Prof. Francisia Saveria Sika Ery Seda dari Universitas Indonesia (kanan), Ignasius Jonan (Ketua Panitia Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia | tengah), Pendeta Jacklevyn Frits Manuputty (Ketua Umum PGI | tengah), Siti Musdah Mulia (Cendekiawan Muslim | tengah), Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC (Ketua Presidium KWI | kiri) | Foto: Saras
Jakarta, 10 Mei 2025 — Di tengah
sorotan dunia terhadap terpilihnya Paus baru, Leo XIV, Indonesia kembali
menegaskan dirinya sebagai simbol perdamaian dalam keberagaman melalui seminar “Sebuah
Mosaik Indah: Indonesia di Mata Paus Fransiskus” yang diselenggarakan oleh
PRAKSIS di Gedung KWI, Jakarta Pusat. Seminar ini menjadi ruang refleksi
penting atas warisan spiritual dan sosial Paus Fransiskus, serta relevansinya
dalam kepemimpinan baru di Tahta Suci.
Seminar yang berlangsung dari pukul 10.00 hingga 12.00
WIB ini menghadirkan empat tokoh lintas agama dan profesi: Mgr. Antonius
Subianto Bunjamin, OSC (Ketua Presidium KWI), Siti Musdah Mulia (cendekiawan
muslim), Ignasius Jonan (Ketua Panitia Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia)dan
Pendeta Jacklevyn Frits Manuputty (Ketua Umum PGI). Diskusi dipandu oleh Prof.
Francisia Saveria Sika Ery Seda dari Universitas Indonesia.
Indonesia di Mata Paus: Harapan bagi Dunia
Paus Fransiskus, dalam berbagai pernyataannya, kerap
menyebut Indonesia sebagai teladan hidup berdampingan dalam keberagaman. Hal
ini ditegaskan kembali oleh para narasumber. Mgr. Bunjamin menyebut Indonesia
sebagai “mosaik indah” yang dikagumi karena kemampuannya merawat perbedaan.
“Bagi Paus, ini bukan hanya soal statistik umat, tapi soal spiritualitas
kolektif sebuah bangsa,” ujarnya.
Ignasius Jonan mengungkapkan bahwa ketertarikan Paus
Fransiskus terhadap Indonesia bahkan menjadi salah satu alasan kuat di balik
kunjungan bersejarahnya tahun lalu. “Paus melihat Indonesia bukan sebagai
negara biasa, tapi sebagai pesan hidup tentang toleransi untuk dunia yang
terpecah,” katanya.
Lintas Iman, Lintas Harapan
Siti Musdah Mulia menyoroti bagaimana ajaran Paus
Fransiskus tentang kemanusiaan dan dialog sangat dekat dengan prinsip Islam.
“Beliau tidak melihat perbedaan agama sebagai pemisah, melainkan pintu bagi
kerja sama dan kasih,” ungkapnya.
Senada, Pendeta Manuputty menekankan pentingnya
melanjutkan nilai-nilai yang dihidupi Paus Fransiskus dalam kepemimpinan Paus
Leo XIV yang baru terpilih. “Kita tidak hanya merayakan perubahan pemimpin,
tapi juga bertanya: bagaimana warisan ini akan dirawat?” ucapnya.
Paus Baru, Tantangan Baru
Seminar ini juga tak luput menyinggung transisi
kepemimpinan di Vatikan. Paus Leo XIV, yang baru saja terpilih pada 8 Mei 2025,
menjadi Paus pertama dari Amerika Serikat dan anggota Ordo Santo Agustinus.
Dengan latar belakang pelayanan di Peru dan pengalaman lintas benua, banyak
yang berharap ia akan melanjutkan jejak inklusif dan progresif Paus Fransiskus.
Namun, para pembicara menekankan pentingnya peran
komunitas global—termasuk Indonesia—untuk terus menjadi penjaga nilai-nilai
Paus terdahulu. “Jangan menunggu arah dari Roma, tapi mari kita mulai dari
Jakarta, Bandungdan Ambon untuk terus merawat perdamaian,” tutur Prof. Sika
dalam penutupannya.
Dari Seminar ke Aksi Nyata
Antusiasme peserta yang juga hadir menunjukkan bahwa
percakapan seputar keberagaman dan peran spiritualitas dalam masyarakat masih
sangat relevan. Interaksi aktif lewat fitur chat menghidupkan diskusi,
mempertegas bahwa ini bukan hanya forum elite, tetapi ruang bersama untuk
masyarakat luas.
Seminar ditutup dengan seruan agar refleksi tidak
berhenti di ruangan seminar, melainkan diterjemahkan menjadi kebijakan,
pendidikandan aksi sosial lintas iman. Indonesia, dengan segala tantangan
internalnya, masih menjadi harapan global—mosaik indah yang bisa menjadi cahaya
dalam dunia yang rentan terpecah.
Penulis: Saraswati