Monday, October 14, 2019

Diskusi Panduan Deteksi Dini Trauma Pada Korban Perdagangan Orang Dan Kekerasan Berbasis Gender Lainnya


Hari ini, Jumat (11/10/2019) aku dan Venny mengikuti diskusi Panduan Deteksi Dini Trauma pada Korban Perdagangan Orang dan Kekerasan Berbasis Gender Lainnya yang diselenggarakan oleh Rumah Harapan. Kegiatan ini berlangsung di Shelter Rumah Harapan. Ada 9 lembaga yang diundang dalam kegiatan diskusi ini, yaitu LBH APIK NTT, P2TP2A NTT, Rumah Perempuan Kupang, Lembaga Perlindungan Anak NTT, Susteran PI Kupang, PPA Polda NTT, PPA POLRES Kupang Kota dan PPA POLRES Kabupaten Kupang.


Kegiatan ini dimulai pukul 09.30 WITA, terlambat setengah jam dari waktu yang ditentukan dalam surat undangan. Kegiatan dibuka dengan doa yang dipimpin oleh salah satu relawan Rumah Harapan. Mama Ferderika Tadu Hungu. Ketua Pengurus Rumah Harapan tersebut menyapa semua yang hadir serta mengucapkan terima kasih atas kehadiran peserta. Mama Ferderika menjelaskan bahwa diskusi Panduan Deteksi Dini Trauma pada Korban Perdagangan Orang dan Kekerasan Berbasis Gender Lainnya merupakan lanjutan kegiatan yang dilakukan pada bulan Juni lalu tentang Deteksi Dini Korban sebagai salah satu bentuk penguatan kapasitas staf, relawan/pendamping. Hal ini dikarenakan staf, relawan/pendamping berasal dari latar belakang pendidikan yang berbeda sehingga perlu untuk memiliki pengetahuan tentang Psikologi. Diskusi hari ini akan dipimpin oleh Ibu Andriyani Lay yang merupakan seorang Psikolog. Sebelum Ibu Andriyani memulai, terlebih dahulu kami semua meneriakkan yel-yel sebagai penyemangat di pagi hari ini dan karena beberapa yang hadir dalam diskusi hari ini tidak mengikuti diskusi sebelumnya, maka Ibu Andriyani memberikan review pertemuan sebelumnya yaitu tentang panduan deteksi dini trauma. Menurut Ibu Andriyani, di lapangan yang paling banyak ditangani adalah masalah stress, trauma, PTSD, depresi. Selama ini, para relawan banyak berhadapan dengan klien yang mengeluh namun belum bisa mengkategorikannya dan belum tahu penanganannya, dan hari ini Ibu Andriyani akan memberikan panduan mendeteksi dini trauma pada korban. 


Yang pertama dan yang paling penting dalam mendeteksi trauma pada korban adalah dengan mengenal para korban, misalnya latar belakang dari korban. Latar belakang itu bisa berupa agama yang menguatkan atau budaya yang melemahkan seperti budaya yang menganggap perempuan posisinya lebih rendah daripada laki-laki. Selain itu pengalaman yang dialami di masa lalu serta respon terhadap tantangan merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap frekuensi dan intensitas masalah yang dialami klien. Data diri yang dikumpulkan oleh para relawan itu memiliki hubungan dengan permasalahan yang dialami.
Ibu Andriyani memulai materinya yang pertama tentang stress (distress=negatif, oestress=positif) dan trauma. Dua kata ini seringkali disamakan namun sebenarnya berbeda. Ada kecenderengan dimana masyarakat mendefinisikan stress sebagai suatu gangguan jiwa yang berat, oleh karena itu perlu tahu perbedaannya sehingga bisa merujuk korban kepada professional.

Stress adalah suatu keadaan tidak nyaman pada seseorang karena adanya perubahan dalam diri atau lingkungan yang menuntut adanya penyesuaian pada seseorang yang mengalaminya. Perubahannya yaitu baik dan buruk. Penyesuaian terhadap kondisi itu akan menentukan seseorang mengalami stress atau tidak tergantung dari respon terhadap perubahan tersebut. Stress bisa dimanifestasikan dalam pikiran, emosi, fisik, perilaku. Kategorinya adalah ringan sampai berat dan akut sampai kronis. Berat dan ringan itu mempengaruhi seberapa banyak aspek dari diri korban yang terkena dampaknya. Akut adalah stress yang langsung terjadi, segera, mendadak, tiba-tiba dan dalam rentang waktu yang singkat dan responnya pada saat itu juga. Kronis adalah stress yang sudah berlangsung lama, jangka waktunya satu atau dua bulan. Semakin banyak yang terganggu aspek dalam diri korban artinya stress yang dialami semakin berat.

Trauma merujuk pada peristiwa negatif yang mengakibatkan kesukaran/penderitaan dan kesukaran/kesulitan itu sendiri. Trauma secara umum berarti semua pengalaman yang menyebabkan perasaan takut, ketidakberdayaan, disasosiasi, kebingungan, dan mengganggu fungsi dan aspek-aspek dari seseorang. Trauma terjadi karena ada peristiwa yang dialami secara langsung, menyaksikan (tidak hanya korban), merasakan, konfrontasi dan penyebabnya bisa berupa bencana alam, perilaku manusia (misalnya penyiksaan) atau sakit serius yang mengakibatkan kematian atau ancaman kematian, luka serius atau kehilangan anggota tubuh. Yang mengalaminya adalah individu atau diri sendiri atau orang lain (keluarga, teman, kenalan, dan lain-lain) dengan respon yang intens, berupa rasa takut, ketidakberdayaan, kengerian/sangat ketakutan (tiga hal yang menjadi ciri khas trauma). Trauma terjadi bila ancaman eskternal lebih besar daripada sumber daya internal dan esksternal untuk melakukan coping (cara mengatasi stress) terhadap ancaman tersebut. Jadi, fungsi menilai latar belakang/identitas penyintas (klien) adalah untuk mengukur sumber daya internal dan eksternal yang dimiliki, untuk melihat apakah dia mampu melakukan coping. Trauma merupakan suatu respon yang normal, tergantung cara memaknai peristiwa itu. Trauma berakibat buruk pada korban tergantung dari proses merespon dan gejala yang muncul berlangsung, lamanya frekuensi dan intensitas yang terjadi. Respon itu ada yang aktif (menanggapi, berupaya untuk menghadapi dan mengatasi masalah-masalah dari aspek yang ada dalam diri) dan ada yang menghindar (tidak mau menghadapi dan mengatasi masalah-masalah tersebut).

Gejala respon dari trauma adalah kognitif, emosional, tingkah laku, diagnosa gangguan (PTSD, amnesia). Orang yang mengalami trauma hidupnya penuh dengan diisi dengan ingatan, mimpi-mimpi, kecemasan, gelisah, dan merasa bahwa peristiwa yang dialami seolah-olah berulang kembali. Memori dan ketegangan ingatan yang muncul terus-menerus membentuk gejala dari Acute Stress Disorder dan Post Traumatic Stress Disorder. Reaksi trauma yg muncul tidak selalu negatif, ada juga positif. Misalnya reaksi positif terhadap aspek sosial adalah terhubung secara sosial, perilaku menolong dan mementingkan kepentingan orang lain.

Selanjutnya, Ibu Andriyani menjelaskan perbedaan antara PTSD dan ASD. Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) adalah gangguan traumatik paska stress, sedangkan Acute Stress Disorder (ASD) adalah gangguan stress akut.

Kriteria Diagnostik PTSD, yaitu:
a.    Individu mengalami peristiwa traumatis
b.    Terus menerus mengalami peristiwa traumatis, melalui ingatan atau mimpi,
c. Terus menerus menghindari rangsangan yang berhubungan dengan trauma dan kaku/mati rasa dalam menghadapi
d.    Gejala-gejala peningkatan ketegangan yang menetap (tidak muncul selama trauma)
e.  Durasi dari gangguan (gejala pada kriteria b, c, dan d) lebih dari satu bulan. Penting untuk mengetahui peristiwa terjadi kapan, gejala muncul sejak kapan dan sudah berlangsung berapa lama, untuk menentukan diagnosa
f.     Ganggungan tersebut menyebabkan distress yang signifikan secara klinis atau merusak fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi area penting lainnya.

Reaksi fisiologisnya ada aspek internal eksternal, yaitu:
1. Upaya menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan, tempat, aktivitas yang berhubungan dengan trauma.
2.    Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari trauma
3.    Ditandai dengan hilangnya minat atau keterlibatan dalam aktivitas penting
4.    Merasa jauh atau asing dengan orang lain
5.    Terbatasnya jarak afek atau perasaan (contohnya tidak memiliki perasaan cinta)
6.    Perasaan akan masa depan suram
7.    Sulit tidur atau tetap terjaga
8.    Mudah marah atau meledak-ledak
9.    Sulit konsentrasi
10.  Waspada berlebihan
11.  Respon ketakutan yang berlebihan

Untuk melihat akut atau kronisnya PTSD yang dialami dilihat dari durasi waktu. PTSD akut jika durasi gejala kurang dari tiga bulan dan PTSD kronis jika durasi gejala tiga bulan atau lebih. Penting untuk melihat korban mengalami PTSD adalah ada penundaan gejala minimal enam bulan setelah peristiwa traumatis. Ada 3 kelompok besar gejala PTSD, baik pada anak maupun orang dewasa, yaitu:
·    Mengalami trauma yang berulang, tidak hanya melibatkan memori yang menyakitkan namun pengalaman berulang yang dialami memiliki kualitas gangguan di luar control
·         Secara efektif menghindari stimulus yang membangkitkan peristiwa traumatis
·    Menunjukkan gejala meningkatnya ketegangan seperti sulit tidur atau tidak tenang, panik.

PTSD pada anak agak sulit didiagnosis karena sulit untuk menemukan gejalanya, karena anak bisa bermain seperti biasanya. Oleh karena itu perlu untuk mengetahui tumbuh kembang anak sehingga bisa melihat mana respon perilaku normal dan tidak normal. Mimpi anak yang mengalami trauma sering berubah menjadi ketakutan yang umum seperti mimpi diserang monster. Anak seringkali memunculkan kembali peristiwa tersebut bersama orang lain. Selanjutnya, pada anak ada acting out artinya anak bertingkah laku menunjukkan perasaan terpendamnya. Tantangannya adalah orangtua seringkali mengatakan anak tidak terpengaruh dengan trauma.

Berikut Kriteria Diagnostik ASD (Acute Stress Disorder)
a.    Individu mengalami peristiwa traumatis
b. Baik sementara mengalami atau setelah mengalami peristiwa yang menyedihkan, individu mengalami dua atau lebih gejala disosiatif.
c.  Peristiwa traumatis dialami terus menerus dialami kembali. gejala-gejala peningkatan ketegangan yang menetap (tidak muncul sebelum trauma)
d.    Ditandai dengan menghindar dari stimulus yang membangkitkan kembalinya trauma
e.    Ditandai dengan gejala-gejala kecemasan atau meningkatnya ketegangan
f.  Gangguan terjadi secara klinis menyebabkan distress atau ketidakmampuan sosial, lingkungan pekerjaan atau fungsi area penting lainnya atau ketidakmampuan individu mengerjakan tugas yang dibutuhkan
g.    Gangguan berlangsung selama minimum dua hari maksimum empat minggu
h.  Gangguan bukan dikarenaka efek psikologis langsung dari zat (rokok, alkohol, obat tertentu)

Berikut adalah reaksi/respon/gejala disasosiatif yang ditunjukkan oleh korban dengan ASD:
1.    Mati rasa atau tidak adanya respon emosional
2.    Turunnya kesadaran akan lingkungan sekitarnya (linglung)
3.    Deperzonalitation (merasa hal-hal disekitarnya tidak nyata)
4.    Dissacociative Amnesia
5.    Muncul bayangan berulang, pikiran, mimpi, ilusi, episode flashback, atau menghidupkan kembali peristiwa itu; perasaan tertekan mengingat peristiwa traumatis itu

PTSD dan ASD memiliki perbedaan. Perbedaannya adalah sebagai berikut, pada ASD onset lebih cepat dan berlangsung lebih pendek, melibatkan gejala yang lebih parah (3 gejala disasosiatif), intensitasnya lebih kuat dari PTSD. Sedangkan pada PTSD onset lebih lama atau ada penundaan, intensitasnya kuat.

Ibu Andriyani juga memberikan materi tentang cara mengasesmen korban. Beliau mengatakan bahwa dalam melakukan asesman kata kuncinya adalah fact (fakta). Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam asesmen, yang pertama adalah first asses yaitu melakukan wawancara dengan pertanyaan terbuka tertutup untuk bisa menggali informasi tentang peristiwa traumatis yang dialami, yang kedua adalah conceptualize yaitu tugas dari konselor untuk mensintesis informasi klien. Pada saat wawancara pastikan klien yang lebih banyak bicara dan sebagai konselor membuat kesimpulan dan menyusun rencana penanganannya, yang ketiga adalah treat atau penganganan

Ada dua hal yang perlu diperhatikan saat dalam proses asesmen yaitu:
1.    Aspek kriteria stressor: identifikasi peristiwa trauma, klien mengidentifikasi mana trauma yang paling mengganggu, menilai tentang respon ketakutan dan ketidakberdayaan
2. Aspek fisik dan psikologis: membutuhkan waktu yang lama, dilakukan dengan wawancara dan psikotes, kondisi medis (masalah endokrin, trauma otak, gangguan syaraf), psikosomatis, konsumsi obat-obatan (herbal, vitamin, suplemen)

Hal penting yang perlu dinilai yaitu informasi tentang fungsi individu, sumber dukungan sosial, resiko bunuh diri atau melukai diri, faktor resiko mengalami trauma (jenis kelamin, sosial-ekonomi, kepribadian, kehadiran gangguan sebelumnya, pengalaman masa kecil).
Pengetahuan yg didapat perlu diterapkan dalam penanganan, tidak hanya sekedar meminta data namun semua ada hubungannya dalam penanganan korban.

Selesai dengan materinya, kami diberikan kesempatan untuk beristirahat sejenak dan menikmati snack yang disediakan. Kegiatan dilanjutkan dengan berlatih melakukan asesmen terhadap korban untuk melihat gejala-gejala yang dialami mengarah pada ASD, PTSD atau depresi. Mungkin ini adalah sesi yang paling menyenangkan, karena di sini kami diperlihatkan bagaimana seseorang yang mengalami trauma berhadapan dengan para psikolog. Meskipun bukan korban yang sebenarnya namun disini para peserta yang lebih berpengalaman dalam menangani korban diminta untuk berakting sebagai korban dan sebagai konselor. Seorang ibu berperan sebagai seorang anak berusia delapan tahun yang mengalami pelecehan seksual dan salah satu relawan Rumah Harapan berperan sebagai Psikolog yang menangani anak tersebut, sedang kami yang lain sebagai pengamat diberikan kertas yang merupakan daftar cek gejala gangguan PTSD, ASD, dan Depresi serta kertas berisikan Asesmen Kebutuhan Mendesak dari Survivor. Dari wawancara tersebut kami diminta untuk melihat trauma yang dialami oleh anak tersebut apakah PTSD, ASD, atau depresi. Sayangnya hasil wawancara itu tidak cukup untuk melihat gejala dari anak tersebut merujuk pada PTSD, ASD, atau trauma, sehingga dilakukan wawancara kedua dengan Ibu Andriyani sendiri sebagai Psikolognya dan salah satu relawan Rumah Harapan sebagai korbannya. Disini aku melihat perbedaan antara amatir dan professional, Ibu Andriyani memberikan pertanyaan-pertanyaan lugas namun lembut sehingga kami semua bisa sampai pada satu kesimpulan bahwa korban mengalami Acute Stress Disorder. Meskipun sebenarnya untuk mengetahui trauma yang dialami tidak bisa hanya dengan satu kali pertemuan atau wawancara.

Di akhir wawancaranya, Ibu Andriyani menjelaskan bahwa saat melakukan wawancara klinis harus berfokus pada gejala/respon dari korban dan tidak mencampurnya dengan kronologis peristiwa yang dialami. Paling penting untuk dilihat adalah frekuensi dan intensitasnya. Dalam melakukan wawancara, tujuan-tujuan yang bisa dijadikan acuan untuk membuat pertanyaan adalah yang pertama untuk mengumpulkan informasi latar belakang korban, yang kedua untuk menilai masalah psikologis, dan yang ketiga adalah menilai relasi dengan keluarga serta sumber dukungan sosial. Selanjutnya Ibu Andriyani menambahkan bahwa pertanyaan yang diberikan harus sesuai dengan penanganan yang di ambil. Persiapan sebelum melakukan wawancara itu penting dan harus mengarah pada yang ingin dicapai. Untuk hal ini memang perlu banyak belajar dan pengenalan akan klien itu penting. Selain wawancara, yang perlu untuk diperhatikan adalah perlu adanya catatan observasi.
Ibu Andriyani juga menegaskan bahwa sebagai pendamping, atau sebagai orang yang membantu korban kita perlu untuk melakukan hal menyenangkan yang dilakukan setiap harinya. Ibu Andriyani membagikan kami kertas untuk menuliskan daftar aktivitas menyenangkan yang bisa dilakukan setiap harinya meskipun hanya beberapa menit untuk melepaskan stress yang dialami, karena sebagai pendamping bukan tidak mungkin tidak mengalami stress. Kami diminta untuk menuliskan serta melakukannya. Beberapa orang pendamping diminta untuk membacakan daftar aktivitas selama satu minggu yang mereka buat sebagai referensi bagi yang belum menemukan aktifitas menyenangkan, selanjutnya kegiatan ditutup dengan doa makan siang.



Laporan Jeni Lamao dari Kupang, NTT