Tuesday, October 12, 2021

Literasi Digital pada Peringatan Hari Anak Perempuan Internasional

Poster Hari Anak Perempuan Internasional oleh jaringan Talithakum Jaringan Jakarta pada 11 Oktober 2021

Dalam rangka memperingati Hari Anak Perempuan Internasional yang jatuh pada 11 Oktober 2021, Talithakum Jaringan Jakarta bersama Talithakum Jakarta, Tanjung Karang, Palembang, Medan, Manado, Kupang, Semarang dan Malang Raya dan mitranya Sahabat Insan mengadakan Webinar dengan tema "Digital Generation Our Generation" pada pukul 16.00 WIB hingga 18.00 WIB.

Webinar ini merupakan salah satu bentuk literasi melek digital yang ditujukan untuk generasi muda, orangtua dan tenaga pendidik dalam rangka menghadapi era digital. Pada awalnya, peringatan Hari Anak Perempuan Internasional ini dideklarasikan secara internasional pada tahun 1995 di Beijing. Seiring berjalannya waktu, maka seluruh dunia mulai memberikan perhatian terhadap hak anak, khususnya perempuan dan mendorong PBB menetapkan tanggal 11 Oktober sebagai hari Anak Perempuan Internasional sejak 19 Desember 2011.

Keseluruhan acara webinar dimoderatori oleh Sr Kristina, CP. Sebelum memulai acara, webinar dibuka dengan doa bersama yang dipimpin oleh Sr. Chatarina RGS.


Selanjutnya, Sr. M. Katarina Sri Juwarni mewakili jaringan Talithakum seluruh Indonesia menekankan pentingnya perayaan Hari Anak Internasional untuk menyoroti bersama persoalan-persoalan kekerasan, diskriminasi yang menimpa perempuan dan anak perempuan di berbagai wilayah. Menurutnya, perlu gerakan bersama untuk memperjuangkan keadilan bagi perempuan khususnya anak perempuan yang kerap mendapatkan eksploitasi baik secara fisik, psikis maupun seksual khususnya di zaman digital seperti saat ini.

Senada Sr M. Katarina Sri Juwarni, Ciput Purwianti sebagai Asdep Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menegaskan pentingnya literasi digital untuk meminimalisir kasus tersebut. Melalui materinya tentang "Literasi Digital Bagi Anak", Ciput memberikan pencerahan mengenai cara pengelolaan media yang baik dan bertanggungjawab bagi orangtua dan anak. 

Berdasarkan data yang disampaikan Ciput, ada sekitar 73,7% dari populasi penduduk Indonesia yang merupakan pengguna internet. Sementara, 5,69% pengguna internet tersebut merupakan usia anak 2-12 tahun, 8,72% 11 merupakan usia anak 13-15,21% merupakan usia anak 16-18 tahun. Untuk diketahui bersama jumlah populasi penduduk Indonesia yang masuk dalam kategori anak sejumlah 79.5 juta jiwa (30,1% dari jumlah populasi penduduk Indonesia). 

Biasanya, menurut Ciput, akses internet tertinggi berada pada jam 07.00-10.00 dan 17.01-21.00 WIB. Sementara, indeks literasi digital oleh Literasi Digital Indonesia Kementerian Informasi dan Komunikasi tahun 2020, Indonesia berada pada angka 3.47 alias sangat rendah. Maka tidak mengherankan jika banyak orangtua yang tidak dapat mengontrol anaknya dalam menggunakan akses internet. Sebagian besar anak Indonesia dapat mengakses internet dengan leluasa tanpa pendampingan orangtua sehingga mereka rentan menjadi korban digitalisasi.

Anak yang rentan pada umumnya sangat beresiko untuk menggunakan media digital secara tidak terkontrol. Hal ini akan menyebabkan kecanduan (adiksi). Selain itu, anak akan banjir informasi negatif (materi dewasa, SARA dan rokok) pada usia yang sangat dini. Di samping itu, anak sangat rentan menjadi korban kekerasan siber dan perundungan (cyberbullying, predator online). Privasi anak sebagai pengguna media digital kerap diabaikan sehingga mereka menjadi mangsa empuk untuk ditipu. 

Dari berbagai persoalan di atas, cyberbullying adalah salah satu contoh kasus yang muncul akibat penggunaan internet yang tidak terkontrol. Ciput memilih mengulas secara mendalam karena korban dari cyberbullying sebagian besar adalah anak. Biasanya, anak yang menjadi korban dari cyberbullying tidak berani keluar dari situasi tertekan tersebut karena jejak digital topik bulian akan selalu ada di media sosial. Jejak digital yang berisi olokan atau yang mencemarkan nama korban biasanya susah dihapus dari jejak digital. Korban akan selalu merasa dihantui dan situasi tersebut didukung oleh perangkat digital yang bisa diakses selama 24 jam oleh siapa saja dan dimanapun. Korban cyberbullying biasanya akan semakin tertekan dan tidak mampu mencari pertolongan.

Ciput menjelaskan, ada beberapa bentuk cyberbullying yakni flaming, harassment/pelecehan, denigration/ pencemaran nama baik, Outing dan tricker, Exclusion, dan Cyberstalking. Pada umumnya korban cyberbullying akan terancam secara mental, emosional, fisik, sosial dan akademik. Korban akan merasa malu, direndahkan dan bahkan marah jika mentalnya terguncang akibat bullyan. Secara emosi, korban akan merasa malu atau kehilangan minat pada hal yang disukai sehingga tidak optimal dalam mengembangkan bakat dan talentanya. Secara fisik korban akan merasa lelah, sakit perut dan sakit kepala akibat bullyan yang diterimanya. Secara sosial, korban akan selalu menarik diri dari lingkungannya dan menjadi pribadi yang tertutup. Selain itu, kemampuan akademik korban akan mengalami penurunan.

Berdasarkan dampak yang ditimbulkan, maka diperlukan beberapa cara untuk menangani korban cyberbullying yakni berusaha menggunakan empati untuk mampu memahami perasaan orang lain, mengutamakan hati nurani  dengan mendengar suara hati yang membantu melakukan hal yang benar, melakukan kontrol diri dengan berpikir sebelum bertindak, mampu menghormati orang lain, mengasah kebaikan hati, mengutamakan toleransi dan keadilan  serta memperlakukan orang lain dengan tidak memihak.

Sementara, hal yang dapat dilakukan oleh korban cyberbullying untuk keluar dari situasi tersebut adalah dengan bersikap tenang, mampu mengabaikan pelaku, memblokir pelaku, mengumpulkan bukti dan melaporkannya kepada pihak yang berwajib.

Berkaitan dengan pelaporan kasus dan permasalahan, korban dan keluarga korban dapat melaporkannya pada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) melalui “Sapa 129”.

Sesi ditutup dengan kesepakatan, harapan dan tekad untuk lebih waspada dalam menggunakan media dan mau ambil bagian dalam mengawasi penggunaan internet pada anak, khususnya bagi anak perempuan yang lebih rentan dibandingkan anak laki-laki.