Monday, November 16, 2020

BINCANG SORE: POTENSI KETERLIBATAN LEMBAGA KEUANGAN DALAM ALIRAN DANA TERKAIT PERDAGANGAN MANUSIA DAN EKSPLOITASI PEKERJA MIGRAN

Hari Kamis, 12 November 2020, Migrant Care mengadakan Bincang Sore dengan tema: Potensi Keterlibatan Lembaga Keuangan dalam Aliran Dana terkait Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Pekerja Migran. Narasumber yang diundang dalam bincang sore ini adalah Ririn Kusuma (Purna Migran Indonesia di Taiwan), Megel Jekson (Jurnalis actual.com), dan Wahyu Susilo (Direktur Eksekutif Migrant CARE).

Pembicara pertama adalah Wahyu Susilo. Dalam bincang sore ini Pak Wahyu Susilo membagikan presentasinya tentang Dimensi-Dimensi Kejahatan Keuangan dalam Praktek Perdagangan Orang dan Eksploitasi Pekerja Migran. Pak Wahyu Susilo memulai presentasinya dengan menyampaikan satu tahun capaian diplomasi perlindungan WNI, yaitu:

  • Melakukan dua kali evakuasi, dari Wuhan dan Kapal Diamond Princess di Yokohama dengan jumlah WNI yang dievakuasi 306 orang.
  • Memfasilitasi repatriasi dari 62 negara, dengan total 157.758 orang, termasuk ABK dan JT dari berbagai belahan dunia.
  • Memberikan bantuan logistik kepada WNI paling rentan sebanyak 532.525 paket.
  • Pendampingan dan bantuan bagi 1.651 WNI yang positif terinfeksi Covid-19 yang tersebar di 60 negara/wilayah dan 29 kapal.
  • Membebaskan 29 WNI dari ancaman hukuman mati.
  • Membebaskan 6 WNI dari penyenderaan di Filipan Selatan dan Gabon.
  • Menyelamatkan lebih dari 106 miliar rupiah hak-hak finansial PMI.

Capaian yang paling akhir adalah suatu progress karena pada tahun-tahun sebelumnya tidak ada penghitungan kerugian dari PMI. Ini merupakan langkah awal yang baik untuk mengidentifikasi kejahatan-kejahatan keuangan di luar negeri bahkan pada kasus-kasus eksploitasi buruh migran Indonesia.

TPPU dan TPPO sebagai kejahatan terorganisir transnasional, aturan yang mengikatnya adalah UU Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisir. TPPU dan TPPO termasuk dalam kejahatan transnasional terorganisir namun hingga saat ini belum banyak inisiatif dan inovasi penegakan hukum dalam TPPU dan TPPO dalam kerangka implementasi pencegahan kejahatan transnasional terorganisir. Dalam skema SDGs, pengakhiran dua kejahatan tersebut menjadi target yang harus dicapai dalam goal 16, utamanya target 16.2 (penghapusan perdagangan manusia terutama anak), 16.4 (illicit financial flow) dan 16.5 (pengelolaan pemerintahan yang baik).

Saat ini BP2MI yang dulu bernama BNP2TKI sedang menggagas skema zero cost untuk penempatan pekerja migran. Ini juga merupakan salah satu cara untuk mengakhiri upaya untuk mengakumulasi uang secara tidak sah dalam eksploitasi pekerja migran dan itu bisa berlanjut dalam TPPO. Beberapa studi yang pernah dilakukan Migrant Care antara lain:

  • Phillip Martin  (Evaluation for Indonesia-NAP Anti Trafficiing 2008) menyatakan bahwa motif pengambilan keuntungan finansial (tidak sah) sebesar-besarnya menjadi salah satu faktor utama penyubur praktek TPPO memanfaatkan kesenjangan akses informasi yang dimiliki (calon) korban dan lemahnua (dan tidak tersedianya secara memadai) instrumen penegakan hukum),
  • Study Migrant Care tahun 2013 yang menelusuri bisnis penempatan buruh migran yang batasnya sangat tipis dengan praktik perdagangan orang, menemukan bahwa dalam setiap urusan administrasi atau birokrasi yang berhubungan dengan calo PPTKIS, aparat birokrasi, agensi dan majikan selalu ditandai dengan transaksi keuangan. Transaksi keuangan tersebut dilakukan secara non tunai dan tunai,
  • Kajian yang dilakukan KPU dan KPK mengenai skema asuransi penjaminan TKI melalui Konsorsium Asuransi TKI juga menemukan unsur pengambilan keuntungan yang tidak sah dan potensi korupsi yang mengakibatkan pekerja migran mengalami kerugian dan tidak mendapatkan jaminan perlindungan yang semestinya,
  • Mewajibkan calon pekerja migran ke Taiwan dengan menggunakan skema pembiayaan China Trust (PT Bank CTBC Indonesia) dan pembayaran melalui pemotongan gaji yang mencekik juga merupakan kejahatan lembaga keuangan yang berkolusi dengan BNP2TKI.

Sedangkan transaksi keuangan yang mengucur dari desa yang merupakan salah satu ciri dari eksploitasi dan perdagangan manusia berasal dari hal-hal berikut:

  • Dalam hal penempatan buruh migran sektor domestik, transaksi keuangan bisa berupa utang yang diberikan oleh rekruiter (debt bondage), utang dengan bunga yang tinggi (transaksi dengan rentenir), jasa pengurusan (diberikan kepada calo, petugas lapangan PPTKIS) harusnya bisa diselesaikan dengan layanan publik.
  • Dalam hal penempatan buruh migran sektor kelautan, transaksi keuangan bisa berupa jasa pengurusan buku pelaut dan berhubungan dengan agensi. Ini pernah memicu presiden membentuk satgas anti pungli.
  • Dalam hal penempatan buruh migran ke Australia, Amerika dan Malaysia transaksi keuangan bisa berupa jada pengurusan keimigrasian dan uang jaminan.
  • Bahkan KUR yang seharusnya bisa mengurangi beban pembiayaan untuk bekerja ke luar negeri, dibajak aksesnya oleh PPTKIS dan dimanfaatkan untuk tetap mengambil keuntungan dari calon buruh migran dan buruh migran.

Model-model pemerasan dengan metode penampungan TKI adalah salah satu metode primitif namun hingga saat ini tetap populer dipakai untuk memastikan stok serta mendapatkan keuntungan. Di penampungan, ritual hidup yaitu tidur, makan minum, mandi-cuci-kakus semua berbayar. Membayar uang jaminan jika pulang kampung dan dibebani ganti rugi jika membatalkan keberangkatan. Biaya hidup selama ada penampungan diakumulasi dan menjadi perhitungan dalam skema pemotongan gaji. Skema pemotongan gaji adalah momok bagi buruh migran tetapi sumber keuntungan bagi PPTKIS.

Yang menimati keuntungan dari bisnis penempatan buruh migran yaitu PPTKIS, Travel Agency, Medical Clinic, Asuransi, Money Changer, Lembaga Keuangan. Investigasi Migrant CARE menemukan ada beberapa holding company besar yang unit usahanya mencakup itu semua ditambah umroh. Sejak pertengahan 2015, pemerintah RI membuat kebijakan penghentian permanen penempatan buruh migran ke 19 negara tujuan Timur Tengah, namun berdasarkan pemantauan yang di lakukan Migrant Care di bandara sepanjang 2015-2016 masih ditemukan ribuan buruh migran yang berangkat ke Timur Tengah. Salah satu siasat yang dipakai adalah menggunakan modus pemberangkats umroh.

Rekomendasi skema yang harus ditelusuri untuk memastikan praktek TPPO sekaligus TPPU oleh korporasi, antara lain:

  • Harus ada Rencana Aksi Nasional Pencegahan Kejahatan Transnasional Terorganisir untuk mendukung upaya-upaya memerangi TPPU dan TPPO sesuai denga  target 16.2 dan 16.4 (serta goal dan target lain terkait pengakhiran perbudakan modern, perwujudan kerja layak dan tata kelola migrasi aman) dalam SDGs.
  • Harus ada manual/modul mengenai investigasi dan penuntutan dimensi-dimensi TPPU dan TPPO.

Selanjutnya Ririn Kusuma, seorang Purna Migran Indonesia di Taiwan, membagikan ceritanya selama menjadi pekerja migran tahun 2006 - 2016 berkaitan dengan isu kejahatan keuangan ini. 


Ibu Ririn menceritakan bahwa membuat rekening tabungan saat masih di PT namun rekening tersebut dibuat atas nama pemilik PT. Setelah di Taiwan, ia dibuatkan rekening di sana, dengan pemotongan gaji yang seharusnya 12-16 bulan, namun Ibu Ririn mendapatkan pemotongan selama 21 bulan dengan rincian 18 bulan pemotongan sebesar 6.000 NT, dan bulan ke 19-21 pemotongan sebesar 10.000 NT sehingga total pemotongan kira-kira sebesar 150ribu nt atau 52juta rupiah. Untuk diketahui, Ibu Ririn berada di bawah naungan sebuah PT dan tidak mendapatkan sepeserpun gaji. karena gaji langsung ditransfer ke rekening pemimpin PT. Setiap alur yang terjadi tiap bulan adalah: agen datang ke majikan, majikan menyerahkan uang ke PMI, PMI dimintai tanda tangan, tapi selanjutnya uang itu dibawa agen untuk dimasukkan ke rekening pemilik PT.  Potongan yang dikenakan waktu itu bukan hanya potongan gaji yang ditanggung karena PMI harus melewati semua proses melalui PT, tetapi juga potongan pajak, asuransi dan tabungan wajib sebesar 2000 nt (sekitar 700ribu rupiah). Tabungan wajib selama 3 tahun sebesar 10 juta sebenarnya bisa diambil sewaktu pulang ke Indonesia, namun pada kenyataannya tidak semua bisa mendapatkannya karena pengambilan hanya bisa dilakukan di Jakarta dan ini cukup menyulitkan bagi PMI yang berasal dari daerah2 kecil. Selain itu faktor majikan juga ikut mempengaruhi apakah seorang PMI bisa mendapatkan tabungan tersebut. Jika mendapat majikan yang baik dan mau membantu menguruskan prosesnya, maka itu bisa dilakukan. Namun kadang kendala bahasa, apalagi jika mendapatkan pekerjaan menjaga orang tua yang sudah sulit berbicara, membuat PMI tidak bisa mendapatkan hak tersebut.  Sebelum diantar ke rumah majikan, mereka diminta menandatangani surat kuasa untuk menyerahkan uang tabungan ke PT. Jika menolak, mereka harus menandatangani berkas untuk mengganti biaya pemulangan dan ganti ruginya. Pada saat berangkat, mereka dijanjikan uang 200juta selama tiga tahun, namun kenyataannya mereka tidak mendapatkannya. Bahkan setelah pemotongan 21 bulan selesai mereka tetap tidak menerima gaji, sampai selesai masa kerja. Selama di sana, pihak yang memberi perhatian terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi adalah Hotline Khusus Ketenagakerjaan. 

Ibu Ririn merasa senang saat mendengar bahwa pemerintah akan menetapkan zero cost untuk keberangkatan ke Taiwan, meskipun saat ini masih dalam tahap negosiasi. Ia sendiri waktu itu tidak bisa melakukan keberangkatan mandiri. Meskipun memiliki kemampuan finansial, tetapi ia tetap harus melewati proses pemotongan gaji oleh PT. Biaya yang paling mencekik adalah biaya medical karena PMI tidak boleh mengurus sendiri dan harus melalui agen sehingga membutuhkan biaya lebih besar.  Ibu Ririn berharap agar pemerintah tetap berusaha melakukan negosiasi dan mengupayakan agar PMI bisa melakukan keberangkatan secara mandiri. 

Kenyataan ini cukup mengejutkan karena sebagian orang menganggap bahwa PMI di Taiwan lebih bahagia, situasinya lebih baik dan hak-hak mereka lebih terpenuhi dibandingkan dengan PMI di negara lain. Dan ketika kita menghadapi masalah di luar negeri, adanya berbagai macam keterbatasan seperti bahasa, koneksi, dll maka itu merupakan perjuangan sendiri untuk mengatasinya. 

Paparan terakhir adalah dari Megel Jekson seorang jurnalis dan periset ekonomi yang bisa membantu melihat isu ini dari perspektif jurnalisme. Dalam eksempatan ini beliau akan menguraikan tentang pengalaman dari Pungutan ISC (Imigration Security Clearance).

ISC adalah skema keamanan imigrasi yang dibuat pemerintah Malaysia dengan menunjuk pihak ketiga: S5 Biotech Sdn Bhd dan PT Bintang Malindo Mediasi. Pekerja Migran diminta membayar ISC sebesar Rp 418ribu/orang. Besaran nominal tersebut diduga tanpa dasar dan tidak dikelola secara transparan. Diduga ada pihak yang mendapatkan keuntungan dan rente dari pungutan dari ISC.

Dalam investigasinya selama sebulan, ditemukan bahwa seringkali pekerja migran harus menanggung biaya uji ISC, padahal dalam kesepakatannya ISC ini harusnya ditanggung oleh majikan. Agen/P3MI tidak mau menanggung resiko tidak lolosnya penempatan pekerja migran ke Malaysia, sehingga mereka mebebankannya ke pekerja migran. Padahal dalam prakteknya tidak semua wilayah di Malaysia menggunakan skema ISC, misalnya Malaysia Timur. Saat mewawancarai salah satu pkeerja migran, ia mengatakan bahwa dokumen tersebut tidak diperiksa dan diawasi secara ketat di Imigrasi. 

Dugaan rente yang ditemukan selama dilakukannya penelitian adalah adanya empat komponen biaya pungutan ISC yaitu: 1) pajak 10% sebesar 42ribu, 2) pembayaran voucher sebesar 90 ribu, 3) subdisidi operasional sebesar 20 ribu untuk pengurus APJATI yang menyelenggarakan ISC, 4) operasional bagi PT BMM sebesar 20 ribu. Diduga masih ada saldo tersisa sebesar 286 ribu dan kabarnya akan dibagi dua dengan pihak2 terkait.

Prosedur formal uji ISC, sebagai berikut:

  • Perusahaan penempatan mendaftarkan calon TKI secara online lewat bmm.co.id
  • Perusahaan penempatan membayar 418 ribu/TKI ke rekening PT Bintang Malindo Mediasi.
  • Calon TKI mendatangi kantor PT Malindo Mediasi yang tersebar di sepuluh provinsi sambil membawa bukti pembayaran.
  • Sidik jari dan foto wajah direkam. Data dikirimkan ke perusahaan rekaman Kementerian Dalam Negeri Malaysia, yaitu S5 Biotech Sdn Bhd
  • Calon TKI menerima sertifikat telah melakukan prosedur ISC, dan dibawa saat mengajukan permintaan visa.
  • S5 Biotech memverifikasi data calon TKI, bila tidak ada masalah, visa diproses.
  • Perusahaan penempatan menagih biaya 418 ribu ke majikan lewat agensi di Malaysia.

Berdasarkan hasil temuan dari Pak Megel bahwa biaya yang dibutuhkan sebenarnya lebih rendah daripada angka yang tertera. Ini hanya satu dari sekian banyak indikasi dari kejahatan keuangan dalam praktek Perdagangan Orang dan eksploitasi pekerja migran. Hasil penelitian lebih detail dapat dilihat di www.aktual.com.

Ini hanya salah satu dari sekian banyak indikasi atau model aliran keuangan dalam penempatan PMI di luar negeri. Perlu ada tindak lanjut yang konkrit yang perlu dilakukan oleh pemerintah. Terlalu banyak isu yang terjadi dalam prakter Perdagangan Manusia, namun di balik semua kegelapan isu ini tetap ada spirit yang membantu kita bersama bahwa hal ini harus ditangani dan tidak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah saja.