Friday, November 16, 2012

Gerakan ARRAK: Merealisasikan Undang-undang Perlindungan Buruh Migran



Apakah yang dapat kita lakukan untuk sesama kita yang miskin, lapar, dan tidak memiliki tempat tinggal? Sudahkah kita memberikan sesuatu kepada mereka yang miskin, makan kepada mereka yang lapar, atau tumpangan kepada mereka yang tidak memiliki tempat tinggal?

Sebagian orang setiap hari hidup dengan tanpa memiliki kekhawatiran akan hari esok, tentang uang, pekerjaan, makanan, dan tempat tinggal. Sementara itu, setiap hari di jalan-jalan terlihat mereka dengan mata seolah tanpa binar, mulai dari anak-anak yang seharusnya sekolah sampai nenek-nenek atau kakek-kakek. Mereka meminta-minta, mengamen, berjualan koran, berdagang asongan, atau menjajahkan payung ketika hujan datang.


Jumat, 9 November 2012, satu hari sebelum hari Pahlawan, Sahabat Insan menghadiri undangan terkait persoalan pahlawan devisa di Hotel Sofyan, Jakarta. Acara tersebut bertajuk “Dialog Publik: Minimalisasi Perlindungan Buruh Migran dengan Konvensi Migran 1990[1]” yang diselenggarakan oleh Aliansi Rakyat untuk Ratifikasi/Realisasi Konvensi Migran 1990 (ARRAK). Dari 26 anggota ARRAK ’90[2], ada 16 yang hadir di dalamnya. Dalam acara itu, terdapat beberapa pembicara mulai dari Kementraian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP dan PA), Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, JALA PRT (Jaringan Advokasi Nasional-Pekerja Rumah Tangga), Komisi 9 DPR RI, dan lainnya. Pada saat tanya jawab, terjadi diskusi yang menarik karena para peserta pun antusias dalam menyikapi berbagai hal yang dikemukan pembicara. Acara yang berlangsung dua hari sejak tanggal 8 November ini mendapat sumbangan dana dari International Catholic Migration Commission (ICMC).

Kehadiran Sahabat Insan di sana merupakan telinga dan mata yang mau melihat dan mendengar tentang sesama kita yang tersisihkan. Para pahlawan devisa tersebut seringkali mendapatkan cap yang buruk, mereka sering dikatakan mencoreng citra Indonesia di mata negara lain. Padahal, menurut Ina, Guru Besar Fakultas Ekonomi Unpad, jumlah uang yang dikirim oleh TKI dari luar negeri ke Indonesia hingga September 2010 sudah menembus angka Rp45,27 triliun, setahun naik 2,44 persen dibandingkan dengan periode 2009.[3] Artinya, sumbangan para TKI yang bekerja di luar negeri sangat besar bagi negara Indonesia. Bahkan, Indonesia sempat dikatakan 1 dari 9 negara pengirim buruh migran terbesar di dunia.

Pada tanggal 12 April 2012, Pemerintah telah meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan seluruh Buruh Migran dan Anggota Keluarganya (Konvensi Migran 1990). Kemudian, hasil dari konvensi tersebut sesungguhnya telah dijewantahkan ke dalam UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri (PPTKILN). Pada bulan Mei 2012, Kementrian Luar Negeri telah mendaftarkan proses ratifikasi ini secara resmi ke sekretariat PBB. Akan tetapi, dalam perjalanannya, undang-undang tersebut masih memiliki banyak kelemahan dari sisi perlindungan untuk buruh migran. Oleh karena itu, atas desakan berbagai pihak, Pemerintah dan DPR sepakat merevisi undang-undang ini. Sayangnya, hingga sekarang undang-undang itu belum juga selesai. Hal tersebut mendorong berbagai lembaga swadaya masyarakat ikut ambil bagian menyempurnakan undang-undang tersebut.

Penyempurnaan undang-undang tersebut merupakan hal yang mendesak dan sangat penting untuk dilakukan. Pasalnya, sampai saat ini berbagai ketidakadilan dan kekerasan telah banyak diterima oleh TKI kita yang bekerja di luar negeri. Persoalannya pun beragam ditambah dengan berbagai pihak atau calo yang mengeruk keuntungan dari para TKI. Ada 11 arah yang telah dirumuskan untuk merevisi UU No. 39 tahun 2004 di antaranya terkait dengan perekrutan dan penempatan TKI, pendidikan atau pelatihan TKI, sistem pembiayaan penempatan TKI, sistem asuransi dan jaminan sosial, sistem penanganan kasus dan bantuan hukum, kelembagaan pelayanan migrasi TKI ke luar negeri, sistem pendataan dan pengawasan perlindungan TKI, peran serta masyarakat, sistem dan pelayanan pemulangan TKI, peran PJTKI dalam penempatan TKI.

Ada tiga hal yang menjadi suara ARRAK, yaitu berusaha untuk mendorong Pemerintah dan DPR untuk segera mengadakan undang-undang perlindungan buruh migran Indonesia yang mengacu pada Konvensi Migran 1990 dan CEDAW[4] sebagai pengganti UU no. 39 tahun 2004; meratifikasi Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga; menyegarkan adanya Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang benar-benar melindungi PRT, dan berlandaskan pada Konvensi ILO No. 189.

Menyaksikan diskusi acara tersebut, Sahabat Insan tergugah untuk ikut berharap agar Pemerintah dan DPR sesegera mungkin mewujudkan undang-undang yang melindungi buruh migran. Semoga sebelum memasuki awal tahun yang baru 2013, undang-undang perlindungan buruh migran yang baru sudah jadi.


[1] Terkait dengan isi dari Konvensi Migran 1990 dapat diunduh di http://www.depdagri.go.id/media/documents/2012/05/29/f/i/-1.pdf
[2] Anggota ARRAK ’90: Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI), Ardanary Institut, CWGI, Gerakan Perempuan untuk Perlindungan Buruh Migran (GPPBM), Human Rights Working Group (HRWG), Institute for National and Democratic Studies (INDIES), IWORK, KOHATI, Jala PRT, LBH Apik Jakarta, LBH Jakarta, Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau-KWI, Migrant Care, Peduli Buruh Migran, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Solidaritas Buruh Migran Karawang (SBMK), Solidaritas Buruh Migran Cianjur (SBMC), Kelompok Perempuan untuk Keadilan Buruh (KPKB), Solidaritas Perempuan, Solidaritas Perempuan Komunitas Jabotabek, Perkumpulan Praxis, FSPSI Reformasi, Yayasan Genta Surabaya, TURC.
[3] Burhani, Ruslan (ed.). ”Pengiriman uang TKI Perkuat Neraca Pembayaran”. 14 Desember 2010. Diunduh pada 16 November 2012 pkl 09.23, http://www.antaranews.com/berita/1292333936/pengiriman-uang-tki-perkuat-neraca-pembayaran
[4] Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) adalah suatu instrumen standar internasional yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1979 dan mulai berlaku pada tanggal 3 Desember 1981. Pada tanggal 18 Maret 2005, 180 negara, lebih dari sembilan puluh persen negara-negara anggota PBB, merupakan Negara Peserta Konvensi. CEDAW menetapkan secara universal prinsip-prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Konvensi menetapkan persamaan hak untuk perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, di semua bidang: politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sipil. Konvensi mendorong diberlakukannya perundang-undangan nasional yang melarang diskriminasi dan mengadopsi tindakan-tindakan khusus-sementara untuk mempercepat kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan, termasuk mengubah praktik-praktik kebiasaan dan budaya yang didasarkan pada inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau peran stereotipe untuk perempuan dan laki-laki (sumber: http://cedaw-seasia.org/docs/indonesia/CEDAW_text_Bahasa.pdf).