Wednesday, April 27, 2022

Bakti Sosial Di Stasi Koledoki dan Stasi Oebelo

Pada hari Minggu tanggal 24 April 2022, diadakan Bakti Sosial kepada anak-anak di Naibonat, secara khusus untuk anak-anak yang menderita dan keluarga akibat Badai Seroja tahun lalu. Rencana Bakti Sosial ini sudah diagendakan oleh para suster PI di Komunitas Kupang sebagai ungkapan syukur memperingati berdirinya suster Penyelenggara Ilahi. Oleh karena itu sejak beberapa hari sebelumnya, para suster sibuk mempersiapkan Bakti Sosial ini. Bakti Sosial ini akan diselenggarakan di dua desa di Naibonat. Desa ini menjadi perhatian dari para suster karena selain menjadi daerah yang paling terdampak di Kota Kupang juga menjadi daerah dengan pengungsi paling banyak. Pengungsi di sini yang dimaksud adalah pengungsi dari Timor Leste (sejak tragedi 98).

Untuk mempersiapkan semuanya, pembagian tugas sudah dilakukan. Ada suster yang membuat tas kecil dari kain, ada yang bertindak sebagai logistik, ada juga yang berperan untuk bagian memasak bubur kacang. Sementara anak-anak asrama membantu para suster sesuai dengan yang diminta.   

Namun, rencana awal untuk mengadakan bakti sosial di Desa Naibonat terpaksa dibatalkan, karena ternyata mereka mau menerima kedatangan kami jika itu adalah hari kerja, sesuai dengan jadwal kerja pihak pemerintah.  Oleh sebab itu, lokasi kemudian dipindahkan ke  daerah Kapela Sta. Birgita, Desa Koldoki.

Pada hari H, persiapan dilakukan sejak dini hari. Sepuluh kilogram kacang hijau siap dimasak oleh Suster dibantu dengan anak-anak asrama. Dua panci besar bubur kacang hijau sudah siap dan dimasukkan ke dalam gelas-gelas plastik. Setelah itu, semuanya siap untuk berangkat ke lokasi. Namun sebelum melangkah untuk kegiatan Bakti Sosial ini, Suster Laurentina SDP memimpin doa memohon tuntunan dan perlindungan Tuhan Yesus dan Bunda Maria agar prosesnya dapat berjalan dengan lancar.

Selain para suster PI dan anak-anak asrama, ada juga seorang donator yang ingin hadir bersama untuk melihat kegiatan bakti sosial ini. Hampir semua anak asrama bergabung karena mereka diminta oleh Suster Elisa SDP. Saat tiba di Kapela St. Birgitta, umat dan anak-anak SEKAMI sudah menunggu dan mereka menyambut dengan hangat. Pater Sipri, CMF membuka kegiatan ini dengan mengatakan bahwa tujuan kedatangan para suster PI adalah untuk berbagi kasih sebagai ucapan syukur 180 tahun berdirinya Susteran Penyelenggara Ilahi. 

Selanjutnya suster Anna SDP menyapa anak-anak dan kami semua diajak untuk bernyanyi bersama dan bergoyang mengikuti irama lagu. Sekitar tiga puluh menit mereka semua bersukacita dan kegiatan dilanjutkan dengan membagikan bingkisan serta membagi bubur kacang.

Usai membagikan bingkisan, seluruh tim kemudian melanjutkan perjalanan ke destinasi wisata alam Camplong untuk makan siang dan rehat sejenak, sebelum melanjutkan kegiatan Bakti Sosial di Stasi Oebelo. 

Wednesday, April 20, 2022

Penyambutan Jenazah Di Bulan April 2022

Satu lagi jenazah PMI asal NTT yang dipulangkan dari Malaysia pada hari ini tanggal 16 April 2022 adalah atas nama Melky. Berdasarkan informasi dari keluarga yang hadir di Kargo Bandara El Tari Kupang, Melky adalah nama palsu yang ia gunakan supaya bisa berangkat ke Malaysia, .

Jenazah adalah seorang pria berusia 47 tahun yang meninggal dunia di Malaysia pada 19 Februari 2022 dengan sebab kematian yang tidak diketahui karena mendiang meninggal dunia secara tiba-tiba di rumah kosnya di Kampung Munggu Sabun, Simunjan, Sarawak dan didapati sudah tidak bernyawa oleh teman di kos. Berdasarkan keterangan dari teman-temannya, mendiang dua hari mengeluhkan keadaannya yang tidak sehat. Ia bekerja secara tidak resmi sebagai seorang pekerja ladang kelapa sawit.

Friday, April 15, 2022

Sosialisasi Tentang Perdagangan Manusia Kepada Umat di Paroki Kekandere, Ende

Laporan Jeni Laamo dari Kupang, NTT.

Setelah melakukan perjalanan yang panjang ke Desa Wologai, hari ini aku dan Suster Laurentina, SDP melakukan perjalanan yang lumayan jauh dengan akses jalan yang menantang menuju Desa Kekandere. Kami ditemani oleh Romo Alfons, Pr yang cukup lama melakukan pelayanan di desa ini. Romo Alfons, Pr mengenal dengan baik masyarakat dan umat Allah di Desa Kekandere. Sehingga sungguh tepat kami mengikuti romo yang hadir untuk memberikan pelayanan misa untuk Minggu Palem pada Minggu besok. Romo Alfons, Pr mengajak kami untuk menginap di rumah ibu angkatnya. 

Saat mengucapkan salam kepada ibu angkat romo, kami mendapati beliau yang sedang memecah kemiri. Aku mengetahui bahwa pekerjaan setiap hari ibu angkat Romo adalah memecah kemiri, demikian halnya dengan ibu-ibu di Desa Kekandere. Melihat beliau yang sibuk menyambut kami dan menyiapkan kamar untuk kami, aku dan Suster Laurentina SDP berinisiatif untuk membantu memecah kemiri. Alatnya sangat sederhana, hanya sebuah batu dan sebuah pelepah kecil yang dilipat bagi dua lalu menaruh biji kemiri yang masih utuh di tengah-tengah lipatan pelepah. Lalu dengan sekuat tenaga namun gerakan lembut, kemiri dihantamkan ke batu datar sampai kulit kemiri pecah. Ada teknik tertentu yang harus dipakai agar isi kemiri tidak pecah. Beberapa kali kami mencoba memecah namun hasilnya sungguh tidak memuaskan. Terkadang ada saja yang tidak terlepas dari kulit ari kemiri. Kami berusaha mengeluarkan isi kemiri dengan menggunakan pisau yang sudah disediakan oleh ibu angkat romo. Kami sungguh serius memecah kemiri, hingga tidak sadar waktu berlalu dengan cepat, malam datang menjemput. Aku harus segera menyiapkan peralatan yang dibutuhkan untuk sosialisasi pada malam hari. Untuk itu kami dibantu oleh seorang relawan dari OMK di Desa Wologai. Ia biasa mengikuti Romo Alfons ke Desa Kekandere dan menyiapkan soundsystem untuk kegiatan pelayanan misa. Malam ini pun OMK tersebut membantuku dalam menyiapkan proyektor dan soundsystem. Setelah semuanya siap, kami memanggil Suster untuk segera hadir di gereja yang dibangun dengan konsep terbuka ini dan memulai kegiatan sosialisasi kepada Umat Katolik di Desa Kekandere.

Sosialisasi tentang Migrasi dan Perdagangan Manusia oleh Sr. Laurentina, SDP kepada umat di Kapela Kekandere, Paroki Rajawawo di Ende. Kapela Kekandere adalah salah satu unit pelayanan di Desa Kekandere. Jika ada perayaan hari besar gereja seperti Penyambutan Pekan Suci, Misa Minggu Palem besok, umat dari beberapa stasi akan hadir di kapela ini untuk bersama mengikuti misa. Pada kesempatan itu, Tim Pelayanan Unit Anti Perdagangan Manusia, JPIC Divina Providentia hadir di sini untuk memberikan informasi penting ini karena daerah ini adalah salah satu penghasil pekerja migran ke Malaysia paling banyak di Ende (dominan non-prosedural). Tua dan muda berpartisipasi, mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Suster dan sesekali terkesiap kaget mendengar fakta yang diungkapkan oleh Suster dan diperkuat dengan video-video singkat proses pemulangan jenazah PMI, pemulangan korban hidup ke kampung halamannya, dan kasus Sarang Burung Walet yang terjadi pada 2015 lalu. Melihat raut wajah dari umat Allah yang seolah mendapatkan pencerahan tentang permasalahan-permasalahan yang dialami oleh PMI itu sendiri maupun keluarga yang ditinggalkan, kami bersyukur bisa hadir di tengah-tengah mereka. Beberapa kali bertemu dengan PMI bermasalah maupun korban TPPO, disadari bahwa paling banyak orang-orang yang direkrut untuk bekerja di luar negeri adalah yang berasal dari desa-desa yang jika mau dibilang 'terisolir' karena akses jalan yang sulit, tidak ada listrik, akses pendidikan yang juga sulit dijangkau, dan jaringan komunikasi yang sulit diakses. Meskipun menempuh medan yang berat, kami bersyukur bisa sampai di tempat-tempat terisolir itu dan menyapa mereka, memberikan informasi tentang bahaya yang mengintai di balik kata 'kerja di luar negeri.'

Wednesday, April 13, 2022

Sosialisasi Di Desa Wologai, Ende

Laporan Jeni Laamo dari Kupang.

Satu desa yang hari ini, Jumat 8 April 2022 disapa oleh Tim Unit Anti Perdagangan Manusia, JPIC Divina Providentia Kupang yang bekerjasama dengan KKPMP-KWI dalam hal ini adalah Romo Perno dari Paroki, adalah Desa Wologai, Ende.

Dari Kapela Santo Arnoldus Jansen Wolowona (tempat menginap selama di Ende) kami menempuh hampir dua jam perjalanan untuk bisa sampai di Kapela Santo Matius Wologai. Kegiatan sosialisasi ini dimulai dengan sambutan dari Bapak Kepala Desa Wologai, Andreas Ba'u dilanjutkan dengan penjelasan singkat tentang kegiatan sosialisasi yang membahas tentang migran perantau. Suster Laurentina, SDP melanjutkan kegiatan sosialisasi ini dengan menjelaskan tentang koggregasi melalui video singkat Pelayanan Suster-Suster Penyelenggara Ilahi. Masuk pada materi, Suster menjelaskan kepada masyarakat Desa Wologai tentang Migrasi dan Human Trafficking serta menyertakan Pelayanan Kargo. Kegiatan sosialisasi yang bertempat di Kapela Santo Matius Wologai, dihadiri oleh orangtua, pihak pemerintah dan gereja serta anak-anak sekolah baik SMP maupun SMA. Usai penyampaian materi, suster memutarkan beberapa video yaitu pelayanan kargo, pemulangan korban hidup dan video Kabar dari Medan?

Permintaan disampaikan kepada Suster untuk bisa mengunjungi sekolah-sekolah di Ende untuk sosialisasi sehingga ada anak-anak yang ingin mengikuti jejak langkah kaki dari suster. Yang berikut, dalam misi pendidikan dari konggregasi PI untuk memberikan perhatian kepada anak-anak sehingga hal yang tidak diinginkan seperti yang diinformasikan oleh suster tidak terjadi kepada mereka. Suster meresponnya dengan baik dan mengisahkan pengalaman hidupnya yang penuh lika liku menjadi seorang suster. Dari sekian banyak peserta ada dua remaja perempuan yang tertarik untuk menjadi seorang suster dan suster mengajak kami untuk mendoakan dua remaja itu.

Tuesday, April 12, 2022

Kunjungan ke Ende

Tim Pelayanan Korban Perdagangan Manusia di Kupang mengawali kegiatan bulan April ini dengan melakukan kunjungan ke Ende untuk melaksanakan serangkaian acara. Suster Laurentina, SDP sudah berangkat terlebih dahulu ke sana kemudian disusul oleh Jeni Laamo dan Suster Elisa, SDP. Rencananya, selama di Ende mereka akan melakukan kunjungan ke seorang purna PMI, melakukan sosialisasi anti human trafficking di beberapa tempat yang menjadi kantong migran, serta menutup rangkaian kunjungan dengan Misa Minggu Palma.

Perjalanan diawali dengan penyeberangan dari Kupang menuju Larantuka dengan menggunakan Kapal Feri. Banyak barang yang perlu dibawa untuk rangkaian acara di sana, antara lain bantuan sebuah kursi roda, 3 karung pakaian layak pakai yang rencananya akan diturunkan di Konga Larantuka, serta 100 buah Rosario untuk dibagikan. Kapal yang rencananya berangkat pukul dua siang, karena berbagai kendala akhirnya baru bisa berlayar pada pukul delapan malam. Banyaknya barang yang harus dibawa menyebabkan mereka akhirnya memutuskan untuk menyewa ekspedisi yang akan membawa barang masuk ke dalam kapal dan mengantar sampai Larantuka.



Sesampai di Larantuka, mereka menginap di rumah seorang kerabat sebelum keesokan harinya Jeni melanjutkan perjalanan ke Ende dengan menggunakan bis. Perjalanan darat ditempuh selama kurang lebih delapan jam melewati pemandangan yang indah dan eksotis. Sesampai di Terminal Ende, seorang anggota OMK menjemputnya untuk diantar ke Paroki Wolotolo, tempat Romo Perno bertugas. 

Keesokan harinya mereka berkunjung ke salah satu rumah purna PMI untuk mengantarkan bantuan kursi roda. Pria ini dulu merantau ke Malaysia dan dipulangkan dalam keadaaan sakit, yang membuat badannya kurus kering dan kesulitan berjalan. Jalan menuju rumahnya tidaklah mudah, karena berada di dataran tinggi sehingga tidak bisa dilewati mobil dan harus ditempuh dengan berjalan kaki sambil mengangkat kursi roda. Untunglah ada seorang bapak yang berbaik hati membantu membawakan kursi roda tersebut sampai ke atas, melewati jalan mendaki dan sempit, sampai-sampai kursi roda yang ia gotong terhalang ranting-ranting pohon. 



Tuesday, April 5, 2022

A burning chaff

Source:  https://jcapsj.org/blog/2022/04/04/a-burning-chaff/



The Migrants and Refugees Network of JCAP had the opportunity to gather online, and while there hasn’t been a meeting like this in a long time, it meant a lot. Listening to the stories of two victims, Sara Muzamil in Africa and Paul in Myanmar, brought us together to realise how deep their suffering is. We are amazed. We bow down to their suffering. They live geographically very far apart, but we feel close to them because we are united by suffering.