupaten Malaka.

Jenazah PMI yang datang hari ini adalah seorang pria berusia 43 tahun yang pergi merantau bersama istrinya ke Malaysia sejak 2016 lalu, dan sudah beberapa kali pulang pergi Malaysia. Hari ini ia kembali ke tanah air dalam keadaan tak bernyawa dengan diantar oleh istrinya meskipun istrinya memiliki jadwal penerbangan yang berbeda dengan jenazah. Anak kandung mereka ditinggalkan di kampung halaman bersama keluarga. Hal biasa yang terjadi saat orangtua pergi merantau maka anak-anak akan ditinggalkan bersama keluarga dekat, lalu dengan uang hasil kerja keras mereka di perantauan mereka mengirimkan kasih sayang mereka. PMI ini meninggal pada 13 Desember 2019 pukul 05.00 waktu setempat karena Coronary Artery Disease.  

Peti jenazah akhirnya terlihat di kargo pukul 13.30 WITA, dan langsung dipindahkan ke mobil jenazah BP3TKI. Di area parkiran kargo, doa dipanjatkan dipimpin oleh Jeny Lamao, dan  setelahnya sirine langsung dibunyikan dan ambulans langsung beranjak menuju kampung halamannya. 




Hari ini adalah minggu terakhir menjelang Natal, dan di gereja-gereja sudah dinyalakan Lilin Adven ke-empat, tanda bahwa Masa Adven segera berakhir. Apakah jenazah ini juga merupakan jenazah terakhir tahun ini? Atau akankah ada lagi jenazah yang akan diterima sebelum tahun berganti? Tidak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi di hari nanti. Yang pasti Tanah Timor yang akhir-akhir ini dibasahi oleh hujan seakan-akan mencerminkan dukanya yang berkepanjangan karena lagi dan lagi ia menerima putra-putri tercintanya kembali dalam pelukan bumi.



Bantuan Untuk Korban Banjir Bandang Di Bolapapu, Sigi Sulawesi Tengah

Menjelang akhir tahun saat musim hujan tiba, bencana banjir seperti tidak bisa dielakkan lagi di beberapa tempat di Indonesia. Seperti yang terjadi di Dusun 3, Pangana Desa Bolalapu, Sigi, Sulawesi Tengah yang diterjang banjir lumpur yang disertai kayu dan batu dari pegunungan pada hari Kamis, tanggal 12 Desember 2019 sekitar pukul 17.30 WITA . Banjir ini telah merengut dua korban jiwa, yaitu seorang bapak dan putranya, serta mengakibatkan kerusakan di beberapa rumah warga.



Pada hari Sabtu, tanggal 14 Desember 2019, tim JPIC FDNSC yang sedang menjalankan program pemulihan korban bencana Tsunami Palu sejak setahun yang lalu, mengantarkan bantuan kemanusiaan untuk bencana untuk beberapa RT di Dusun 3 tersebut, tepatnya di RT 1 dan RT 2. Jumlah warga dari kedua RT tersebut adalah 390 jiwa, yang terdiri dari 130 KK. Bantuan yang diserahkan yaitu 200 lembar selimut, 150 lembar tikar/karpet, 300 kg beras dan 15 dus air mineral. Bantuan tersebut diserahkan di Posko Desa Bolalapu dan Posko BAZNAS (Badan Amal Zakat Nasional) yang hadir untuk membantu masyarakat yang terdampak bencana.





Bantuan tersebut diantarkan secara langsung dari Posko di Palu ke lokasi bencana yang ditempuh dalam waktu 3 jam, dengan kondisi jalanan yang tidak mudah: ada yang berbatu, penuh lumpur, serta melewati tebing dan lereng pegunungan yang rawan longsor.




Pada hari Selasa, tanggal 17 Desember 2019, tim JPIC FDNSC kembali menuju ke lokasi bencana banjir bandang untuk menyerahkan bantuan tahap kedua berupa 132 paket peralatan kebersihan yang masing-masing berisi 2 sabun mandi, 3 sikat gigi, pasta gigi, shampoo dan rinso yang diserahkan di Posko Desa Bolapapu, sedangkan abntuan alat tulis berupa 25 pak buku tulis dan 10 lusin pulpen diserahkan ke Posko BAZNAS. Semoga semua bantuan yang telah diberikan bisa meringankan penderitaan saudara-saudara kita yang sedang terkena musibah.








Saturday, December 21, 2019

Maruah, Setia Merawat Martabat Manusia

Seorang wanita dengan kain kerudung khas Timor keluar dari sebuah rumah. Ia kemudian naik angkutan umum untuk pergi ke Bandara El-Tari, tempatnya melakukan pelayanannya beberapa tahun terakhir ini.

Adegan ini membuka pemutaran film "Maruah" yang diputar di Global Migration Film Festival IOM di @america Pacific Place, Kamis 12 Desember 2019 pukul 16.00 - 18.00 WIB. Film ini merupakan hasil karya sutradara Ali Reza Yawari, pengungsi asal Afghanistan yang pada usia 15 tahun melarikan diri ke Indonesia karena perang di negara asalnya. Bersama pengungsi lainnya, ia didampingi oleh IOM bergabung dengan komunitas pembuat film di Kupang dan menghasilkan berbagai karya, terutama yang membahas tentang migran dan pengungsi.

Film Maruah sendiri (yang berarti martabat), bercerita seputar kegiatan Tim Anti Human Trafficking di Terminal Kargo - Bandara El-Tari Kupang. Tim ini bekerja secara berjejaring melawan kejahatan perdagangan manusia yang kerap terjadi di sana serta juga merawat korbannya yang pulang baik dalam keadaan hidup ataupun tanpa nyawa. Pendeta Emmy Sahertian adalah salah satu anggota tim tersebut yang kerap menyuarakan dengan keras untuk menghentikan perdagangan manusia ini. Pendeta Emmy juga dengan setia selalu bergabung bersama anggota tim lainnya menjemput jenazah-jenazah pekerja migran yang datang ke bandara tersebut.


"Saya minta maaf jika  agak emosional jika membicarakan hal ini. Dalam setiap penjemputan, kami harus bertarung secara mental dan spiritual. Itu bukan hanya karena mereka itu korban, tetapi karena mereka itu anak-anak NTT, saudara-saudara kita yang martabatnya sudah dihabisi dengan cara-cara yang biadab. Hal ini juga merupakan teguran kepada kita-kita yang di NTT, apakah kita masih punya rasa kepedulian atau tidak" kata Pendeta Emmy saat menanggapi banyaknya jenazah para pekerja migran yang datang di Bandara El-Tari.

Untuk pekerjaan berat ini, mereka tidak bisa melakukannya sendiri, namun harus berjejaring membangun relasi dengan berbagai macam elemen sehingga terbentuklah komunitas. Di setiap komunitas pasti ada dinamika kelompok yang terjadi. Salah satu cara untuk merawat kebersamaan jaringan ini dan memperkokoh advokasi yang dilakukan, adalah dengan melakukan aksi turun ke jalan. Biasanya mereka memanfaatkan momen car free day karena di situ bisa meningkatkan kesadaran banyak orang akan bahaya perdagangan orang, atau momen lainnya seperti misalnya peringatan hari migran


"Konteks buruh migran dan isu tentang perdagangan orang sebenarnya adalah dua hal yang mestinya harus dibedakan. Buruh migran adalah orang-orang yang mempunyai hak asasi untuk keluar dari daerahnya mencari pekerjaan untuk mensejahterakan dirinya dan keluarga. Itu semua adalah hak asasi dia. Tetapi, jika di dalam proses tersebut, ia dimanfaatkan dan dieksploitasi, disitulah kejahatan kemanusiaan yang sekarang ini marak dengan nama perdagangan orang terjadi." lanjutnya.



Salah satu aksi yang pernah mereka lakukan adalah aksi protes terhadap keputusan hakim yang membebaskan majikan Adelina Sau (lihat http://perkumpulansahabatinsan.blogspot.com/2019/06/aksi-damai-melawan-perdagangan-orang-di.html). "Dia itu meninggal karena disiksa, lalu dikasih tidur dengan ajing, kemudian anjing itu menggigitnya yang menyebabkan ia luka dan akhirnya meninggal. Itu harusnya membuat seluruh orang NTT tersinggung. Namun kami melihat pemerintah adem saja, orang-orang NTT juga begitu. Mungkin karena terlalu sering mendengar begitu banyak jenazah, jadi imun kemanusiaannya. Maka tujuan aksi kami ini adalah membangunkan orang NTT, untuk sadar bahwa hey ini ada saudara kita yang diperlakukan sama seperti binatang, tapi pelaku bebas."

Pendeta Emmy juga semakin sadar bahwa seiring bertambahnya umur, stamina tubuh semakin tidak kuat. Diakuinya bahwa sedikit banyak hal ini akhirnya itu juga berdampak pada kesehatan, yang membuatnya harus rajin kontrol ke dokter dan mengkonsumsi obat-obatan yang diajurkan. Oleh sebab itu ia bersyukur bahwa saat ini  banyak anak-anak muda yang tertarik untuk ikut bergabung dan terlibat dalam pelayanan anti perdagangan manusia ini.


Semakin banyaknya jenazah yang diterima, tadinya membuat mereka merasa akan semakin terbiasa menyambut jenazah sehingga cukup kuat menghadapinya. Namun ternyata setiap jenazah memiliki kisahnya sendiri yang berbeda-beda. Dan kisah-kisah itu selalu mengorek rasa kepedihan, kesedihan, kehilangan, kemarahan, malu dan juga rasa terhina yang tercampur aduk. "Kami ini merasa sudah seperti pemadam kebakaran karena menangani korban saat sudah di hilir", ujar Pendeta Emmy. "Dengan pelayanan kargo, kami bisa mendapatkan banyak informasi, misalnya penyebab kematian, struktur masyarakat, dan sebagainya. Data-data ini bisa kami runut dan kami olah, sehingga bersama-sama pemerintah kami bisa melakukan penyadaran dan pencegahan kepada masyarakat. "Kami mewakili suara-suara mereka yang sudah tidak bisa bersuara lagi. Perjuangan ini, tidak akan kami hentikan", kata Pendeta Emmy menutup film pendek ini.

Pemutaran film tersebut sangat mengusik perasaan salah satu relawan Sahabat Insan, ibu Agnes Retno, yang ikut bergabung untuk nonton bersama pada sore itu dan secara spontan menuliskan puisi ini:

Dalam perjalanan ke rumah,
saya terhenyak hati gundah,
usai melihat film “Maruah”.

Maruah yang artinya martabat!
Lalu di mana dia berada?
Pergi penuh asa,
oh malah mendapat nestapa,
Pulang sebagai jasad!

Maruah oh maruah...
kemanakah gerangan?
Bahkan:
menangisi jasad pulang pun di tepi jalan?

..................


Trailer film ini dapat dilihat di  https://filmfreeway.com/Maruah








Tuesday, December 10, 2019

Film Bouyancy, Potret Kelam Kehidupan Pekerja Migran

Jumat, 5 Desember 2019 pukul 14.00, para relawan Sahabat Insan bersama-sama menghadiri Global Migration Film Festival yang diadakan oleh IOM di IFI Thamrin, Jakarta. Film utama yang ditonton dalam kesempatan ini adalah Bouyancy, disamping film-film pendek lainnya seperti The Long Haul, Amak, Penyintas dan The Women Path in Sumba Land.


Secara mengejutkan, film Bouyancy yang menjadi film utama dalam festival ini menyajikan secara gamblang kehidupan nyata yang harus dialami oleh para pekerja yang nekat mengadu nasib di negara lain dengan harapan bisa lebih menyejahterakan dirinya sendiri atau keluarga. Bouyancy merupakan film fitur asal Australia garapan sutradara Rodd Rathjen. Sejauh ini, film yang dapat dikategorikan bergenre thriller ini telah memenangkan beberapa penghargaan di berbagai benua, antara lain Asia Pacific Screen Awards 2019, Australian Academy of Cinema and Television Arts (AACTA) Awards 2019, Prize of the Ecumenical Jury - Berlin International Film Festival 2019, International Golden Scale Award  - International Crime and Punishment Film Festival 2019, International Competition - Mumbai Film Festival 2019, serta Oslo Films from the South Festival 2019 - New Voices Award. Selain itu, film ini juga masuk dalam nominasi dalam beberapa festival film di berbagai negara, antara lain International Film Festival Awards Macao 2019, Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2019, Melbourne International Film Festival 2019 dan São Paulo International Film Festival 2019.

Bouyancy diawali dengan kisah Chakra, remaja lelaki asal Kamboja berusia 14 tahun yang sedang resah karena merasa dieksploitasi oleh orang tuanya sendiri. Walaupun memiliki banyak saudara, namun hanya ia yang disuruh mengerjakan sawah ladang milik keluarga. Ia kemudian mencari informasi ke teman-temannya bagaimana agar bisa mendapatkan penghasilan sendiri dan akhirnya disarankan untuk pergi ke Thailand untuk bekerja di sebuah pabrik.

Kisah-kisah selanjutnya tanpa henti mengupas satu demi satu penderitaan yang harus dia lalui. Bagaimana ia terpaksa meminjam uang kepada sopir yang membawanya ke perbatasan karena ia tidak memiliki uang sepeser pun. Bagaimana ia menunggu di ladang terbuka untuk dijemput tengah malam dan ditumpuk bersama ratusan orang lainnya serta ditutup kain terpal agar dapat melintasi perbatasan Thailand. Sampai di sana ia pun harus menghadapi kenyataan bahwa ia bukan dipekerjakan di pabrik seperti yang dijanjikan tapi malah dijual kepada pemilik kapal penangkapan ikan. Di bawah boss yang sangat kejam dan arogan, pada siang hari ia bekerja menangkap dan memasukkan ikan ke dek kapal, makan hanya nasi dan air kotor sehari sekali, dan malam hari tidur di bagian bawah kapal yang sempit dan gelap berdesak-desakan dengan pekerja lainnya. Kekerasan dan kearoganan yang dilakukan oleh sang boss ia saksikan tiap hari. Satu demi satu pekerja yang tidak berdaya berjatuhan menjadi korban karena mencoba melawan, dan akhirnya ia mendapatkan kesimpulan bahwa tak ada jalan lain untuk bisa bertahan selain menjadi sama jahatnya dengan sang boss. 

Film tersebut dengan sempurna menggambarkan setiap tahapan proses perdagangan manusia yang kerap menimpa para pekerja migran yang ingin meningkatkan kesejahteraan hidup mereka dengan mengadu nasib ke negeri orang tanpa pengetahuan dan ketrampilan apapun. Cerita tentang pekerja non-dokumen yang diberangkatkan melintasi batas negara secara ilegal dan terjerat hutang kepada yang memberangkatkan sudah sering kita dengar.  Sesampai di luar, dengan situasi yang asing, para pekerja ini pasrah untuk diperlakukan apa saja, dan seringkali menemui kenyataan pahit bahwa pekerjaan yang diterima tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pengambilan latar belakang laut dalam cerita ini mewakili situasi pekerja migran yang kerap terkekang di lingkungan kerjanya karena dokumen disita agen/majikan, atau tidak diijinkan memegang alat komunikasi, acapkali juga tidak digaji sehingga mereka tidak memegang uang dan tidak bisa berbuat apa-apa jika terjadi sesuatu. Adegan ikan-ikan kecil yang masuk jaring perangkap, kemudian dilemparkan ke dasar kapal yang gelap pun ikut mewakili gambaran jerat perdagangan manusia yang menyasar orang-orang kecil. Makanan sehari-hari yang diberikan hanya nasi keras tanpa lauk serta minuman kotor yang tidak layak untuk diminum, tapi tidak ada pilihan lain untuk mengisi perut  yang lapar dan tenggorokan yang kering sehingga mau tidak mau makanan tanpa gizi tersebut harus mereka telan. Kondisi kerja, makanan minuman serta jam kerja yang tidak manusiawi membuat mereka rentan untuk sakit. Dan setelah kondisi mereka dianggap tidak layak untuk bekerja, maka akan terbuang dan tak jarang pada akhirnya mati dengan pasrah. 

Menjelang akhir tahun ini, setidaknya 113 jenazah pekerja migran telah diterima di Terminal Kargo Bandara El-Tari, Kupang NTT. Sebagian besar meninggal karena gangguan saluran pernafasan (asma) dan juga jantung. Film ini mampu menjelaskan dengan gamblang mengapa hal itu bisa terjadi. Pernah ada kasus-kasus dimana para pekerja kemudian melakukan perbuatan kriminal. Walaupun tidak membenarkan perbuatan tersebut, mungkin lebih bijak jika dapat digali lebih dalam apa yang menyebabkan ia mampu berbuat seperti itu. Seperti yang ditayangkan dalam film tersebut, penderitaan demi penderitaan membuat mereka kehilangan rasa kemanusiaannya demi menyelamatkan diri sendiri agar tidak menjadi korban seperti teman-temannya. Film ini kemudian ditutup dengan menyisakan pertanyaan untuk penontonnya. Saat pada akhirnya ia berhasil menyelamatkan diri dan kembali ke kampung halaman, ia yang tadinya begitu gembira akan bertemu keluarganya, tiba-tiba mengurungkan niatnya dan memutuskan untuk menjalani kehidupannya sendiri terpisah dari keluarganya. Apa yang mendasari keputusannya? Apakah ia dendam? Atau ia trauma dan ingin memutus lingkaran yang membuat ia mendapat pengalaman yang mengerikan? Atau ia takut dimanfaatkan? Sepertinya sang sutradara sengaja menggantungkan akhir cerita namun tetap dengan sebuah pesan: bahwa efek perdagangan manusia tidak berakhir begitu saja walaupun ia sudah berhasil keluar dari jerat tersebut, namun masih akan menyisakan masalah-masalah lainnya, terutama yang berkaitan dengan proses re-integrasi.