Friday, June 14, 2024

Why aren't I worthy of your love?

Dalam rangka menyambut World Refugee Day (WRD) 2024 yang akan diperingati tanggal 20 Juni 2024, SUAKA Indonesia bekerja sama dengan JRS Indonesia mengadakan acara "Movie Screening and Public Discussion - Wandering: a Rohingya Story". Acara diadakan pada tanggal 7 Juni 2024 pukul 13.00 secara online melalui zoom, dan dipandu oleh Helmina Dewi Lestari dari JRS sebagai moderator dan Putri Kanesia - Regional Advocacy Coordinator of Asia Justice and Rights (AJAR) sebagai narasumber. 

Acara screening film ini dibuat untuk memperkenalkan situasi kamp pengungsi Rohingya saat ini, terutama yang berada di Cox's Bazar, Bangladesh, kehidupan mereka sehari-hari, kendala dan tantangan yang mereka hadapi, serta harapan yang tersisa walaupun mereka tahu akan sulit untuk diwujudkan. 

"Why aren't I worthy of your love?"... "Why aren't I worthy of your love?"... Isi senandung yang dilantunkan seorang anak kecil itu merupakan kalimat yang tepat yang mewakili pertanyaan ratusan ribu pengungsi Rohingya yang sebagian besar tinggal di kamp Cox's Bazar. 

Seperti diketahui, krisis Rohingya disebabkan karena adanya konflik berkepanjangan antara etnis Rohingya dan Pemerintah Myanmar. Situasi lebih buruk di tahun 1982 saat diresmikannya Undang-undang kewarganegaraan Myanmar, yang isinya menentukan definisi warga negara Myanmar, dan di dalamnya tidak termasuk Rohingnya. Sejak saat itu, praktis etnis Rohingya menjadi manusia tanpa kewarganegaraan dan karena kekerasan yang sering dialami, akhirnya gelombang pengungsi tidak bisa dielakkan. Cox's Bazar menjadi tujuan utama karena lokasinya berbatasan dengan Myanmar sehingga paling mudah dicapai. 


Gambar di atas adalah data jumlah pengungsi Rohingya di Bangladesh yang dikeluarkan oleh UNHCR dan Pemerintah Bangladesh. Sampai tanggal 30 April 2024, jumlah pengungsi Rohingya yang datang ke negara tersebut adalah 979.306 pengungsi. Sejumlah 944.154 berada di Cox's Bazar, sedangkan sisanya hidup di Bhasan Char. 

AJAR yang terakhir mengunjungi Cox's Bazar pada bulan Maret 2024 menguraikan situasi terkini di kamp pengungsian tersebut. Putri, narasumber acara ini, mengatakan bahwa situasi sekarang tidak jauh berbeda dengan yang dilihat di film tersebut. Masing-masing camp terdiri dari 4000-5000 orang dan di sepanjang jalan kecil berjejer rumah-rumah pengungsi. Rumah mereka ada yang beratapkan seng, ada juga yang beratapkan kain. Tidak semua dari rumah tersebut terdapat toilet. Kalaupun ada, tidak semua toilet memiliki atap, sehingga saat udara panas seperti beberapa bulan yang lalu, mereka sangat merasa tidak nyaman. Masing-masing camp dijaga oleh petugas keamanan, dan untuk keluar masuk camp tersebut harus mendapatkan ijin terlebih dahulu. 

Dengan situasi kamp yang demikian, banyak dari mereka yang mencoba melarikan diri. Kenapa? Karena ketiadaan akses pendidikan dan juga akses sarana kesehatan. Kamp memang menyediakan kebutuhan tersebut, namun tidak ada jaminan selayaknya warga negara. Kalaupun ada pelayanan kesehatan, tetapi itu disediakan untuk penyakit-penyakit dasar saja seperti batuk, sakit kepala, sakit perut dll. Jika ada pengungsi yang memiliki penyakit berat, tidak ada sarana kesehatan yang bisa melayaninya. 

Selain situasi yang tidak pasti itu, pengungsi juga mengalami depresi karena tidak bisa pekerja. Banyak dari pengungsi tersebut yang tadinya memiliki pekerjaan atau posisi yang tinggi, seperti dokter, dosen, arsitek dan lain sebagainya, namun karena mereka mengungsi tanpa membawa dokumen, keahlian mereka tidak bisa digunakan untuk bekerja secara formal di tempat tersebut. Akhirnya untuk bertahan hidup, mereka menjadi pekerja informal seperti menjadi tukang cukur, bercocok tanam, atau guru les buat pengungsi-pengungsi usia sekolah. 

AJAR sendiri sudah sejak tahun 2009 mencoba memberikan bantuan pemulihan, terutama untuk perempuan, karena banyak yang mengalami trauma hebat akibat kekerasan seksual, terutama saat perjalanan di kapal. Sampai saat ini, mereka masih aktif bekerja sama dengan beberapa camp untuk memberikan support sesuai rekomendasi. Tim AJAR juga silih berganti secara berkala mengunjungi camp tersebut untuk memberikan mental health support. Selain itu bantuan yang juga dibutuhkan adalah peningkatan ketrampilan, mengingat dana yang mereka terima hanya cukup untuk kebutuhan dasar, sedangkan akses pendidikan dan kesehatan yang lebih tinggi bagi mereka adalah kebutuhan tersier. Berikut rekomendasi yang diberikan oleh AJAR untuk mengatasi situasi pengungsi Rohingya:

 

AJAR juga membahas tentang kasus pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh dan sempat viral sehingga mendapatkan penolakan dari warga negara Indonesia. Pada kasus tersebut, AJAR turut membantu dengan meluruskan informasi-informasi yang beredar di masyarakat, dengan cara mengumpulkan para jurnalis dan memberitahukan kejadian yang sebenarnya kepada mereka. Misalnya, dana yang dikeluarkan untuk menampung pengungsi tersebut bukan dana pemerintah Indonesia, melainkan dari Pemerintah Australia dan UNHCR, karena dalam hal ini Australia menitipkan ke Indonesia tempat untuk transit. Selain itu, jumlah pengungsi Rohingya hanya sekitar 10-16% dari jumlah seluruh pengungsi yang ada di Indonesia, sedangkan pengungsi terbanyak saat ini berasal dari Afghanistan. Banyaknya pengungsi yang mengembara ke negara-negara lain ini merupakan fenomena global yang terjadi di sluruh dunia, karena banyak negara yang mengalami genosida, peperangan, bencana alam, perubahan iklim, dan sebab-sebab lainnya. Hal yang harusnya dilakukan oleh negara-negara tujuan adalah diskusi, bukan penolakan. AJAR mengadakan forum diskusi dengan jurnalis ini karena para jurnalis ini tidak tahu harus bertanya dari siapa tentang kondisi ini karena saat itu semua LSM sedang sibuk turun ke lapangan. Dan lagi banyak citizen journalism yang merekam kejadian sepotong-sepotong dari alat komunikasi mereka sendiri sehingga viral. Selain itu ketidakmampuan pengungsi untuk berbahasa Inggris turut meningkatkan banyaknya miskomunikasi dengan warga setempat. 

Negara Indonesia sendiri tidak ikut ratifikasi/menandatangani Konvensi 1951 tentang pengungsi, karena ratifikasi mengharuskan negara untuk adopsi aturan internasional dan tunduk pada aturan-aturan tersebut (misalnya perlakuan kepada pengungsi), sehingga lebih banyak kepastian hukum yang didapat pengungsi. Negara banyak tidak mau karena jadi terikat aturan dan sanksi moral. Jadi, sebagai individu, yang bisa kita lakukan untuk menolong para pengungsi tersebut adalah, memberikan pertolongan sesuai dengan keahlian yang kita miliki. Misalkan, jika ada orang hukum, bisa memberikan bantuan berkaitan dengan hal-hal legal, tenaga medis bisa memberikan bantuan kesehatan, guru bisa memberikan bantuan pendidikan dan seterusnya. Dengan semangat gotong royong yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, diharapkan ke depannya kita dapat memperlakukan mereka - para pengungsi yang terpaksa pindah dari negara asalnya ini - dengan baik dan menjunjung tinggi kemanusiaan dan kebaikan bersama.