Saturday, December 21, 2019

Maruah, Setia Merawat Martabat Manusia

Seorang wanita dengan kain kerudung khas Timor keluar dari sebuah rumah. Ia kemudian naik angkutan umum untuk pergi ke Bandara El-Tari, tempatnya melakukan pelayanannya beberapa tahun terakhir ini.

Adegan ini membuka pemutaran film "Maruah" yang diputar di Global Migration Film Festival IOM di @america Pacific Place, Kamis 12 Desember 2019 pukul 16.00 - 18.00 WIB. Film ini merupakan hasil karya sutradara Ali Reza Yawari, pengungsi asal Afghanistan yang pada usia 15 tahun melarikan diri ke Indonesia karena perang di negara asalnya. Bersama pengungsi lainnya, ia didampingi oleh IOM bergabung dengan komunitas pembuat film di Kupang dan menghasilkan berbagai karya, terutama yang membahas tentang migran dan pengungsi.

Film Maruah sendiri (yang berarti martabat), bercerita seputar kegiatan Tim Anti Human Trafficking di Terminal Kargo - Bandara El-Tari Kupang. Tim ini bekerja secara berjejaring melawan kejahatan perdagangan manusia yang kerap terjadi di sana serta juga merawat korbannya yang pulang baik dalam keadaan hidup ataupun tanpa nyawa. Pendeta Emmy Sahertian adalah salah satu anggota tim tersebut yang kerap menyuarakan dengan keras untuk menghentikan perdagangan manusia ini. Pendeta Emmy juga dengan setia selalu bergabung bersama anggota tim lainnya menjemput jenazah-jenazah pekerja migran yang datang ke bandara tersebut.


"Saya minta maaf jika  agak emosional jika membicarakan hal ini. Dalam setiap penjemputan, kami harus bertarung secara mental dan spiritual. Itu bukan hanya karena mereka itu korban, tetapi karena mereka itu anak-anak NTT, saudara-saudara kita yang martabatnya sudah dihabisi dengan cara-cara yang biadab. Hal ini juga merupakan teguran kepada kita-kita yang di NTT, apakah kita masih punya rasa kepedulian atau tidak" kata Pendeta Emmy saat menanggapi banyaknya jenazah para pekerja migran yang datang di Bandara El-Tari.

Untuk pekerjaan berat ini, mereka tidak bisa melakukannya sendiri, namun harus berjejaring membangun relasi dengan berbagai macam elemen sehingga terbentuklah komunitas. Di setiap komunitas pasti ada dinamika kelompok yang terjadi. Salah satu cara untuk merawat kebersamaan jaringan ini dan memperkokoh advokasi yang dilakukan, adalah dengan melakukan aksi turun ke jalan. Biasanya mereka memanfaatkan momen car free day karena di situ bisa meningkatkan kesadaran banyak orang akan bahaya perdagangan orang, atau momen lainnya seperti misalnya peringatan hari migran


"Konteks buruh migran dan isu tentang perdagangan orang sebenarnya adalah dua hal yang mestinya harus dibedakan. Buruh migran adalah orang-orang yang mempunyai hak asasi untuk keluar dari daerahnya mencari pekerjaan untuk mensejahterakan dirinya dan keluarga. Itu semua adalah hak asasi dia. Tetapi, jika di dalam proses tersebut, ia dimanfaatkan dan dieksploitasi, disitulah kejahatan kemanusiaan yang sekarang ini marak dengan nama perdagangan orang terjadi." lanjutnya.



Salah satu aksi yang pernah mereka lakukan adalah aksi protes terhadap keputusan hakim yang membebaskan majikan Adelina Sau (lihat http://perkumpulansahabatinsan.blogspot.com/2019/06/aksi-damai-melawan-perdagangan-orang-di.html). "Dia itu meninggal karena disiksa, lalu dikasih tidur dengan ajing, kemudian anjing itu menggigitnya yang menyebabkan ia luka dan akhirnya meninggal. Itu harusnya membuat seluruh orang NTT tersinggung. Namun kami melihat pemerintah adem saja, orang-orang NTT juga begitu. Mungkin karena terlalu sering mendengar begitu banyak jenazah, jadi imun kemanusiaannya. Maka tujuan aksi kami ini adalah membangunkan orang NTT, untuk sadar bahwa hey ini ada saudara kita yang diperlakukan sama seperti binatang, tapi pelaku bebas."

Pendeta Emmy juga semakin sadar bahwa seiring bertambahnya umur, stamina tubuh semakin tidak kuat. Diakuinya bahwa sedikit banyak hal ini akhirnya itu juga berdampak pada kesehatan, yang membuatnya harus rajin kontrol ke dokter dan mengkonsumsi obat-obatan yang diajurkan. Oleh sebab itu ia bersyukur bahwa saat ini  banyak anak-anak muda yang tertarik untuk ikut bergabung dan terlibat dalam pelayanan anti perdagangan manusia ini.


Semakin banyaknya jenazah yang diterima, tadinya membuat mereka merasa akan semakin terbiasa menyambut jenazah sehingga cukup kuat menghadapinya. Namun ternyata setiap jenazah memiliki kisahnya sendiri yang berbeda-beda. Dan kisah-kisah itu selalu mengorek rasa kepedihan, kesedihan, kehilangan, kemarahan, malu dan juga rasa terhina yang tercampur aduk. "Kami ini merasa sudah seperti pemadam kebakaran karena menangani korban saat sudah di hilir", ujar Pendeta Emmy. "Dengan pelayanan kargo, kami bisa mendapatkan banyak informasi, misalnya penyebab kematian, struktur masyarakat, dan sebagainya. Data-data ini bisa kami runut dan kami olah, sehingga bersama-sama pemerintah kami bisa melakukan penyadaran dan pencegahan kepada masyarakat. "Kami mewakili suara-suara mereka yang sudah tidak bisa bersuara lagi. Perjuangan ini, tidak akan kami hentikan", kata Pendeta Emmy menutup film pendek ini.

Pemutaran film tersebut sangat mengusik perasaan salah satu relawan Sahabat Insan, ibu Agnes Retno, yang ikut bergabung untuk nonton bersama pada sore itu dan secara spontan menuliskan puisi ini:

Dalam perjalanan ke rumah,
saya terhenyak hati gundah,
usai melihat film “Maruah”.

Maruah yang artinya martabat!
Lalu di mana dia berada?
Pergi penuh asa,
oh malah mendapat nestapa,
Pulang sebagai jasad!

Maruah oh maruah...
kemanakah gerangan?
Bahkan:
menangisi jasad pulang pun di tepi jalan?

..................


Trailer film ini dapat dilihat di  https://filmfreeway.com/Maruah