Wednesday, July 15, 2020

Suster Laurentina, PI: Demi Mereka Yang Terlantar

Artikel ini dimuat di KOMPAS edisi cetak, Selasa, 14 Juli 2020, halaman 16


-------------------------------------------------------------------------------------
Lebih dari satu dekade, Suster Laurentina PI bekerja untuk mereka yang ditelantarkan. Ia mengurus anak-anak jalanan, korban perdagangan manusia, hingga jenazah buruh migran asal Indonesia yang terkatung-katung.
Kornelis Kewa Asna

Laurentina berasal dari Kongregasi Penyelenggaraan Illahi (PI) yang berpusat di Semarang, Jawa Tengah. Ia masuk biarawati pada 1999 dan melanjutkan pendidikan diploma Akademi Pekerja Sosial (APS) di Kupang 2004 – 2007. Ia kemudian bergabung dengan Yayasan Sosial Soegijapranata, Semarang, khusus mengurus anak-anak jalanan.
Ia mengabdi di sana selama tiga tahun. Setelah itu, ia ditempatkan di Maubesi, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), sejak 2010. Ketika bertugas di Maubesi, ia pertama kali dikontrak jejaring pekerja kemanusiaan di Jakarta. Mereka minta Laurentina untuk membantu pemulangan jenazah korban perdagangan manusia asal Desa Tuamau, Kecamatan Maubesi, dari Malaysia yang meninggal akibat penganiayaan majikan. “Saya begitu trenyuh menyaksikan luka-luka yang dialami korban akibat penganiayaan,” cerita Laurentina di Kupang, Jumat (10/7/2020).
Peristiwa itu membuat ia menaruh perhatian khusus pada isu perdagangan manusia. Untuk mengetahui praktik kejahatan itu, ia mengikuti pembekalan perdagangan manusia di Malino, Sulawesi Selatan, yang digelar Counter Human Trafficking Commision pada 2012. Berbekal pengetahuan dari Malino, ia menyosialisasikan dampak buruk perdagangan manusia ke asrama-asrama dan masyarakat di Timor Tengah Utara.
Pada 2014, ia mengambil program pendidikan S-1 di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik di Jakarta. Kegiatan kampus diikuti pada malam hari, siang harinya ia menjadi sukarelawan di Shelter Bambu Apus di bawah Kementerian Sosial. Ia juga bergabung dengan Yayasan Insan Manusia.
“Pernah tiga bulan saya mendampingi 120 anak NTT yang pernah disekap calo TKI anak NTT yang pernah disekap calo TKI untuk dijual ke Malaysia di Shelter Bambu Apus,” ujar Laurentina. Dia mengantar mereka pulang ke Kupang pada 2015.
Menangani ratusan jenazah
Pada 2017, Laurentina ditugaskan oleh Kongregasi ke Kupang mengurus jenazah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang ditelantarkan di Bandara El Tari, Kupang. Ia diminta mendampingi dan mengurus keberangkatan jenazah ke kampung asal. Sejak itu nyaris setiap hari ada jenazah tiba, kadang sampai empat peti. Total yang ia urus sejak 2017 sekitar 300 jenazah.
Jenazah dikirim dari beberapa daerah di Malaysia. Terkadang, jenazah tiba dalam kondisi sangat berbau dan mengeluarkan air karena telah meninggal tujuh hari lebih. Laurentina pun mesti mengurus pengemasan ulang jenazah sebelum diantar kepada keluarga. Ada juga jenazah yang sudah tidak utuh atau penuh luka.
Banyak tantangan yang ia hadapi saat mengurus jenazah. Ia, misalnya, harus menghadapi maskapai penerbangan di Kupang yang menolak membawa jenazah ke Flores atau Sumba beberapa menit sebelum pesawat berangkat. Padahal, sebelumnya mereka menyatakan bersedia dengan biaya pengiriman dari BP3TKI NTT. Maskapai beralasan, jenazah itu bisa menyebarkan penyakit. “Waktu diterbangkan dari Malaysia ke Kupang hal itu tidak dipersoalkan,” katanya.
Tantangan juga datang dari pihak keluarga. Mereka menyatakan siap menjemput jenazah di bandara. Saat jenazah tiba, mereka belum datang. Akhirnya, Laurentina terpaksa mengantar jenazah itu ke desa tujuan.
Sebelum diantar ke desa, sebagian jenazah mesti disemayamkan semalam di ruang pemulasaran jenazah RSUD Yohannes, Kupang. Itu berarti, Laurentina mesti menunggui jenazah sampai pagi sambil berdoa. Kadang ia mengajak mahasiswa di asrama berdoa bersama di samping peti jenazah. Bagi dia, tidak elok jenazah dibiarkan tergeletak sendirian.
Agen menekan
Hampir semua jenazah asal NTT yang dikirim dari Malaysia adalah TKI ilegal. Tidak mudah mengirim balik jenazah karena nama dan data jenazah termasuk alamat tidak selalu ada. Laurentina mesti mencocokkan dengan data dari BP3TKI NTT dan pihak gereja. Untuk itu, ia bekerja sama dengan Jaringan Perempuan Timor dan Jaringan Relawan Kemanusiaan Kupang.
Umumnya, jenazah ditelantarkan di Malaysia karena keluarga korban tidak sanggup membayar biaya yang dipatok agen pengiriman jenazah di Malaysia, yakni Rp. 20 juta – Rp. 25 juta per jenazah. Padahal, proses pengiriman jenazah hanya berkisar Rp. 14 juta – Rp. 16 juta.
“Saya bekerja sama dengan jejaring di Malaysia untuk mengatasi masalah ini dan mencari donor dari gereja atau lembaga lain. Tetapi, kadang karena mendapat tekanan dari agen mayat Malaysia, orangtua pun cepat-cepat mengirim uang sebelum mendengar keputusan dari kami. Keluarga itu menjual ternak dan tanah guna memenuhi permintaan agen mayat,” tuturnya.
Ia, antara lain, memiliki jaringan dengan Keuskupan Penang di Malaysia Barat dan Keuskupan Agung Kuching, Malaysia Timur. Mereka memberi informasi tentang korban TKI asal NTT yang meninggal, termasuk penyebab, asal-usul, tanggal kematian, keberangkatan dari Malaysia, jenis pesawat yang membawa jenazah, serta hari tanggal dan jam berapa jenazah tiba di Kupang.
“Begitu mendapatkan informasi dari luar negeri bahwa ada jenazah TKI NTT yang hendak dikirim, saya menawarkan diri sebagai penanggung jawab sekaligus anggota keluarga dari korban. Padahal, orang itu saya tidak kenal, termasuk orangtuanya. Yang penting,  jenazah bisa pulang dengan aman sampai di kampung tujuan,” ucapnya.
Laurentina setia mengawal jenazah karena, menurut dia, bagaimanapun jenazah harus dihormati dan dijunjung tinggi. Mereka sudah menjadi korban perdagangan manusia sejak dari kampung sampai di luar negeri, bahkan sampai meninggal pun jenazah mereka ditelantarkan dan dibisniskan oleh agen mayat di luar negeri. “Ini sangat menyedihkan. Mereka juga manusia, “ katanya sambil mengusap air mata.
--------------------------------------------------------------------------------------------
Laurentina, PI
Lahir: Temanggung, Jawa Tengah, 23 Agustus 1970
Pendidikan terakhir: S-1, Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (2015)