Thursday, September 26, 2013

Mata-mata Duka

Ada yang berbeda ketika berkunjung ke sebuah rumah sakit bagian jiwa di Jakarta Jumat (20/9) yang lalu. Kami tidak menjumpai pasien-pasien yang sumringah menyambut kedatangan kami. Ternyata mereka sudah dinyatakan sembuh dan telah pulang ke kampung halaman. Mendengar berita tersebut, seketika kami pun menjadi bergembira.

http://www.deviantart.com/print/10353665/
Sebelum kami ke rumah sakit untuk menengok para buruh migran yang mengalami trauma karena bekerja di luar negeri, kami terlebih dahulu berkunjung ke rumah Mbak Lili, Peduli Buruh Migran. Mbak Lili berbagi kisah seputar kasus perdagangan orang yang belum lama ini telah diadvokasi olehnya. Terdapat puluhan TKI korban perdagangan manusia yang berhasil diselamatkan, sehingga dapat kembali ke tanah air.

Mbak Lili kemudian memberi tahu kami bahwa ada dua orang yang sempat ditampung di Shelter Sahabat Insan. Mbak Lili mendapat kabar tentang kedua orang mantan TKI tersebut dari jaringannya. Dengan segera, Mbak Lili membantu kedua korban yang sempat terlunta-lunta di Tanah Abang. Kedua korban itu, ternyata korban perdagangan manusia dan masih di bawah umur. Keduanya hanya tiga hari di Shelter karena mereka rindu pulang. Berkat bantuan Mbak Lili, mereka kemudian kembali ke kampung halaman.

Usai berbincang dengan Mbak Lili, kami diberikan sabun mandi dan sabun cuci baju untuk dibawa ke rumah sakit. Semua sabun itu kami berikan kepada para pasien di sana. Ketika kami datang, suster jaga di sana gembira karena sabun yang kami bawakan. Kami kemudian, mulai menyapa satu per satu dari mereka yang mendekat kepada kami. Karena banyak yang telah pulang, maka di sana hanya ada sekitar 10 orang. Beberapa di antara mereka belum lama berada di ruang jiwa itu.  Seperti biasa, seorang ibu yang telah lama berada di sana membantu mengambil dan menata bangku. Kami pun bersama-sama duduk melingkar.

Seorang pasien yang sempat kami ajak mengobrol ternyata berusia 22 tahun. Usia yang masih begitu muda. Usia yang seharusnya dilalui dengan kesibukan di bangku perkuliahan. Sementara itu, dua pasien lain yang duduk di dekat kami, memperlihat mata-mata duka mereka. Dari wajah mereka, dapat diperkirakan kalau usia mereka masih muda sekitar 20-an. Ana, sebut saja demikian, memiliki tatapan mata yang kosong dengan rambut berantakan. Tangannya masih gemetaran. Ketika kami tanya namanya, dia masih mau menjawab. Tetapi kemudian, tak ada suara apa pun yang dapat kami tangkap, selain rasa kesedihan dan trauma yang dalam. Ketika Ana diberi kue oleh suster, dia sempat memotong kue sedikit dan hendak membaginya kepada kami. Walau hanya sebatas gerakan tangan dan tanpa ucapan, tindakannya membuat kami terharu.

Ani, pasien yang lainnya tak berbeda jauh dari Ana. Rambutnya basah dan berantakan. Tatapan matanya juga kosong, tapi terlihat ada kemarahan yang sangat melalui sorotan matanya itu. Dia sempat menolak makan siang yang dibawakan suster. Sampai beberapa saat kemudian, ketika suster membujuknya, dia baru mengambil makanannya dan memakan seperti pasien yang lainnya.

Hanya dengan berada di sisi mereka saja, kami jadi ingin menangis. Seolah duka yang ada pada mereka, dapat kami rasakan. Maka, terlintaslah dengan sendirinya pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran kami. Apa yang telah terjadi pada mereka? Apa yang dilakukan majikan kepada mereka sampai mereka memiliki trauma semacam itu? Apa yang dapat kami lakukan untuk mengurangi kepedihan mereka?


Tuesday, September 17, 2013

Kunjungan Sahabat Insan ke Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC)

Hari Rabu, 11 September 2013, Sahabat Insan berkesempatan untuk berkunjung ke Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC). RPTC adalah Rumah aman yang dibuat oleh Kementerian Sosial. Rumah ini memang khusus dipakai sebagai tempat tinggal sementara para TKI yang dideportasi, sebelum mereka kembali ke kampung halaman masing-masing. RPTC bertempat tak jauh dari Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Kurang lebih 25 orang mantan TKI yang telah dideportasi berkumpul bersama di sebuah ruangan yang cukup besar di sana. Kami memulai acara dengan berkenalan dan berbagi cerita. Tak perlu terlalu detail bertanya mengenai peristiwa apa yang menimpa mereka selama bekerja. Karena dari raut wajah mereka sudah tampak guratan kesedihan dan trauma yang membekas di sana. Berbagai getir kehidupan di negeri orang telah mereka alami.


Kebanyakan dari mereka berasal dari Indonesia  timur: Flores, Maumere, Manggarai, dsb..  Sebagian besar mereka bekerja di Malaysia dan memiliki keinginan besar untuk kembali lagi ke sana. Mengapa demikian? Mengapa mereka tidak mencari saja pekerjaan di kampung halaman mereka? Mereka mengatakan bahwa mereka justru mengalami kesulitan untuk mencari pekerjaan di kampung halaman. Maka, mereka pun pergi dengan harapan mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang  besar. Ada juga seorang ibu yang ingin kembali ke Malaysia karena memiliki suami dan anak di sana.

Namun, yang dialami di negeri orang sungguh tak mereka kira sebelumnya. Beberapa di antaranya dianiaya oleh majikan, ditangkap oleh polisi, dan mendapatkan hukuman cambuk. Lalu, apa yang membuat mereka bertahan, bahkan ingin kembali? Mereka berkata bahwa mereka merasa begitu bahagia apabila mendapatkan uang dan dapat mengirimkan kepada keluarga di kampung halaman. Sharing tersebut ditutup dengan menyanyikan lagu-lagu rohani bersama-sama.


Kunjungan ke RPTC biasa dilakukan oleh Suster Vincent sebagai upaya pendampingan rohani bagi saudara-saudari kita, para mantan TKI, yang beragama Kristiani. Hari itu terasa lebih istimewa dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Beberapa orang Romo dan Frater dari Flores diajak Suster Vincent untuk ikut berkunjung ke RPTC. Mereka pun memfasilitasi para mantan TKI itu, untuk melakukan pengakuan dosa. Usai pengakuan dosa, Romo Koko dari KWI merayakan Ekaristi bagi mereka. Betapa menyedihkan karena ternyata selama bekerja, bertahun-tahun lamanya, mereka tidak berkesempatan merayakan Ekaristi atau pun Sakramen Tobat.

Semua mengikuti Misa dengan penuh khidmat. Beberapa kudapan kemudian kami santap dengan sukacita. Sebelum kami mengakhiri kunjungan, tak lupa kami berfoto bersama. Mereka terlihat begitu bersemangat mengeluarkan handphone dan mengajak kami untuk foto. Walaupun hanya sebentar, kunjungan para Romo, Suster, Frater, dan Sahabat Insan semoga membawa penghiburan bagi mereka di RPTC.

Thursday, September 12, 2013

Laporan Pelatihan “Pendampingan Hukum bagi Korban Trafiking”


Dalam menanggulangi perdagangan manusia, berbagai daya upaya telah dilakukan mulai dari tindakan pencegahan, penegakkan hukum, pemulihan, reintegrasi (ganti rugi) baik oleh pemerintah, maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Namun, sampai sekarang ini, masih banyak korban perdagangan manusia yang tidak melaporkan kasus mereka dan pelaku tidak dijerat dengan hukum yang sebagaimana mestinya. Maka, Solidarity Center yang bekerja sama dengan Peduli Buruh Migran menyelanggarakan pelatihan dengan tajuk ”Pendampingan Hukum bagi Korban Trafiking” pada tanggal 3—4 September yang lalu di Cikini. Sebanyak tiga belas orang baik dari lembaga pemerintah, maupun LSM mengikuti pelatihan tersebut. Beberapa di antaranya berasal dari Solidaritas Perempuan, Migrant Care, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Peduli Buruh Migran, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC), Gembala Baik, dan Sahabat Insan.

Pembicara selama dua hari tersebut adalah Bapak Willy Balawala, selaku program officer Solidarity Center, dan Ibu Erna Ratnaningsih dari LBH APIK. Pertemuan pada hari pertama tersebut (3/9), dimulai dengan suasana yang cair dan penuh keakraban. Masing-masing dari kami berbagi pengalaman ketika menangani para buruh migran yang menjadi korban. Pemaparan yang tak terkira datang dari Pak Willy di awal. Secara global, lima tahun lalu, kasus perdagangan orang terbesar ketiga setelah senjata dan narkoba. Namun, sekarang persoalan perdagangan orang telah menjadi masalah pertama di dunia.

Salah satu isu hangat yang diangkat adalah kasus anak-anak yang dijual untuk menjadi anak buah kapal (ABK). Mereka sampai berlayar ke Pulau Christmas di Australia. Sampai saat ini, proses hukum masih berjalan. Anak-anak tersebut selain mendapat kekerasaan selama bekerja, mereka juga tidak digaji.

Usai bercerita, pelatihan dimulai tentang definisi dari perdagangan orang seperti yang dimuat dalam Pasal 2 (1) dan (2) UU  No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO). Bunyinya adalah setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, di pidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Kita dapat membaginya menjadi tiga unsur yaitu proses, jalan atau cara, dan tujuan. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Berangkat dari definisi tersebut, kami dihadapkan dengan berbagai contoh kasus untuk mengidentifikasi apakah itu kasus perdagangan orang atau bukan. Jadi, kasus yang dapat dijerat dengan UU TPPO adalah yang memenuhi tiga unsur tersebut, apabila kurang salah satu, pelaku tidak dapat dijerat dengan UU TPPO. Selain itu, yang perlu digarisbawahi adalah sekalipun korban awalnya telah setuju kepada si pelaku perdagangan orang untuk pergi bekerja, hal itu tidak membuat si pelaku menjadi bebas.

Penipuan adalah modus yang paling sering dilakukan untuk merekrut tenaga kerja. Sang penipu dengan jani manisnya berkata kepada keluarga dan korban tentang pekerjaan baik dengan gaji tinggi. Untuk janji-janji yang tinggi itu dokumen-dokumen korban dipalsukan. Ternyata apa yang terjadi? Apa yang kemudian mereka alami? Korban kemudian dieksploitasi, mereka dijual, tempat mereka bekerja tidak sesuai dengan janji awal, mereka dianiaya oleh majikan, gaji  mereka pun tidak dibayar, atau bahkan mereka dijadikan pelacur. Salah satu contoh yaitu kasus trafiking di Batam, sebanyak 100 perempuan dipekerjakan di diskotek, salon, tempat pijat, atau tempat pelacuran di sana. Hal ini menjadi sulit diberantas salah satunya karena sudah menjadi bisnis dari para mafia yang memiliki akses dan aset tak terkira. 

Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para pendamping korban perdagangan orang.
  • Menempatkan korban di rumah aman atau shelter. Memperhatikan kondisi korban, beberapa korban cenderung tak mau terbuka, memiliki kecurigaan tinggi sekali. Oleh karena itu, pendamping butuh kesabaran luar biasa dan perlu melakukan sistem kekeluargaan. Baik apabila tidak langsung melakukan assesment, melainkan pendekatan, mengobrol seperti keluarga, sampai korban mau terbuka. Setelah itu, baru bercerita saat kondisi korban sudah membaik.
  • Melapor kepada kepolisian setelah memberi tahu berbagai proses yang akan dilalui korban apabila menempuh jalur hukum.
  • Melakukan visum apabila korban terluka atau teraniya dalam rangka membantu mengumpulkan bukti-bukti.
  • Meminta polisi tidak memakai pakaian polisi saat BAP, apabila memungkinkan juga meminta polisi perempuan. Hal itu akan membuat korban lebih nyaman untuk bertemu dan menyampaikan berbagai hal. Karena sangat wajar bila si korban tertutup, mengingat orang-orang yang dia jumpai ternyata trafiker.
  • Tempat pemeriksaan juga lebih baik tidak di kantor polisi.
  • Kata-kata yang digunakan dipilih. Para pendamping diharapkan lebih “sensitif”.
  • Melakukan mediasi dengan tujuan menuntut restitusi (ganti rugi). Tetapi, beberapa mediasi yang terjadi berdampak pada berhentinya proses pengadilan. Oleh karenanya, menjadi penting melihat bahwa kasus TPO yang merupakan delik biasa, sebaiknya tidak melakukan mediasi kalau akibatnya adalah untuk menghentikan proses pengadilan.
  • Dalam proses persidangan, korban berhak mendapatkan informasi yang dapat diintervensi menggunakan UU Keterbukaan Informasi Publik. Kalau tidak diberikan, dapat digunakan sengketa informasi publik.
  • Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bisa menjadi salah satu tempat untuk menuntut perlindungan bagi korban.
  • Memediasi korban dengan keluarganya.
  • Bekerja sama dengan semua pihak seperti polisi, jaringan LSM, LBH, pengacara, pers.
  • Mengawal proses hukum yang berlangsung sampai putusan keluar.
Pelatihan hari pertama sebenarnya banyak dihabiskan dengan berbagi cerita. Pada hari berikutnya (4/9) kami lebih fokus membahas strategi-strategi advokasi dalam mendampingi dan memulihkan korban, proses peradilan pidana, dan mendapatkan alat bukti. Pada dasarnya, kekhususan memakai UU TPPO adalah karena dalam KUHAP tidak ada hukuman minimal, sedangkan di dalam UU TPPO Pasal 2, hukuman minimal 3 tahun bagi pelaku.

Penting diketahui bahwa kebanyakan kasus yang seharusnya kasus perdagangan orang, tidak dimasukkan oleh polisi ke dalam UU TPPO. Hal itu, seringkali disebabkan karena polisi tidak tahu tentang UU TPPO dan dalam proses yang berjalan, polisi yang memeriksa pekara berganti, sehingga pendekatan dari pendamping bisa jadi sia-sia apabila ini terjadi. Maka, UU TPPO menjadi semacam kitab suci bagi para aktivis yang hendak mengadvokasi para korban perdagangan orang.

Proses hukum yang dijalani korban bisa sangat lama dan belum tentu pelaku tertangkap. Selain itu, yang menjadi kendala adalah sistem rantai putus. Perekrut tidak selalu menjadi pelaku perdagangan orang. Karena setelah korban direkrut dari daerah asal, kemudian dijual ke agen lain. Jadi tidak ada pemantauan secara terus-menerus dari perekrut. Bisa jadi korban juga dibuang begitu saja. Jadi, antara perekrut, agen satu dan agen yang lain, tidak saling kenal. Justru mereka menghilangkan jejak agar tidak kena proses hukum. Apalagi kalau korban sudah lintas negara, semakin sulit dan lama proses hukumnya.

Karena selain keberanian, tentu dalam proses peradilan, baik pendamping atau korban membutuhkan kesabaran. Kasus TPPO ini membutuhkan waktu sampai bertahun-tahun untuk menjerat pelaku ke penjara serta demi menuntut ganti rugi yang setimpal. Ganti rugi yang diberikan pun bisa sangat tidak sesuai dengan yang dituntut.

Terkait dengan pelaku perdagangan orang, sering yang terjadi pelakunya adalah orangtua korban sendiri. Orang-orang terdekat korban justru memiliki peluang paling besar untuk menjerumuskan sanak saudara mereka ke dalam perdagangan orang. Bukan berarti karena keluarga mereka tidak dijerat hukuman. Hal inilah yang kemudian menjadi perbincangan kami karena begitu dilematis persoalannya. Dalam UU TPPO Pasal 9 ditulis bahwa setiap orang yang berusaha menggerakan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang dijerat pidana pula. Dengan demikian, orangtua pun bisa terjerat. Walaupun, ada juga orangtua korban yang memang tidak tahu dan tidak bermaksud menjual anaknya. Mungkin orangtuanya berada dalam kemiskinan, pendidikan rendah, terjerat hutang, ditipu, dsb.. Ada juga orangtua yang memang ikut serta memalsukan dokumen dan menjual secara terang-terangan anak-anaknya. Sayangnya, dalam logika hukum, ketidaktahuan tidaklah diterima, sekalipun dapat dikatakan bahwa orangtua minim pegetahuan, dsb.. Pada akhirnya, kebanyakan korban tidak melanjutkan kasusnya.

Advokasi bagi korban meliputi litigasi (jalur hukum) dan nonlitigasi (nonhukum). Keduanya harus dilakukan secara bersama-sama. Pendamping juga tidak boleh lupa untuk menanyakan keinginan utama korban. Apakah korban memang ingin menempuh jalur hukum untuk memenjarakan pelaku dan menuntut ganti rugi atau tidak. Pendamping tidak dapat memaksakan, hanya berusaha memberi tahu secara detail proses beserta risiko yang akan korban jalani bila memilih jalur hukum.

Karena perdagangan orang sudah menjadi masalah kemanusiaan paling besar di seluruh dunia, maka sudah seharusnya semua pihak mulai dari keluarga, civil society, pemerintah, serta media saling bekerja sama untuk menuntaskan persoalan ini.

Tuesday, September 3, 2013

Reframing the World


When we encounter something, what we think of it will be what is real to us about it. If we were wandering in the dark and suddenly hit something hard, we would think that it is a rock, a piece of furniture, or part of a wall, depending on where we were at that time. But it would seem to be true also in everyday life, except that we tend to have more memories and prior experiences of the same everyday phenomena, and therefore less likely to feel that we were wrong in our perception.

In another country, the same phenomena might have a totally different interpretation and value, even though we might think of it as a thing of common sense. So, it becomes acceptable to work from 5 in the morning until 3 in the morning, just because the boss says so, just because of a believe that justice will prevail, that a merciful and compassionate God looks after the meek and lowly faithful.
 
 Old Shoes by sharkbite1414
http://sharkbite1414.deviantart.com/art/Old-Shoes-151818434
***

Who wants to be a millionaire? Indeed, our hidden desires might lie in that direction, though it usually remains wishful thinking. Other pressing things like how to pay the bills at the start of the new school term, how to repair the roof of the house which has been attacked by termites, how to remain in the village when there's no work available, or even more urgently for some families, how to get their next meal, let alone a permanent shelter or place to call home.

These pressing needs are some of the legion of foot-soldiers of a nightmare, a variation of the sudden, dark deep hole of "unlucky circumstances" just around the corner, which lurks beneath the consciousness of many people who are not rich, and are getting poorer by the day.

***

The economics of the rich talks about profits and growth. There is an unrelenting hunger for more, which tends to increase with each successful attempt to get more. For these insatiable beings, nothing else really matters, not the lives of other persons, possibly including their loved ones, and what more the emaciated, deeply tanned and dirty looking beggar and his loyal, suffering family who has stayed by his side on the streets.

In order to become rich, any means necessary are sometimes employed. Including making people work as slave labour, or for as little wages as possible, if at all. There is no conscience, as there is thought to be order in the universe which allows masters and slaves, the profiteer and the profitless.

***

From these three vignettes, is it any wonder that some of those who decide to work as migrant workers end up with mental illnesses like depression, disorientation, labile moods, and temporary amnesia? In the face of such exploitation, mistreatment, and degradation, at the hands of another human being, the fact that both persons across this material divide share a common humanity is all but lost.

It shatters the idea that a person can be a person, as one who inflicts such pain on another person, or as one who has to endure such inhuman sufferings.

How can these migrant workers reconcile with themselves, in the everyday society which masks these illogical and seemingly evil dichotomies? How does a migrant worker reconcile that within a few hours aboard an airplane, their world becomes benign, friendly, familiar? Do they now see the world in which they experienced love, family, friends, to be only the things that matter? Or are these dark matters shadowing their very lives, colouring their perceptions until hope dies?

The stories of the Nazi concentration camp survivors, and other human atrocities, people do survive. For many various reasons, some of which are due to faith, or personality, or to be more general, just pure circumstance of their own personal experiences, past and present.

Those not so fortunate tend to need help, tough love, space, and support. Some might be irreparably damaged by their experiences. There is no magic or formula that can help each and every one of them. There is no turning back of the clock. What we could perhaps hope for is that with each moment of knowing and sharing about these wretched inhuman experiences, we would stop ourselves the next time we see a beggar, or a squatter home, or a forlorn and crumbling house in the jungle, and wonder, if we are really human enough to accept those others whom we have alienated from our lives.

Wonder, therefore, perhaps if our lives at the moment are really uplifting for ourselves, for others, or for no one. Wonder, possibly, if we can forget about the cost it takes to fight against this despairing, rising, tide of woe. Wonder, of the wonder of wonders, what it is to try to make a difference, to reclaim what it is supposed to be human once more, if it is not too late to do so already.