Tuesday, February 23, 2021

DOA DAN REFLEKSI BERSAMA - PERINGATAN SANTA BAKHITA DI KUPANG

Peringatan Santa Bakhita, pelindung korban perdagangan manusia di tahun 2021 ini dilakukan di Taman Ziarah Oebelo dengan melaksanakan acara Doa dan Refleksi Bersama dengan tema: Apakah Migrasi Budaya NTT? Acara ini dilakukan dengan sangat sederhana dan hanya mengundang jaringan-jaringan terdekat. Ada Mama Pendeta Pao Ina Bara Pa yang hadir bersama suami, Relawan JPIT, Mama Maria Hingi dari SBMI, Relawan Rumah Harapan, Frater dan Diakon CMF, serta perwakilan dari JRUK.


Acara diawali dengan doa pembukaan oleh Suster Anna SDP, dilanjutkan dengan pengantar oleh moderator, yaitu Pak Herman Seran. Ini adalah suatu momen refleksi untuk melihat kembali aktivitas sebagai aktivis sehingga roh-nya tidak hilang. Refleksi adalah hal yang baik bagi kita semua untuk melihat kembali apa yang dilakukan ini didasari oleh spiritualitas kita. Kita juga perlu memperkaya diri, oleh karena itu Tim Pelayanan Kargo menyelenggarakan doa dan refleksi bersama ini sekaligus untuk memperingati Santa Bakhita. Selanjutnya Pak Herman mempersilakan Pater Gregorius Neonbasu sebagai pembicara untuk membagikan materi dan pengalamannya tentang makna migrasi adalah budaya NTT.

Materi oleh Pater Gregorisu Neonbasu SVD, PhD-Antropolog


Realitas NTT dan Latar Belakang

‘Migrasi dam Budaya NTT, Sebuah Refleksi Antropologis’ itulah judul yang baru yang diberikan oleh pater. Walau tidak ditampilkan data-data, namun selalu disinyalir bahwa Nusa Tenggara Timur merupakan penyumbang angka terbesar bagi pokok bicara 'migrasi'. Jika ditempatkan dalam konteks NTT, maka arti dasar migrasi adalah ber-pindah tempat, ber-pindah dari kampung ke luar kampung. Tujuan perpindahan dari kampung dapat diartikan sebagai berikut. Pertama, pindah dari kampung ke kota; kedua, pindah dari kampung ke luar daerah atau negara; ketiga, proses perpindahan itu timbal balik, artinya pulang balik dalam jangka waktu tertentu. Para antropolog yang mempelajari kawasan Nusa Tenggara Timur menuturkan berbagai latar budaya, tradisi dan kebiasaan yang menyebut juga fenomena perpindahan dari ke kampung ke luar daerah seperti disebut di atas. Secara umum, masyarakat NTT sangat dekat dengan apa yang disebut sebagai warisan, tradisi, adat-istiadat, budaya dan kebiasaan serta hukum tak tertulis, dan aturan kemasyarakatan. Nampaknya nama berbeda, namun substansi yang mau dilukiskan di sini hampir sama dan sebangun berkenaan dengan kekayaan budaya yang dimiliki manusia dan masyarakat NTT.

Aras pembicaraan kita mengenai migrasi secara kultural dan dalam bingkai bahasa sebetulnya merupakan refleksi lanjutan dari pengertian dasar (a) perjalanan, dan (b) perpindahan. Sebebetulnya diskusi yang lengkap berkenaan dengan dua istilah budaya ini dapat disari dari tradisi lisan, terlebih ketika masing-masing kelompok masyarakat mengisahkan usul-asal suku mereka. Ada dua pertanyaan semiotik dapat disampaikan di sini, (a) mengapa harus berjalan; dan (b) mengapa harus berpindah? Dua pertanyaan fundamental dan sangat sederhana inilah dapat dijadikan sebagai dasar terjadinya migrasi dalam masyarakat kini dan juga di masa silam. Umumnya masyarakat berjalan dan berpindah  untuk mencari kemungkinan yang lebih baik bagi kehidupan ekonomi, dan dengan demikian juga untuk membangun kehidupan yang lebih sejahtera.

Mencari Akar Persoalan

Salah satu alasan antropologis sebagaimana telah disebut sebelumnya dapat dirinci di sini untuk mencari akar persoalan yang sedang diderita masyarakat Nusa Tenggara Timur. Pada jaman lampau terjadi migrasi kultural dan alamiah sebagai berikut: (a) antar kampung, (b) antar daerah swapraja, (c) antar kabupaten, (d) antar pulau, (e) antar negara dan bahkan (f) antar kawasan. Kata dasar dari proses ini tetap pada dua hal fundamental perjalanan dan perpindahan. Persoalan kita kini adalah tidak ada komitmen untuk mempelajari alasan-alasan migrasi natural, yang ternyata terjadi secara struktural hingga saat ini, walau dengan dasar pertinbangan yang sudah berkembang.    

Masalah lain terkait migrasi keluar untuk mencari nafkah di daerah lain adalah masih belum ada instrumen kebijakan perlindungan buruh mig­ran, tingkat pendidikan yang sangat rendah, peranan lembaga sosial kemasyarakatan (Gereja dan Lembaga-Lembaga adat di desa) di samping berbagai faktor penarik dan pendorong lainnya. Persoalan kita berikut adalah orang-orang yang bekerja di luar NTT (kaum migran) adalah orang-orang yang tidak memiliki keterampilan. Sejauh ini sudah ada beberapa pemerintah daerah (Kabupaten Belu dan Flores Timur) yang telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) mengenai perlind­ungan buruh migran. Sebagai contoh di Kabupaten Flores Timur, migrasi untuk bekerja memiliki sejarah panjang yang dipicu perdagangan laut tradisional oleh saudagar Sulawesi pada awal 1950-an (TIFA NTT, 2014). Jika sejenak kita menganalisis migrasi dalam perspektif jaman sekarang, maka ada sekurang-kurangnya tiga alasan terjadi fenomena migrasi: (a) tekanan ekonomi, (b) alasan sosial-politik dan (c) wibawa atau pribadi yag aktif.

Pertama berkenaan dengan tekanan ekonomi. Umumnya para orang tua NTT bersikap positif terhadap migrasi oleh karena pemikiran sederhana saja, yakni untuk mendapatkan penghasilan. Kedua, tekanan sosial politik. Secara ringkas, terjadinya migrasi atau proses perpindahan penduduk seperti ini hanya atas pertimbangan praktis sosial-politik saja yakni untuk mendapatkan posisi dalam salah satu partai politik. Dengan cara seperti itu misalnya hasrat hati untuk menjadi pengurus partai dapat dipenuhi. Pemikiran yang berada di balik kelompok orang atau orang muda seperti ini adalah keinginan untuk memperluas jejaring pengaruh di antara orang-orang sebaya atau bahkan lebih dari itu. Hal itu juga dapat disebabkan atau dipengaruhi oleh sifat kelesuan atau kekosongan. Ada adagium lama yang berbunyi, hidup di desa dan kampung selalu sepi, lesu dan kering, sehingga migrasi ke tempat lain adalah jalan keluar dan bahkan pilihan terbaik.

Ketiga, tekanan wibawa atau alasan pribadi yang beraneka macam. Hal yang paling mencolok di sini adalah migrasi oleh karena hanya mengikuti orang atau rekan lain yang ke luar dari kampung. Sikap hidup seperti ini ternyata dimiliki banyak anak muda, yang banyak kali tidak pernah memikirkan akibat bagi kemampuan hidup ekonomi, dasar pendidikan dan sikap sosiai kemasyarakatan. Tidak saja alasan ketiga ini melainkan juga pertama dan kedua di atas, semuanya merupakan persoalan-persoalan yang kini kita hadapi. Lalu bagaimanakah reaksi dan sikap kita? Bagaimana sikap Gereja kita? Bagaimana sikap dan pandangan agama kita masing-masing selama ini berkenaan dengan fenomena yang sama.

Perspektif dan Jalan Keluar

Dalam perspektif Kristen, setiap kesulitan, tantangan dan persoalan seberat apapun harus dapat diselesaikan dengan berakar pada Tuhan. Karena itu yang seharusnya diperhatikan dengan sungguh-sungguh adalah refleksi mengenai komitmen dan konsistensi bagi kepentingan hgidup manusia dan masyarakat yang konkret. Hal ini dapat ditunjuk melalu beberapa prinsip kegiatan. Misalnya komitmen Gereja untuk terus dan tetap memberikan pendampingan kepada kaum muda. Kemudian komitmen Gereja untuk mencipta lapangan kerja bagi warga jemaat atau umat. Masih juga komitmen Gereja untuk melayani sakramen, melayani Ekaristis Kudus dan berbagai kebutuhan manusia dan masyarakat setiap hari.

Dalam konteks ilmu antropologi, pendekatan yang kiranya sesuai adalah kembali kepada keluarga-keluarga dengan cara membina persaudaraan di dalam kehidupan keluarga dan masyarakat setiap hari. Kemudian dilanjutkan dengan memelihara serta membangun komitmen warga masyarakat untuk hidup yang layak dan terpuji. Hal seperti ini tentunya dilengkapi dengan usaha menanamkan 'pemahaman praktis' mengenai hidup yang layak, baik dan bermartabat. Justru dengan cara-cara seperti inilah warga masyarakat, dan terlebih kaum muda akan dapat menyadari dirinya untuk memberi sumbangan bagi pengembangan desa atau kampung, dan tidak perlu memilih jalan pintas untuk berpindah atau migrasi ke tempat lain dengan alasan apapun.

Pada sisi tertentu, hal seperti di atas ini sangat membutuhkan keterlibatan peran dan fungsi tokoh masyarakat, tokoh adat dan para tokoh agama. Mereka yang ditempatkan sebagai sesepuh dalam masyarakat hendaknya berpegang teguh pada warisan dan budaya serta tradisi kehidupan bermasyarakat. Baik warisan, maupun di dalam ajaran-ajaran agama, hendaknya terus dipelihara hal-hal positif yang senantiasa menyapa kehidupan kaum muda, dan teristimewa juga kelompok kaum migran tersebut. Akhir-akhir ini ada sebuah gejolak menarik bahwa manusia dan masyarakat tengah kehilangan sosok pemimpin atau tokoh-tokoh yang baik dalam kehidupan bermasyarakat setiap hari.

Pertama, tokoh contoh. Pertanyaan kita, manakah ukuran seseorang yang boleh disebut sebagai tokoh contoh? Biasanya ada beberapa unsur praktis yang dapat dipasang bagi kehidupan seseorang sesepuh yang memenuhi predikat tokoh contoh tersebut. Antara lain orang yang dianggap sesepuh itu memiliki hidup yang baik, hidup bermartabat, hidup yang berdasar pada agama, hidup yang selalu bersumber apda ajaran Kitab Suci, dan kehidupan yang senantiasa diinspirasi oleh kekuatan yang mengalir dari Perayaan Ekaristi Kudus. Ini ukuran tokoh-tokoh contoh dalam perspektif Kristen Katolik umumnya.

Kedua, yang berikut adalah kita kehilangan tokoh pengabdi, yakni sesepuh yang selalu mau merangkul. Berkenaan dengan kehilangan tokoh pengabdi, belakangan ini terasa di mana-mana bahwa hampir semua aspek kehidupan manusia, persaoalan ini senantiasa mengemuka secara significan. Karena itu hal yang seharusnya diperhatikan dengan lebih sungguh-sungguh adalah sikap berhati-hati oleh karena hal seperti ini merupakan persoalan kemasyarakatan yang sangat umum, dan selalu ada di setiap tempat, dan dalam segala peristiwa hidup kemasyarakatan. Tantangan yang setiap saat selalu datang hendaknya dihadapi dengan sikap yang lebih arif dan bijaksana. Apalagi menghadapi problem Covid-19 yang semakin mencemaskan. Kiranya masing-masing kita diundang untuk menjadi tokoh yang mengabdi sesama, sehingga perlahan-lahan kehausan masyarakat berkenaan dengan tokoh pengabdi ini dapat diatasi.      

Ketiga, hampir sama dengan dua persoalan sebelumnya, sering masyarakat kita sangat membutuhkan tokoh disiplin, disiplin diri dan disiplin hidup bersama. Ada sekian banyak tokoh masyarakat atau sesepuh yang tidak memperhatikan konsistensi untuk hidup secara lebih benar. Hal itu terlihat misalnya mereka tidak memiliki lagi komitmen untuk membangun masa depan yang lebih baik. Karena itulah kaum muda kita kini umumnya sedemikian mengalami kesulitan untuk menjadikan para sesepuh sebagai contoh untuk membangun masa depan yang lebih baik. Hal yang sangat memprihatinkan adalah kelompok orang seperti ini kehilangan orientasi budaya, tradisi dan warisan leluhur. Tentunya termasuk juga dengan hilangnya orientasi para sesepuh pada warisan agama, gereja dan masyarakat.

Mengulang tutur hal-hal di atas, masyarakat pada saat ini sangat mendamba tokoh-tokoh masyarakat yang bermartabat, dan sosok pemimpin yang selalu mengabdi kepentingan umum. Dengan cara yang sama dambaan masyarakat akan selalu terpenuhi yakni muncul para sesepuh yang selalu melayani kepentingan umum atau kebutuhan hidup bersama setiap hari. Tentunya menjadi tugas kita bersama juga untuk memelihara persaudaraan dengan berusaha memahami kehidupan sesama kita yang berada di daerah-daerah migrasi. Persadaraan bakal dengan sendirinya tumbuh dan berkembang, apabila di dalam membangun iklim kebersamaan itu semua pihak konsisten untuk mencari mindset dan hearthset dari para migran, agar pada gilirannya usaha untuk memberi bantuan kepada kaum migran dapat dilaksanakan dengan sebaik mungkin.

Untuk itulah actio kita justru ada pada proses penyadaran diri dengan memperhatikan peran dan fungsi kita masing-masing dalam kehidupan bersama setiap hari. Apakah kita sebagai pribadi dan individu atau warga kelompok dan anggota Gereja, kualifikasi pemahaman kita mengenai posisi kaum migran sudah seharusnya diperhatikan dengan lebih sungguh-sungguh. Kaum migran siapapun adalah bagian integral dari kehidupan kita. Mereka adalah partner kita yang harus diberi bantuan, ketika mereka sangat membutuhkan bala bantuan untuk mengatasi kesulitan jenis apa saja yang sedang memborgol kehidupan mereka. Salah satu gaya peran dan fungsi yang ingin kita bagi kepada kaum migran adalah meditasi, kontemplasi dan rekoleksi, untuk menemukan jalan terpuji dan terpandang di dalam usaha membantu para migran di sekitar kita.

Sisipan tentang Pikiran Manusia

Pikiran Manusia adalah hadiah Pencipta yang terampuh dan tidak ada bandingan. Kita berjumpa pada kesempatan ini juga untuk mengembangkan daya pikir kita masing-masing, dalam kerangka membantu rekan-rekan kaum migran dan keluarga mereka serta tentu pula masyarakat dan lingkungan hidup kita. Pikiran manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling mendalam. Ada empat hal dapat disari dari ciptaan Tuhan yang paling mendalam ini. Pertama, pikiran manusia merupakan sari pati dari seluruh ciptaan, alfa dan omega, yang adalah sesuatu kekayaan tanpa batas. Kedua, pikiran manusia tak dapat dibandingkan dengan keindahan mentari, baik mulai dari pagi hingga terbenamnya. Ketiga, pikiran manusia melampaui sekian banyak puncak pegunungan di darat dan bahkan menembusi kedalaman dasar-dasar samudera. Keempat, pikiran manusia melebihi tinggi dan lebarnya cakrawala alam raya.

Keperkasaan pikiran, ternyata ada dan eksis (dekat sekali) dengan kita, ada dalam diri manusia, dan sangat integral dengan kehidupan manusia dan masyarakat setiap hari. Eksistensi pikiran, selalu siap dimanfaatkan bahkan tidak dibutuhkan juga ia selalu siap untuk melayani manusia. Walau dalam kenyataan setiap hari dari sebagian besar hidup manusia, sering pikiran manusia itu diabaikan. Dalam arti manusia dan masyarakat tidak perduli dengan hadiah terbesar  dari Tuhan Pencipta. Dalam kenyataan hidup setiap hari, tidak terasa pikiran manusia bagai samudera sangat luas yang tidak ada bandingan. Setiap hari, kita seperti berdiri di tepi (pantai) dengan menggunakan sebuah senduk teh dan mengambilnya setetes demi setetes.

Terasa ada sesuatu yang sangat lucu, kita berusaha hidup dan bertahan dengan tetesan-tetesan itu, padahal kita bisa memanfaatkan seluruh kekayaan samudera tersebut. Akhirnya satu hal penting luput dari kita yakni tidak ada sesuatu, tidak ada pengetahuan dan tidak ada sumber untuk dicari di luar diri, yang ternyata belum kita miliki dalam ceruk-ceruk pikiran kita. Oleh karena itu, sejenak kita perlu berdiam diri sambil hening dan penuh syahdu nan khusuk.

Kita mengganti sendok teh dengan ember, untuk menyelami samudera bathin, lalu memanfaatkan pikiran manusia yang sedemikian kaya. Selama ini uang, waktu dan tenaga terlalu banyak terkuras untuk bekerja (untuk dapat uang, rumah, hidup yang baik), namun kalau kita menggunakan waktu untuk membentuk pikiran, maka manfaatnya akan berlipat-lipat. Dalam sejarah kehidupan umat manusia, tidak seorang pun yang mengingat-ingat tampang Sokrates, Confusius, Shakespeare, Bach atau Bethoven, tapi apa yang telah dicapai oleh mereka dan pikiran mereka telah menjangkau abad-abad ini. Karena itu kita membutuhkan kontemplasi bathin.  Kita berdoa bagi para migran, semua orang tua untuk selalu mencipta situasi dan kondisi kehidupan yang baik dan terpuji.

Sering keterlibatan kita dengan kaum migran, atau partisipasi kita untuk mendengar jeritan hati keluarga-keluarga mereka, justru terhalang oleh berbagai kepentingan diri. Oleh karena itulah kita hendaknya mengambil pola 'cita rasa pengosongan diri' dalam perspektif Gereja, yakni dengan cara berusaha untuk menanggalkan berbagai prasangka yang dimiliki, baik berkenaan dengan spiritual religi, maupun sosial kemasyarakatan. Terlebih kita harus terus berjuang untuk lebih memahami perspektif kehidupan para migran dan keluarga mereka, agar jalan keluar yang akan ditempuh, benar-benar memberi sesuatu yang bermakna bagi kehidupan mereka.

Sebetulnya hal yang ditekankan di sini adalah tidak saja secara pasif mengosongkan diri secara fisik, melainkan sikap respek menanggalkan berbagai prasangka sosial, untuk membangun sikap terbuka bagi segala sesuatu yang baik, yang ditawarkan Tuhan kepada setiap insan berbudi; dan dalam hal ini pendekatan kita dengan kaum migran dan keluarga mereka. Pada sisi lain, dialog selalu memberi peluang baru kepada pihak Gereja untuk tidak mempertahankan sikap triumfalis dan arogansinya serta kecendrungan ecclesiocentris, melainkan berguru pada kepentingan manusia dan masyarakat setiap hari yang paling konkret. Secara moral-etis, sikap terbuka dan dialog mampu menyemaikan kepercayaan dan cinta dalam hati Gereja, agar pada gilirannya dapat ditanamkan cinta kasih yang sama di dalam hati setiap orang yang dijumpai dan dilayani.

Di tengah manusia dan masyarakat setiap hari, Gereja selalu membuktikan dirinya sebagai pelayan dan pendamping yang baik dan terpuji. Sebagai pelayan yang baik, terpuji dan jujur, Gereja selalu siap, dan tidak pernah alpa untuk hadir di tengah persekutuan orang-orang yang dijumpai. Dalam setiap karya pelayanan, Gereja membagi Kasih Kristus kepada semua orang, serentak pada waktu yang sama, Gereja berjuang untuk membentuk persekutuan ilahi dengan semua orang yang dilayani tanpa memandang bulu. Pada sisi tertentu dalam bingkai kehidupan menggereja secara umum, ada beberapa hal yang telah diperhatikan dalam memahami dinamika kehidupan menggereja yang terjadi di lingkungan masyarakat selama ini.

Dalam perspektif Antropologi Teologis, Gereja terbuka untuk melayani dan mengabdi manusia dan sementara itu pula ia terus menjalin relasi dengan misteri Kristus, sebagaimana diwujudkan di dalam persekutuan orang-orang yang percaya kepada Kristus yang sama, dan yang dikumpulkan dalam namaNya. Gereja harus melihat manusia konkret yang melekat dalam sejarah hidup setiap hari, dan dalam pembicaraan kita kali ini, manusia migran dan keluarga-keluarga yang terkait di dalamnya. 

Keberpihakan kepada kepentingan manusia dan masyarakat kini yang tidak mungkin dilepas-pisahkan dari konteks kehidupan setiap hari, hal itu tentunya bukanlah sesuatu yang ditawar-tawar, melainkan harus diperhatikan dengan lebih sungguh. Prinsip teologi dan eklesiologi tidak boleh menganggap sepi cetusan hati masyarakat yang riil secara kasat mata yang lazim mengerucut pada analisis antropologis. Manusia dan masyarakat dengan kekayaan sejarah, zaman, struktur sosial dan kultur yang berubah, semuanya menjadi tumpuan refleksi teologi dan eklesiologi. Para migran, termasuk keluarga-keluarga mereka, dan bahkan semua warga masyarakat yang berada di sekitarnya, hendaknya menjadi sentrum refleksi Gereja untuk menemukan sebuah pendekatan pastoral teologis yang mencukupi.  Baik secara internal maupun eksternal, eksistensi kehidupan masyarakat merupakan modal dasar bagi keberhasilan karya Gereja. Itulah maka kajian, analisis serta berbagai refleksi antropologis, harus merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi karya perutusan Gereja.

Harus ada usaha untuk sedapat mungkin mengelaborasi mindset masyarakat migran secara tepat dan benar. Dan menjadi tugas Gereja yang luhur untuk memberi apresiasi bagi mindset masyarakat migran yang sama. Justru dengan cara seperti ini bakal terbuka sekian banyak peluang untuk memahami situasi dan kondisi kehidupan manusia, kemarin, kini dan nanti. Wajah kehidupan Gereja akan menjadi semakin suram jika terdapat 'jarak sosial' yang tercipta, baik ketika berada dalam struktur internal Gereja, maupun ketika sedang aktif menjalankan suatu tugas pelayanan di tengah warga masyarakat pluralistik. Sering bisa saja terjadi konflik pada berbagai level relasi, namun semuanya harus bisa diselesaikan dalam iklim kebersamaan.

Diskusi Singkat

Materi selesai dibawakan oleh Pater Gregorius dilanjutkan dengan tanya jawab.

  1. Pendeta Pao Ina Bara Pa: Mengapa keinginan seseorang ingin bermigrasi sangat tinggi, namun setelah berada di daerah migrasi, ingin kembali ke daerahnya? Dan perlu yang kita kaji adalah ketika kita keluar daerah namun di sisi lain orang dari luar juga masuk ke daerah kita, ini yang perlu kita kaji dan lihat potensi yang ada di daerah kita.
  2. Maria Hingi: Saya hanya ingin berbagi pengelaman saya, saya sendiri seorang yang pernah bermigrasi yang pernah bekerja di Singapura, seperti yang dibahas oleh pater tadi bahwa budaya bermigran ikut-ikutan saya sendiri seperti itu karena waktu itu melihat teman saya pulang dari Malaysia dia sukses dan saya ingin bermigran juga tapi tidak mau di Malysia karena satu rumpun yang memilki bahasa yang sama namun saya bermigran ke Singapura. Saya pergi melalui jalur TKI yang resmi sehingga saya belajar dari bahasa, pengenalan bagaimana cara setrika pakaian, saya bekerja tidak sampai habis kontrak karena saya sakit. Menurut saya ketika kita berangkat melalui jalur yang resmi maka kita di lindungi oleh organisasi migran. Saya mengharapkan kehadiran jaringan migran di luar negeri untuk tetap mengayomi para buru migran.
  3. Frater CMF: Yang terjadi di Soe sampai di perbatasan adalah ketika Atoin Amaf berbicara dengan memberikan okomama kebanyakan dari keluarga-keluarga yang menerima okomama tersebut sulit untuk menolak okomama tersebut dan mengiyakan anak mereka untuk pergi merantau, entah ada uang didalam okomama tersebut ataupun tidak ada. Apakah Atoin Amaf dan okomama tersebut punya pengaruh yang kuat dalam budaya Timor?

Jawaban diberikan oleh Pater merangkum semua pertanyaan.

Seorang yang pergi keluar daerah maupun  luar  negeri dan kembali ke daerah asalnya, itu yang disebut dengan terobosan antropologi. Saya sepakat dengan Pdt. Inna. Terkadang anak –anak kita tidak dipersiapkan berkaitan tentang pertanyaan tadi.  

Saya kaitkan dengan cerita yang sudah saya paparkan tadi: anak yang bekerja di toko dan bagaimana gajinya di bawah UMR (Rp. 200.000/bulan) namun didukung oleh orang tuanya “daripada dia di rumah dan duduk diam di kampung saja kami tidak dapat apa-apa dari dia, lebih baik dia bekerja dan setiap bulannya memberikan kami Rp. 50.000 itu saja sudah cukup” ini berarti kita membiarkan jejaring penipuan untuk terus persembunyian dalam selimut kepas-pasaan dari orang tua si anak. Harusnya gereja yang terdiri dari umat/jemat, paroki/gemit, keuskupan/sinode bisa mampu mengatasi para penipu migran. Gereja dan institusi pewartaan manapun tidak bisa memberikan keselamatan yang konkrit. Ini akan manjadi PR bagi gereja-gereja dan jejaringan untuk terus menelusuri dan mencari solusi bagi tenaga migran yang kurang mendapat perhatian yang serius.

   

DOA DAN REFLEKSI BERSAMA

Doa dan Refleksi dibawakan oleh Diakon Robin, CMF. Dalam doa dan refleksi ini, kita diajak untuk mengingat para PMI asal NTT yang sedang bekerja di dalam Negeri mapun di Luar Negeri ataupun Jenazah PMI asal NTT yang telah meninggal dan dipulangkan ke daerah masing-masing (sambil membakar lilin pengharapan) dan sambil merenungkan perjuangan Santa Baktita yang telah berjuang membebaskan para budak pada masanya dan dinobatkan sebagai santa pelindung perbudakan. Kita juga diajak untuk membangun komitmen untuk memerhatikan dan membantu membebaskan mereka yang tertindas oleh praktik Perdagangan Manusia dan perbudakan.



Acara diakhiri dengan memohon berkat melalui perantaraan Pater Gregorius, dilanjutkan dengan foto bersama.

Acara Doa dan Refleksi Bersama berakhir dengan baik, kami menikmati makan malam bersama sebelum berberes-beres dan kembali ke biara. Syukur kepada Allah atas penyertaan-Nya disepanjang kegiatan berlangsung. Kami boleh melakukannya dengan baik, sesuai dengan protocol kesehatan yang berlaku. Semoga dengan doa dan refleksi ini kami kembali dikuatkan dan semangat semakin berkobar untuk menolong yang membutuhkan dengan sepenuh hati. Kasih Allah Bapa selalu membimbing kita semua.*