Friday, February 24, 2017

SISI LAIN TENAGA KERJA INDONESIA


Sebuah refleksi yang ditulis berdasarkan 3 buah artikel yang pernah dimuat di koran.
Oleh Marsiana Inggita


Ketika saya masih duduk di bangku sekolah, saya tidak mengerti betul apa itu TKI, seperti apa pekerjaannya. Setelah saya mencari tahu dengan bertanya kepada orang tua dan teman-teman saya, barulah saya mengerti mengapa banyak orang dari kalangan menengah kebawah, terutama di daerah-daerah terpencil ingin menjadi TKI. Saya teringat dengan nasib teman saya sewaktu saya duduk di bangku Sekolah Menengah. Ibu dari teman saya itu ada yang menjadi TKI. Dibenak saya, menjadi TKI itu hal yang luar biasa. Mencari nafkah sampai harus terbang ke luar negeri demi menafkahi keluarganya. Berpenghasilan besar dan berpikir pendek bahwa enak sekali bisa bekerja dan jalan-jalan ke luar negeri. Saya saja belum pernah sama sekali menginjakkan kaki ke luar negeri.


Saya hanya melihat kehidupan TKI hanya dari luar saja. Setelah saya melihat beberapa video dan artikel yang mengutip kehidupan para TKI, barulah saya merasa kaget. Ternyata apa yang mereka perjuangkan selama ini kurang mendapatkan dampak yang positif. Banyak  sekali TKI dari Indonesia yang berjenis kelamin perempuan, harus meninggalkan anak dan suaminya dan diperlakukan tidak adil oleh majikan selama bekerja.

Saya sempat membaca 3 artikel yang mengutip tentang dampak negatif yang dialami oleh para TKI. Artikel pertama yang saya baca mengenai Dampak Psikologi dan Sosial yang dialami oleh keluarga yang ditinggalkan oleh para TKI.[1] Artikel ini sebenarnya bukan menjelaskan tentang kehidupan seorang TKI, melainkan keluarga para TKI. Indramayu merupakan salah satu daerah asal tenaga kerja Indonesia (TKI) terbesar, dari total sekitar enam juta orang buruh migran yang terbesar di sejumlah negara. Sebagian besar buruh migran di Indramayu adalah perempuan. Banyak resiko yang mereka alami, salah satunya jarang sekali bertemu bahkan dengan anak-anaknya. Memang kehidupan mereka semakin lama semakin berubah, semisal sudah bisa membeli rumah dan lain sebagainya.



Resiko lainnya seperti kurang lancarnya komunikasi pun terjadi. Banyak yang menyebabkan persoalan pernikahan bahkan berujung perceraian. Terkadang masalah para suami yang tidak bekerja pun juga memicu hubungan pernikahan. Bagaimana dengan dampak anak-anak? Salah satu guru di PAUD Melati, Indramayu mengatakan bahwa mereka diberikan perhatian secara khusus, apalagi buat yang sering ditinggal kerja ayahnya. Hal seperti ini membuat para guru memahami persoalan yang dihadapi biasanya dalam masalah belajar dan rasa kehilangan. Tak heran jika perubahan psikologis dan sosial dapat dialami oleh bapak dan anak yang ditinggal ibunya bekerja di luar negeri sebagai TKI.

Masalah keuangan pun terjadi pula di dalam kehidupan para TKI ketika pulang ke tanah air. Seperti pada artikel harian Kompas, Jumat 11 September 2015 yang mengutip tentang para Mantan TKI Masih Terbelit Kemiskinan.[2]Mereka tak mampu mengelola uang hasil bekerja di luar negeri sehingga ketiba tiba di tanah air, mereka terjebak untuk memenuhi kebutuhan konsumtif dan terbelit kemiskinan. Umumnya uang hasil bekerja dipakai untuk memenuhi kebutuhan konsumtif seperti televisi, rumah, atau sepeda motor. Sedikit TKI yang memiliki kemampuan mengatur uang. Uang tersebut dijadikan modal usaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kecelakaan Kerja juga menjadi dampak negatif yang dialami para TKI tiap tahunnya. Banyak TKI yang meninggal bukan hanya karena kekerasan melainkan karena kecelakaan kerja. Salah satu artikel yang saya pilih dan tertarik untuk saya bahas adalah kasus pengiriman 4 Jenazah TKI ke Kupang Tiap Bulan,[3] dimana setiap bulan rata-rata empat jenazah TKI asal Nusa Tenggara Timur (NTT) dikirim dari Malaysia ke daerah asal melalui Bandara El Tari Kupang. Mereka meninggal di luar negeri dan disebutkan akibat kecelakaan kerja. Sebagian para TKI tidak memiliki dokumen keimigrasian kecuali dokumen kematian yang menyertai jenazah itu. Tetapi tidak semua TKI asal NTT yang meninggal dibawa pulang. Jika TKI meninggal karena mengalami sakit-penyakit atau kecelakaan kerja bisa saja dikuburkan di Malaysia. Mereka adalah anak-anak, istri, suami atau orang tua yang ikut TKI bekerja disana. TKI yang meninggal sebagian besar adalah TKI Ilegal yang tidak mendapatkan perlindungan keselamatan kerja yang memadai di luar negeri.

Bagi saya, Pemerintah harus benar-benar serius memperhatikan dampak-dampak negatif yang dialami oleh setiap TKI yang bekerja di luar negeri, terutama dalam hal finansial dan keselamatan kerja. Ini bertujuan agar mereka tidak terus terjerembab dalam kemiskinan selama bertahun-tahun di luar negeri dan mendapatkan rasa aman dan selamat dalam bekerja.




[1]Sri Lestari,”Keluarga TKI di Indramayu, rentan terkena dampak psikologi dan sosial”,diakses dari http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/01/160124_majalah_buruhmigran_indramayu,pada tanggal 20 Februari 2017 pukul 15.30
[2]Kompas,11 September 2015,hlm.15
[3]Kompas, 30 September 2015, hlm. 17

Tuesday, February 21, 2017

Refleksi Film: Tak Ada Manusia Ilegal

Melanjutkan kegiatan relawan yang sudah dituliskan di artikel sebelumnya, kali ini Gone dan Marsia diminta untuk menonton film: "Tak Ada Manusia Yang illegal" produksi The Institute for Ecosoc Rights dan Yayasan TIFA. Seperti yang tercantum dalam sinopsisnya, buruh migran Indonesia di Malaysia yang menyandang status illegal dan jadi target deportasi, bukan hanya telah bekerja tetapi juga telah menggadai nyawa mereka di Malaysia. Bahkan kemakmuran Malaysia tidak lepas dari peran buruh migran Indonesia. Apa jasa mereka yang tidak resmi ini perlu dihujat? Dideportasi? Kita perlu menggugat istilah "ilegal" yang ditempelkan pada buruh migran Indonesia yang tidak berdokumen. Sebab tidak ada manusia ilegal. Fenomena buruh migran ilegal adalah fenomena ketidakadilan, fenomena eksploitasi tenaga kerja manusia yang berakar pada kebijakan migrasi dan ketenagakerjaan yang membiarkan dan bahkan melegalkan perbudakan. 

Berikut refleksi dari Gone dan Marsia 



Tidak Ada Manusia Ilegal
Giasinta Angguni

Film kedua yang saya tonton terkait buruh migran berjudul ‘Tak Ada Manusia Ilegal’. Film ini menambah wawasan saya bahwa ada banyak sekali ketidakadilan bagi para TKI di luar negeri. Para pelaku ketidakadilan tersebut mulai dari agen/penyalur tenaga kerja dari Indonesia, agen di negara tempat bekerja, majikan, hingga hukum yang tidak berpihak pada para buruh migran. Pertama, sebelum berangkat para buruh migran harus membayar sejumlah uang yan cukup besar kepada agen sebagai administrasi untuk mengurus surat-surat sekaligus untuk biaya pelatihan. Bahkan buruh migran harus menanggung sendiri biaya perjalanan dari tempat tinggalnya menuju tempat penampungan TKI maupun menuju negara tujuan bekerja. Tak jarang agen penyalur berbuat curang dengan memberikan paspor palsu maupun ijin kerja palsu. Belum lagi ketika 6 bulan pertama bekerja, gaji buruh migran harus dipotong untuk membayar hutang kepada agen penyalur.

Saat tiba di negara tempat bekerja, paspor buruh migran ditahan entah oleh agen maupun oleh majikan. Hal ini membuat buruh migran tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak bisa berpindah pekerjaan atau bahkan sekedar jalan-jalan karena tidak memegang paspor. Kehidupan buruh migran bergantung sepenuhnya pada majikan.

Bila buruh migran mengalami penyiksaan, ia hanya bisa pasrah menerima. Mau kabur atau minta pulang ke Indonesia pun tidak mungkin karena paspor yang masih ditahan. Mereka pun akhirnya menjadi manusia ilegal tanpa identitas. Buruh migran dianggap sebagai ‘komoditi’, bukan sebagai manusia.

Buruh migran juga seperti tidak mendapat perlindungan hukum. Ketika terjadi tindak kriminal di negara tempat bekerja yang melibatkan buruh migran, hanya buruh migran saja yang mendapat hukuman berat tanpa memiliki kesempatan membela diri. Sedangkan majikannya seperti tidak tersentuh hukum. Semua kondisi ini yang membuat buruh migran sering sekali mengalami ketidakadilan.

Film ini mengingatkan saya akan mantan asisten rumah tangga – Mbak Etty namanya - yang suatu hari minta ijin kepada ibu saya untuk tidak lagi bekerja pada keluarga kami. Alasannya karena ia ingin menjadi TKW di Malaysia. Dengan berat hati, keluarga kami melepasnya dan mendoakan agar Mbak Etty mendapatkan majikan yang baik di sana. Sudah sekitar lima tahun ia bekerja di Malaysia. Setiap kali Lebaran, Mbak Etty selalu mudik menengok keluarganya dan mampir ke rumah kami. Ia mendapatkan majikan yang baik dan upahnya cukup untuk membiayai keluarganya di Indonesia. Nasib Mbak Etty jauh lebih beruntung ketimbang para TKW yang diwawancara di film.

Setelah menonton film, ada banyak pertanyaan yang muncul di kepala saya. Mengapa pemerintah Indonesia tidak berbuat sesuatu untuk melindungi warganya? Apakah karena pemerintah Indonesia tidak ingin merusak hubungan baik dengan negara lain? Bisakah praktek-praktek korupsi yang dilakukan oleh para agen penyalur diberantas? Apakah tidak ada cara untuk memanusiakan para buruh migran?


Tak Ada Manusia Ilegal
Marsiana Inggita

Sepintas dibenak saya setelah melihat tulisan tersebut maksudnya apa ya? Setahu saya manusia memang tidak ada yang ilegal, kenapa ada judul seperti itu? Ya, ini adalah film dokumenter yang saya tonton siang hari ini masih mengacu kepada buruh migran Indonesia dan kali ini buruh migran untuk Malaysia.

Menurut Kamus Bahasa Indonesia,legal/le·gal/ /légal/ berarti sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau hukum, sedangkan Ilegal/ile·gal/ /ilégal/ , berarti tidak legal; tidak menurut hukum; tidak sah.[1] Dari apa yang saya lihat pada film dokumenter ini, ada sekitar 2,5 juta bahkan lebih buruh migran yang bekerja di Malaysia. Tidak hanya di Arab Saudi, buruh migran di Malaysia pun juga mengalami kekerasan, tidak adanya perlindungan hukum bahkan mencapai tingkat kematian paling tinggi.

Legal dan Ilegal menjadi status buruh migran di Malaysia. Legal, jika mereka memiliki pesyaratan sebagai berikut:
1. Berusia sekurang-kurangnya 18 tahun, kecuali bagi calon TKI yang dipekerjakan padapengguna perorangan/rumah tangga sekurang-kurangnya 21 tahun.
2. Sehat jasmani dan rohani.
3. Memiliki keterampilan.
4. Tidak dalam keadaan hamil.
5. Berpendidikan minimal SMP.
6. Calon TKI terdaftar di Dinas Tenaga Kerja di daerah tempat tinggalnya.
7. Mendapat izin dari suami/istri/orang tua/wali dengan diketahui oleh Desa/Kelurahan.
8. Memiliki dokumen lengkap 9. memiliki KTKLN dan KPA[2]

     Sedangkan diluar persyaratan tersebut, TKI dinyatakan ilegal. Tidak hanya itu saja, ilegal pun dinyatakan jika dokumen TKI tersebut ditahan oleh agency atau majikannya sehingga ia memilih untuk bekerja tanpa dokumen dan perlindungan hukum demi mendapatkan upah. Agency palsu pun juga dapat menjadikan para TKI yang ingin bekerja menjadi ilegal. Kasus seperti ini sudah banyak terjadi dan sudah melibatkan banyak TKI untuk ditangkap dan dimasukkan ke penjara bahkan banyak yang dipulangkan ke Indonesia.

Kasus seperti ini menurut saya sama saja dengan halnya korupsi HAM. Manusia mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan bahkan hak untuk hidup. Mengapa pemerintah masih diam saja dalam menegakkan hukum HAM untuk para TKI yang bekerja di luar Indonesia. Selain tidak mendapatkan upah, mereka pun juga mengalami tindak kekerasan, pemerkosaan, bahkan harus mengalami sebagai korban kecelakaan kerja. Pemerintah terlalu lamban dan tidak tegas dalam menangani permasalahan seperti ini.


[1]Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),”Legal/Ilegal”,diakses dari http://kbbi.web.id/legal&http://kbbi.web.id/Ilegal,pada tanggal 14 Februari 2017 jam 15.10
[2]Alan Budiman,”TKI Malaysia (Legal dan Ilegal Menurut Hukum)”,diakses dari http://www.kompasiana.com/alanizecson/tki-malaysia-legal-dan-ilegal-menurut-hukum_551f56d4813311b77f9df656,pada tanggal 14 Februari 2017,jam 17.00

Tuesday, February 14, 2017

Refleksi Film: "Minah Tetap Dipancung"

Mulai awal bulan Februari 2017, dua orang relawan bergabung dengan Sahabat Insan: Giasinta Angguni atau yang akrab disapa dengan Gone serta Marsiana Inggita atau Marsia. Keduanya selama ini aktif di MaGis dan saat ini memiliki waktu untuk membantu kegiatan-kegiatan Sahabat Insan.


Seperti relawan-relawan lainnya, Gone dan Marsia pada tahap awal diminta untuk membaca buku "Pengetahuan Dasar Relawan Sahabat Insan" yang berisi tentang istilah-istilah dan informasi yang berkaitan dengan dunia migran. Seperti diketahui, selama ini Sahabat Insan memang memberikan perhatiannya kepada nasib para TKI, sehingga saat para relawan sudah familiar dengan dunia tersebut, mereka akan dengan mudah masuk untuk terlibat dengan kegiatan-kegiatan Sahabat Insan.

Selanjutnya, mereka berdua diminta untuk menonton beberapa film yang berkisah tentang penderitaan yang dialami oleh para migran, dan setelah itu merefleksikannya. Kali ini, film yang ditonton adalah: MINAH TETAP DIPANCUNG, sebuah film karya Denny JA - Hanung Bramantyo yang kisahnya diadopsi dari www.puisi-esai.com. Film ini mengisahkan seorang TKW yang memiliki mimpi untuk meningkatkan taraf hidup keluarga dengan mencari nafkah di negeri orang. Mimpinya kemudian hancur saat tiba di sana dan mendapati kenyataan demi kenyataan yang malah membuatnya kehilangan nyawa. Berikut refleksi dari Gone dan Marsia tentang film tersebut:


Minah, Potret Ketidakadilan TKW
Giasinta Angguni

“Mas, ijinkan aku menjadi TKW ke Arab supaya anak kita bisa sekolah”. Saya lupa kalimat persisnya, namun kira-kira alasan itulah yang membuat tokoh Aminah dalam film Minah Tetap Dipancung nekat pergi untuk mengais rejeki di negeri orang.

Meski sudah sering melihat berita tentang penyiksaan TKW melalui TV atau koran, saya sering menganggapnya sebagai sebuah persoalan yang tidak berkaitan langsung dengan diri saya. “Ah, itu kan terjadi di tempat yang jauh. Sudah tahu banyak sekali yang disiksa, kok masih ada yang mau jadi TKW di luar negeri?” Begitu pikir saya tiap kali membaca atau menonton berita penyiksaan TKW Indonesia.

Hari ini Romo Is meminta saya menonton film Minah Tetap Dipancung. Karena alasan ekonomi, Aminah atau Minah pun pergi ke Arab Saudi melalui agen penyalur tenaga kerja. Ia harus mengeluarkan dana empat juta rupiah untuk biaya pelatihan, mengurus surat-surat, dan lain-lain. Sawah orang tua pun digadaikan untuk modal Minah pergi ke Arab. Ia berharap gajinya nanti dapat dikirimkan untuk mengganti biaya modal yang telah dikeluarkan. Tekadnya hanya satu, ia ingin membahagiakan keluarganya, terutama anak perempuannya yang ingin bersekolah.

Diiringi isak tangis dari anak serta keluarganya, Minah pun berangkat ke Arab. Ia bekerja sebagai pembantu di sebuah keluarga. Awalnya semua berjalan lancar. Namun, Minah tak kunjung mendapat gaji pertamanya. Ia tak bisa mengirimkan uang kepada keluarganya di kampung. Minah juga tak memiliki hari libur untuk sekedar keluar rumah dan berjalan-jalan.

Majikan pria sering menggoda Minah hingga akhirnya ia diperkosa. Minah diancam untuk tidak mengadukan perbuatannya. Kejadian tersebut dilakukan berulang kali. Minah pun melapor pada istri sang majikan. Bukannya perlindungan yang ia dapatkan, justru istri majikan malah menyiksa Minah karena dianggap telah menggoda suaminya. Minah dipukul, dijambak, bahkan tidak diberi makan.

Suatu ketika, sang majikan berusaha memperkosa Minah lagi. Untuk membela diri, Minah pun menikam majikannya dengan gunting hingga majikannya tewas. Minah pun ditahan dan tidak mendapat bantuan hukum. Di Arab Saudi, nyawa harus dibalas nyawa. Minah pun dihukum pancung tanpa mendapat kesempatan membela diri dan perlindungan hukum.

Ada perasaan tidak enak yang muncul di hati saya setelah selesai menonton film tersebut. Miris. Sedih. Kecewa. Kasus Minah ini pasti sering dialami oleh para TKW Indonesia di luar negeri. Meskipun demikian, setiap tahun Indonesia selalu mengirimkan setidaknya 6,5 juta tenaga kerja ke luar negeri. Mereka pergi tanpa ada perlindungan, mengorbankan banyak hal dengan harapan bisa membawa pulang banyak uang.

Terselip juga perasaan marah karena melihat bagaimana Minah (dan mungkin juga para TKW) diperlakukan. Oleh para majikan, para TKW dianggap barang miliknya yang bebas diperlakukan sesukanya. Sedangkan oleh para penyalur tenaga kerja, para TKW adalah mesin pencetak uang yang dapat mereka peras sesukanya dengan menarik bayaran tinggi sebelum berangkat.

Perasaan-perasaan tidak enak ini terus membayangi saya yang sebelumnya merasa bahwa persoalan para TKW adalah bukan urusan saya. Film Minah Tetap Dipancung berhasil mengetuk rasa kemanusiaan saya. Saya masih belum tahu apa langkah konkret yang bisa saya lakukan untuk membantu nasib para TKW. Namun, sekarang mulai muncul kesadaran dalam diri saya untuk ikut memikirkan nasib mereka.



Minah Tetap Dipancung
Marsia Inggita

Siapakah Minah? Mengapa tulisan ini berjudul “Minah Tetap Dipancung?”. Film yang baru pertama kali saya tonton ini mengisahkan tentang seorang TKI asal Cirebon bernama Minah yang mengais rejeki ke Negeri Saudi Arabia demi bisa menyekolahkan anaknya. Berawal dari melihat keinginan anaknya untuk sekolah dan dikarenakan kondisi perekonomian keluarganya yang sangat tidak mampu dan tidak memungkinkan untuk menyekolahkan anaknya, Minah mengurungkan niatnya untuk terbang ke Negeri Saudi Arabia untuk bekerja sebagai TKW agar bisa mendapatkan penghasilan lebih dan membawa pulang hasilnya tersebut untuk segera diberikan kepada suami dan anaknya.

Akan tetapi, mimpi tetaplah mimpi. Harapan Minah untuk bisa pulang, kembali ke kampung halamannya, bertemu dengan suami, anak dan keluarganya dan membawa hasilnya itu hanyalah sebuah ekspetasi. Disana ia malah diperlakukan buruk oleh majikannya. Berawal dari ketika masakan Minah dipuji lalu Minah tersenyum. Suami majikannya merasa Minah menggodanya, karena pada dasarnya Minah tidak tahu aturan dan budaya senyum disana diartikan sebagai “godaan”. Lalu Minah mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dimana Minah diperksa berkali - kali oleh suami Majikannya. Minah berusaha membela dirinya dengan cara salah satunya mengadu kepada istri Majikannya. Ternyata yang diterima Minah malah perlakuan kejam, dipukul dan dicambuk bahkan diseret oleh istri Majikannya.

Sampai pada akhirnya, Minah mencoba untuk membela dirinya ketika suami majikannya berniat untuk memperkosanya lagi, Minah membela dirinya dengan cara membunuh suami majikannya itu. Setelah kejadian itu, Minah langsung mendapatkan tindakan hukum sebagai pembunuh. Di film ini menceritakan juga bagaimana pemerintah Indonesia lamban menangani kasus Minah ini sampai pada akhirnya nasib Minah tidak bisa ditolong lagi. Minah divonis hukuman mati dengan cara dipancung. Pemerintah Indonesia hanya berjanji agar proses hukum Minah segera selesai. Tetapi karena lambannya tindakan dan pemerintah hanya memikirkan egonya sendiri, Minah pun tetap dihukum pancung.

Jujur saja, perasaan saya setelah melihat film ini sangat terpukul sebagai warga negara Indonesia. Saya membayangkan bagaimana jika orang tua, saudara, kerabat dekat saya atau saya sendiri berada di posisi Minah. Kita, warga negara yang menjadi TKI di negara lain berjuang bekerja sebagai buruh migran demi kehidupan keluarga selanjutnya, demi memenuhi kebutuhan hidup dan perekonomian keluarga, agar bisa menyekolahkan anak dan sebagainya. Bagaimana mungkin kita bekerja tidak sama sekali mendapatkan perlindungan hukum dan ketenagakerjaan? Kita berhak! Pemerintah tidak boleh lamban dan diam saja. Apalagi ini menyangkut harga diri seseorang. Menurut saya tindakan pemerintah seperti di film tersebut merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan korupsi.

Kenapa saya bisa menghubungkan Korupsi dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia? Karena hampir dalam semua kasus korupsi, secara langsung maupun tidak langsung akan diikuti oleh pelanggaran HAM. Perbuatan korupsi selalu berawal dari adanya penyalahgunaan kekuasaan, artinya pelaku korupsi biasanya dilakukan oleh para pemegang kekuasaan. Dengan kata lain, bahwa perbuatan menyimpang yang dilakukan oleh aparat birokrasi dalam bentuk korupsi, dapat membuat kesengsaraan bagi rakyat kecil disuatu negara. Itu artinya dengan perbuatan korupsi telah terjadi perampasan terhadap hak-hak masyarakat atas hak ekonomi, sosial dan budaya, itu berarti telah terjadi pelanggaran HAM.[1]




[1]Oktovianus Lawalatta, “Korupsi dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia”,diakses dari http://fhukum.unpatti.ac.id/korupsi/254-korupsi-dan-pelanggaran-hak-asasi-manusia,pada tanggal 13 Februari 2017 pukul 16.31