Monday, November 30, 2015

Ketua BNP2TKI: Proses Migrasi Harus Aman, Nyaman dan Murah.

Dari Jambore Nasional Buruh Migran Indonesia 2015

Ketua BNP2TKI Nusron Wahid, hari Selasa, 24 November 2015 membuka pelaksanaan Jambore Buruh Migran di Jember.



Dalam pidato pembukaan, Nusron mengatakan bahwa kecepatan pertumbuhan tenaga kerja produktif yang jauh lebih tinggi daripada kecepatan pertumbuhan ekonomi. Total angkatan kerja baru (yaitu usia produktif manusia, 18-55 tahun) setiap tahunnya bertambah 2,8juta, tetapi pembangunan hanya tumbuh 5%, dansetiap 1% pertumbuhan ekonomi, maksimal hanya menyerap 250 tenaga kerja. Jadi per tahunnya, angkatan kerja yang mendapatkan pekerjaan hanya sekitar 1,25-1,5 juta. Artinya, setiap tahun akan muncul potensi pengangguran baru sebesar 1,3juta - 1,5juta tenaga kerja.

Ketika ada pengangguran, maka memunculkan keniscayaan terjadinya migrasi. Migrasi pertama, terjadi dari desa ke kota. Jika di kota mereka tidak mendapatkan pekerjaan, maka terjadi migrasi kedua, yaitu dari kota keluar pulau. Jika tetap juga tidak bisa mendapatkan pekerjaan, maka terjadilah migrasi ketiga, yaitu dari luar pulau ke luar negeri. Bagaimana posisi negara? Orang pindah dari satu negara ke negara lain adalah sah dan hak warga negara. Negara tidak boleh melarang orang lain untuk memperoleh pekerjaan di mana pun.

Jadi menghadapi fenomena migrasi ini, apa tugas pemerintah?

1. Memastikan bahwa proses migrasi terjadi dengan aman, nyaman dan murah. Pertanyaannya, apakah sudah terjadi? Fakta membuktikan bahwa masih banyak kesulitan yang terjadi di lapangan. Banyak pekerja harus dipotong gajinya berbulan-bulan untuk mengembalikan biaya pemberangkatannya. Artinya, migrasi belum murah dan nyaman, karena pekerja belum dimanusiakan dan ditempatkan secara terhormat oleh pemangku kepentingan di Indonesia. Oknum keamanan memandang pekerja migran sebagai obyek pemerasan yang optimal, lahan empuk, dan gampang dibohongi. Contoh kasus banyak sekali, misalnya yang menimpa pekerja-pekerja yang mencari nafkah di Timur Tengah. Memang berangkatnya tanpa ongkos, tapi di sana menerima gaji kecil, bahkan tidak digaji, terjadi pelecehan seksual, dan diperlakukan semena-mena.

Karena proses migrasi belum terjadi dengan aman, nyaman dan murah, maka banyak yang menjadi TKI illegal. Siapa salah? Salah semua pihak. Pertama, negara salah, kenapa aturannya berbelit-belit. Kedua, swasta juga salah, karena ongkosnya mahal. Ketiga, pekerjanya juga salah, karena menghalalkan segala cara. Padahal untuk mendapatkan kemanfaatan yang baik, harusnya juga memakai cara yang baik juga.

Pekerja migran sampai saat ini belum mendapatkan fasilitas emadai. Padahal buruh migran, dalam situasi ekonomi susah, adalah salah satu pihak yang menyelamatkan bangsa. Tahun lalu, negara ditolong oleh BMI sebesar 8,4M US Dollar, atau 110 trilyun rupiah. Tahun ini devisa yang masuk dari buruh migran diperkirakan sebesar 140 trilyun. Sektor-sektor lain, yang tidak menghasilkan devisa sebesar itu, dan menimbulkan efek kerusakan lingkungan di Indonesia, malah mendapatkan fasilitas dan kemudahan-kemudahan dari Pemerintah. Sementara, buruh migran yang cenderung tidak merusak apa pun, sampai hari ini belum mendapatkan fasilitas yang memadai dari Negara, Dengan dilaksanakan Jambore ini diharapkan agar paradigma pemerintah berubah untuk lebih mendukung buruh migran.

2. Melindungi WNI, terutama buruh migran yang ada di luar negeri. Siapa pun mereka, tidak ada satu profesi pun yang dianggap lebih hina dari yang lain. Semua jenis pekerjaan sama; pengacara, dosen, PRT, semua itu adalah profesi. Dalam kesempatan ini, Nusron mewakili pemerintah mohon maaf manakala kehadiran negara saat ini belum optimal, dan juga belum memberikan perlindungan maksimal. Sikap ini harus diambil, semua mulai dari titik nol, semua harus bekerja bersama. Oleh sebab itu, buruh migran harus duduk bersama pemerintah membuat kebijakan-kebijakan, terutama yang menguntungkan para buruh migran.

Pembukaan Jambore Buruh Migran 2015 ini dilanjutkan dengan penanaman pohon oleh Ketua BNP2TKI dan para pejabat yang hadir.

Lewat Foto Mereka Bersuara

Dari Jambore Nasional Buruh Migran Indonesia 2015

Ada hal yang menarik perhatian di salah satu sudut ruangan Gedung Soetardjo Universitas Jember, ruangan yang selama ini dipakai sebagai pusat kegiatan selama acara Jambore Nasional Buruh Migran 2015 ini. Ada pameran foto-foto bertemakan buruh migran. Kisah-kisah sukses, derita, kegalauan sampai harapan mereka tertumpah dengan apik dalam gambar-gambar tersebut.




Sekilas, tidak ada yang istimewa dari pameran foto ini. Namun, setelah diamati lebih jauh, dan melihat profil yang tertera di bagian bawah gambar, barulah kita bisa berdecak kagum, karena ternyata gambar-gambar serta kalimat-kalimat indah yang dipamerkan disini adalah hasil karya ibu-ibu buruh migran, khususnya dari NTT dan NTB. Para fotografer berasal dari desa Darek (Kecamatan Praya Barat Daya), Desa Gerunung (Kecamatan Praya), dan Desa Nyerot (Kecamatan Jonggat) di kabupaten Lombok Tengah (NTB), serta Desa Beutaran, Desa Tagawiti dan desa Dulitukan, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata - NTT. Desa-desa tersebut merupakan beberapa desa dampingan dari Migrant Care.


Martina Lipat, salah satu fotografer yang juga mantan buruh migran asal desa Dulitukan, Lembata - NTT menceritakan bahwa mereka, yang tergabung dalam Komunitas Buruh Migran Sonata,  menerima pembekalan ketrampilan dari Program MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan) bekerjasama dengan Migrant CARE, pada bulan Maret 2015. Selama seminggu penuh mereka diberikan pengetahuan tentang fotografi, cara  mengoperasikan kamera dengan benar, cara memilih gambar, serta cara membuat keterangan gambar (caption). Selanjutnya setelah teori diberikan, mereka diberi tugas untuk mencari tema gambar dari masing-masing alphabet, dari huruf A, B, C, D, sampai Z, yang berhubungan dengan buruh migran. Masing-masing tema kemudian diambil gambarnya dan dibuat caption. Dengan bimbingan dari pelatihnya, semakin lama mereka semakin terasah untuk peka melihat keadaan sekeliling dan menyuarakan dalam bentuk foto. Martina menambahkan, bahwa selesai pelatihan, komunitas mereka diberi sebuah kamera yang cukup canggih, yang bisa dipinjam untuk membuat sebuah foto jika sedang menemukan inspirasi.

Jagung adalah Makanan Pokok Kami - " Di desa kami, makanan pokok adalah jagung. Namun tidak mencukupi kebutuhan seharian hidup kami. Terpaksa kami menjadi buruh migran di perantauan untuk menambah kebutuhan ekonomi kami.". Demikian hasil jepretan dari Theresia Tuto, atau yang lebih akrab dipanggil Mama Theresia. Mama Theresia tidak pernah merantau menjadi buruh migran, namun beliau diminta untuk bergabung dengan komunitas buruh migran di desanya, yang bernama Komunitas Sonata. Karena hasil panen jagung di desa itu sangat melimpah, bersama anggota lainnya, Mami Theresia kemudian mengolahnya menjadi keripik jagung. Proses pembuatan keripik jagung ini memakan waktu kurang lebih satu minggu, karena di setiap proses dilakukan secara manual, sehingga waktu yang diperlukan juga lama. Dalam seminggu, mereka bisa memproduksi sekitar 100 bungkus keripik jagung, dengan catatan cuaca bersahabat/panas, sehingga mereka bisa menjemur jagung-jagung tersebut di bawah terik matahari. Namun, jika mulai musim penghujan, mereka menghentikan produksinya dan melakukan kegiatan lainnya seperti menenun atau membuat kerajinan-kerajinan lainnya.

Masih banyak tema yang diangkat oleh para fotografer handal ini, tentang air sungai yang tak lagi bening, tentang anak yang harus diasuh sang nenek karena orang tuanya merantau, tentang hasil bumi, tentang perubahan nasib, dan lain sebagainya. Jika gambar bisa berbicara lebih banyak daripada kata-kata, maka kegiatan fotografi para mantan buruh migran ini bisa jadi merupakan sarana yang efektif untuk menggali lebih dalam apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat di desa tersebut untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

Berikut beberapa foto yang dipamerkan dalam Jambore ini dengan segala kisah suka dan duka:
Ratapan Anak Buruh Migran:
Ternyata uang hasil menjadi buruh migran di luar negeri tidak bisa menggantikan kasih sayang ibunya

Berhasil Membantu Sekolah Ponakan:
Ternyata tanpa merantau pun, tetap bisa membiayai pendidikan, dengan berjualan dan memanfaatkan hasil bumi.
Pupusnya Harapan:
Angan-angannya untuk meningkatkan taraf hidup sirna setelah mendapatkan musibah di negeri jiran.

Membuat Perubahan:
Setelah suami istri merantau, akhirnya mereka berhasil mewujudkan mimpinya untuk membangun sebuah rumah.

Tiada Pilihan:
Keempat anak pemulung, yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, memilih untuk merantau mencari peruntungan di negeri orang.


Ikan Segar:
Untuk menambah penghasilan, mereka juga berjualan ikan segar, walau hasilnya tidak sebanding dengan merantau menjadi pekerja migran

JAMBORE NASIONAL BURUH MIGRAN: NEGARA HADIR, BURUH MIGRAN TERLINDUNGI

Pada tanggal 23-25 November 2015, Migrant Care bekerja sama dengan BNP2TKI, Universitas Jember dan MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk penanggulangan kemiskinan) menggelar acara Jambore Nasional Buruh Migran, yang pada tahun ini mengambil tema: Negara Hadir, Buruh Migran Terlindungi.




Acara yang baru pertama kalinya diadakan di Indonesia ini bertujuan untuk:
1.       Memperkuat konsolidasi perlindungan buruh migran Indonesia dari desa hingga nasional yang relevan dengan agenda global dannasional.
2.       Mendorong berkembangnya inisiatif-inisiatif baru dalam perlindungan buruh migran Indonesia untuk mendekatkan akses keadilan bagi buruh migran dan memudahkan masyarakat untuk mendapatkan akses bekerja di luar negeri.
3.       Mendorong menguatnya gerakan perlindungan buruh migran Indonesia melalui pengorganisasian komunitas dan buruh migran.
4.       Membangun strategi nasional antar multi-stakeholders untuk mewujudkan tersedianya instrumen dan payung hukum perlindungan bagi buruh migran Indonesia dari tingkat desa hingga nasional.
5.       Membuka ruang ekspresi budaya dan kreatifitas sebagai media pemberdayaan dan perlindungan buruh migran.
6.       Membuka ruang diskusi antar komunitas, buruh migran, masyarakat sipil dan pemerintah untuk usulan pembaruan kebijakan perlindungan buruh migran.
7.       Menyusun roadmap perlindungan buruh migran yang aman, murah dan cepat berbasis pada penegakan HAM dan keadilan gender. 

Acara Jambore dikemas dalam sebuah kegiatan yang reflektif, yang mempertemukan agenda global/nasional, menghimpun inisiatif-inisiatif dan gagasan-gagasan berbagai pihak yang bekerja untuk penguatan dan perlindungan buruh migran, serta merumuskan usulan-usulan dan langkah-langkah konkrit menghadirkan negara dalam upaya perlindungan buruh migran Indonesia. Bentuk kegiatan selama acara ini digelar adalah kegiatan di dalam ruangan (dialog kebijakan, seminar nasional, diskusi panel) dan kegiatan di luar ruangan (pameran, pentas seni, klinik hukum, klinik media).




Sebanyak sekitar 1670 orang berpartisipasi aktif dalam acara ini, yang terdiri atas:
  • Komunitas Buruh Migran dalam negeri (mantan buruh migran dan anggota keluarganya) dari Lembata NTT, Lombok Tengah, Jember,  Banyuwangi, Kebumen, Wonosobo, Indramayu, dan Blitar.
  • Buruh migran di luar negeri (Malaysia, Belanda, Singapura, Arab Saudi, dan Hongkong)
  • Organisasi masyarakat sipil di Jawa Timur dan nasional.
  • Organisasi Buruh Migran
  • Pemerintah Pusat
  • Mahasiswa
  • Akademisi (UNEJ, UI, UGM, UNPAR, UNSOED, UNTROY, UNAIR, UNRAM)
  • Kapal Perempuan dan mitra.
  • PEKKA dan mitra
  • Koalisi Perempuan Indonesia
  • Komunitas TKI Purna (BNP2TKI) Banyuwangi dan Jember.

Sahabat Insan sendiri dalam acara ini diminta untuk mendampingi Komunitas Buruh Migran asal Lembata – NTT, yang membawa 100 orang yang terdiri atas pastor, bupati, kepala desa, aparat desa dan terutama mantan buruh migran dan anggota keluarganya.  Mereka merupakan kelompok buruh migran yang datang ke Jember dengan memakai jalur transportasi terlengkap, yaitu darat, laut dan udara. Perjalanan yang cukup panjang ini ditempuh  dalam waktu 3 hari, dengan jalur Lembata – Larantuka – Kupang- Surabaya dan Jember.





Dalam kata sambutannya, Anis Hidayah selaku direktur Migrant Care mengatakan bahwa 6,5 juta pekerja migran yang ada di Indonesia belum diperlakukan sebagai manusia.  Pendekatan yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah-masalah migrasi yang ada di Indonesia ini lebih pada pendekatan ekonomi, bukan memandang masalah yang ada sebagai pelanggaran hak asasi manusia.  Hal ini menyebabkan semua pihak mengejar keuntungan tanpa mempedulikan nasib buruh migran. Hal ini terjadi dari rezim Orde Lama sampai hari ini. Konsep Nawacita yang diusung oleh Pemerintahan Jokowi pun belum berjalan dengan optimal. Oleh sebab itu, Jambore ini diharapkan dapat menyumbangkan roadmap bagaimana negara harus melindungi para buruh migrannya. Penyelamatan harus sudah dilakukan secara sistematis dan terencana, bukan hanya seperti yang terjadi selama ini yang terkesan reaktif, spontan, dan menunggu korban jatuh terlebih dahulu. Begitu juga dari bidang akademis, diharapkan universitas-universitas memiliki studi tentang migrasi, sehingga dunia migrasi akan berkembang dari waktu ke waktu. Anis menambahkan bahwa saat ini belum ada satu universitas pun di Indonesia yang mempelajari tentang hal ini.


Selanjutnya, Rektor Universitas Jember Drs. Moh. Hasan, MSc., PhD selaku tuan rumah mengucapkan selamat datang kepada para peserta jambore.  Beliau mengatakan bahwa Universitas Jember sebagai insan pendidikan tinggi memiliki komitmen untuk memperjuangkan bersama-sama agar kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan buruh migran benar-benar mensejahterakan para buruh.  Universitas Jember bertekad mendukung semua program dalam acara ini berlangsung dengan baik, sehingga dapat menghasilkan output yang diharapkan.


Sesudah kata-kata sambutan,serangkaian acara Jambore buruh Migran pun dimulai, yang diawali dengan doa pembukaan. Selanjutnya, berbagai plenary dan diskusi-diskusi tematik pun dimulai. Selama tiga hari penyelenggaraan Jambore, terdapat 5 plenary yang dilaksanakan, yaitu:
  1. Komitmen Pemerintah Daerah dalam Perlindungan Buruh Migran,
  2. Reformasi Tata Kelola Buruh Migran di Indonesia,
  3. Migrasi dan Pembangunan,
  4. Buruh Migran dan Kekerasan Terhadap Perempuan,
  5. Migrasi dan Buruh Migran: Penguatan Institusional dan Manifest Keberpihakan Pendidikan Tinggi. 
Ditambah dengan 18 diskusi tematik yang diselenggarakan secara pararel dalam dua hari.

Acara yang dibuka oleh Ketua BNP2TKI Bpk. Nusron Wahid dan ditutup oleh Menteri Tenaga Kerja RI Bapak Hanif Dakiri ini menghasilkan beberapa hal, seperti yang disampaikan oleh Anis Hidayah, direktur Migrant Care dalam sambutan penutupnya, sebagai berikut:  
1.      Peserta Jambore menginginkan perubahan sistem dari paradigma yang eksploitatif dan tidak manusiawi menjadi migrasi yang berbasis pada penegakan HAM dan keadilan gender bagi seluruh WNI yang bekerja di berbagai negara.
2.      Jambore juga menuntut agar Negara hadir dimulai dari ujung tombak yaitu desa, melalui penyediaan layanan publik yang layak bagi tenaga-tenaga kerja yang akan bekerja di luar negeri.
3.      Peserta menuntut dihapusnya peran sektor swasta yang selama ini menjadi biang keladi atau masalah yg melahirkan berbagai pelanggaran karena terfokus untuk mengambil keuntungan.

Ke depannya, peserta Jambore juga menginginkan adanya migrasi yang aman, yang bisa menghasilkan biaya yang murah, aman dan menjamin pemenuhan hak-hak pekerja migran sebagaimana dijamin dalam Konvensi Buruh Migran yang telah diratifikasi oleh pemerintah tiga tahun yang lalu. Selain itu juga diharapkan, negara, baik eksekutif maupun legislatif segera menuntaskan reformasi kebijakan migrasi mulai dari undang-undang dan peraturan-peraturan yang berada di bawahnya yang masih bersifat diskriminatif, tidak adil gender, dan tidak pro perlindungan.

Pada akhirnya selama tiga hari, peserta Jambore bukan sekedar berkumpul, namun berusaha mengukuhkan gerakan konsolidasi untuk memastikan bahwa buruh migran harus dilibatkan secara langsung dalam proses-proses penting yang menyangkut hidup mereka. Peserta juga berharap semoga ke depan perguruan tinggi dapat menghasilkan studi migrasi yang sampai hari ini belum ada di Indonesia.